BULAN TERTUSUK
ILALANG
Malam
menyelimuti, berganti peran karena takdir hari berputar dengan membawa kebaikan
dan kejelekan. Tiada yang menyatakan terjadinya hari itu selain Allah (An
Najm:58).
Selamat tinggal dunia, bagi orang yang dangkal hatinya. Dia sebenarnya sudah
mati walaupun masih di anggap hidup. Harapan palsu masih meninggalkan
prasangka. Mesti tiada yang lebih indah daripada sekadar harapan dari mata air
imajinasi. Bukanlah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya? (Az-Zumar:36)
Ketika sinar
mentari lama pergi menembus malam menjelang senja, akan banyak yang bernapas
lega. Sebab, Dialah yang menjadikan malam pakaian, dan tidur untuk istirahat
(Al Furqon:47). Tak perlu ada kedustaan, ketika pintu peraduan telah terbuka
untuk jangka waktu yang lama. Ketika semua manusia terbuai dalam naungan
penjaga alam semesta. Ketika angin lembut menyapa, menghantarkan setiap insan
pada mimpi yang lelap.
Mungkin sepenggal cerita bagi
orang-orang yang terjaga, yang menekuri malam untuk mengagungkanNya. Seperti
malam itu. Udara sejuk, lembut dan wangi. Sinar rembulan merembes ranting
dedaunan, membiaskan cahaya kuning pucat pada kaki seorang lelaki paruh baya.
Ia bersandar di bawah setanggul pohon tua. Di matanya denting keletihan hidup
pecah bergelombang, lalu melebur membentuk pusara harapan bagi buah hatinya
seorang. Ada beragam bacaan kehidupan yang ditekuri. Ia tak bisa memahami
hakikat kata yang aneh dan mustahil. Meski ia dapat menelan kebisuannya bersama
daun-daun pohon yang melambai membentuk bayang-bayang aneh menari-nari.
Serentak menyenandungkan simfoni ganjil malam hari.
Gadis kecilnya berdiri tak jauh dari
situ. Berjalan pelan-pelan, menikmati desir angin yang membelai hamparan
ilalang. Ia mengenakan gaun beludru biru pekat berenda putih yang menghiasi
kulitnya yang pucat, terpantulkan cahaya bulan. Embun membuat rumput
berkilau-kilau. Sepasang kaki mungilnya menjejak dan mendesak-desak, tenggelam
di rerumputan yang basah. Sebelum membungkuk dan melepas sepatu hitam yang
terbuat dari kulit. Sepatu dipegang erat dengan satu tangannya. Ia tahu kalau
ia masuk rumah dengan kaki kotor, seperti biasa ibunya akan marah. Lalu
mengeluh, "betapa susah menasehati anak kecil." Namun ia bangga
menjadi anak kecil, karena ia dapat menelan kebisuan tanpa kedustaan.
Jadi malam itu lilin-lilin kedustaan sudah
ia padamkan dalam hati. Di ujung sana Ayahnya hanya melihat langkah-langkahnya
yang ringan seakan terbang melayang. Entah berkejar dengan apa. Mungkin sesuatu
yang tidak terlihat indra, sesuatu yang membuatnya ceria, imaji kanak-kanaknya.
Ketika ia bertanya;
"Apa ayah benar-benar melihatnya?"
Ayahnya hanya tersenyum, sekalipun ia sebenarnya terperanjat, lalu ia bertanya
sambil meneruskan bacaannya.
"Kamu bicara apa, nak?"
"Bulan itu. Apakah Ayah melihatnya?"
Ia menunjuk ke atas. Ayahnya tersenyum lagi. Kerena tak begitu mengerti
maksudnya, Ayahnya hanya menyahut;
"Ayah tak bisa melihatnya dari bawah pohon".
"Tak apa", katanya. "Akan kupindahkan bulan, sehingga Ayah dapat
melihatnya"
Rona wajah Ayahnya berubah dalam sekejab. "Kamu tidak bisa memindahkan
bulan. Ia terlalu tinggi untukmu"
"Tentu saja aku bisa" ia bicara dengan keras, menyentak-nyentakkan
kakinya ke tanah. Kedustaan macam apa yang dibuat oleh orang dewasa, ketika
mereka merasa asing terhadap dirinya sendiri. Mimpi-mimpi apakah yang dapat
menembus wajah-wajah renta ini, yang mencari alasan untuk terus bersembunyi
atas nama sepotong realita yang selalu menghantui. Realita yang telah membuat
mereka kehilangan jati diri.
"Lihat ini," ia berjalan menyusuri rerumputan sambil menengadah ke
langit, yang menurutnya, itu menarik bulan menjauh dari pohon.
"Bulan itu mengikutiku" ujarnya merasa yakin.
Seketika Ayahnya terhenyak dan berdiri dari duduknya, berjalan menjauhi pohon.
Ia nyadari kekeliruannya. Inilah untuk kesekian kali anaknya menunjukkan
warna-warni imajinasi dengan pensil keluguan. Ia menatap nanap wajah anaknya.
"Ya, Ayah dapat melihatnya sekarang"
Senja hari itu indah. Bulan hampir penuh, menyisakan satu sisi yang masih
tertutup bayangan.
"Mengapa bulan itu selalu mengikutiku, Yah?" ia bertanya dengan penuh
percaya diri. Ayahnya tidak menjawab, membisu tertegun gagu. Hanya sebuah
tatapan beku yang tenggelam dalam alam bawah sadar yang absurb, seribu jawab
membentur dinding-dinding hatinya. Lalu terpantul kembali dan tenggelam ke
lubuk hatinya yang terdalam. Ia sadar tidak mungkin menjelaskan logika
paradigma pada putri bungsunya yang baru berumur 5 tahun.
Kata Einstein, Jika kau ingin anakmu pintar ceritakan dongeng untuknya, dan
jika kau ingin mereka pintar, ceritakan lagi dongeng untuknya.
"Bulan itu menunggu untuk kau tangkap" jawab Ayahnya pada akhirnya.
Gadis kecil itu mengerutkan kening, lalu bertanya lagi, "Apakah aku bisa
menangkapnya?"
Ayahnya langsung menyahut. "Tentu saja bisa." Hhhh, bola mata anaknya
membulat. "Benarkah? bagaimana caranya Yah?"
"Coba lihat kemari," Ayahnya menuntun tangan mungilnya
perlahan-lahan. Lihat ilalang itu, ia tidak lebih tinggi darimu kan?" ia
mengangguk. "Tapi ilalang itu sanggup menggapai bulan" Ayahnya
berkata dengan bangga.
"Sini...sini...,coba lihat kemari" Lalu Ayahnya merunduk dan
mengajaknya tenggelam dalam rumpun ilalang yang menjulang. Ia mengikuti saja
tanpa sepenuhnya mengerti apa maksud sang Ayah.
Tapi, Dia tahu sekarang, dia percaya Ayahnya. Di sini, di balik rimbunan
ilalang ini, ia hanya melihat sepotong bulan di atas langit yang kelam, dan
ilalang yang menjulur-julur menusuknya dari bawah.
Ayahnya tersenyum dan berkata, "Sekarang kau percaya kan?"
Ia menatap wajah Ayahnya, seolah membenarkan. Kemudian Ayahnya mengajaknya
berdiri lagi dan menganggkat tubuhnya yang mungil di bahunya, dan
menggendongnya. Dia biarkan gadis kecilnya itu duduk di bahunya untuk beberapa
lama, lalu ia berkata :
"Anakku... jika kau besar nanti, kau harus mempunyai sebuah impian. Impian
yang tinggi dan tinggi sekali, seperti bulan itu. Seolah-olah engkau tidak bisa
mencapainya, tapi sebenarnya engkau bisa."
Gadis kecilnya mengangguk-angguk, entah mengerti entah tidak. Ayahnya
melanjutkan. "Nanti, engkau akan melihat banyak orang menyangsikanmu untuk
menggapainya. Seperti engkau menyangsikan ilalang itu, tapi percayalah
sebenarnya engkau bisa" ia berhenti sejenak, "Anakku, Ayah tidak tahu
berapa lama lagi Ayah bisa menemanimu dan terus membantumu menggapai impianmu,
namun kalaupun nanti kau sendiri, kau harus kuat. Kau harus yakin bahwa kau
bisa menggapainya, meski tanpa Ayah. Kau mengerti kan? Coba ulurkan tanganmu ke
atas"
Di atas mereka
langit sangat luas, hanya sepotong bulan yang tersisa. Ketika menengadah dan
menjulurkan tangan di atas bahu Ayahnya, sekali lagi ia tahu: Ayahnya benar.
"Aku percaya Yah, Aku bisa manangkap bulannya... Aku bisa menangkap
bulannya!!!"
Ia berteriak-teriak kegirangan.
Jauh sebelum semua diungkap, Ayahku telah mengajarkan perspektif dan persepsi.
Mengasah ketajaman bashirah hati, menangkap keabstrakan paradigma deklaratif.
Dan aku masih tetap di sini melihat bulan, meski tanpa Ayahku. Sama seperti
enam belas tahun yang lalu. Bulan yang sama yang kusaksikan di saat kecilku,
yang sama yang disaksikan orang di seluruh dunia. Dan mungkin juga disaksikan
oleh seseorang yang jauh di belahan bumi sana atau yang dekat di sini.
Bulan terang sepenuh
lingkaran. Cahanya indah menantang kita keluar malam, untuk menatap. Dia sangat
memikat, dan aku sungguh tercekat. Hingga terbentur pada sebuah paradigma yang
diajarkannya. Yang terpenting dalam hidup adalah bagaimana cara kita memandang
hidup. Sesuatu yang terlihat tinggi, sebenarnya tidak terlampau tinggi untuk
dicapai. Semua tergantung dari sudut mana kita memandangnya, itu pesan Ayah.
Seperti bulan itu, kucoba membaca cerita kehidupan yang dilukis olehnya, saat
purnama kuning pucat terangi kami dengan pendar-pendar imajinasi enam belas
tahun yang lalu. Biarkan kami bangkit dari tidur kami yang lelap. Melerai mimpi
menuai kehidupan. Karena di sana kami menyaksikan : Bulan tertusuk ilalang.
Salam cinta buat Ayah yang telah memberi
banyak cerita di masa kecilku. Ayah, terimalah ungkapan terima kasihku yang
terdalam, yang tak kan pernah cukup untuk membalas segala jasa yang engkau
berikan.