Ketika Gendis Harus Memilih
Hamparan
sawah dengan bulir-bulir padi yang hampir menguning di bawah kaki Merapi
merupakan pemandangan yang sangat indah bak gelaran permadani. Ditambah lagi
percikan suara air di selokan bening yang melingkari seluruh pematang bagai
alunan nada merdu. Di kejauhan tampak pula para petani berlomba dengan
burung-burung pipit yang hendak memakan butiran padi yang hampir masak.
Pemandangan mengelokkan disetiap musim panen tiba sepert ini membuat Gendis tak bosan-bosannya duduk di pinggir pematang. Angin sepoi-sepoi seakan menerbangkan jilbab yang dikenakan olehnya. Desa Gendis memang indah, di bawah kaki gunung Merapi yang acap kali menyemburkan laharnya justru membuat tanah di daerah itu sangat subur. Ibaratnya apapun yang ditanam pasti tumbuh dengan suburnya
"Hai ...Gendis kok nglamun...", tiba-tiba Gendis dikagetkan dengan suara seseorang.
"Oalah ...mbak Sri kapan datangnya..." setengah terpekik
"Sudah dua hari yang lalu"
"Kok ndak kasih kabar dulu "
"Iya kebetulan aku dapat cuti satu minggu dari tempat kerja nDis...ya sudah pulang kampung saja sudah kangen sama semuanya"
"Mbak Sri, pangling aku.."
Gendis mengamati dengan teliti penampilan Sri, kakak kelasn di SMA yang telah meninggalkan desanya dan bekerja di Jakarta.
"Kok ndak pakai jilbab lagi toh mbak.."
"Wah panas nDis kalau pakai kerudung segala, lagipula aku nanti dibilang ndeso gitu lho"
"Ohh gitu tho mbak...eh..enak ndak si kerja di Jakarta itu"
"Ya..ada enaknya ya ada ndak enaknya"
"Di sana kerja apa toh Mbak"
"Kerja di pabrik"
"Jadi apa ?"
Tiba-tiba saja Sri tergelak
"Aduh Gendis...katanya kamu ini pinter, NEM tertinggi se kecamatan kok begini ya ditanyakan"
"Lho memang kenapa mbak"
Kembali Sri tertawa
"Kamu ini lucu sekali Ndis...lulusan SMA, paling banter ya jadi buruh...apa mau jadi Boss..ha...ha..ha... Di Jakarta itu wong pinter buanyaak nDis, cari kerja susah sekali"
"Ooh begitu toh mbak"
"Lha kamu piye kan sudah aku tawarin ikut kerja .kebetulan perusahaan sedang cari pegawai baru "
"Endak tahu yaa...bingung mbak.."
"Lho bukannya kamu sekarang sudah lulus SMA nya toh...sudah ndak sekolah lagi..sudah ikut aku wae ke Jakarta"
"Iya tapi Ibuku sepertinya kok ndak seberapa seneng mbak..Ibuku masih mengharapkan aku untuk ngelanjutkan sekolah lagi..soalnya aku juga ikut tes UMPTN..Ibu berharap sekali aku keterima..
Mata Gendis menerawang jauh. Ibunya sangat menharapkan ia dapat melanjutkan sekolah lagi. Tapi Gendis sadar bahwa keluarganya bukan tergolong mampu. Kadang untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah pas-pas-an. Apalagi setelah kematian bapaknya tujuh tahun yang lalu, otomatis tulang punggung perekonomian keluarga di tangan ibunya. Ketika meninggal, Bapak Gendis juga tidak mewariskan banyak. Sekarang ibunya hanya mendapatkan gaji pensiunan bapaknya sebagai bekas guru SD yang tidak seberapa. Ditambah ibunya harus membanting tulang berjualan telur hasil dari ternak ayam yang ada di rumah yang juga tidak terlalu banyak
Kalau mengingat itu rasanya Gendis sudah tidak tega membiarkan ibunya harus bekerja ekstra untuk kebutuhan dirinya dan adik-adiknya. Kebetulan Gendis masih mempunya dua adik laki-laki Gendis ingin sekali bekerja untuk membantu beban ibu. Apalagi di jaman sekarang semua kebutuhan harganya melangit.
"Hey nDis melamun lagi...bagaimana toh kamu ini"
"Iya mbak..bagaimana ya..."
"Lho ditanya kok mbales nanya "
"Nantilah mbak jawabannya setelah pengumuman UMPTN"
"Kapan pengumumannya nDis"
"Besok Mbak"
"Besok..wah kalau diterima nanti traktir aku yaa"
Gendis tersenyum
"Nah sekarang aku traktir kamu dulu makan mendoan di warung Yu Tarsih"
"Alhamdulillah...ceritanya bagi-bagi rejeki ya.."
"Endak lah...aku ingin saja ...pergi yook"
**********
"Amin..."guman Gendi lirih mengakhiri doa-doa panjang setelah shalat Maghrib malam itu.
Tak terasa olehnya tampak ibu yang mengimami shalat sedari tadi mengamati putri sulungnya.
"Sudah kamu doakan Paknemu di kubur Nduk.."
"Sampun Bu..Gendis selalu doakan Pakne dan Bune semuanya"
"Alhamdulillah...ya memang itu yang diperlukan Paknemu sekarang di kubur sana ndak ada yang lain...doa dari anak-anaknya....dan jangan lupa selalu doakan ..."
"Inggih Bu..."
Sesaat Gendis mengamati ibunya. Tersadar olehnya bahwa ibu sekarang tampak lebih tua dari umurnya. Raut wajah ibu sudah dipenuhi oleh kerut-kerut yang telah menyimpan banyaknya peristiwa, pengalaman dan perjuangan yang mesti dihadapi. Tangan ibu yang seharusnya putih bersih terlihat legam terbakar matahari karena harus setiap hari berjualan di emper pasar menawarkan telur.
Urat-urat tangan tampak menonjol menunjukkan betapa kerasnya kehidupan yang dijalankan ibunya untuk meghidupi keluarganya, untuk anak-anaknya. Tetapi dibalik itu semua, ibu tidak pernah mengeluh sedikit pun. Ibu selalu tawakal dengan apa yang harus dihadapinya. Ibu tidak pernah marah dengan guratan nasib yang menimpanya.Tak terasa air mata Gendis menetes.
"Ada apa toh Nduk kok tiba-tiba nangis "
"Ndak apa-apa koh Bu...Ehmmm..ibu sayah ya...harus setiap hari kerja begitu"
"Endak ..ibu sudah biasa kan seperti ini Nduk...semua ini demi kamu dan adik-adikmu. Biar kalian semua dapat terpenuhi kebutuhannya..."
"Gendis sedih bu..ndak bisa mbantu malah sering nyusahake ibu....."
"Sudah kamu ndak usah kawatir..kamu semua jadi anak-anak baik ibu senang sekali...itu kebahagiaan tersendiri buat ibu"
"Inggih Bu"
Gendis melepas mukena dan hendak beranjak menuju dapur
"Ndis tadi siang kemana saja ibu cari-cari..."
"Oh ya bu..tadi Gendis ketemu sama mbak Sri"
"Sri yang mana to Nduk"
"Itu lho Bu..mbak Sri anak Dusun Atas yang sekarang kerja di Jakarta.."
"Ohhh itu ..ya..ya..ibu tahu...yang sering kirim-kiriman surat sama kamu "
"Mbak Sri nawarin Gendis kerja di Jakarta Bu.."
"Jakarta...kerja"
Wajah ibu berubah, ketidak sukaan nampak di raut wajah ibu.
"Iya Bu..."
"Kenapa sih kamu selalu mikir pingin kerja, apa uang saku yang ibu berikan kurang"
"Endak Bu sama sekali ndak ..Gendis hanya mikir ingin mbantu ibu, Gendis ingin meringankan tugas ibu..itu saja.."
"Sudah ibu bilang berkali-kali nduk..ndak usah dipikir..ibu ingin kamu ngelanjutke sekolah..pengumuman UMPTN besok toh nDuk..."
Ibu selalu ingat dan menantikan
"Inggih Bu "
"Mudah-mudahan dapat diterima ya Nduk"
"Peluangnya berat Bu.."
"Jangan bilang begitu Nduk kalau Gusti Allah ngresakake ya diterima...Berdoa minta yang terbaik buat kita semua "
Sesaat kemudian ibu melepas mukena dan memakai kerudung di kepalanya
"Badhe tindak pundi Bu..dalu-dalu begini"
Sri keheranan, tidak biasanya ibu pergi malam-malam hari.
"Ke Warungnya pak Atmo di Sumber Rejo"
"Ada apa"
"Pak Atmo pesan telur ..lumayan banyak lho Nduk.."
"Gendis antar ya Bu"
Gendis segera memakai jilbab.
"Ndak usah..ibu diantar Tono dan Yanto adikmu"
"Lho anaknya ndak ada kan Bu"
"Ibu janjian di Langgar..mereka nunggu di sana"
"OOOhh.."
Yanto dan Tono, kedua adik Sri memang selalu rajin shalat berjamaah di Langgar. Kalau Maghrib dan Isya` hanya Gendis dan Ibu yang shalat berjamaah di rumah.
"Tolong goreng tempe dan menghangatkan nasi di dandang buat makan malam...oh ya..tolong ambilkan oblik Nduk "
Walaupun Listrik sudah masuk ke desanya, namun jalan-jalan di desanya serasa tak tersentuh oleh listrik. Jadilah kalau malam tiba keadaan tetap gelap gulita. Bila warga desa keluar rumah harus membawa penerangan seperti senter, oblik ataupun obor.
"Ini bu..hati -hati ya..bu..."
"Assalamualakium"
"Waalaikumsalam"
Gendis melepas kepergian ibu. Tampak tubuh ibu yang membawa gendongan di punggungnya kian lama hilang di telan kegelapan malam.
*****************
Pagi itu Gendis telah bangun dan seperti biasanya membantu ibu di dapur.
"Yanto dan Tono kemana saja Bu kok ndak ada"
"Tadi habis Subuh pamitnya pergi gitu..ndak tahu kemana .. "
Dari kejauhan terlihat Yanto dan Tono berboncengan sepeda menuju rumah. Tampak Tono terengah-engah sekali mengayuh pedal sepeda sekencang-kencangnya.
"Ibu..Mbak Gendis sini..lihat apa yang aku bawa" teriak Tono
Segera saja Ibu dan Gendis yang ada di dapur menghambur keluar mendengar ribut-ribut di depan.
"Ini mbak aku tadi beli Koran yang ada pengumuman UMPTN ...mbak..mana nomermu tak carikan sini"
Segera saja Gendis menyerahkan secarik kertas pendaftaran UMPTN
Yanto, Tono dan Ibu tentu saja, tampak antusias sekali mencari nama Gendis diantara deretan nama yang berhasil lolos di UMPTN.
"Nah..Ini dia..Ada.Mbak..Ada.." Teriak Tono
"Mana-mana" seru Gendis dan ibu bersamaan.
"Ini dia Gendis Sugiwati diterima di ..sebentar..kodenya..Subhanalloh mbak..di Fakultas Kedokteran UGM", Yanto mengeja nama kakaknya
"Wuahh..huebbat mbak...selamat yaa..seneng Tono"
"Alhamdulillah NDuk kamu keterima...kamu bisa nggelanjutkan sekolah lagi yaa"
Mata ibu terlihat sedikit berkaca-kaca.
Tapi gendis sendiri tampaknya tidak terlalu senang dengan "kemenangannya" ini. Dia hanya menenggapi dengann biasa-biasa saja.
Rupanya ibu mengamati yang terjadi di dalam diri Gendis.
"Nduk..kamu ndak seneng ya..."
"Alhamdulillah bu Gendis senang....tapi"
"Tapi apa lagi..."
"Gendis bingung Bu...mau melanjutkan atau tidak..."
Mata Gendis menerawang
"Biaya kuliah mahal Bu...kita ndak sanggup membayarnya..lagipula Gendis ndak tega kalau terus-menerus membebankan ibu"
Tiba-tiba ibu menghilang menuju kamar, sekejap kemudian keluar lagi sambil membawa kotak kecil dan menyerahkan pada Gendis.
"Bukalah" kata Ibu
Gendis membuka perlahan-lahan kotak kecil. Dua buah kalung emas dan 2 cincin emas
"Juallah..Nduk buat bayar uang sekolah...kalau ada sisanya simpanlah buat keperluan sekolah.....Besok minta antar sama paklikmu untuk ngantar jual ke kota"
"Jangan Bu..perhiasan ini nilainya amat berharga sekali bagi ibu"
Gendis tahu sekali perhiasan ini amat berharga nilainya dan harganya mahal sekali merupakan peninggalan Eyang putrinya dan ada cincin kawin dari almarhum bapa
"Ndak usah terlalu dipikir..ibu memang sudah mempersiapkan buat kamu, lagipula ibu juga ndak seneng pakai perhiasan, kalau dijual buat kebutuhanmu malah lebih berguna, disimpan terus nanti mubadzir..."
"Ibu..tanggungan ibu bukan hanya Gendis saja, masih ada Yanto dan Tono..."
Gendis menghentikan pembicaraannya sesaat dan melirik ke arah ke dua adiknya.
"Tono dan Yanto harus sekolah tinggi Bu, mereka laki-laki lebih berhak daripada Gendis....Gendis rela mengalah ndak sekolah asal Tono dan Yanto yang sekolah..."
Ibu menarik nafas dalam mendengar penuturan putri sulungnya
"Gendis..semua anak-anak Ibu sebisa mungkin harus sekolah...ndak yang laki dan perempuan. Anggapanmu itu salah kalau wong wadon ndak perlu sekolah tinggi itu..Ndak ada larangannya kan..."
"iyya Mbak...lagipula kesempatan ada di depan mata jangan disia-siakan" ujar Tono
"Yang mantep gitu lho mbak .. diniatkan ibadah ..nuntut ilmu.... biar ibu seneng dan kita ndak jadi wong yang dibuat bodho terus" ujar Yanto menimpali pula
"Insya Alloh kalau ada kesempatan Yanto dan Tono juga ingin sekolah tinggi juga...ya kan Bu.."
"Jarak Jogya sama desa kita kan ndak terlalu jauh, lagipula Mbak Gendis bisa tinggal sama Bude di sana nanti" kata Tono
Gendis memandang satu persatu wajah adiknya.Walau Tono kelas 1 SMA dan Yanto kelas 2 SMP tetapi mereka tampak lebih dewasa dari usianya.
"Ibu sendiri juga sedah memikirkan pula buat adik-adikmua Ndis..Jangan terlalu khawatir dengan rezeki... Gusti Allah itu Maha Sugih ndak akan membiarkan hambanya kelaparan. Apalagi niatnya ibu ini ikhlas kok...Insya Alloh nanti rejeki juga akan datang"
"Oalah Bu..matur nuwun..."
Gendis menangis dan memeluk ibunya.
Sesaat kemudian ibu berdiri dan tampak bersiap akan pergi.
"Mau kemana lagi Bu..pagi-pagi kan belum waktunya ke pasar "
Ditanya begitu oleh Gendis ibu tersenyum simpul.
"Dengar ya Nduk..sekarang Pak Atmo yang punya toko di Sumber Rejo minta agar ibu nyetor telur ayam setiap dua hari sekali 10 kilo..katanya telur-telur ayam kita kwalitasnya bagus...terus tokonya pak Cipto di Sumowono juga minta disetor telur ayam kita"
"kok ndak bilang-bilang Bu.... mau buat kejutan ya..."
"Ya..ndak juga..."
"Jadi ibu sekarang ndak jualan lagi di pasar"
"Di pasar ya tetap jualan..artinya kita punya penghasilan tambahan, nanti siang ibu mau ke kota mau beli anak-anak ayam lagi..Nduk...biar hasil telurnya tambah banyak"
"Alhamdulillah ya Bu "
"Makanya seperti Ibu bilang tadi Gusti Allah itu Maha Kaya, membagikan rejekiNya...Sudah sana tolong ibu masukkan telur -telur di keranjang ...Lha Tono dan Yanto kamu ndak pada mangkat sekolah "
"Masya Allah Bu..sudah jam setengah tujuh" Yanti dan Tono bersamaan.
Keduanya langsung lari dan berebutan masuk ke kamar mandi.
Ibu dan Gendis hanya tertawa geli melihat keduanya.
****owari****
Daftar istilah :
nduk = panggilan untuk anak perempuan di Jawa
piye = bagaimana
pangling = kaget, heran, takjub
mendoan = masakan khas Jawa terbuat dari tempe dan tepung
sampun = sudah
inggih = Iya
sayah = Capek
ngresakake = berkehendak
Badhe tindak pundi Bu..dalu-dalu begini = Mau kemana bu..malam-malam begini
Oblik = lampu minyak kecil
Sugih = kaya
Pemandangan mengelokkan disetiap musim panen tiba sepert ini membuat Gendis tak bosan-bosannya duduk di pinggir pematang. Angin sepoi-sepoi seakan menerbangkan jilbab yang dikenakan olehnya. Desa Gendis memang indah, di bawah kaki gunung Merapi yang acap kali menyemburkan laharnya justru membuat tanah di daerah itu sangat subur. Ibaratnya apapun yang ditanam pasti tumbuh dengan suburnya
"Hai ...Gendis kok nglamun...", tiba-tiba Gendis dikagetkan dengan suara seseorang.
"Oalah ...mbak Sri kapan datangnya..." setengah terpekik
"Sudah dua hari yang lalu"
"Kok ndak kasih kabar dulu "
"Iya kebetulan aku dapat cuti satu minggu dari tempat kerja nDis...ya sudah pulang kampung saja sudah kangen sama semuanya"
"Mbak Sri, pangling aku.."
Gendis mengamati dengan teliti penampilan Sri, kakak kelasn di SMA yang telah meninggalkan desanya dan bekerja di Jakarta.
"Kok ndak pakai jilbab lagi toh mbak.."
"Wah panas nDis kalau pakai kerudung segala, lagipula aku nanti dibilang ndeso gitu lho"
"Ohh gitu tho mbak...eh..enak ndak si kerja di Jakarta itu"
"Ya..ada enaknya ya ada ndak enaknya"
"Di sana kerja apa toh Mbak"
"Kerja di pabrik"
"Jadi apa ?"
Tiba-tiba saja Sri tergelak
"Aduh Gendis...katanya kamu ini pinter, NEM tertinggi se kecamatan kok begini ya ditanyakan"
"Lho memang kenapa mbak"
Kembali Sri tertawa
"Kamu ini lucu sekali Ndis...lulusan SMA, paling banter ya jadi buruh...apa mau jadi Boss..ha...ha..ha... Di Jakarta itu wong pinter buanyaak nDis, cari kerja susah sekali"
"Ooh begitu toh mbak"
"Lha kamu piye kan sudah aku tawarin ikut kerja .kebetulan perusahaan sedang cari pegawai baru "
"Endak tahu yaa...bingung mbak.."
"Lho bukannya kamu sekarang sudah lulus SMA nya toh...sudah ndak sekolah lagi..sudah ikut aku wae ke Jakarta"
"Iya tapi Ibuku sepertinya kok ndak seberapa seneng mbak..Ibuku masih mengharapkan aku untuk ngelanjutkan sekolah lagi..soalnya aku juga ikut tes UMPTN..Ibu berharap sekali aku keterima..
Mata Gendis menerawang jauh. Ibunya sangat menharapkan ia dapat melanjutkan sekolah lagi. Tapi Gendis sadar bahwa keluarganya bukan tergolong mampu. Kadang untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah pas-pas-an. Apalagi setelah kematian bapaknya tujuh tahun yang lalu, otomatis tulang punggung perekonomian keluarga di tangan ibunya. Ketika meninggal, Bapak Gendis juga tidak mewariskan banyak. Sekarang ibunya hanya mendapatkan gaji pensiunan bapaknya sebagai bekas guru SD yang tidak seberapa. Ditambah ibunya harus membanting tulang berjualan telur hasil dari ternak ayam yang ada di rumah yang juga tidak terlalu banyak
Kalau mengingat itu rasanya Gendis sudah tidak tega membiarkan ibunya harus bekerja ekstra untuk kebutuhan dirinya dan adik-adiknya. Kebetulan Gendis masih mempunya dua adik laki-laki Gendis ingin sekali bekerja untuk membantu beban ibu. Apalagi di jaman sekarang semua kebutuhan harganya melangit.
"Hey nDis melamun lagi...bagaimana toh kamu ini"
"Iya mbak..bagaimana ya..."
"Lho ditanya kok mbales nanya "
"Nantilah mbak jawabannya setelah pengumuman UMPTN"
"Kapan pengumumannya nDis"
"Besok Mbak"
"Besok..wah kalau diterima nanti traktir aku yaa"
Gendis tersenyum
"Nah sekarang aku traktir kamu dulu makan mendoan di warung Yu Tarsih"
"Alhamdulillah...ceritanya bagi-bagi rejeki ya.."
"Endak lah...aku ingin saja ...pergi yook"
**********
"Amin..."guman Gendi lirih mengakhiri doa-doa panjang setelah shalat Maghrib malam itu.
Tak terasa olehnya tampak ibu yang mengimami shalat sedari tadi mengamati putri sulungnya.
"Sudah kamu doakan Paknemu di kubur Nduk.."
"Sampun Bu..Gendis selalu doakan Pakne dan Bune semuanya"
"Alhamdulillah...ya memang itu yang diperlukan Paknemu sekarang di kubur sana ndak ada yang lain...doa dari anak-anaknya....dan jangan lupa selalu doakan ..."
"Inggih Bu..."
Sesaat Gendis mengamati ibunya. Tersadar olehnya bahwa ibu sekarang tampak lebih tua dari umurnya. Raut wajah ibu sudah dipenuhi oleh kerut-kerut yang telah menyimpan banyaknya peristiwa, pengalaman dan perjuangan yang mesti dihadapi. Tangan ibu yang seharusnya putih bersih terlihat legam terbakar matahari karena harus setiap hari berjualan di emper pasar menawarkan telur.
Urat-urat tangan tampak menonjol menunjukkan betapa kerasnya kehidupan yang dijalankan ibunya untuk meghidupi keluarganya, untuk anak-anaknya. Tetapi dibalik itu semua, ibu tidak pernah mengeluh sedikit pun. Ibu selalu tawakal dengan apa yang harus dihadapinya. Ibu tidak pernah marah dengan guratan nasib yang menimpanya.Tak terasa air mata Gendis menetes.
"Ada apa toh Nduk kok tiba-tiba nangis "
"Ndak apa-apa koh Bu...Ehmmm..ibu sayah ya...harus setiap hari kerja begitu"
"Endak ..ibu sudah biasa kan seperti ini Nduk...semua ini demi kamu dan adik-adikmu. Biar kalian semua dapat terpenuhi kebutuhannya..."
"Gendis sedih bu..ndak bisa mbantu malah sering nyusahake ibu....."
"Sudah kamu ndak usah kawatir..kamu semua jadi anak-anak baik ibu senang sekali...itu kebahagiaan tersendiri buat ibu"
"Inggih Bu"
Gendis melepas mukena dan hendak beranjak menuju dapur
"Ndis tadi siang kemana saja ibu cari-cari..."
"Oh ya bu..tadi Gendis ketemu sama mbak Sri"
"Sri yang mana to Nduk"
"Itu lho Bu..mbak Sri anak Dusun Atas yang sekarang kerja di Jakarta.."
"Ohhh itu ..ya..ya..ibu tahu...yang sering kirim-kiriman surat sama kamu "
"Mbak Sri nawarin Gendis kerja di Jakarta Bu.."
"Jakarta...kerja"
Wajah ibu berubah, ketidak sukaan nampak di raut wajah ibu.
"Iya Bu..."
"Kenapa sih kamu selalu mikir pingin kerja, apa uang saku yang ibu berikan kurang"
"Endak Bu sama sekali ndak ..Gendis hanya mikir ingin mbantu ibu, Gendis ingin meringankan tugas ibu..itu saja.."
"Sudah ibu bilang berkali-kali nduk..ndak usah dipikir..ibu ingin kamu ngelanjutke sekolah..pengumuman UMPTN besok toh nDuk..."
Ibu selalu ingat dan menantikan
"Inggih Bu "
"Mudah-mudahan dapat diterima ya Nduk"
"Peluangnya berat Bu.."
"Jangan bilang begitu Nduk kalau Gusti Allah ngresakake ya diterima...Berdoa minta yang terbaik buat kita semua "
Sesaat kemudian ibu melepas mukena dan memakai kerudung di kepalanya
"Badhe tindak pundi Bu..dalu-dalu begini"
Sri keheranan, tidak biasanya ibu pergi malam-malam hari.
"Ke Warungnya pak Atmo di Sumber Rejo"
"Ada apa"
"Pak Atmo pesan telur ..lumayan banyak lho Nduk.."
"Gendis antar ya Bu"
Gendis segera memakai jilbab.
"Ndak usah..ibu diantar Tono dan Yanto adikmu"
"Lho anaknya ndak ada kan Bu"
"Ibu janjian di Langgar..mereka nunggu di sana"
"OOOhh.."
Yanto dan Tono, kedua adik Sri memang selalu rajin shalat berjamaah di Langgar. Kalau Maghrib dan Isya` hanya Gendis dan Ibu yang shalat berjamaah di rumah.
"Tolong goreng tempe dan menghangatkan nasi di dandang buat makan malam...oh ya..tolong ambilkan oblik Nduk "
Walaupun Listrik sudah masuk ke desanya, namun jalan-jalan di desanya serasa tak tersentuh oleh listrik. Jadilah kalau malam tiba keadaan tetap gelap gulita. Bila warga desa keluar rumah harus membawa penerangan seperti senter, oblik ataupun obor.
"Ini bu..hati -hati ya..bu..."
"Assalamualakium"
"Waalaikumsalam"
Gendis melepas kepergian ibu. Tampak tubuh ibu yang membawa gendongan di punggungnya kian lama hilang di telan kegelapan malam.
*****************
Pagi itu Gendis telah bangun dan seperti biasanya membantu ibu di dapur.
"Yanto dan Tono kemana saja Bu kok ndak ada"
"Tadi habis Subuh pamitnya pergi gitu..ndak tahu kemana .. "
Dari kejauhan terlihat Yanto dan Tono berboncengan sepeda menuju rumah. Tampak Tono terengah-engah sekali mengayuh pedal sepeda sekencang-kencangnya.
"Ibu..Mbak Gendis sini..lihat apa yang aku bawa" teriak Tono
Segera saja Ibu dan Gendis yang ada di dapur menghambur keluar mendengar ribut-ribut di depan.
"Ini mbak aku tadi beli Koran yang ada pengumuman UMPTN ...mbak..mana nomermu tak carikan sini"
Segera saja Gendis menyerahkan secarik kertas pendaftaran UMPTN
Yanto, Tono dan Ibu tentu saja, tampak antusias sekali mencari nama Gendis diantara deretan nama yang berhasil lolos di UMPTN.
"Nah..Ini dia..Ada.Mbak..Ada.." Teriak Tono
"Mana-mana" seru Gendis dan ibu bersamaan.
"Ini dia Gendis Sugiwati diterima di ..sebentar..kodenya..Subhanalloh mbak..di Fakultas Kedokteran UGM", Yanto mengeja nama kakaknya
"Wuahh..huebbat mbak...selamat yaa..seneng Tono"
"Alhamdulillah NDuk kamu keterima...kamu bisa nggelanjutkan sekolah lagi yaa"
Mata ibu terlihat sedikit berkaca-kaca.
Tapi gendis sendiri tampaknya tidak terlalu senang dengan "kemenangannya" ini. Dia hanya menenggapi dengann biasa-biasa saja.
Rupanya ibu mengamati yang terjadi di dalam diri Gendis.
"Nduk..kamu ndak seneng ya..."
"Alhamdulillah bu Gendis senang....tapi"
"Tapi apa lagi..."
"Gendis bingung Bu...mau melanjutkan atau tidak..."
Mata Gendis menerawang
"Biaya kuliah mahal Bu...kita ndak sanggup membayarnya..lagipula Gendis ndak tega kalau terus-menerus membebankan ibu"
Tiba-tiba ibu menghilang menuju kamar, sekejap kemudian keluar lagi sambil membawa kotak kecil dan menyerahkan pada Gendis.
"Bukalah" kata Ibu
Gendis membuka perlahan-lahan kotak kecil. Dua buah kalung emas dan 2 cincin emas
"Juallah..Nduk buat bayar uang sekolah...kalau ada sisanya simpanlah buat keperluan sekolah.....Besok minta antar sama paklikmu untuk ngantar jual ke kota"
"Jangan Bu..perhiasan ini nilainya amat berharga sekali bagi ibu"
Gendis tahu sekali perhiasan ini amat berharga nilainya dan harganya mahal sekali merupakan peninggalan Eyang putrinya dan ada cincin kawin dari almarhum bapa
"Ndak usah terlalu dipikir..ibu memang sudah mempersiapkan buat kamu, lagipula ibu juga ndak seneng pakai perhiasan, kalau dijual buat kebutuhanmu malah lebih berguna, disimpan terus nanti mubadzir..."
"Ibu..tanggungan ibu bukan hanya Gendis saja, masih ada Yanto dan Tono..."
Gendis menghentikan pembicaraannya sesaat dan melirik ke arah ke dua adiknya.
"Tono dan Yanto harus sekolah tinggi Bu, mereka laki-laki lebih berhak daripada Gendis....Gendis rela mengalah ndak sekolah asal Tono dan Yanto yang sekolah..."
Ibu menarik nafas dalam mendengar penuturan putri sulungnya
"Gendis..semua anak-anak Ibu sebisa mungkin harus sekolah...ndak yang laki dan perempuan. Anggapanmu itu salah kalau wong wadon ndak perlu sekolah tinggi itu..Ndak ada larangannya kan..."
"iyya Mbak...lagipula kesempatan ada di depan mata jangan disia-siakan" ujar Tono
"Yang mantep gitu lho mbak .. diniatkan ibadah ..nuntut ilmu.... biar ibu seneng dan kita ndak jadi wong yang dibuat bodho terus" ujar Yanto menimpali pula
"Insya Alloh kalau ada kesempatan Yanto dan Tono juga ingin sekolah tinggi juga...ya kan Bu.."
"Jarak Jogya sama desa kita kan ndak terlalu jauh, lagipula Mbak Gendis bisa tinggal sama Bude di sana nanti" kata Tono
Gendis memandang satu persatu wajah adiknya.Walau Tono kelas 1 SMA dan Yanto kelas 2 SMP tetapi mereka tampak lebih dewasa dari usianya.
"Ibu sendiri juga sedah memikirkan pula buat adik-adikmua Ndis..Jangan terlalu khawatir dengan rezeki... Gusti Allah itu Maha Sugih ndak akan membiarkan hambanya kelaparan. Apalagi niatnya ibu ini ikhlas kok...Insya Alloh nanti rejeki juga akan datang"
"Oalah Bu..matur nuwun..."
Gendis menangis dan memeluk ibunya.
Sesaat kemudian ibu berdiri dan tampak bersiap akan pergi.
"Mau kemana lagi Bu..pagi-pagi kan belum waktunya ke pasar "
Ditanya begitu oleh Gendis ibu tersenyum simpul.
"Dengar ya Nduk..sekarang Pak Atmo yang punya toko di Sumber Rejo minta agar ibu nyetor telur ayam setiap dua hari sekali 10 kilo..katanya telur-telur ayam kita kwalitasnya bagus...terus tokonya pak Cipto di Sumowono juga minta disetor telur ayam kita"
"kok ndak bilang-bilang Bu.... mau buat kejutan ya..."
"Ya..ndak juga..."
"Jadi ibu sekarang ndak jualan lagi di pasar"
"Di pasar ya tetap jualan..artinya kita punya penghasilan tambahan, nanti siang ibu mau ke kota mau beli anak-anak ayam lagi..Nduk...biar hasil telurnya tambah banyak"
"Alhamdulillah ya Bu "
"Makanya seperti Ibu bilang tadi Gusti Allah itu Maha Kaya, membagikan rejekiNya...Sudah sana tolong ibu masukkan telur -telur di keranjang ...Lha Tono dan Yanto kamu ndak pada mangkat sekolah "
"Masya Allah Bu..sudah jam setengah tujuh" Yanti dan Tono bersamaan.
Keduanya langsung lari dan berebutan masuk ke kamar mandi.
Ibu dan Gendis hanya tertawa geli melihat keduanya.
****owari****
Daftar istilah :
nduk = panggilan untuk anak perempuan di Jawa
piye = bagaimana
pangling = kaget, heran, takjub
mendoan = masakan khas Jawa terbuat dari tempe dan tepung
sampun = sudah
inggih = Iya
sayah = Capek
ngresakake = berkehendak
Badhe tindak pundi Bu..dalu-dalu begini = Mau kemana bu..malam-malam begini
Oblik = lampu minyak kecil
Sugih = kaya