InspirasI

Senin, 27 Juli 2015


Banyak Bicara, Banyak Bertanya dan Menghamburkan Harta


Ada tiga hal yang Allah ridhai dan tiga hal yang Allah benci. Kali ini kita kaji tiga hal yang Allah benci: banyak bicara, banyak bertanya, dan menghamburkan harta.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal dan membenci tiga hal bagi kalian. Dia meridhai kalian untuk menyembah-Nya, dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, serta berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan tidak berpecah belah. Dia pun membenci tiga hal bagi kalian, menceritakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta.” (HR. Muslim no. 1715)
Ada tiga hal yang Allah benci sebagaimana dalam hadits:
·         Qila wa qaal.
·         Banyak bertanya.
·         Menghamburkan harta.

Qila wa Qaal
Maksudnya adalah perkataan yang tidak ada manfaat. Ini yang sering jadi bahan pembicaraan di warung kopi. Katanya ada berita seperti ini dan seperti itu. Namun asal usulnya tidak jelas.
Sebagaimana dinukil dari Ibnu Battol, Imam Malik berkata,
وَهُوَ الإَكْثَارُ مِنَ الكَلاَمِ وَالإِرْجَافِ، نَحْوُ قَوْلُ النَّاسِ: أَعْطَى فُلاَنٌ كَذَا وَمَنَعَ كَذَا، وَالخَوْضُ فِيْمَا لاَ يَعْنِى
“Banyak bicara dan menyebar berita yang membuat orang ketakutan. Seperti dengan mengatakan, “Si fulan memberi ini dan tidak mendapat ini.” Begitu pula maksudnya adalah menceburkan diri dalam sesuatu yang tidak manfaat.” (Syarh Ibn Battol, 12: 48)
Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang dimaksud adalah,
حِكَايَة أَقَاوِيل النَّاس وَالْبَحْث عَنْهَا كَمَا يُقَال قَالَ فُلَان كَذَا وَقِيلَ عَنْهُ كَذَا مِمَّا يُكْرَه حِكَايَته عَنْهُ
“Menceritakan perkataan orang banyak, lalu membahasnya. Juga bisa dikatakan seperti seseorang berkata bahwa si fulan berkata seperti ini atau seperti itu dan sebenarnya hal itu tidak disukai sebagai bahan cerita.” (Fath Al-Bari, 11: 306-307)
Imam Nawawi menyatakan,
الْخَوْض فِي أَخْبَار النَّاس ، وَحِكَايَات مَا لَا يَعْنِي مِنْ أَحْوَالهمْ وَتَصَرُّفَاتهمْ
“Yang dimaksud adalah menceburkan diri dalam berita-berita yang dibicarakan orang, dalam hal yang tidak manfaat yang membicarakan aktivitas atau gerak-gerik orang lain.” (Syarh Shahih Muslim, 12: 11)
Larangan ini sama dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan hal yang diharamkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
Di antara tanda kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976. Imam Nawawi menghasankan hadits ini dalam Al-Arba’in An-Nawawiyah)

Banyak Bertanya
Yang dimaksud adalah banyak bertanya pada sesuatu yang tidak terjadi atau sesuatu yang tidak dibutuhkan.
Juga bisa bermakna, sual yang dimaksud dalam hadits adalah meminta-minta atau mengemis. Sehingga maknanya adalah dilarang meminta-minta atau mengemis harta orang lain. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 12: 11)
Perlu diketahui bahwa profesi pengemis benar-benar dicela dalam berbagai hadits.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040)
Dari Hubsyi bin Junadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ
Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad 4: 165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)
Dari Samurah bin Jundub, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri kecuali jika ia meminta-minta pada penguasa atau pada perkara yang benar-benar ia butuh.” (HR. An-Nasa’i no. 2600, Tirmidzi no. 681, dan Ahmad 5: 19. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Intinya, sebagaimana kata Imam Al-Qurthubi yang dimaksud dengan kats-ratu as-sual adalah:
·         Banyak mengemis harta.
·         Banyak bertanya masalah fikih pada hal yang belum terjadi. Dulu para ulama tidak menyukai hal ini dan mereka menganggap hal itu tidak menyusah-nyusahkan diri.
·         Banyak bertanya yang tidak manfaat mengenai keadaan orang lain yang tujuannya hanya ingin mengorek aib orang lain dan menelusuri kejelekannya.
Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa seluruh makna tersebut bisa dipakai. (Al-Mufhim li Maa Asykala min Talkhis Kitab Muslim, 5: 164, dinukil dari Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 21: 132)

Menghamburkan Harta
Allah Ta’ala berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Yang dimaksud dengan idha’ah al-maal (menghamburkan harta) adalah menyalurkan harta bukan pada jalan yang syar’i dan tujuannya adalah untuk memusnahkan harta. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 12: 11)
Menghamburkan harta dilarang baik pada harta yang jumlahnya sedikit atau banyak. Karena harta disebut maal, maksudnya adalah sesuatu yang dimiliki. Jika yang dimiliki adalah sesuatu yang nilainya hanya satu dirham, maka tidak boleh dibuang begitu saja di tengah lautan. Menghamburkan seperti itu diharamkan.
Termasuk pula dalam idha’atul adalah jika harta semacam itu dilarang disalurkan untuk jalan kebaikan, atau malah disalurkan untuk maksiat pada Allah. Hal semacam ini tidak ada khilaf (selisih pendapat) di kalangan para ulama. (Demikian perkataan Imam Al-Qurthubi dalam Al-Mufhim li Maa Asykala min Talkhis Kitab Muslim, 5: 164, dinukil dari Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 21: 134)
Naskah Khutbah Jumat, 13 Dzulqa’dah 1436 H di Masjid Jami’ Al-Adha Pesantren Darush Sholihin

Kamis, 23 Juli 2015

                 Baju Baru Mas










Masku ribut lagi ! Apa pasal? Beliau tidak punya baju yang bisa dipakai ke tempat kerja pagi ini. Baju kemarin
sudah asam bau keringat, dan sudah ku taruh di keranjang cucian kotor. Baju yang kemarinnya lagi saat ini
sedang kubilas. Sedang baju yang seharusnya sudah bisa dipakai masih bertengger di jemuran basah, karena
memang sudah tiga hari ini hujan turun terus menerus. Kalau sudah begini, akulah yang tergopoh-gopoh. Ku
ambil baju lembab tersebut dari jemuran, lalu kusetrika sampai asapnya mengepul-ngepul darinya.
"Sabar ya, Mas..Sebenntaaar lagi.."kataku menenangkan suamiku yang sedang bolak-balik bak setrikaan
yang kupegang karena tak sabar menunggu baju mengeringLima belas kemudian, bereslah. Mas sudah siap
dengan baju yang masih "hangat" dan pantalonnya, dan dengan riang seperti biasanya melangkahkan
kakinya ke tempat kerja.
Begitulah! Suamiku memang cuma punya 3 lembar kemeja dan 2 pantalon yang layak dipakai ke tempat kerja.
Sisanya kaus oblong cap angsa, sarung, serta celana training. Bukannya aku tidak memperhatikan
kesejahteraan suami. Aku sendiri ikut prihatin melihat inventarisasi pakaian mas. Kalau tak salah sudah
7 kali lebih aku sisakan anggaran khusus untuk membeli baju baru buat Mas.
Yang pertama, Mas sendiri yang mengambilnya, karena beliau butuh untuk tambahan ongkos ke luar kota.
Yang kedua, kala itu aku sudah bersiap keluar , ketika Lik Giman-tukang sayur langganan kami- datang dan
bilang istrinya harus operasi cesar untuk melahirkan anak mereka. Hubungan Mas dengan orang-orang kecil
seperti Lik Giman memang akrab ( sampai aku bingung sendiri, apa resepnya?), sehingga mereka tidak
sungkan-sungkan minta pertolongan ke keluarga kami. Melihat urusan Lik Giman lebih urgen dari pada baju
baru buat Mas, kami menunda beli baju baru itu. Malah patungan dengan beberapa kawan untuk
bersama-sama membiayai ongkos operasi tersebut. Yang ketiga, keempat, dan selanjutnya saatku sudah tak
ingat lagi karena saking seringnya acara tidak jadi membeli itu terjadi. Tapi yang terakhir adalah paling
kuingat. Waktu itu aku sudah sampai di toko baju. Dan ketika aku hendak membayar di depan kasir, baru
kusadari tasku dirobek copet. Hilanglah dompet dan segala isinya...

Alhamdulillah satu tulisan ku dimuat di majalah. Dan ini tambahan rizki buat keluarga kami. Setelah
kuhitung-hitung anggaran bulan ini, ada sisa buat anggaran baju dan pantalon baru mas. Kusimpan dalam
amplop, dan kuberi judul besar-besar agar mudah mengambilnya. Dan kuminta pada Mas untuk membelinya
dalam minggu ini juga. Agar bisa cepat memperoleh baju dan pantalon baru, juga agar tidak "keduluan"
keperluan yang lain.
Lalu jadilah, hari Ahad pagi, aku, Mas dan anak-anak kami Fitri dan Umar, berencana pergi berbelanja
sekalian rekreasi. Tetapi ketika aku sedang memakaikan Fitri jilbab kecilnya kudengar pintu diketuk orang. Mas
yang membukakan. Lalu..
"Dek Asri ! Ada Tari dan kawan-kawan, nih.."
Aku yang mendengar itu berpikir sejenak. Rasa-rasanya aku tak ada janji dengan mereka...Kutemui Tari, Keke,
dan Lia, adik-adik kelasku di kampus. Sementara Mas berlalu ke belakang bersama Umar dan Fitri. Ketika
kulihat wajah-wajah mereka, kutahu ada persoalan yang cukup serius. Maka kutunda kepergianku bersama
Mas dan anak-anak. "Mas, Mas pergi sendiri saja, ya? Sama Fitri juga boleh. Atau kalau nggak
kerepotan sama Umar juga nggak papa.."kataku ketika menemui Mas di belakang sambil membuat minuman.
"Hem..Memang ada persoalan serius?"Mas bertanya padaku sambil mengajak Umar bercanda.
"Sepertinya..."
Aku mengangguk.
"Yah, sudah kalau begitu. Kita pergi bertiga aja, ya, Fitri...
Malah enak nggak ada ibu...."Mas tidak melanjutkan ucapannya ketika melihatku
merengut mendengar gurauannya.
"Nnng, nggak deng...Nggak enak nggak sama ibu ya, Fit? Sepi.."
sambungnya. Aku tersenyum.
"Tapi ingat, ya, Mas. Ini uang buat baju dan pantalonnya. Insya Allah,
sudah Dek Asri hitung dan cukup untuk membeli 2 kemeja dan 1 pantalon bermutu bagus. Jangan dibelikan
yang murahan. Cepet rusak soalnya..."pesanku wantiwanti.
Mas cuma mengangguk-angguk. Walaupun aku sangsi, Mas mendengarkan dengan sungguh-sungguh atau
tidak yang aku pesankan. Dan setelah berpesan pada Fitri agar menurut apa yang dikatakan ayahnya selama
berbelanja, dan memakaikan Umar yang sedang digendong Mas topi, aku membawa minuman ke depan dan
tak lama diikuti oleh Mas, Fitri, dan Umar.
Fitri mencium tanganku dan tangan adik-aduk kelasku. Dia memang "primadona" Semua yang datang pasti
senang memanjakannya.
"Fitri pergi dulu, ya tante-tante...Assalamu'alaikum..."pamitnya kenes.
Lalu dengan riang menyusul ayahnya yang sudah keluar lebih dahulu.

**************
Lepas Ashar, Mas, Fitri, dan Umar pulang. Kulihat Mas cukup kerepotan membawa belanjaan, menggendong
Umar, dan menggandeng Fitri.
"Sudah pulang Tari cs..?"tanya Mas padaku.
Yang kuiyakan sambil mengambil Umar yang pulas tertidur dalam gendongan Mas.
"Kecapekan.."Mas berkata sambil memandangi wajah damai Umar.
Ku bergerak menidurkan Umar di kamar anak-anak. Kulihat Fitri pun nampak mengantuk, maka kusuruh dia
untuk tidur juga. Fitri menurut, tapi tak mau melepaskan kardus besar yang sedari tadi dipeluknya.
"Ada apa, Dek..? Katanya masalahnya cukup serius..."
"Oh, Tari cs? Itu Anis-mas mungkin belum kenal-baru masuk tahun ini. Katanya harus operasi usus
buntu..Kasihan anak itu, kan baru saja masuk...Rumah orang tuanya di Surabaya lagi... Jadi Tari dkk itu
bergantian untuk menjenguknya di rumah sakit. Insya Allah, dek Asri mau menjenguknya besok. Ingin tahu
keadaannya."
Aku membukakan kaus kaki Umar dan melap keringat yang bertaburan di wajah montoknya.
"Fitri, bungkusannya ditaruh dulu, ya, Nak..."kataku melepaskan bungkusan itu dari pelukan Fitri. Entah
karena mengantuk, Fitri tidak memberontak seperti biasanya. Dia diam saat ketika kardus itu kuambil.
Hmm, balok susun. Aku membaca tulisan bahasa Inggris di kardus tersebut.
Tiba-tiba aku jadi curiga pada Mas yang masih berdiri di pintu kamar di belakang
ku. Kumenoleh pada Mas.
"Baju dan pantalonnya mana, Mas?"
Mas hanya nyengir memandangku.
"Nnng, belum sempat membeli..."katanya. "Sampai di tempat mainan, Fitri
merengek minta dibelikan balok susun itu. Mas pikir sudah lama tidak membelikan
Fitri mainan...Jadi.."
Aku memandangi Mas dengan memanyunkan bibir.
"Terus ke toko buku. Ada buku bagus yang ingin Mas baca. Juga buku bergambar buat Fitri dan Umar buat
belajar...Jadi..."
Aku tambah memanyunkan bibir.
"Lalu Mas ingat, Dek Asri sendiri selama dua tahun ini juga belum pernah membeli baju dan jilbab baru. Jadi
Mas ke tokonya Harits (seorang kawan Mas yang berwiraswasta berdagang busana muslim). Dan akhirnya
baru sadar ketika uangnya tinggal lima ribu.."
Aku melongo. Tidak tahu, apakah harus kesal atau bagaimana terhadap Mas.
Namun kurasakan ada rasa bahagia yang menyelusup, karena Mas benar-benar memikirkan kepentingan
kami, lebih dari kepentingannya sendiri. Jazakallah ya, suamiku. Semoga Allah membalas kebaikan Mas. Doaku
sambil memandangi Mas penuh terima kasih.
"Awas ya, kalau ribut-ribut baju lagi karena cuma punya baju tiga.."kataku
berpura marah. Mas cuma tertawa...



MANFAAT SILATURAHMI DI HARI RAYA IDHUL FITRI

Idul Fitri telah tiba, saatnya kita semua menyucapkan "minal aidzin walfaidzin" kepada kerabat dan keluarga dirumah. Selain itu hari raya Idul Fitri ini telah menjadi ikon dari silaturahmi bagi umat islam. Sehingga selain memiliki manfaat yang baik untuk hari kedepannya, silaturahmi dapat menyambung rejeki dan kehidupan yang baik.
Manfaat silaturahmi sendiri bagi kebanyakan orang adalah untuk mempererat tali persaudaraan dan penyambung rejeki. Sehingga tidak sedikit orang melakukan sejarah (dalam bahasa jawa) atau berkunjung ke sanak saudara masing - masing untuk mendapatkan pengampunan dosa dari segala bentuk dosa yang dilakukan.

       Terkadang di lingkungan sendiri atau kawasan keluarga sendiri silaturahmi adalah bentuk hal yang paling di minati, karena selain mendapatkan rejeki yang banyak, terikatnya tali persaudaraan, juga menjadikan manfaat bagi diri sendiri seperti bertambahnya umur atau awet muda ketika bertemu dengan saudara yang dicintai.

       Ketika ramadhan banyak orang mudik untuk mengunjungi sanak saudaranya di kampung halaman. Pada saat bulan syawal tanggal 1 yaitu Hari raya Idul Fitri, rasa kangen dan kebersamaan sangat kuat sekali, sehingga banyak manfaat dari silaturahmi yang bisa kita petik. Berikut beberapa manfaat silaturahmi yang dapat kita petik hikmahnya.

Mendapatkan Ridha dari Allah SWT
      Memang banyak manfaat yang terkandung didalam islam dari silaturahmi. Rosullullah adalah panutan sejati, ketika ingin berdakwah dan mengajarkan agama islam ke seluruh umat di dunia, beliau bersilaturahmi terlebih dahulu. Karena silaturahmi akan mendapatkan ridha dari Allah SWT.
Orang yang dikunjungi Bahagia
      Hal ini memang amat sesuai dengan sabda rosullullah SAW yaitu "amal yang paling utama adalah membuat orang berbahagia.". Sabda rosul ini memberikan inspirasi bagi sebagian besar orang. Sehingga siapapun yang bersilaturahmi saat Hari Raya Idul Fitri maka akan memberikan kebahagiaan kepada banyak orang.

Menjauhkan Diri dari Setan
Banyak orang yang tidak menyadari bahwa setan itu akan muncul dengan berbagai cara. Seperti halnya ketika tidak mau bersilaturahmi ketika hari raya idul fitri. Setan akan terus menggoda manusia yang tidak sadar dengan manfaat silaturahmi itu sendiri. Sehingga bersilaturahmi di hari raya idul fitri adalah cara yang tepat untuk menjauhkan diri dari Setan.

Memperpanjang usia

Ini adalah salah satu hal yang paling di ketahui oleh banyak orang. Memperpanjang usia dengan bersilaturahmi ini terbukti dengan baik, saat anda bersilaturahmi kepada kerabat anda, dan anda mendapatkan hal baru dan pengalaman baru, maka hidup anda akan jauh lebih baik. Hal inilah menjadi tukar dan menukar pengalaman, sehingga untuk memperpanjang usia dengan cara bersilaturahmi adalah hal yang paling baik.

Memupuk Rasa Cinta

Meningkatkan Rasa kebersamaan dan kekeluargaan dan mempererat tali persaudaraan adalah hal yang poling dapat untuk memupuk rasa cinta. Sehingga jika silarutahmi tilakukan di hari raya idul fitri maka akan mendapatkan manfaat yang begitu besar, dan rasa cinta terhadap keluarga akan sangat besar.

Rabu, 15 Juli 2015

IDUL FITRI


Idul fitri adalah hari raya umat Islam yang dirayakan pada 1 syawal setelah sebelumnya melewati madrasah ruhaniah ramadhan selama sebulan penuh. Menurut pengamatan empiris, maka kita akan sepakat bahwa semua manusia yang meyakini keEsaan Allah SWT, kenabian Muhammad SAW dan kepastian eskatologi akan merayakan idul fitri dan alunan takbir ALLAHU AKBAR akan menggema di setiap penjuru angkasa raya. Balutan busana bernuansa Islam serentak membanjiri jalan, lapangan dan mesjid-mesjid, tali silaturrahmi kembali terasa erat dan tak jarang air mata membasahi pipi saat rangkulan penuh kasih sesama umat Islam terjalin. Tidak ada yang bisa pungkiri bahwa umat nabi Muhammad SAW. telah merayakan idul fitri dan menegaskan bahwa salah satu sunnah beliau masih terjaga. Namun ketika kita melepaskan pandangan empiris kita dan menutup mata sejenak sambil merenungi hakikat idul fitri maka pertanyaan mendasar muncul dari dalam jiwa dan keluar bersama helaan nafas, “Adakah kita termasuk dari mereka yang benar-benar memanifestasikan hakikat idul fitri sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT yang disampaikan kepada kita melalui kekasihnya nabi Muhammad SAW? ataukah kita adalah umat yang secara praktis mewarisi budaya idul fitri namun nilai-nilainya sangat jauh dari sebenarnya.” Untuk itu mari kita secara bersama-sama melihat idul fitri itu sebenarnya seperti apa.

Makna Idul Fitri
Ada tiga pengertian tentang idul fitri. Di kalangan ulama ada yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama bulan Ramadhan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani dan ruhaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, maka memasuki hari lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin.
Ada yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada fitrah atau naluri religius. Hal ini sesuai dengan Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya.
Adapula yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada keadaan dimana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum di siang hari seperti biasa.
Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki idul fitri umat Islam diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri manusia religius adalah memiliki kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam surah Al-Ma’un ayat 1-3 disebutkan bahwa, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong mereka memberi makan orang miskin.” Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan representasi dari kaum yang sengsara.
Oleh karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu, wajib memberikan zakat fitrah kepada kaum fakir miskin, pemberian zakat tersebut paling lambat sebelum pelaksanaan shalat idul fitri. Aturan ini dimaksudkan agar pada waktu umat Islam yang mampu bergembira ria merayakan idul fitri, orang-orang miskin pun dapat merasakan hal yang sama.
Agama Islam sangat menekankan harmonisasi hubungan antara si kaya dan si miskin. Orang-orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta) untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin. Dan dapat dilihat dari ayat di atas bagaimana penekanan untuk menghindari adanya kesenjangan sosial, dimana ketika menyebutkan anak yatim dan orang miskin. Dapat dilihat bahwa anak yatim dan orang miskin tidak hanya untuk orang Islam tapi seluruh manusia yang menyandang yatim dan kemiskinan.
Dari uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa idul fitri merupakan puncak dari suatu metode pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang suci lahir batin, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial yang harmonis.

Apa Yang Tertinggal Setelah Idul Fitri Berlalu
Seiring hari-hari yang bergerak kian ke depan, suasana Idul Fitri semakin memudar dari kehidupan kita. Simbol-simbol lebaran dan ramadhan yang beberapa waktu lalu digembar-gemborkan, dikibar-kibarkan demikian kencang diberbagai media baik cetak maupun elektronik kini satu-persatu mulai raib. Tetapi adakah spirit ramadhan dan idul fitri tetap tegar menggaung di lubuk jiwa kita?. Kita bergegas, ranah-ranah kebudayaan bergegas, pasar bergegas, budaya pop kita bergegas memburu sesuatu yang lebih baru, tersedot oleh segala yang lebih segar, trendy dan top. Mungkin kita kembali kepada kesibukan kita yang dulu, problem-problem yang dulu dan juga kebiasaan-kebiasaan yang dulu, juga kriminalitas yang tetap seperti dulu.
Harus kita akui, bahwa kelemahan kita dalam masalah keberagamaan bukan sekedar tekstualisme atau skriptualisme yang sempit dan stagnan, tetapi juga momentualisme yang tidak berefek dan seremonial belaka. Selama ini ramadahan dan IdulFitri bukan menjadi berkontemplasi dengan intens dan penuh kesungguhan, tetapi kesempatan untuk berpesta simbol. Sikap seperti ini kemudian dikawinkan dengan kebiasaan yang sangat buruk. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengidap amnesia sejarah. Sebuah tragedi nasional datang hari ini, idul fitri seakan telah menjadi sesuatu yang “out of date” sehingga rasanya mungkin membosankan dan tak penting lagi. Benarkah…..?
Idul fitri secara formal memang bagian dari hukum dan ajaran agama umat Islam. Tetapi secara perenial dan estoteris ia adalah milik semua manusia. Dan saling memaafkan adalah proses menuju perdamaian dan kedamaian itu.
Memaafkan yang Tak Termaafkan
“Memaafkan (sejatinya) adalah memaafkan yang tak ter-maafkan” ujar Jacques Terrida dalam buku “On Cosmopolitanism and Forgiveness”. Bila kita memaafkan perbuatan salah orang lain yang levelnya kecil, maka itu adalah hal biasa.
Tetapi bila kita sanggup memaafkan perbuatan manusia bahkan yang paling kejam dan tak ter-ampunkan kepada kita, maka disinilah sesungguhnya makna memaafkan yang hakiki, yang benar-benar menantang sejauh mana keluasan hati kita untuk keluar dari luka sejarah, baik pribadi ataupun kolektif. Dengan tradisi saling memaafkan, kita mungkin selesai dan clear dalam persoalan-persoalan personal, tetapi selesai jugakah kita dalam problem-problem struktural? Misalnya, konflik etnis dan konflik horizontal antar-agama di Poso. Bila dihitung dengan logika ‘untung-rugi’, rasanya sulit—apalagi seandainya kita menjadi orang yang terlibat dalam konflik-konflik itu, untuk memaafkan berbagai perbuatan kejam dan tak manusiawi yang menimpa kita. Tetapi, bisakah—dengan ‘kegilaan’ dan keluasan hati kita melupakan luka sejarah yang teramat pahit itu?
Memaafkan adalah suatu hal yang melampaui keadilan. Keadilan dalam arti tertentu menuntut suatu pembalasan atau hukuman yang (dianggap) setimpal dengan perbuatan melanggar etika sang pelaku kejahatan. Hukuman itu biasanya dimaksudkan untuk kejeraan si pelaku. Dapat dikatakan, hukuman yang setimpal adalah syarat dari keadilan. Tetapi hukuman dari memaafkan adalah ‘hukuman yang bijak’ yang membuat si pelaku menjadi malu untuk mengulangi kejahatan serupa. Dengan memaafkan nurani pelaku—yang menghukum dirinya sendiri itu, akan berdaya telak berkali lipat. Tidakkah justru ini hakikat hukuman dan keadilan yang sesungguhnya?
Memaafkan pun membutuhkan suatu keahlian untuk ‘melupakan’, tetapi tentunya bukan ‘lupa’ dalam artian keliru. Melupakan di sini berarti melupakan semua kesalahan orang lain, dan memandang hari esok adalah hari baru yang terbebas dari jejak masa lampau yang buruk.
Tidak mungkinkah hal ini diaplikasikan pada ranah kehidupan yang lebih besar lagi? Misalnya memaafkan dalam konteks konflik politik regional, atau bahkan mungkin konflik politik global. Konflik-konflik dunia yang bekepanjangan—sehingga menjadi labirin konflik, menunjukkan bahwa manusia sangat lemah untuk memaafkan. Kelihatannya utopis, memang. Tetapi bukankah filsuf Jerman, Ernst Broch mengatakan bahwa hakikat utopia adalah “the not-yet ontology”, yakni suatu bentuk ontologi yang belum ada, tetapi ia sangat mungkin untuk ada? Mungkin proses kolosal memaafkan akan kita mulai dengan suatu awalan yang amat puitis dan terkesan amat aneh; memaafkan adalah ketika kita bangun tidur dan mendapati hidup serta dunia seakan-akan baru saja dimulai. Tak ada masa lalu, tak ada sejarah, tak ada hasrat untuk menjajah yang lain, tak ada hasrat untuk memperumit perseteruan. Percayalah, bahwa segala yang bisa diharapkan, bisa terjadi. Seberapa utopis pun itu.
Saatnya kita memilih, apakah momentum ritual keberagamaan akan kita posisikan semata sebagai momentum atau seremoni ataukah kita ingin sungguh-sungguh menjadikannya sebagai kaldera waktu dimana kita akan meraih kekuatan untuk menjadikannya sebagai spirit baru untuk meraih hari esok yang cerah yakni dunia yang damai dan merdeka dari luka sejarah.
Dengan spirit perdamaian dan etos memaafkan yang sungguh-sungguh diterapkan sebagai prinsip fundamental dalam paradigma setiap lini kebudayaan kita, perdamaian dunia niscaya bukan angan-angan lagi. Waktu kosmologis kita mungkin telah melaju meningalkan 1 Syawal. Tetapi waktu spiritual kita selalu berporos kepadanya. Hati kita ber-Idul Fitri setiap saat. Semoga.
Mari kita telaah bersama sebuah kisah dari Ali bin Abi Thalib kw,
Dalam suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib kw. Didapatinya, Ali sedang memakan roti keras. Lalu orang itu berkata : “Dalam suasana hari raya engkau memakan roti keras ? ” Ali, tokoh ilmuan di zaman Rasulullah ini menjawab,
“Hari ini adalah Id orang yang diterima puasanya, disyukuri usahanya dan diampuni dosanya. Hari ini Id bagi kami, demikian juga esok, malah setiap hari yang engkau tidak membuat durhaka kepada Allah, itu menurut pandangan kami adalah Id.”
Jadi menurut ayah dari dua cucu kesayangan Nabiullah Muhammad SAW ini, setiap hari yang dilalui dapat diisi dengan ketaatan kepada Allah dan menjauhi dosa maka ia merupakan hari kegembiraan, Id yang bukan Idul Fitri dan Idul Adha. Dengan kata lain, kilah Allahuma Yarham Nawawi Dusky dalam tulisannya ‘Falsafah Idul Fitri’ : “Idul Fitri adalah manifestasi kesanggupan pribadi Mukmin untuk mentaati Allah dengan berpuasa siang dan beribadah malam hari.” Kemampuan demikian disambut dengan kegembiraan Id. Sehingga ada seorang ahli hikmah bertutur : “Hari demi hari mendatang merupakan lembaran hidup yang bersih, maka abdikanlah dia dengan amal karya yang indah.”
Jadi adakah idul fitri yang kita lakoni ini bukan hanya sekedar rutinitas tahunan saja dan adakah sesuatu yang membekas di jiwa setelahnya?
Adakah kita termasuk orang yang pantas merayakan Idul Fitri atau kita hanyalah orang-orang yang merasa pantas untuk itu? Dan jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

ID 1