InspirasI

Rabu, 15 Juli 2015

IDUL FITRI


Idul fitri adalah hari raya umat Islam yang dirayakan pada 1 syawal setelah sebelumnya melewati madrasah ruhaniah ramadhan selama sebulan penuh. Menurut pengamatan empiris, maka kita akan sepakat bahwa semua manusia yang meyakini keEsaan Allah SWT, kenabian Muhammad SAW dan kepastian eskatologi akan merayakan idul fitri dan alunan takbir ALLAHU AKBAR akan menggema di setiap penjuru angkasa raya. Balutan busana bernuansa Islam serentak membanjiri jalan, lapangan dan mesjid-mesjid, tali silaturrahmi kembali terasa erat dan tak jarang air mata membasahi pipi saat rangkulan penuh kasih sesama umat Islam terjalin. Tidak ada yang bisa pungkiri bahwa umat nabi Muhammad SAW. telah merayakan idul fitri dan menegaskan bahwa salah satu sunnah beliau masih terjaga. Namun ketika kita melepaskan pandangan empiris kita dan menutup mata sejenak sambil merenungi hakikat idul fitri maka pertanyaan mendasar muncul dari dalam jiwa dan keluar bersama helaan nafas, “Adakah kita termasuk dari mereka yang benar-benar memanifestasikan hakikat idul fitri sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT yang disampaikan kepada kita melalui kekasihnya nabi Muhammad SAW? ataukah kita adalah umat yang secara praktis mewarisi budaya idul fitri namun nilai-nilainya sangat jauh dari sebenarnya.” Untuk itu mari kita secara bersama-sama melihat idul fitri itu sebenarnya seperti apa.

Makna Idul Fitri
Ada tiga pengertian tentang idul fitri. Di kalangan ulama ada yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama bulan Ramadhan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani dan ruhaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, maka memasuki hari lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin.
Ada yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada fitrah atau naluri religius. Hal ini sesuai dengan Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya.
Adapula yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada keadaan dimana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum di siang hari seperti biasa.
Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki idul fitri umat Islam diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri manusia religius adalah memiliki kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam surah Al-Ma’un ayat 1-3 disebutkan bahwa, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong mereka memberi makan orang miskin.” Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan representasi dari kaum yang sengsara.
Oleh karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu, wajib memberikan zakat fitrah kepada kaum fakir miskin, pemberian zakat tersebut paling lambat sebelum pelaksanaan shalat idul fitri. Aturan ini dimaksudkan agar pada waktu umat Islam yang mampu bergembira ria merayakan idul fitri, orang-orang miskin pun dapat merasakan hal yang sama.
Agama Islam sangat menekankan harmonisasi hubungan antara si kaya dan si miskin. Orang-orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta) untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin. Dan dapat dilihat dari ayat di atas bagaimana penekanan untuk menghindari adanya kesenjangan sosial, dimana ketika menyebutkan anak yatim dan orang miskin. Dapat dilihat bahwa anak yatim dan orang miskin tidak hanya untuk orang Islam tapi seluruh manusia yang menyandang yatim dan kemiskinan.
Dari uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa idul fitri merupakan puncak dari suatu metode pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang suci lahir batin, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial yang harmonis.

Apa Yang Tertinggal Setelah Idul Fitri Berlalu
Seiring hari-hari yang bergerak kian ke depan, suasana Idul Fitri semakin memudar dari kehidupan kita. Simbol-simbol lebaran dan ramadhan yang beberapa waktu lalu digembar-gemborkan, dikibar-kibarkan demikian kencang diberbagai media baik cetak maupun elektronik kini satu-persatu mulai raib. Tetapi adakah spirit ramadhan dan idul fitri tetap tegar menggaung di lubuk jiwa kita?. Kita bergegas, ranah-ranah kebudayaan bergegas, pasar bergegas, budaya pop kita bergegas memburu sesuatu yang lebih baru, tersedot oleh segala yang lebih segar, trendy dan top. Mungkin kita kembali kepada kesibukan kita yang dulu, problem-problem yang dulu dan juga kebiasaan-kebiasaan yang dulu, juga kriminalitas yang tetap seperti dulu.
Harus kita akui, bahwa kelemahan kita dalam masalah keberagamaan bukan sekedar tekstualisme atau skriptualisme yang sempit dan stagnan, tetapi juga momentualisme yang tidak berefek dan seremonial belaka. Selama ini ramadahan dan IdulFitri bukan menjadi berkontemplasi dengan intens dan penuh kesungguhan, tetapi kesempatan untuk berpesta simbol. Sikap seperti ini kemudian dikawinkan dengan kebiasaan yang sangat buruk. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengidap amnesia sejarah. Sebuah tragedi nasional datang hari ini, idul fitri seakan telah menjadi sesuatu yang “out of date” sehingga rasanya mungkin membosankan dan tak penting lagi. Benarkah…..?
Idul fitri secara formal memang bagian dari hukum dan ajaran agama umat Islam. Tetapi secara perenial dan estoteris ia adalah milik semua manusia. Dan saling memaafkan adalah proses menuju perdamaian dan kedamaian itu.
Memaafkan yang Tak Termaafkan
“Memaafkan (sejatinya) adalah memaafkan yang tak ter-maafkan” ujar Jacques Terrida dalam buku “On Cosmopolitanism and Forgiveness”. Bila kita memaafkan perbuatan salah orang lain yang levelnya kecil, maka itu adalah hal biasa.
Tetapi bila kita sanggup memaafkan perbuatan manusia bahkan yang paling kejam dan tak ter-ampunkan kepada kita, maka disinilah sesungguhnya makna memaafkan yang hakiki, yang benar-benar menantang sejauh mana keluasan hati kita untuk keluar dari luka sejarah, baik pribadi ataupun kolektif. Dengan tradisi saling memaafkan, kita mungkin selesai dan clear dalam persoalan-persoalan personal, tetapi selesai jugakah kita dalam problem-problem struktural? Misalnya, konflik etnis dan konflik horizontal antar-agama di Poso. Bila dihitung dengan logika ‘untung-rugi’, rasanya sulit—apalagi seandainya kita menjadi orang yang terlibat dalam konflik-konflik itu, untuk memaafkan berbagai perbuatan kejam dan tak manusiawi yang menimpa kita. Tetapi, bisakah—dengan ‘kegilaan’ dan keluasan hati kita melupakan luka sejarah yang teramat pahit itu?
Memaafkan adalah suatu hal yang melampaui keadilan. Keadilan dalam arti tertentu menuntut suatu pembalasan atau hukuman yang (dianggap) setimpal dengan perbuatan melanggar etika sang pelaku kejahatan. Hukuman itu biasanya dimaksudkan untuk kejeraan si pelaku. Dapat dikatakan, hukuman yang setimpal adalah syarat dari keadilan. Tetapi hukuman dari memaafkan adalah ‘hukuman yang bijak’ yang membuat si pelaku menjadi malu untuk mengulangi kejahatan serupa. Dengan memaafkan nurani pelaku—yang menghukum dirinya sendiri itu, akan berdaya telak berkali lipat. Tidakkah justru ini hakikat hukuman dan keadilan yang sesungguhnya?
Memaafkan pun membutuhkan suatu keahlian untuk ‘melupakan’, tetapi tentunya bukan ‘lupa’ dalam artian keliru. Melupakan di sini berarti melupakan semua kesalahan orang lain, dan memandang hari esok adalah hari baru yang terbebas dari jejak masa lampau yang buruk.
Tidak mungkinkah hal ini diaplikasikan pada ranah kehidupan yang lebih besar lagi? Misalnya memaafkan dalam konteks konflik politik regional, atau bahkan mungkin konflik politik global. Konflik-konflik dunia yang bekepanjangan—sehingga menjadi labirin konflik, menunjukkan bahwa manusia sangat lemah untuk memaafkan. Kelihatannya utopis, memang. Tetapi bukankah filsuf Jerman, Ernst Broch mengatakan bahwa hakikat utopia adalah “the not-yet ontology”, yakni suatu bentuk ontologi yang belum ada, tetapi ia sangat mungkin untuk ada? Mungkin proses kolosal memaafkan akan kita mulai dengan suatu awalan yang amat puitis dan terkesan amat aneh; memaafkan adalah ketika kita bangun tidur dan mendapati hidup serta dunia seakan-akan baru saja dimulai. Tak ada masa lalu, tak ada sejarah, tak ada hasrat untuk menjajah yang lain, tak ada hasrat untuk memperumit perseteruan. Percayalah, bahwa segala yang bisa diharapkan, bisa terjadi. Seberapa utopis pun itu.
Saatnya kita memilih, apakah momentum ritual keberagamaan akan kita posisikan semata sebagai momentum atau seremoni ataukah kita ingin sungguh-sungguh menjadikannya sebagai kaldera waktu dimana kita akan meraih kekuatan untuk menjadikannya sebagai spirit baru untuk meraih hari esok yang cerah yakni dunia yang damai dan merdeka dari luka sejarah.
Dengan spirit perdamaian dan etos memaafkan yang sungguh-sungguh diterapkan sebagai prinsip fundamental dalam paradigma setiap lini kebudayaan kita, perdamaian dunia niscaya bukan angan-angan lagi. Waktu kosmologis kita mungkin telah melaju meningalkan 1 Syawal. Tetapi waktu spiritual kita selalu berporos kepadanya. Hati kita ber-Idul Fitri setiap saat. Semoga.
Mari kita telaah bersama sebuah kisah dari Ali bin Abi Thalib kw,
Dalam suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib kw. Didapatinya, Ali sedang memakan roti keras. Lalu orang itu berkata : “Dalam suasana hari raya engkau memakan roti keras ? ” Ali, tokoh ilmuan di zaman Rasulullah ini menjawab,
“Hari ini adalah Id orang yang diterima puasanya, disyukuri usahanya dan diampuni dosanya. Hari ini Id bagi kami, demikian juga esok, malah setiap hari yang engkau tidak membuat durhaka kepada Allah, itu menurut pandangan kami adalah Id.”
Jadi menurut ayah dari dua cucu kesayangan Nabiullah Muhammad SAW ini, setiap hari yang dilalui dapat diisi dengan ketaatan kepada Allah dan menjauhi dosa maka ia merupakan hari kegembiraan, Id yang bukan Idul Fitri dan Idul Adha. Dengan kata lain, kilah Allahuma Yarham Nawawi Dusky dalam tulisannya ‘Falsafah Idul Fitri’ : “Idul Fitri adalah manifestasi kesanggupan pribadi Mukmin untuk mentaati Allah dengan berpuasa siang dan beribadah malam hari.” Kemampuan demikian disambut dengan kegembiraan Id. Sehingga ada seorang ahli hikmah bertutur : “Hari demi hari mendatang merupakan lembaran hidup yang bersih, maka abdikanlah dia dengan amal karya yang indah.”
Jadi adakah idul fitri yang kita lakoni ini bukan hanya sekedar rutinitas tahunan saja dan adakah sesuatu yang membekas di jiwa setelahnya?
Adakah kita termasuk orang yang pantas merayakan Idul Fitri atau kita hanyalah orang-orang yang merasa pantas untuk itu? Dan jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

Tidak ada komentar: