IDUL FITRI
Idul fitri adalah hari raya umat Islam yang dirayakan pada 1 syawal setelah
sebelumnya melewati madrasah ruhaniah ramadhan selama sebulan penuh. Menurut
pengamatan empiris, maka kita akan sepakat bahwa semua manusia yang meyakini
keEsaan Allah SWT, kenabian Muhammad SAW dan kepastian eskatologi akan
merayakan idul fitri dan alunan takbir ALLAHU AKBAR akan menggema di setiap
penjuru angkasa raya. Balutan busana bernuansa Islam serentak membanjiri jalan,
lapangan dan mesjid-mesjid, tali silaturrahmi kembali terasa erat dan tak
jarang air mata membasahi pipi saat rangkulan penuh kasih sesama umat Islam
terjalin. Tidak ada yang bisa pungkiri bahwa umat nabi Muhammad SAW. telah
merayakan idul fitri dan menegaskan bahwa salah satu sunnah beliau masih
terjaga. Namun ketika kita melepaskan pandangan empiris kita dan menutup mata
sejenak sambil merenungi hakikat idul fitri maka pertanyaan mendasar muncul
dari dalam jiwa dan keluar bersama helaan nafas, “Adakah kita termasuk dari
mereka yang benar-benar memanifestasikan hakikat idul fitri sebagaimana yang
dikehendaki Allah SWT yang disampaikan kepada kita melalui kekasihnya nabi
Muhammad SAW? ataukah kita adalah umat yang secara praktis mewarisi budaya idul
fitri namun nilai-nilainya sangat jauh dari sebenarnya.” Untuk itu mari kita
secara bersama-sama melihat idul fitri itu sebenarnya seperti apa.
Makna Idul Fitri
Ada tiga pengertian tentang idul fitri. Di kalangan ulama ada yang
mengartikan idul fitri dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama
bulan Ramadhan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani dan ruhaninya, dan
dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, maka memasuki hari
lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin.
Ada yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada fitrah atau
naluri religius. Hal ini sesuai dengan Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183,
bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang yang takwa
atau meningkat kualitas religiusitasnya.
Adapula yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada keadaan
dimana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum di siang hari seperti
biasa.
Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki
idul fitri umat Islam diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat
kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri manusia religius adalah memiliki
kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam surah Al-Ma’un ayat 1-3
disebutkan bahwa, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, maka itulah
orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong mereka memberi makan
orang miskin.” Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan representasi dari
kaum yang sengsara.
Oleh karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu,
wajib memberikan zakat fitrah kepada kaum fakir miskin, pemberian zakat
tersebut paling lambat sebelum pelaksanaan shalat idul fitri. Aturan ini
dimaksudkan agar pada waktu umat Islam yang mampu bergembira ria merayakan idul
fitri, orang-orang miskin pun dapat merasakan hal yang sama.
Agama Islam sangat menekankan harmonisasi hubungan antara si kaya
dan si miskin. Orang-orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta) untuk
dibagikan kepada kaum fakir miskin. Dan dapat dilihat dari ayat di atas
bagaimana penekanan untuk menghindari adanya kesenjangan sosial, dimana ketika
menyebutkan anak yatim dan orang miskin. Dapat dilihat bahwa anak yatim dan
orang miskin tidak hanya untuk orang Islam tapi seluruh manusia yang menyandang
yatim dan kemiskinan.
Dari uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa idul fitri merupakan
puncak dari suatu metode pendidikan mental yang
berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang suci lahir
batin, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial
yang harmonis.
Apa Yang Tertinggal Setelah Idul Fitri
Berlalu
Seiring hari-hari yang bergerak
kian ke depan, suasana Idul Fitri semakin memudar dari kehidupan kita.
Simbol-simbol lebaran dan ramadhan yang beberapa waktu lalu digembar-gemborkan,
dikibar-kibarkan demikian kencang diberbagai media baik cetak maupun elektronik
kini satu-persatu mulai raib. Tetapi adakah spirit ramadhan dan idul fitri
tetap tegar menggaung di lubuk jiwa kita?. Kita bergegas, ranah-ranah
kebudayaan bergegas, pasar bergegas, budaya pop kita bergegas memburu sesuatu
yang lebih baru, tersedot oleh segala yang lebih segar, trendy dan top. Mungkin
kita kembali kepada kesibukan kita yang dulu, problem-problem yang dulu dan
juga kebiasaan-kebiasaan yang dulu, juga kriminalitas yang tetap seperti dulu.
Harus kita akui, bahwa kelemahan kita dalam masalah keberagamaan
bukan sekedar tekstualisme atau skriptualisme yang sempit dan stagnan, tetapi
juga momentualisme yang tidak berefek dan seremonial belaka. Selama ini
ramadahan dan IdulFitri bukan menjadi berkontemplasi dengan intens dan penuh
kesungguhan, tetapi kesempatan untuk berpesta simbol. Sikap seperti ini
kemudian dikawinkan dengan kebiasaan yang sangat buruk. Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang mengidap amnesia sejarah. Sebuah tragedi nasional datang
hari ini, idul fitri seakan telah menjadi sesuatu yang “out of date” sehingga
rasanya mungkin membosankan dan tak
penting lagi. Benarkah…..?
Idul fitri secara formal memang bagian dari hukum dan ajaran agama
umat Islam. Tetapi secara perenial dan estoteris ia adalah milik semua manusia.
Dan saling memaafkan adalah proses menuju perdamaian dan kedamaian itu.
Memaafkan yang Tak Termaafkan
“Memaafkan (sejatinya) adalah memaafkan yang tak ter-maafkan” ujar
Jacques Terrida dalam buku “On Cosmopolitanism and Forgiveness”. Bila kita
memaafkan perbuatan salah orang lain yang levelnya kecil, maka itu adalah hal
biasa.
Tetapi bila kita sanggup memaafkan perbuatan manusia bahkan yang paling
kejam dan tak ter-ampunkan kepada kita, maka disinilah sesungguhnya makna
memaafkan yang hakiki, yang benar-benar menantang sejauh mana keluasan hati
kita untuk keluar dari luka sejarah, baik pribadi ataupun kolektif. Dengan
tradisi saling memaafkan, kita mungkin selesai dan clear dalam persoalan-persoalan
personal, tetapi selesai jugakah kita dalam problem-problem struktural?
Misalnya, konflik etnis dan konflik horizontal antar-agama di Poso. Bila
dihitung dengan logika ‘untung-rugi’, rasanya sulit—apalagi seandainya kita
menjadi orang yang terlibat dalam konflik-konflik itu, untuk memaafkan berbagai
perbuatan kejam dan tak manusiawi yang menimpa kita. Tetapi, bisakah—dengan
‘kegilaan’ dan keluasan hati kita melupakan luka sejarah yang teramat pahit
itu?
Memaafkan adalah suatu hal yang melampaui
keadilan. Keadilan dalam arti tertentu menuntut suatu pembalasan atau hukuman
yang (dianggap) setimpal dengan perbuatan melanggar etika sang pelaku
kejahatan. Hukuman itu biasanya dimaksudkan untuk kejeraan si pelaku. Dapat
dikatakan, hukuman yang setimpal adalah syarat dari keadilan. Tetapi hukuman
dari memaafkan adalah ‘hukuman yang bijak’ yang membuat si pelaku menjadi malu
untuk mengulangi kejahatan serupa. Dengan memaafkan nurani pelaku—yang
menghukum dirinya sendiri itu, akan berdaya telak berkali lipat. Tidakkah
justru ini hakikat hukuman dan keadilan yang sesungguhnya?
Memaafkan pun membutuhkan suatu keahlian untuk ‘melupakan’, tetapi
tentunya bukan ‘lupa’ dalam artian keliru. Melupakan di sini berarti melupakan
semua kesalahan orang lain, dan memandang hari esok adalah hari baru yang
terbebas dari jejak masa lampau yang buruk.
Tidak mungkinkah hal ini diaplikasikan pada ranah kehidupan yang
lebih besar lagi? Misalnya memaafkan dalam konteks konflik politik regional,
atau bahkan mungkin konflik politik global. Konflik-konflik dunia yang
bekepanjangan—sehingga menjadi labirin konflik, menunjukkan bahwa manusia
sangat lemah untuk memaafkan. Kelihatannya utopis, memang. Tetapi bukankah
filsuf Jerman, Ernst Broch mengatakan bahwa hakikat utopia adalah “the not-yet
ontology”, yakni suatu bentuk ontologi yang belum ada, tetapi ia sangat mungkin
untuk ada? Mungkin proses kolosal memaafkan akan kita mulai dengan suatu awalan
yang amat puitis dan terkesan amat aneh; memaafkan adalah ketika kita bangun
tidur dan mendapati hidup serta dunia seakan-akan baru saja dimulai. Tak ada
masa lalu, tak ada sejarah, tak ada hasrat untuk menjajah yang lain, tak ada
hasrat untuk memperumit perseteruan. Percayalah, bahwa segala yang bisa
diharapkan, bisa terjadi. Seberapa utopis pun itu.
Saatnya kita memilih, apakah momentum ritual keberagamaan akan
kita posisikan semata sebagai momentum atau seremoni ataukah kita ingin
sungguh-sungguh menjadikannya sebagai kaldera waktu dimana kita akan meraih
kekuatan untuk menjadikannya sebagai spirit baru untuk meraih hari esok yang
cerah yakni dunia yang damai dan merdeka dari luka sejarah.
Dengan spirit perdamaian dan etos memaafkan yang sungguh-sungguh
diterapkan sebagai prinsip fundamental dalam paradigma setiap lini kebudayaan
kita, perdamaian dunia niscaya bukan angan-angan lagi. Waktu kosmologis kita
mungkin telah melaju meningalkan 1 Syawal. Tetapi waktu spiritual kita selalu
berporos kepadanya. Hati kita ber-Idul Fitri setiap saat. Semoga.
Mari kita telaah bersama sebuah
kisah dari Ali bin Abi Thalib kw,
Dalam suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Ali bin
Abi Thalib kw. Didapatinya, Ali sedang memakan roti keras. Lalu orang itu
berkata : “Dalam suasana hari raya engkau memakan roti keras ? ” Ali, tokoh
ilmuan di zaman Rasulullah ini menjawab,
“Hari ini adalah Id orang yang diterima puasanya, disyukuri
usahanya dan diampuni dosanya. Hari ini Id bagi kami, demikian juga esok, malah
setiap hari yang engkau tidak membuat durhaka kepada Allah, itu menurut
pandangan kami adalah Id.”
Jadi menurut ayah dari dua cucu kesayangan Nabiullah
Muhammad SAW ini, setiap hari yang dilalui dapat diisi dengan ketaatan kepada
Allah dan menjauhi dosa maka ia merupakan hari kegembiraan, Id yang bukan Idul
Fitri dan Idul Adha. Dengan kata lain, kilah Allahuma Yarham Nawawi Dusky dalam
tulisannya ‘Falsafah Idul Fitri’ : “Idul Fitri adalah manifestasi kesanggupan
pribadi Mukmin untuk mentaati Allah dengan berpuasa siang dan beribadah malam
hari.” Kemampuan demikian disambut dengan kegembiraan Id. Sehingga ada seorang
ahli hikmah bertutur : “Hari demi hari mendatang merupakan lembaran hidup yang
bersih, maka abdikanlah dia dengan amal karya yang indah.”
Jadi adakah idul fitri yang kita lakoni ini bukan hanya sekedar
rutinitas tahunan saja dan adakah sesuatu yang membekas di jiwa setelahnya?
Adakah kita termasuk orang yang pantas merayakan Idul Fitri atau
kita hanyalah orang-orang yang merasa pantas untuk itu? Dan jawabannya ada pada
diri kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar