Khadijah Memang Wanita Istimewa
DUA
PERTIGA (2/3) wilayah Makkah adalah milik Siti Khadijah, istri pertama
Rasulullah SAW. Ia wanita bangsawan yang menyandang kemuliaan dan kelimpahan
harta kekayaan. Namun ketika wafat, tak selembar kafan pun dia miliki. Bahkan
baju yang dikenakannya di saat menjelang ajal adalah pakaian kumuh dengan 83
tambalan.
“Fatimah
putriku, aku yakin ajalku segera tiba,” bisik Khadijah kepada Fatimah sesaat
menjelang ajal. “Yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada
ayahmu, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa digunakan menerima wahyu
untuk dijadikan kain kafanku. Aku malu dan takut memintanya sendiri”.
Mendengar
itu Rasulullah berkata, “Wahai Khadijah, Allah menitipkan salam kepadamu, dan
telah dipersiapkan tempatmu di surga”.
Siti
Khadijah, Ummul Mu’minin (ibu kaum mukmin), pun kemudian menghembuskan nafas
terakhirnya dipangkuan Rasulullah. Didekapnya sang istri itu dengan perasaan
pilu yang teramat sangat. Tumpahlah air mata mulia Rasulullah dan semua orang
yang ada di situ.
Dalam
suasana seperti itu, Malaikat Jibril turun dari langit dengan mengucap salam
dan membawa lima kain kafan.
Rasulullah
menjawab salam Jibril, kemudian bertanya, “Untuk siapa sajakah kain kafan itu,
ya Jibril?”
“Kafan
ini untuk Khadijah, untuk engkau ya Rasulullah, untuk Fatimah, Ali dan Hasan,”
jawab Jibril yang tiba-tiba berhenti berkata, kemudian menangis.
Rasulullah
bertanya, “Kenapa, ya Jibril?”
“Cucumu yang satu, Husain, tidak memiliki kafan. Dia akan dibantai, tergeletak tanpa kafan dan tak dimandikan,” jawab Jibril.
“Cucumu yang satu, Husain, tidak memiliki kafan. Dia akan dibantai, tergeletak tanpa kafan dan tak dimandikan,” jawab Jibril.
Rasulullah
berkata di dekat jasad Khadijah, “Wahai Khadijah istriku sayang, demi Allah,
aku tak kan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan
diriku sungguh luar biasa. Allah Mahamengetahui semua amalanmu. Semua hartamu
kau hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian
kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu. Namun begitu, mengapa permohonan
terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban!?”
Tersedu
Rasulullah mengenang istrinya semasa hidup.
Khadijah
Dikisahkan,
suatu hari, ketika Rasulullah pulang dari berdakwah, beliau masuk ke dalam
rumah. Khadijah menyambut, dan hendak berdiri di depan pintu, kemudian
Rasulullah bersabda, “Wahai Khadijah, tetaplah kamu di tempatmu”.
Ketika
itu Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi. Saat itu seluruh kekayaan
mereka telah habis. Seringkali makanan pun tak punya, sehingga ketika Fatimah
menyusu, bukan air susu yang keluar akan tetapi darah. Darahlah yang masuk
dalam mulut Fatimah r.a.
Kemudian
Rasulullah mengambil Fatimah dari gendongan istrinya, dan diletakkan di tempat
tidur. Rasulullah yang lelah sepulang berdakwah dan menghadapi segala caci-maki
serta fitnah manusia itu lalu berbaring di pangkuan Khadijah hingga tertidur.
Ketika
itulah Khadijah membelai kepala Rasulullah dengan penuh kelembutan dan rasa
sayang. Tak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah hingga membuat
beliau terjaga.
“Wahai
Khadijah, mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku?”
tanya Rasulullah dengan lembut.
Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal, wahai Khadijah, bersuamikan aku, Muhammad?" lanjut Rasulullah tak kuasa melihat istrinya menangis.
Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal, wahai Khadijah, bersuamikan aku, Muhammad?" lanjut Rasulullah tak kuasa melihat istrinya menangis.
“Wahai
suamiku, wahai Nabi Allah. Bukan itu yang kutangiskan," jawab Khadijah.
"Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya”.
"Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya”.
"Wahai
Rasulullah, sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus
memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah, sekiranya nanti aku mati sedangkan
perjuanganmu belum selesai, sekiranya engkau hendak menyeberangi sebuah lautan,
sekiranya engkau hendak menyeberangi sungai namun engkau tidak memperoleh rakit
atau pun jembatan, maka galilah lubang kuburku, ambillah tulang-belulangku,
jadikanlah sebagai jembatan bagimu untuk menyeberangi sungai itu supaya engkau
bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu”.
"Ingatkan
mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka
kepada Islam, wahai Rasulullah”.
Di
samping jasad Siti Khadijah, Rasulullah kemudian berdoa kepada Allah. “Ya
Allah, ya Ilahi Rabbiy, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijahku, yang selalu
membantuku dalam menegakkan Islam.
Mempercayaiku pada saat orang lain menentangku. Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menenteramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah”.
Mempercayaiku pada saat orang lain menentangku. Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menenteramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah”.
Rasulullah
pun tampak sedih. “Oh Khadijahku sayang, kau meninggalkanku sendirian dalam
perjuanganku. Siapa lagi yang akan membantuku?”
“Aku, ya Rasulullah!” sahut Ali bin Abi Thalib.
jawab ,menantu Rasullulah...
“Aku, ya Rasulullah!” sahut Ali bin Abi Thalib.
jawab ,menantu Rasullulah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar