InspirasI

Sabtu, 10 Agustus 2013


ASAL USUL BUDAYA MUDIK


Dari mana kata "mudik" bermula. Bagaimana asal-usulnya? Sesekali, menarik juga memahami sebuah kata yang akhirnya menjadi budaya di negeri ini. Boleh jadi, satu-satunya tradisi unik yang dilakukan hampir seluruh orang dalam satu negara, sekaligus sebagai fenomena mengagumkan di mata dunia.
 Setiap ahli punya opini sendiri tentang makna kata "mudik". Kita akan lihat bersama beberapa pandangan tersebut.
Kalau saya sebagai orang Jawa mengartikan mudik adalah “Mulih Dhisik” yang artinya Pulang dahulu. Pulang untuk melihat kampong halaman dan bersilaturahmi dengan orangtua, saudara kerabat dan yang lainnya.
Mudik dari Betawi?
 Dalam pergaulan masyarakat Betawi terdapat kata "mudik" yang berlawanan dengan kata "milir". Bila mudik berarti pulang, maka milir berarti pergi.
 Kata "milir" merupakan turunan dari "belilir" yang berarti: pergi ke Utara. Dulu, tempat usaha banyak berada di wilayah Utara - lihat sejarah Batavia dan Sunda Kelapa. Karena itulah kata "mudik" bermakna: Selatan.
 Pekerja Betawi pulang ke rumah atau mudik
 Sehubungan dengan kata ini, pendapat lain mengungkapkan bahwa kaum urban di Sunda Kelapa sudah ada sejak abad pertengahan. Orang-orang dari luar Jawa mencari nafkah ke tempat ini, menetap dan pulang kembali ke kampungnya saat hari raya Idul Fitri tiba. Karena itulah, kata "mudik" dalam istilah Betawi juga mengartikan "menuju udik" (pulang kampung).
Mudik, budaya Agraris?
 Ada pula pendapat mengatakan mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Mereka sudah mengenal tradisi ini bahkan jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri.
 Biasanya tujuan pulang kampung untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya yang rutin dilakukan sekali dalam setahun.
 Tradisi 'nyekar' masih terlihat hingga kini. Kebiasaan membersihkan dan berdoa bersama di pekuburan sanak keluarga sewaktu pulang kampung masih banyak ditemukan di daerah Jawa.
Mudik ada sejak nenek moyang?
 Bagaimana dengan pernyataan bahwa mudik telah ada sejak zaman nenek moyang? Beberapa ahli mengaitkan tradisi mudik ada, karena masyarakat Indonesia merupakan keturunan Melanesia yang berasal dari Yunan, Cina. Sebuah kaum yang dikenal sebagai pengembara. Mereka menyebar ke berbagai tempat untuk mencari sumber penghidupan.
 Pada bulan-bulan yang dianggap baik, mereka akan mengunjungi keluarga di daerah asal. Biasanya mereka pulang untuk melakukan ritual kepercayaan atau keagamaan. Pada masa kerajaan Majapahit, kegiatan mudik menjadi tradisi yang dilakukan oleh keluarga kerajaan. Sejak masuknya Islam, mudik dilakukan menjelang Lebaran.
Mudik dalam kajian bahasa Arab
 Untuk menguatkan akar mudik berkaitan dengan tradisi islami, beredar pula argumen makna mudik dalam kajian ala timur-tengah.
 Kata "mudik" seperti istilah arab untuk "badui" sebagai lawan kata "hadhory". Sehingga dengan sederhana bisa diambil kesimpulan bahwa mudik, adalah kembali ke kampung halaman.
Mudik dari akar kata “ adhoo-a” yang berarti “ yang memberikan cahaya atau menerangi” Ini bisa dipahami dengan mudah, bahwa mereka para pemudik itu secara khusus memberikan ‘cahaya’ atau menerangi kampung-kampung halaman mereka.
Mudik dari akar kata “ Adhoo-‘a”, yang berarti “ yang menghilangkan “
 Selanjutnya, mudik berasal dari bahasa arab yang berarti : orang yang menghilangkan. Hal ini juga akan mudah kita tangkap, bahwa mereka pemudik itu adalah orang-orang perantauan yang dipenuhi beban perasaan kerinduan, dan kesedihan karena jauh dari orangtua, keluarga atau kampung halamannya. Karenanya mereka melakukan aktifitas mudik , dalam rangka ‘menghilangkan’ semua kesedihan tersebut.
Mudik dari akar kata “ adzaa-qo” yang berarti “ yang merasakan atau mencicipi “
 Orang yang mudik ke kampung halaman pastilah mereka yang ingin kembali ‘merasakan dan mencicipi’ suasana kampung tempat kelahiran.

Mengapa identik dengan Lebaran?
 Di zaman purba Indonesia ada upacara setiap tahun yang bermakna manunggal dengan nenek moyang sebuah komunitas. Sisa-sisa upacara demikian masih lestari dalam bentuk bersih desa, ngalaksa, seren taun, ngarot dan banyak lagi.
 Dalam upacara-upacara semacam itu dilakukan penyatuan manusia sebagai mikrokosmos dengan alam sebagai makrokosmos dan arwah nenek moyang berupa mitos-mitos sebagai metakosmos.
 Rangkaian upacaranya mulai dari mandi bersama (bersih badan), pantang dan puasa, ziarah kubur, seni pertunjukan yang mementaskan kisah mitologi nenek moyang pendiri wilayah, dan akhirnya makan bersama atau kenduri. Tempatnya bisa di tanah lapang, di balai desa, di leuwi, di mata air, di kuburan desa.  
            Dalam upacara-upacara tahunan semacam itulah seluruh penduduk kampung kumpul bersama, tua atau muda atau kanak-kanak.  Upacara menyatukan diri seluruh penduduk kampung dengan makrokosmos dan metakosmos ini, dapat bermakna sangkan-paran atau kembali menyatu dengan yang asal. Mereka sedang munggah atau mudik. Kembali ke indung asal kehidupan ini. Kembali ke Sang Pencipta dengan seluruh warga yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
 Ketika agama Islam dipeluk oleh bangsa Indonesia, maka sisa-sisa ritual primordial ini tidak dilenyapkan karena sudah merupakan bagian dari arketip budayanya. Kalau tidak melakukan, mereka merasa ada yang hilang dari bagian dirinya sebagai kelompok.
            Padanan untuk itu adalah bulan puasa bagi umat Islam, atau puncaknya pada hari Lebaran. Tradisi manusia Indonesia untuk nyekar atau menebar bunga di kuburan nenek moyang, mandi bersama di pantai atau di sungai desa, mengirim makanan bagi sanak saudara, yang semua itu dilakukan sebelum bulan puasa, adalah inkulturisasi Islam terhadap budaya sebelumnya.

@Diolah dari berbagai sumber - apakabardunia.com

Tidak ada komentar: