AKU CINTAI
SUAMIKU
SETELAH
KEMATIANNYA
Aku adalah seorang
gadis cantik dari keluarga kaya terpandang di kampungku sebut saja Sinta.
Sebagai anak tunggal tentu kehidupanku manja dan serba berkecukupan. Hidupku
penuh dengan keindahan dengan menghabiskan waktuku sejak kecil hingga dewasa
dengan serba mewah dan cukup. Tidak terasa waktu terus berganti hingga suatu
hari aku diwisuda sebagai sarjana ekonomi. Aku tidak pernah mempunyai hubungan
serius dengan seorang laki-laki karena aku selalu berfoya ria dengan
teman-temanku. Tidak pernah terpikirkan olehku kalau aku harus mempersiapkan
diri untuk berjodoh. Semua laki-laki yang mendekatiku, aku tanggapi dengan hati
yang dingin. Setiap ada lelaki yang mau serius denganku, tidak pernah aku beri
jawaban yang pasti.
Suatu
hari aku dipanggil ibu dan ayah di ruang makan. Sambil menikmati makan malam ibu
dan ayah begitu memperhatikanku. Namun aku tidak begitu peduli dengan apa yang
ada. Tiba-tiba ayah menepuk pundakku dan bilang “Sinta, kamu sudah dewasa, kamu
sudah cukup umur”. Aku terhenyak sesaat dan menjawab “ Maksud ayah?”. “Saatnya
kamu untuk berumahtangga nak, umurmu sudah menginjak 33 tahun. Lusa kamu ulang
tahun” sahut ibu. Aku tetap menikmati makan malam dengan tenangnya tanpa mau
pusing memikirkannya. Namun, walaupun aku manja serba berkecukupan, aku adalah
anak yang begitu penurut tanpa pernah melawan.
Waktu
berlalu dengan begitu cepat. Pada suatu malam yang ke sekian kalinya, kami
sekeluarga makan malam bersama-sama. Kegiatan ini sebagai suatu kebiasaan yang
baik sambil saling menasihati dan saling mengingatkan. “Nak, Rubi dengan kedua
orang tuanya datang kemari kemarin. Mereka bermaksud melamarmu untuk nak Rubi.
Dia seorang yang sudah mapan sebagai wirausaha” akupun tidak menjawab
sepatahkatapun. Dengan bersikap demikian, maka hal itu dimaknai sebagai
persetujuan. Aku tidak pernah membicarakannya tentang mas Rubi secara mendalam.
mas Rubi sebenarnya masih saudara dari ibu walaupun saudara jauh.
Tiba
saatnya acara lamaran dilakukan sekaligus pemberian cincin sebagai ikatan. Aku
nurut saja dijodohkan oleh kedua orangtuaku karena memang aku sudah berumur.
Waktu terus bergulir hingga hari pernikahan tiba. Betapa besar dan meriahnya
pernikahanku dengan mas Rubi. Itu tentunya sebagai ukuran gengsi dari
keluargaku bahwa aku anak tunggal dan keluarga kaya terpandang. Namun dalam
lubuk hatiku tidak ada rasa bangga maupun rasa cinta pada mas Rubi. Hanya
karena aku memang anak yang menuruti kemauan orang tua. Setelah hari pesta
pernikahan usai, tentunya aku menjadi seorang ibu rumahtangga yang baik bagi
suamiku. Namun itu jauh dari kenyataan. Aku adalah tetap anak yang manja yang
suka pergi makan dan berbelanja serta berfoya-foya dengan teman-temanku SMA
dulu.
Aku
adalah aku Sinta yang dulu walaupun sebenarnya statusku adalah sebagai seorang
istri. Bagaimanapun aku tetap melayani mas Rubi dalam hubungan suami-istri,
namun aku minta pada mas Rubi agar aku jangan sampai hamil. Aku tidak mencintai
mas Rubi, bahkan kehidupanku rumah tanggaku berbanding terbalik dengan kehidupan rumahtangga normal umumnya. Semua
kebutuhan mas Rubi yang memenuhi dan mempersiapkan. Ketika aku belum bangun,
suamiku selalu dengan sabar membangunkanku dan memeprsiapkan air hangat
untukku. Bahkan Sarapan pagipun suamiku yang mempersiapkan.
Aku
sering marah pada suamiku karena dia
selalu mendengkur kalau tidur. Selalu membuat kotor didapur ketika memasak.
Selalu ada kotoran susu dan kopi ketika membuat minum. Hal yang membuat aku
marah besar adalah aku ternyata hamil. Sungguh aku tidak bahagia dengan
keadaanku ini. Orang lain akan senang ketika hamil, namun aku tidak. Aku
menjadi orang yang malas karena keadaanku ini. Aku selalu mual, tidak mau makan
dan gampang tersinggung. “Istriku, kamu sedang hamil sayang! Ayo makan dan
minum susu”, suamiku membujuknya. Dengan penuh kesabaran suamiku selama aku
hamil. Dia menyuapiku, mempersiapkan air hangat dan segala keperluan mandiku.
Walaupun aku menampakkan rasa tidak sukanya pada suamiku, dia tetap
menyayangiku dengan pernuh kesabaran. Dia tetap melayaniku dengan penuh kasih
sayang.
Tiba
saatnya aku untuk melahirkan. Betapa terkejutnya aku ternyata bayi yang aku
lahirkan adalah kembar laki-laki. Tentu bahagia yang dirasakan keluargaku,
demikian juga mertuaku. Namun, tidak demikian dengan aku. Bahkan akupun tidak
mau menyususi kedua buah hatiku. Betapa kecewanya keluargaku dengan sikap ini,
namun akhirnya mereka mendiamkannya. Dengan sabar suamiku membuatkan susu,
menggantikan popok hingga memandikannya, semua dikerjakan suamiku. Aku selalu
marah ketika membuatkan susu ataupun menyiapkan makan untuk anakku tersisa
kotoran ataupun tumpahan. Aku juga marah ketika suamiku terlambat mempersiapkan
makanan anakku. Aku juga marah ketika sumiku menggantungkan baju dihanger kamarku
karena bagiku baunya tidak sedap. Aku selalu marah ketika suamiku tidur dekat
berdampingan denganku karena dengkuran dan bau badannya.
Hari demi hari
berganti. Tidak terasa usia anakku sudah 3 tahun dan kedua buah hatiku masuk
PAUD. Kerjaanku adalah hanyalah mengantar dan menjemput anakku dengan mobil
sedan kesayanganku. Sambil menunggu anakku sekolah, aku kadang pergi ke salon,
ke mall, ke rumah teman maupun pergi senam. Yang penting bagiku aku harus
menjaga kondisi tubuhku agar tetap cantik dan menawan. Aku tidak pernah merasakan
bagaimana mencari uang. Yang aku tahu, aku selalu membelanjakan uang semauku
dan tidak peduli bagaimana suamiku mencarinya. Aku juga tidak peduli dengan pekerjaan
suamiku.
Suatu pagi seperti
biasa suamiku mempersiapkan segala sesuatunya untuk aku dan anak-anakku.
Setelah semuanya beres, aku dan anak-anakku berangkat menuju PAUD, sedangkan
sumiku berangkat kerja. Anak-anakku jabat tangan dan mencium ke dua pipi ayahnya
untuk berpamitan. Kemudian gantian sumiku mencium kening dan kedua pipiku.
Akupun hanya diam tanpa reaksi. Kamipun berangkat karena pagi itu sudah
menunjukkan waktu untuk berangkat. Sesampainya di PAUD, aku pergi ke salon
langgananku karena anakku bersekolah sampai jam 11.00. Untuk menunggu selama
anakku di PAUD, aku lulur dan merapikan rambut di salon seperti biasanya.
Setelah semua urusan di salon selesai, aku bergegas menjemput anakku. Betapa terkejutnya aku ternyata aku tidak
membawa dompet seperti biasanya. Betapa marahnya aku ternyata dompetku
tertinggal di mobil suamiku karena kemarin sore kami pergi keluar kotadalam acara keluarga bersama.
Aku selalu menyalahkan
suamiku apapun alasannya walaupun sebenarnya itu juga keteledoranku sendiri.
Dengan nada marah aku telpon suamiku. ”Mas, tolong antarkan dompetku sekarang
juga ke salon Dewi sepertia biasa”
“Dimana dompetmu?”
“Di Mobilmu mas, di laci mobi. Cepat,
mas. Ni dah siang aku mau jemput anak kita”
“Ya, ya sayang. Tunggu sebentar karena
jalan agak macet” Jawab suamiku di kejauhan
“Aku tidak mau tahu, yang penting cepat”
komentarku kethus.
Dengan
gelisah dan campur marah aku menunggu suamiku beberapa saat. Selalu kutengok
jam dan hand phoneku yang tidak berdering juga. “Kurang ajar suamiku, ngantar
dompet aja lama sekali” gumamku dalam hati. Tiba-tiba HPku bordering. Dengan
nada marah dan gelisah aku angkat HPku dan akan aku omelin suamiku.
“Selamat pagi ibu Rubi, apakah betul ini
Ibu Rubi”. Suara asing terdengar ditelingaku. Betapa lemasnya aku mendengar
sura asing tadi.
“Ya, ya benar saya ibu Rubi” jawabku
dengan penuh tanda tanya.
“Kami dari kepolisian, maaf kalau kami
harus menepon Ibu karena di HP suami Ibu ada nomor ibu rubi”.
“Ya, betul Pak! Gimana, ada apa dengan
sumiku?” jawabku dengan gugup.
“Sebaiknya sekarang Ibu ke rumah sakit
kota, suami ibu kecelakaan. Kami sudah mengantar suami ibu ke IGD”
Dengan
serba tergesa dan kekalutan pikiranku, aku segera bergegas ke rumah sakit. Di sana
sudah ada kedua orang tuaku dan mertuaku. Anakku juga sudah dijemput oleh supir
ayahku. Kami menunggu dengan serba tidak menentu. Ternyata suamiku kecelakaan
karena mengantar dompetku dengan tergesa-gesa. Aku hanya bisa menangis menunggu
suamiku bersama keluargaku. Selang beberapa saat, keluarlah seorang dokter dari
ruang IGD dimana suamiku dirawat.
“Bagaimana dokter keadaan suamiku”
kuberanikan diri untuk bertanya.
“Maaf ibu dan bapak, kami sudah berusaha
sekuat tenaga, namun Allah SWT berkehendak lain” jawab dokter sambil berlalu.
“Mas Rubi, jangan tinggalkan aku dan
anak-anakmu” teriakku hingga aku tidak sadar karena pingsan.
Ternyata
aku tersadar dari pingsanku setelah sampai dirumah. Dengan sedih dan serba
salah aku lepaskan kepergianku suamiku bersama kedua anakku untuk yang terakhir
kali. Aku menangis karena tidak terbiasa hidup tanpa suamiku. “Siapa yang akan
mengurus anak-anakku, memandikannya, menyuapinya, membuatkan susu dan
lain-lainnya”. “Aku tidak terbiasa mengerjakan itu semua” gumamku dalam hati.
Upacara pemakaman suamiku berjalan dengan lancar dan aku hanya bisa termangu
menyaksikannya bersama dua buah hatiku. “Oh suamiku, selamat jalan, semoga
engaku mendapatkan tempat yang baik disisiNya.
Sekarang
aku hidup dirumah hanya bersama dengan dua buah hatiku dan seorang bibi sebagai
pembantu. Aku pandangi semua ruangan rumahku, semuanya sepi tanpa mas Rubi. Aku
ke dapur disana tidak ada kotoran bekas suamiku memasak. Aku ke meja makan.
disana tidak ada tumpahan susu dan makanan yang biasa dilakukan mas Rubi. Aku
pandangi kamarku, disana tidak ada celana dan baju berbau badan suamiku yang
tergantung dikamarku. Aku rebahkan badanku di tempat tidur, disana tidak ada
suara dengkuran suamiku yang sering membuat aku marah. Aku benar-benar bingung
hidup tanpa suami.
Aku
sadari bahwa aku memang tidak pernah mencintai suamiku. Aku memang bukan istri
yang baik. Aku memang tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Karena
semuanya telah dikerjakan oleh suamiku. namun dalam kenyataan, aku tidak bisa
hidup tanpa mas Rubi suamiku. Hatiku menjerit, menangis memanggil mas Rubi.
“Aku tidak bisa hidup tanpamu mas Rubi, mas pulanglah, pulanglah!” Begitulah
aku selalu mengigau dalam tidurku. Aku mulai mencintai suamiku. Aku merindukan
semua tingkah suamiku dulu yang mebuatku marah.
“Mas, aku tidak bisa tidur sekarang. Aku
merindukan dengkuranmu disampingku”. Sekarang tiada terdengar dengkuran sumiku.
Terasa kamar ini sunyi tanpa suara dengkuran tidurmu.
Ketika kulangkahkan
kakiku ke ruqang makan, meja makanku juga sepi, bersih seakan ikut juga mati.
Tidak ada lagi tumpahan susu dan kopi serta tumpahan makanan lainnya. “Aku
merindukan tumpahan susu, kopi dan tumpahan makananmu Mas!”. Dapur rumahku juga
bersih, sepi seakan tidak ada lagi hangatnya api yang mematangkan makanan oleh
suamiku. ‘Mas, aku merindukan masakanmu, aku merindukan untuk disuapi seprti
dulu ketika aku hamil”. Setiap aku terbangun, seakan-akan suamiku masih
mempersiapkan segala sesuatunya. Aku selalu terngiang suara dengkuran suamiku,
suara bunyi alat dapur oleh suamiku,
suara sambutan suamiku ketika aku pulang ke rumah. Aku merindukanmu, aku
mencintaimu.
Kini waktu terus
berlalu. Aku harus menghidupi ke dua anakku sendiri. Aku juga harus bekerja
agar ke dua anakku hidup layak. Semua harus aku kerjakan sendiri tanpa suamiku
dan tanpa siapapun karena kedua orang tuaku juga sudah tua renta, Begitu juga
dengan mertuaku. Semuanya harus aku kerjakan sendiri, semuanya harus aku penuhi
sendiri, sementara aku tidak terbiasa mencari uang karena semuanya telah
dipenuhi oleh suamiku dulu. Kini penyesalan tiada arti karena semua telah
terjadi. Aku membutuhkan suamiku setelah kematiannya, aku merindukan suamiku
setelah kematiannya, aku mencintai suamiku setelah kematiannya. Aku mencintai
suamiku, aku merindukan suamiku dan ternyata aku tidak berdaya tanpa suamiku.
Semoga engkau mendapatkan tempat yang layak disisiNya dan semoga engakau
memaafkan aku. Suamiku, engkau telah meninggalkanku saat aku mencintaimu.
Terimakasih pak widyaswara atas cerpennya.
(Adakah
isteri yang demikian ini)