InspirasI

Senin, 16 November 2015

AKU CINTAI SUAMIKU
SETELAH KEMATIANNYA

Aku adalah seorang gadis cantik dari keluarga kaya terpandang di kampungku sebut saja Sinta. Sebagai anak tunggal tentu kehidupanku manja dan serba berkecukupan. Hidupku penuh dengan keindahan dengan menghabiskan waktuku sejak kecil hingga dewasa dengan serba mewah dan cukup. Tidak terasa waktu terus berganti hingga suatu hari aku diwisuda sebagai sarjana ekonomi. Aku tidak pernah mempunyai hubungan serius dengan seorang laki-laki karena aku selalu berfoya ria dengan teman-temanku. Tidak pernah terpikirkan olehku kalau aku harus mempersiapkan diri untuk berjodoh. Semua laki-laki yang mendekatiku, aku tanggapi dengan hati yang dingin. Setiap ada lelaki yang mau serius denganku, tidak pernah aku beri jawaban yang pasti.
            Suatu hari aku dipanggil ibu dan ayah di ruang makan. Sambil menikmati makan malam ibu dan ayah begitu memperhatikanku. Namun aku tidak begitu peduli dengan apa yang ada. Tiba-tiba ayah menepuk pundakku dan bilang “Sinta, kamu sudah dewasa, kamu sudah cukup umur”. Aku terhenyak sesaat dan menjawab “ Maksud ayah?”. “Saatnya kamu untuk berumahtangga nak, umurmu sudah menginjak 33 tahun. Lusa kamu ulang tahun” sahut ibu. Aku tetap menikmati makan malam dengan tenangnya tanpa mau pusing memikirkannya. Namun, walaupun aku manja serba berkecukupan, aku adalah anak yang begitu penurut tanpa pernah melawan.
            Waktu berlalu dengan begitu cepat. Pada suatu malam yang ke sekian kalinya, kami sekeluarga makan malam bersama-sama. Kegiatan ini sebagai suatu kebiasaan yang baik sambil saling menasihati dan saling mengingatkan. “Nak, Rubi dengan kedua orang tuanya datang kemari kemarin. Mereka bermaksud melamarmu untuk nak Rubi. Dia seorang yang sudah mapan sebagai wirausaha” akupun tidak menjawab sepatahkatapun. Dengan bersikap demikian, maka hal itu dimaknai sebagai persetujuan. Aku tidak pernah membicarakannya tentang mas Rubi secara mendalam. mas Rubi sebenarnya masih saudara dari ibu walaupun saudara jauh.
            Tiba saatnya acara lamaran dilakukan sekaligus pemberian cincin sebagai ikatan. Aku nurut saja dijodohkan oleh kedua orangtuaku karena memang aku sudah berumur. Waktu terus bergulir hingga hari pernikahan tiba. Betapa besar dan meriahnya pernikahanku dengan mas Rubi. Itu tentunya sebagai ukuran gengsi dari keluargaku bahwa aku anak tunggal dan keluarga kaya terpandang. Namun dalam lubuk hatiku tidak ada rasa bangga maupun rasa cinta pada mas Rubi. Hanya karena aku memang anak yang menuruti kemauan orang tua. Setelah hari pesta pernikahan usai, tentunya aku menjadi seorang ibu rumahtangga yang baik bagi suamiku. Namun itu jauh dari kenyataan. Aku adalah tetap anak yang manja yang suka pergi makan dan berbelanja serta berfoya-foya dengan teman-temanku SMA dulu.
            Aku adalah aku Sinta yang dulu walaupun sebenarnya statusku adalah sebagai seorang istri. Bagaimanapun aku tetap melayani mas Rubi dalam hubungan suami-istri, namun aku minta pada mas Rubi agar aku jangan sampai hamil. Aku tidak mencintai mas Rubi, bahkan kehidupanku rumah tanggaku berbanding terbalik dengan  kehidupan rumahtangga normal umumnya. Semua kebutuhan mas Rubi yang memenuhi dan mempersiapkan. Ketika aku belum bangun, suamiku selalu dengan sabar membangunkanku dan memeprsiapkan air hangat untukku. Bahkan Sarapan pagipun suamiku yang mempersiapkan.
            Aku sering  marah pada suamiku karena dia selalu mendengkur kalau tidur. Selalu membuat kotor didapur ketika memasak. Selalu ada kotoran susu dan kopi ketika membuat minum. Hal yang membuat aku marah besar adalah aku ternyata hamil. Sungguh aku tidak bahagia dengan keadaanku ini. Orang lain akan senang ketika hamil, namun aku tidak. Aku menjadi orang yang malas karena keadaanku ini. Aku selalu mual, tidak mau makan dan gampang tersinggung. “Istriku, kamu sedang hamil sayang! Ayo makan dan minum susu”, suamiku membujuknya. Dengan penuh kesabaran suamiku selama aku hamil. Dia menyuapiku, mempersiapkan air hangat dan segala keperluan mandiku. Walaupun aku menampakkan rasa tidak sukanya pada suamiku, dia tetap menyayangiku dengan pernuh kesabaran. Dia tetap melayaniku dengan penuh kasih sayang.
            Tiba saatnya aku untuk melahirkan. Betapa terkejutnya aku ternyata bayi yang aku lahirkan adalah kembar laki-laki. Tentu bahagia yang dirasakan keluargaku, demikian juga mertuaku. Namun, tidak demikian dengan aku. Bahkan akupun tidak mau menyususi kedua buah hatiku. Betapa kecewanya keluargaku dengan sikap ini, namun akhirnya mereka mendiamkannya. Dengan sabar suamiku membuatkan susu, menggantikan popok hingga memandikannya, semua dikerjakan suamiku. Aku selalu marah ketika membuatkan susu ataupun menyiapkan makan untuk anakku tersisa kotoran ataupun tumpahan. Aku juga marah ketika suamiku terlambat mempersiapkan makanan anakku. Aku juga marah ketika sumiku menggantungkan baju dihanger kamarku karena bagiku baunya tidak sedap. Aku selalu marah ketika suamiku tidur dekat berdampingan denganku karena dengkuran dan bau badannya.
Hari demi hari berganti. Tidak terasa usia anakku sudah 3 tahun dan kedua buah hatiku masuk PAUD. Kerjaanku adalah hanyalah mengantar dan menjemput anakku dengan mobil sedan kesayanganku. Sambil menunggu anakku sekolah, aku kadang pergi ke salon, ke mall, ke rumah teman maupun pergi senam. Yang penting bagiku aku harus menjaga kondisi tubuhku agar tetap cantik dan menawan. Aku tidak pernah merasakan bagaimana mencari uang. Yang aku tahu, aku selalu membelanjakan uang semauku dan tidak peduli bagaimana suamiku mencarinya. Aku juga tidak peduli dengan pekerjaan suamiku.
Suatu pagi seperti biasa suamiku mempersiapkan segala sesuatunya untuk aku dan anak-anakku. Setelah semuanya beres, aku dan anak-anakku berangkat menuju PAUD, sedangkan sumiku berangkat kerja. Anak-anakku jabat tangan dan mencium ke dua pipi ayahnya untuk berpamitan. Kemudian gantian sumiku mencium kening dan kedua pipiku. Akupun hanya diam tanpa reaksi. Kamipun berangkat karena pagi itu sudah menunjukkan waktu untuk berangkat. Sesampainya di PAUD, aku pergi ke salon langgananku karena anakku bersekolah sampai jam 11.00. Untuk menunggu selama anakku di PAUD, aku lulur dan merapikan rambut di salon seperti biasanya. Setelah semua urusan di salon selesai, aku bergegas menjemput anakku.  Betapa terkejutnya aku ternyata aku tidak membawa dompet seperti biasanya. Betapa marahnya aku ternyata dompetku tertinggal di mobil suamiku karena kemarin sore kami  pergi keluar kotadalam acara keluarga bersama.
Aku selalu menyalahkan suamiku apapun alasannya walaupun sebenarnya itu juga keteledoranku sendiri. Dengan nada marah aku telpon suamiku. ”Mas, tolong antarkan dompetku sekarang juga ke salon Dewi sepertia biasa”
“Dimana dompetmu?”
“Di Mobilmu mas, di laci mobi. Cepat, mas. Ni dah siang aku mau jemput anak kita”
“Ya, ya sayang. Tunggu sebentar karena jalan agak macet” Jawab suamiku di kejauhan
“Aku tidak mau tahu, yang penting cepat” komentarku kethus.
            Dengan gelisah dan campur marah aku menunggu suamiku beberapa saat. Selalu kutengok jam dan hand phoneku yang tidak berdering juga. “Kurang ajar suamiku, ngantar dompet aja lama sekali” gumamku dalam hati. Tiba-tiba HPku bordering. Dengan nada marah dan gelisah aku angkat HPku dan akan aku omelin suamiku.
“Selamat pagi ibu Rubi, apakah betul ini Ibu Rubi”. Suara asing terdengar ditelingaku. Betapa lemasnya aku mendengar sura asing tadi.
“Ya, ya benar saya ibu Rubi” jawabku dengan penuh tanda tanya.
“Kami dari kepolisian, maaf kalau kami harus menepon Ibu karena di HP suami Ibu ada nomor ibu rubi”. 
“Ya, betul Pak! Gimana, ada apa dengan sumiku?” jawabku dengan gugup.
“Sebaiknya sekarang Ibu ke rumah sakit kota, suami ibu kecelakaan. Kami sudah mengantar suami ibu ke IGD”
            Dengan serba tergesa dan kekalutan pikiranku,  aku segera bergegas ke rumah sakit. Di sana sudah ada kedua orang tuaku dan mertuaku. Anakku juga sudah dijemput oleh supir ayahku. Kami menunggu dengan serba tidak menentu. Ternyata suamiku kecelakaan karena mengantar dompetku dengan tergesa-gesa. Aku hanya bisa menangis menunggu suamiku bersama keluargaku. Selang beberapa saat, keluarlah seorang dokter dari ruang IGD dimana suamiku dirawat.
“Bagaimana dokter keadaan suamiku” kuberanikan diri untuk bertanya.
“Maaf ibu dan bapak, kami sudah berusaha sekuat tenaga, namun Allah SWT berkehendak lain” jawab dokter sambil berlalu.
“Mas Rubi, jangan tinggalkan aku dan anak-anakmu” teriakku hingga aku tidak sadar karena pingsan.
            Ternyata aku tersadar dari pingsanku setelah sampai dirumah. Dengan sedih dan serba salah aku lepaskan kepergianku suamiku bersama kedua anakku untuk yang terakhir kali. Aku menangis karena tidak terbiasa hidup tanpa suamiku. “Siapa yang akan mengurus anak-anakku, memandikannya, menyuapinya, membuatkan susu dan lain-lainnya”. “Aku tidak terbiasa mengerjakan itu semua” gumamku dalam hati. Upacara pemakaman suamiku berjalan dengan lancar dan aku hanya bisa termangu menyaksikannya bersama dua buah hatiku. “Oh suamiku, selamat jalan, semoga engaku mendapatkan tempat yang baik disisiNya.
            Sekarang aku hidup dirumah hanya bersama dengan dua buah hatiku dan seorang bibi sebagai pembantu. Aku pandangi semua ruangan rumahku, semuanya sepi tanpa mas Rubi. Aku ke dapur disana tidak ada kotoran bekas suamiku memasak. Aku ke meja makan. disana tidak ada tumpahan susu dan makanan yang biasa dilakukan mas Rubi. Aku pandangi kamarku, disana tidak ada celana dan baju berbau badan suamiku yang tergantung dikamarku. Aku rebahkan badanku di tempat tidur, disana tidak ada suara dengkuran suamiku yang sering membuat aku marah. Aku benar-benar bingung hidup tanpa suami.
            Aku sadari bahwa aku memang tidak pernah mencintai suamiku. Aku memang bukan istri yang baik. Aku memang tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Karena semuanya telah dikerjakan oleh suamiku. namun dalam kenyataan, aku tidak bisa hidup tanpa mas Rubi suamiku. Hatiku menjerit, menangis memanggil mas Rubi. “Aku tidak bisa hidup tanpamu mas Rubi, mas pulanglah, pulanglah!” Begitulah aku selalu mengigau dalam tidurku. Aku mulai mencintai suamiku. Aku merindukan semua tingkah suamiku dulu yang mebuatku marah.
“Mas, aku tidak bisa tidur sekarang. Aku merindukan dengkuranmu disampingku”. Sekarang tiada terdengar dengkuran sumiku. Terasa kamar ini sunyi tanpa suara dengkuran tidurmu.
Ketika kulangkahkan kakiku ke ruqang makan, meja makanku juga sepi, bersih seakan ikut juga mati. Tidak ada lagi tumpahan susu dan kopi serta tumpahan makanan lainnya. “Aku merindukan tumpahan susu, kopi dan tumpahan makananmu Mas!”. Dapur rumahku juga bersih, sepi seakan tidak ada lagi hangatnya api yang mematangkan makanan oleh suamiku. ‘Mas, aku merindukan masakanmu, aku merindukan untuk disuapi seprti dulu ketika aku hamil”. Setiap aku terbangun, seakan-akan suamiku masih mempersiapkan segala sesuatunya. Aku selalu terngiang suara dengkuran suamiku, suara bunyi alat dapur  oleh suamiku, suara sambutan suamiku ketika aku pulang ke rumah. Aku merindukanmu, aku mencintaimu.
Kini waktu terus berlalu. Aku harus menghidupi ke dua anakku sendiri. Aku juga harus bekerja agar ke dua anakku hidup layak. Semua harus aku kerjakan sendiri tanpa suamiku dan tanpa siapapun karena kedua orang tuaku juga sudah tua renta, Begitu juga dengan mertuaku. Semuanya harus aku kerjakan sendiri, semuanya harus aku penuhi sendiri, sementara aku tidak terbiasa mencari uang karena semuanya telah dipenuhi oleh suamiku dulu. Kini penyesalan tiada arti karena semua telah terjadi. Aku membutuhkan suamiku setelah kematiannya, aku merindukan suamiku setelah kematiannya, aku mencintai suamiku setelah kematiannya. Aku mencintai suamiku, aku merindukan suamiku dan ternyata aku tidak berdaya tanpa suamiku. Semoga engkau mendapatkan tempat yang layak disisiNya dan semoga engakau memaafkan aku. Suamiku, engkau telah meninggalkanku saat aku mencintaimu.

Terimakasih pak widyaswara atas  cerpennya.
(Adakah isteri yang demikian ini)


Tidak ada komentar: