InspirasI

Senin, 20 Mei 2019

RENUNGAN 

Abu Ibrahim bercerita:

Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas… kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yg duduk di atas tanah dengan sangat tenang…

Ternyata orang ini kedua tangannya buntung… matanya buta… dan sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat..
Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:
.
Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia…
.
Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia memiliki anak yg mengurusinya? atau isteri yang menemaninya? ternyata tak ada seorang pun…
.
Aku beranjak mendekatinya, dan ia merasakan kehadiranku… ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”
.
“Assalaamu’alaikum… aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini” jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” Tanyaku.
.
“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan kerabatmu? Lanjutku.
.
“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” Jawabnya.
.
“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia…!! Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara…?!?” Ucapku.
.
“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” Tanyanya.
.
“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu.” Kataku.
.
“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir…?
.
“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.
.
“Iya benar.” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Jawabnya.
.
“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar…?” Katanya.
.
“Banyak juga…” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.
.
“Bukankah Allah memberiku lisan yg dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” Tanyanya.
.
“Iya benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yg bisu tidak bisa bicara?” Tanyanya.
.
“Sangat banyak.” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”  Jawabnya.
.
“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya… mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?” Tanyanya.
.
“Iya benar.” Jawabku. Lalu katanya, “Padahal berapa banyak orang yg menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”
.
“Banyak sekali.” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.
.
Pak tua terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu… Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah…
.
Betapa banyak orang sakit selain beliau, yg musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah beliau… mereka ada yg lumpuh, ada yg kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yg kehilangan organ tubuhnya… tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis sejadi-jadinya… mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yg menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar…
.
pak tua mengatakan:
“Bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang… maukah kamu mengabulkannya?”
.
“Iya.. apa permintaanmu?” Kataku.
.
Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis.. ia berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun… dia lah yang memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku… sejak tadi malam ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja… dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya…”
.
Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya…
.
Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut… aku tak tahu harus memulai dari arah mana…
.
Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak tua.
.
Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yg mengerumuni sesuatu, Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.
.
Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan terpotong-potong… rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung…
.
Aku lebih sedih memikirkan nasib pak tua dari pada nasib si bocah…
.
Aku pun turun dari bukit… dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam…
.
Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian… ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?
.
Aku berjalan menujuk kemah pak Tua… aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?
.
Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalaam… maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya… ia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana si bocah?”
.
Namun kataku, “Jawablah terlebih dahulu… siapakah yang lebih dicintai Allah: engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”
.
“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.
.
“Lantas siapakah di antara kalian yg lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.
.
“Tentu Ayyub…” jawabnya.
.
“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung… ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.
.
Maka pak Tua pun tersedak-sedak seraya berkata, “Laa ilaaha illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya… namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya… hingga akhirnya ia meninggal dunia.
.
Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yg ada di bawahnya… lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya…
.
Maka kudapati ada tiga orang yg mengendarai unta mereka… nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku…
.
Kukatakan, “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yg mengurusinya… maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”
.
“Iya..” Jawab mereka.
.
Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya… namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak, “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”
.
Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh…
.
Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah…
.
Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah… ia mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna… ia berjalan-jalan di tanah yang hijau… maka aku bertanya kepadanya:
.
“Hai Abu Qilabah… apa yg menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”
.
Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:
( سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار )
Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu… maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali
.
Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian.
.
Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify..


Minggu, 19 Mei 2019

                                          600 RIBU rupiah

600 RIBU rupiah masih kurang buat bekal lebaran TAPI 6 KALIMAT ini cukup dijadikan bekal ke Akherat
Rasulullah saw bersabda : “Wahai Ali, apakah engkau menginginkan 600 ribu kambing, atau 600 ribu dinar atau 600 ribu kalimat?
Imam Ali kw. menjawab : Wahai Rasulullah saw aku menginginkan 600 ribu kalimat.
Kemudian Rasulullah saw bersabda : Wahai Ali, aku meringkas 600 ribu kalimat itu ke dalam 6 kalimat :
1. Jika engkau melihat manusia berlomba-lomba mengerjakan yang bukan kewajibannya, maka sibukkan dirimu dengan menyempurnakan kewajibanmu.
2. Jika engkau melihat manusia berlomba-lomba dalam urusan dunia, maka sibukkan dirimu dengan urusan akhirat.
3. Jika engkau melihat manusia sibuk mengurusi aib orang lain, maka sibukkan dirimu untuk mengurusi aibmu sendiri.
4. Jika engkau melihat manusia sibuk menghias dunianya, maka sibukkan diri menghias akhiratmu.
5. Jika engkau melihat manusia sibuk memperbanyak amal, maka sibukkan dirimu untuk membersihkan dan mengikhlaskan amal.
6. Jika engkau melihat manusia sibuk menjadikan makhluk sebagai tumpuannya, maka sibukkan dirimu untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya washilah harapanmu.
Al-Mawâ’izh Al-‘Adadiyyah, bab 6, pasal 4, hadis 1


Jumat, 17 Mei 2019

8 AKTIVITAS IBADAH DI HARI JUMAT

Bahagianya kita kembali menjumpai hari Jumat. Hari yang sangat istimewa bagi ummat Muhammad Saw. Berikut 8 aktivitas ibadah di hari Jumat.

1. Memperbanyak Shalawat Nabi
“Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jumat, maka perbanyaklah shalawat kepadaku di dalamnya, karena shalawat kalian akan ditunjukkan kepadaku”. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i.
2. Memperbanyak Doa
Rasulullah Saw menjelaskan mengenai hari Jum’at lalu ia bersabda, “Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang ia minta” Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut. HR. Bukhari dan Muslim.
3. Membaca Surat Al Kahfi
.
“Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan meneranginya di antara dua Jumat.” HR. Imam Hakim.

4. Mandi Jumat
“Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” HR. Bukhari dan Muslim. Waktunya adalah sebelum berangkat shalat Jumat.
5. Mengenakan Pakaian Paling Bagus
“Barangsiapa mandi pada hari Jumat, memakai pakaiannya yang terbagus dan memakai wewangian jika punya, kemudian mendatangi (tempat shalat) Jum’at ... maka itu menjadi penghapus dosa-dosa antara hari Jum’at tersebut dengan Jum’at yang sebelumnya.” HR. Bukhari dan Muslim.

6 Menggunakan Wewangian
“Barang siapa mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian berangkat ke masjid .... maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya.” HR. Bukhari dan Muslim.

7. Bersegera Berangkat ke Masjid
Anas bin Malik berkata, “Kami berpagi-pagi menuju shalat Jumat dan tidur siang setelah shalat Jumat.” HR. Bukhari.

8. Shalat Sunnah Sebelum dan Setelah Shalat Jumat
“Barang siapa mandi kemudian datang shalat Jumat, lalu ia shalat semampunya dan dia diam mendengarkan khutbah hingga selesai, kemudian shalat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya ditambah tiga hari.” HR. Muslim.


Minggu, 12 Mei 2019


DIALOG  PEMUDA   DAN  GURUNYA

Seorang pemuda mengeluhkan kondisinya pada gurunya.
"Duhai syekh, aku ini sudah seringkali membaca al-Qur'an, tapi rasanya aku tidak mendapatkan manfaat apa-apa yang kurasakan dalam hidupku, terlebih aku juga tidak terlalu paham maksud dan arti bacaanku itu."
Syekh itu tersenyum.
"Mari ikuti aku!" pinta sang guru.
Sang Syekh memerintahkan pemuda itu menimba air sungai untuk memenuhi tong besar di rumahnya, akan tetapi dengan menggunakan ember yang agak bocor.
Meski agak ragu, si pemuda memenuhi permintaan gurunya. Ia berusaha memenuhi tong besar itu, namun sia-sia, sebab ada banyak air yang tercecer dan tumpah di sepanjang jalanan, hingga ia kelelahan. Tong hanya terisi seperempat.
"Bagaimana apa hasilnya?" tanya sang guru.
"Tidak banyak yang saya dapatkan, syekh, sebab embernya bocor, airnya banyak yang tumpah!" jawab pemuda itu.
Si Syekh itu tersenyum.
"Mari ikuti aku lagi!" Syekh mengajak pemuda itu berjalan menelusuri sepanjang jalanan yang ia lalui ketika mengangkut air yang tumpah.
"Apa yang kamu lihat?" tanya sang guru.
"Jalanan yang basah akibat air yang kubawa tadi, wahai Syekh?!" jawab si pemuda enteng.
"Apa ada perubahan?" tanya sang guru lagi.
"Hmm.. Ya, tadinya jalanan ini penuh dengan debu, sekarang sudah terlihat adem, segar, debu-debunya sudah tak bertebaran lagi tersiram air!" jawab si pemuda.
"Nah itulah yang namanya perubahan!" tatap si guru.
"Jika air yang kamu bawa tadi memang belum mampu memenuhi tong besar di rumahku, tapi kamu sudah membasahi jalanan ini hingga tak berdebu lagi!
Boleh jadi bacaan al-Qur'anmu belum memberikan perubahan maksimal dalam hidupmu, tapi minimal kamu sudah mampu menyiram kotoran-kotoran debu di dalam hatimu dengan bacaan al-Qur'an yang selalu kamu baca.
Si pemuda baru mulai tersadar pengajaran hikmah yang diajarkan sang guru begitu sederhana, namun menyadarkan keinsyafan dirinya yang selama ini lupa bahwa perubahan besar itu tidak selalu mesti harus berbentuk materi, kebersihan dan ketentraman hati juga sebuah anugerah yang besar tak ternilai harganya.
"Sekarang, coba kamu perhatikan di dalam ember yang bocor itu!" pinta sang guru lagi.
"Apa yang tampak?!" tanya sang Syekh.
"Lumut dan kotoran, wahai Syekh!" jawab si pemuda.
"Nah itulah manfaatnya apa yang kamu timba dari ember yang bocor itu, dia menyisakan kotoran dari air sungai yang kamu timba. Semakin banyak kamu menimba air sungai, maka semakin kamu mengetahui betapa ada kotoran yang tersaring.
Itulah perumpamaan dari bacaan al-Qur'an itu, dia menyaring kesia-kesiaan dari ucapan dan perilaku yang kita lakukan selama ini.
Semakin banyak kamu membaca al-Qur'an, semakin terfilter kotoran dan ampas keburukan yang tertinggal di hatimu!"
"Bagaimana jika aku belum sepenuhnya memahami bacaan yang kubaca, wahai guru, apakah itu juga baik bagiku?"
"Anakku! Imam al-Junaid al-Baghdady, seorang sufi pernah bermimpi berjumpa dengan Rabb-nya -yang bersifat laitsa kamitslihi syai'un- dalam mimpinya dia bertanya pada Rabb-nya:
"Ya Rabb, apakah amalan yang mendekatkan diri seorang hamba pada-Mu?"
Allah Swt menjawab, "Dengan memperbanyak membaca al-Qur'an!"
"Apakah dengan paham maknanya atau tidak, wahai Rabb?"
"Baik dengan hamba-Ku memahami maknanya atau tidak!"
Oleh karena itulah, para orang shaleh dan aulia shalihin membiasakan membaca al-Qur'an sepanjang hidup mereka.
Bahkan ada diantara mereka yang berulang-ulang hingga ratusan hingga ribuan kali khatam, mereka tak pernah bosan, sebab ibarat menyelam ke dalam samudera lautan, semakin mereka menyelam, semakin tampak keindahan di dasar lautan.
Seperti Sayyidah Nafisah; seorang sufi wanita di Mesir yang juga cucu dari Sayyidina Husin radhiyallahuanhu; cucu baginda kita Rasulullah Saw yang mengkhatamkan al-Qur'an hingga 4444 sepanjang hidupnya.
Bagaimana dengan kita, wahai anakku?!"

*Riwayat Imam al-Junaidi al-Baghdadi saya kutip dari Kitab "Irsyadul Ibad"
**Ust. Dr. Miftah el-Banjary


Sabtu, 04 Mei 2019

PUASA TERAKHIR

Maut adalah rahasia Allah. Tak ada yang pernah tahu, bagaimana kita kelak bertemu dengan malaikat sang pencabut nyawa, Izroil. Saat itu kita dalam keadaan seperti apa dan kapan tepatnya. Bahkan saat sang ahli kesehatan telah memprediksi umur yang tak akan lama, bila Allah belum berkehendak, maka akan ada keajaiban untuk menyembuhkan sakit yang diderita.
Darto contohnya, dokter sudah memperkirakan umurnya akan bertahan hanya dua bulan saja. Kanker telah merusak susunan saraf di otak kemudian menyebar di sel-sel darah lainnya. Peralatan kesehatan yang canggih tak mampu membasmi virus mematikan itu secara total. Saat kemo therapy,  sel-sel beracun itu hilang sesaat tetapi kemudian muncul menyebar kembali. Hingga dokter yang menangani lelaki beranak dua itu menyerah, lalu mengembalikan pada keluarga pasien.
Darto yang dulu adalah lelaki perkasa dengan tubuh yang membuat perempuan mana saja terpikat, berubah menjadi manusia berbalut kulit tanpa daging yang tergolek lemas di ranjang. Rambut hitamnya terpaksa dicukur habis melihatkan kulit kepala yang pucat. Wajah bak purnama itu cenderung redup begitu sayup. Namun, semangat hidup untuk sembuh terus terpancar di binar matanya.
Sesi, wanita lembut yang dinikahi lelaki itu sepuluh tahun lalu, tak pernah jauh dari sampingnya. Selalu ada bersama sejak pertama kali mengetahui sang suami mengindap kanker otak.  Keluhan sakit pusing yang sering menyerang Darto. Pertama memang tidak terlalu membebani bahkan Darto acuh terhadap sakit yang menyerang itu. Lambat laun sakitnya sering muncul dan bertahan biarpun sudah diberi obat pereda sakit kepala, tetap berdenyut hebat hingga kadang Darto pingsan sangking tak kuat menahan sakit.
Melihat  tubuh Darto yang turun dratis, Sesi mengajak suaminya berobat ke dokter ahli. Awalnya lelaki bermata elang itu menolak tetapi Sesi yang tak pernah lelah membujuk, membuat hati Darto luluh. Akhirnya dia mau memeriksakan penyakit yang dirasakan selama ini ke tempat yang lebih pasti tahu. Setelah melakukan berbagai tes serta hasil poto scan kepala dalam Darto, dokter menyimpulkan bahwa lelaki pendiam itu mengidap kanker otak stadium empat.
Betapa terkejutnya sepasang suami istri itu bahkan beberapa kali Sesi menjerit histeris. Hatinya menolak keputusan yang diambil dokter. Wanita bermata teduh itu tak berhenti menangis sambil bibirnya terus mengucapkan istighar.
"Bunda, sabarlah! Ini ujian untuk kita." Darto mengusap lembut pipi sang istri yang berbaring di ranjang rs karena pingsan. Sementara dia duduk di kursi roda dengan tangan yang sudah ditancapi infus. Mata Sesi mengerjap berulang kali. Pandangannya tertuju pada dinding putih dengan korden berwarna senada. Ada dua tempat tidur dalam ruangan.
"Astaghfirullah!" seru Sesi terkejut. Dia langsung bangkit dari tidurnya, menatap sendu malaikat yang menemani di samping ranjang. Seharusnya dia lebih kuat mendengar berita ini agar sang suami lebih optimis untuk sembuh. Namun, dia malah lemah dibanding Darto yang terlihat tegar.
"Berapa lama aku tertidur?" tanyanya ketika melihat selang infus tertempel di rangan sang suami.
Darto tersenyum kecil. Menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dada. Melihat istrinya shock atas kenyataan pahit yang dia derita, lebih menyakitkan dari penyakit itu sendiri. Sesi beranjak dari tidurnya.
"Istirahatlah dulu, bunda!" Darto menahan tangan Sesi tapi ditepis halus oleh perempuan itu. Digenggam erat tangan yang tadi menyentuhnya, dicium punggung tangan Darto berulang kali dengan penuh khidmat. Tangan yang selama ini menghidupi dia dan kedua putrinya. Berjuang sendirian dengan mencari rejeki halal harus mengalami sakit yang bahkan dia sendiri tidak memikirkan akan mendapatkan kenyataan sepahit itu.
"Papa harus sembuh. Berjanjilah papa tidak akan meninggalkan kami." Wanita itu berucap sambil menitikkan airmata. Tangisnya meluluh lantakkan ketegaran yang diperlihatkan Darto. Pria sholeh itu pun menangis, merangkul erat tubuh sang istri. Tak dipungkiri, hatinya pun menolak mendapatkan ujian seberat ini. Dia merasa bahwa Allah tak adil baginya. Namun, melihat betapa rapuh istri dan kenyataan tentang anak-anaknya masih kecil. Dia bertekad untuk berjuang sembuh demi mereka.
Entah sudah berapa kali, dia harus di ranjang pesakitan, merasakan jarum menusuk kulitnya, lalu membiarkan efek obat membakar tubuh. Bahkan tak terhitung, dia harus menguatkan diri untuk menelan obat yang baginya begitu pahit. Apapun itu, asal dia bisa sembuh. Hingga ucapan dokter membuat harapannya lenyap. Sel Kanker sudah menyebar, besar kemungkinan dia tidak akan bertahan. Bahkan sang dokter pun telah memprediksikan bahwa nyawanya hanya hitungan bulan.
Tentu saja, pernyataan itu menghancurkan dunia Darto dan Sesi. Namun, bukan lagi tangisan yang mereka tunjukkan tetapi lantunan dzikir dan sholawat. Mereka sudah pasrah dengan apa kehendak Sang Pencipta. Selama masa penyembuhan di RS, pasangan suami istri itu bersikap lebih taqwakal, menyerahkan semua keputusan pada Sang Maha Kehendak. Lewat pengajian yang mereka dengar dari ponsel bahwa apapun itu sudah ada di dalam takdir yang dibawa masing-masing semenjak di lauful mahfud. Manusia hanya terus berusaha dan berdoa, keputusan akhir berada pada PemilikNya. Bukankah obat paling mujarab dari segala penyakit adalah doa? Yang pasti Allah-lah yang mampu dengan sekejab mengangkat penyakit itu tanpa menggunakan alat secanggih apapun hanya dengan berkata, "Kun fa ya kuun."
Seusai pengobatan dari rs, Darto lebih menfokuskan diri untuk meminum jamuan herbal. Info yang didapat dari beberapa artikel tentang masalah kanker. Pengobatan tradisional menggunakan ketela pohon sebagai pengganti karbohidrat, rebusan kulit sirsak dan daun mengkudu membuat tubuhnya sedikit demi sedikit mengalami perbaikan. Biarpun tidak seratus persen sembuh, setidaknya dia sudah mulai bisa berjalan dengan jarak pendek, melakukan gerak sholat dengan cara duduk dan mulai lagi melihatkan senyum ceria. Semangat hidup untuk sembuh.
Umur yang tadi diprediksi hitungan bulan masih bisa menghirup udara segar hingga beberapa tahun. Masya Allah. Darto pun melanjutkan hidup dengan membantu sang istri meneruskan bisnis sebagai penjual pakaian. Bulan ke bulan, penghasilan yang sempat meredup kembali bersinar. Usaha yang dikembangkan maju pesat hingga toko-toko yang dulu dijual demi membiayai kesembuhan berhasil kembali diambil. Banyak memperkerjakan karyawan agar apa yang dihasilkan bisa dinikmati oleh banyak orang, rajin bersedekah untuk menolak bala dan lebih khusu' lagi menjalankan shalat. Tidak ada yang mustahil bagi Allah biarpun manusia sudah berulangkali berkata menyerah.
"Puasa tahun ini ... kita tutup aja tokonya, bund," kata Darto setengah berbisik.
Tangan yang bergerak lincah di keyboard berhenti seketika, pandangan Sesi beralih ke arah suaminya. Perempuan tegar yang begitu setia itu mengamati wajah lelaki di atas kursi roda.
"Kenapa? Bukankah bulan ini yang dinanti untuk mendapatkan banyak keuntungan?" tanya Sesi tak mengerti. Biasanya, di bulan ramadhan penghasilan akan meningkat pesat. Pengunjung berdesak-desakan mendatangi toko-toko mereka karena mendekati hari lebaran, hari yang kebanyakan orang berlomba dengan melihatkan wujud dan kualitas baju mereka. Berjalan angkuh menuju rumah ke rumah, tanpa didalami sendiri arti hari lebaran itu sendiri.
"Aku ingin lebih fokus menjalankan puasa dan  lebih dekat dengan kamu serta anak-anak," ujar Darto tersenyum. Karena di setiap bulan ramadhan dia selalu mendapati sang istri begitu sibuk mengawasi toko-toko dan jarang bertemu lama di rumah.
Dia tak mampu mengajukan protes sebab tanggung jawab sebagai tulang punggung diambil ahli sang istri. Tubuhnya yang masih lemas bila berjalan terlalu lama membuat gerak tubuh tak leluasa. Hanya bisa membantu mengerjakan sesuatu berhubungan toko di depan laptop. Kadang lelaki itu ikut ke toko tapi lebih banyak mengerjakan di rumah sambil mengawasi kedua putri mereka.
"Bukankah sehabis saur sampai siang aku selalu di rumah ...." Sesi berjalan mendekati sang suami, lalu menyeret kursi roda itu menuju sofa panjang di pojok ruangan.
"Lalu setelahnya kamu pergi sampai malam bahkan aku tidak tahu, kamu ikut shalat tarawih atau tidak." Darto menatap lembut sang istri yang duduk di sofa menghadap ke arahnya.
Di ruangan ini terdapat ruang kerja yang digabung dengan ruang dimana keluarga kecilnya berkumpul. Di mana dinding ruangan berwarna biru laut dengan foto-foto keluarga yang tertempel rapi. Terdapat televisi plasma berukuran 32 inch di pojok ruangan, karpet warna merah bergambar bunga di lantai bawah tepat di depan tivi lalu sofa panjang didekatkan pada dinding. Di sinilah area anak-anak bermain kadang juga belajar.
Di pojok lain, tepat di mana Sesi tadi mengerjakan laporan keuangan. Hanya terdapat lemari berukuran sedang, dimana dia akan menaruh buku serta nota-nota penting. Satu buah laptop dan print kecil di atas meja. Sesi tak pernah kawatir akan benda-benda penting itu sebab kedua bocahnya sudah memahami bahwa benda itu tidak boleh disentuh sembarangan orang.
"Bantu aku menjalani bulan puasa ini dengan penuh khidmat?" Permintaan Darto sedikit membuat debar tak biasa di hati Sesi. Entah, semacam rasa takut luar biasa. "Belum tentu tahun depan aku bisa berjumpa kembali bulan penuh berkah ini."
Sesi tercekat, mendengar kalimat panjang sang suami. Rasa takut kehilangan yang dulu memenuhi hatinya tiba-tiba muncul. Dicium punggung tangan sang suami dengan penuh khidmat.
"Dalam setiap do'a, aku selalu meminta agar papa dipertemukan puasa-puasa di tahun berikutnya," bisik Sesi lirih. Ditanggapi kecupan lembut Darto di keningnya. Melihat kesedihan sang istri, lelaki itu berusaha menahan perkataannya untuk menegaskan keinginan.
"Aamiin," jawab Darto. Dia terenyuh melihat keikhlasan sang istri dalam menjaga dirinya. Betapa beruntung dia mendapatkan istri sholeha, yang selalu menemani di saat dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Suasana mendadak hening.
"Tapi bagi karyawan, bulan ini tempat mereka mendapatkan banyak uang," gumam Sesi sesaat mengingat kembali permintaan Darto.
Darto terdiam sejenak. Dia membetulkan perkataan istrinya. Bulan ramadhanlah tempat karyawan mendapatkan gaji lebih karena banyaknya lembur.
"Kita percayakan pada Agus untuk mengawasi toko," usul Darto. Agus adalah karyawan yang sudah lama bekerja di toko milik mereka. Sosok lelaki yang jujur dan bertanggung jawab serta kemampuan yang cukup diandalkan.
"Tapi pa ... apa kita bisa percaya begitu saja pada oranglain?" bantah Sesi
"Jangan su'udzon dengan orang!" Darto memperingati sang istri, "atau jangan-jangan kamu yang tidak bisa sehari saja melihatnya."
Kalimat terakhir Darto ditanggapi mata membelalak istrinya. Wajah cantik itu mengeras dengan bibir mengantup rapat. Melihat ekspresi yang ditunjukkan sang istri, lelaki itu memahami bahwa dia telah menyinggung perasaan wanita yang amat dicintai.
"Maaf ...," bisik Darto merengkuh sang istri di pelukan.
"Jangan pernah meragukan kesetiaanku!" Isak kecil melantun lembut di mulut perempuan berusia sekitar 36 tahun. Darto menyesal ternyata kalimat yang bermaksud gurauan itu melukai hati sang istri.
"Maaf!" Tangan Darto menjewer telinga sendiri dengan bibir manyun ke depan. Melihat aksi sang suami, Sesi yang tadi menangis mendadak tertawa lebar. Dicium pipi Darto dengan gemas. "Sudah memaafkanku?"
Sesi mengangguk, sejurus kemudian membenamkan diri di dada bidang lelaki yang amat disayangi. Malam makin larut membuat Sesi berkeinginan untuk menjamu sang suami ke peraduaan yang lebih indah.
#
Bulan yang dinantikan telah tiba, Darto dan  sang istri mempergunakan dengan sebaik mungkin. Banyak membaca Alqur'an dan lebih khusu' menjalankan shalat wajib dan sunnah, memperbanyak sedekah dengan membuat takjil untuk orang-orang tadarusan di masjid, memberi sembako pada orang yang kurang mampu sekitar tempat tinggalnya, dan kegiatan bermanfaat lainnya.
"Akhir-akhir ini, saya lihat bapak terlihat lebih muda," puji Agus saat tengah berkunjung untuk memberi laporan keuangan. Di ruang tamu yang sederhana dengan sofa berwarna cream polos, Darto dengan kursi roda ditemani Agus yang duduk di sofa.
Lembaran-lembaran kertas dibaca Darto dengan senyum sumringah. Penghasilan toko yang meningkat pesat serta pujian anak buahnya membuat lelaki itu bahagia.
"Terima kasih," balasnya dengan senyum simpul. "Aku tidak salah menaruh kepercayaan padamu. Toko kami makin maju pesat."
Agus tersenyum mendapat pujian majikannya, "Bagi saya, kepercayaan yang anda berikan adalah amanah besar, penentu surga atau neraka bagi saya dunia akhirat."
Darto tercengang mendengar jawaban menakjubkan dari pemuda yang umurnya jauh lebih muda, sepantaran umur sang istri. 8Sebuah kejujuran dan tanggung jawab yang besar terlihat dari sikap ditunjukkan. Pemuda yang sholeh.
"Aku jadi merasa beruntung mendapatkan kamu. Aku tidak merasa takut lagi bila sewaktu-waktu pergi karena Allah sudah memberikan malaikat di tengah keluargaku," kata Darto lirih setengah berguman. Entah antara sadar atau tidak, kalimat itu meluncur tanpa ekspresi.
Agus mengerutkan dahi, merasa aneh dengan ucapan majikannya. Hanya saja dia diam tanpa memperpanjang lagi perkataan beliau.
                                    #
Setelah pulang bersilaturahmi dengan keluarga besar, Darto beserta istri dan anaknya pulang ke rumah. Nampak wajahnya terlihat pucat.
"Papa capek?" tanya Sesi menghampiri sang suami yang tengah terduduk di kursi roda, mengamati kedua bocah menghitung uang pemberian sanak saudara.
Bagi tubuh selemah Darto, kegiatan sehari penuh ini akan banyak menghabiskan energi yang dia punya. Dari seusai shalat Id, dia beserta keluarga tanpa henti terus melakukan silaturahmi, bertandang dari satu rumah ke rumah tetangga, terakhir berkunjung di tempat keluarga besar yang berada di wilayah lain.
Sebenarnya Sesi melarang suaminya untuk berpergian jauh, biarlah keluarga besar yang datang berkunjung. Toh mereka tahu keadaan Darto yang sepenuhnya belum sembuh. Hanya saja, Darto bersikeras ingin pergi bersilaturahmi. Katanya, belum tentu besok ada kesempatan lagi bisa berkumpul bersama.
"Papa ingin istirahat?" tanya Sesi kembali setelah pertanyaan pertama hanya ditanggapi dengan sebuah gelengan. Darto tersenyum kemudian mengangguk.
"Tolong bila ada seseorang ke sini dan aku tengah tertidur, tolong minta maafkan kesalahanku padanya!" pinta Darto pada istrinya. Sesi tersenyum, tangannya meraih kursi yang diduduki sang suami lalu didorong.
"Ayo, minta cium papa!" seru Sesi pada kedua bocah perempuan yang asyik memamerkan uang yang beragam warna itu. Nila dan kumala langsung berdiri, berlari menghampiri sang ayah. Dicium punggung tangan Darto lalu dibalas kecupan lembut di dahi mereka. Entah kenapa lelaki itu memeluk satu per satu anak-anaknya dengan begitu lama serta diselipi satu nasehat yang membuat Sesi  curiga tentang firasat kehilangan.
"Jaga dan hormati bunda. Jadilah anak sholehah dan berbakti." Pesan singkat yang diucapkan Darto, tapi membuat seluruh sendi kaki Sesi gemetar. Perasaannya mendadak ngilu. Tanpa terasa airmata menghalangi pandangan.
"Ya Allah, Inikah pertanda Engkau akan mengambil dia dari sisiku," bisik Sesi dalam hati. Hatinya berdenyut perih, seolah rasa kehilangan sudah mulai menyiksa. Betapa pun dia sangat menginginkan suaminya terus berada di samping, sesakit apapun dia akan berusaha menerima dengan tulus. Namun, kuasa kita apa? Bila Sang Pemilik sudah menginginkannya kembali.
Sesi terus mengucapkan isthiqfar, berupaya menghalau rasa sakit yang terus memburu. Dia harus berlapang dada bila kemungkinan itu terjadi.
"Bund, kok malah ngelamun!" panggil Darto pada istrinya. Sesi terkejut, memalingkan muka hanya untuk menyeka airmata yang sengaja turun secara diam-diam.
"Maaf," jawabnya sambil mendorong kursi roda yang di duduki suami.
"Bangunin kalau memasuki shalat maghrib ya, bund." Darto meminta. Dilihat jam dinding di atas pintu masuk kamar pribadinya. Jarum menunjukkan pukul empat sore, masih punya waktu 2 jam untuk tertidur sejenak. Biasanya sehabis magrib, banyak tamu yang bakal berkunjung ke rumah. Tradisi hari raya di kampungnya.
"Iya." Sesi membantu sang suami untuk berdiri dari kursi roda, menuntun tangannya agar langkah Darto bisa seimbang, meletakkan tubuh yang sudah mulai berisi kembali itu pada kasur, lalu menyelimutinya.
Sesi duduk di samping ranjang, mengamati wajah bak purnama di kala siang hari, menelusuri setiap inchi tanpa sedetik pun berpaling.
"Bunda jatuh cinta lagi sama papa?" tegur Darto yang keheranan melihat istrinya menatap tanpa berkedip. Wanita yang tengah mati-matian berusaha menahan tangis itu memeluk tubuh sang suami, dikecup pelan kedua pipinya, lalu menenggelamkan wajah di dada bidang sang pemilik hati.
"Berkali-kali, aku selalu jatuh cinta padamu," bisik Sesi gemetar. Terpaksa dia menangis saat lengan milik Darto merengkuh kuat tubuhnya.
"Terima kasih sudah menjadi istri yang baik untukku dan maaf bila aku selalu merepotkanmu," ujar Darto pelan.
"Aku yang harusnya berterima kasih, kamu mau bertahan untuk sembuh hingga sejauh ini. Hanya satu kesalahan yang kamu lakukan ... tak bisa membuatku berhenti mencintaimu, tapi bila tempat yang paling baik untukmu adalah bertemu Pemilikmu sebenarnya. Aku ikhlas ...." Sesi menatap sendu mata yang mulai sayup. Entah karena rasa ngantuk yang mendera atau rasa lelah. Darto tersenyum, mengecup lembut dahi sang istri.
"Mau menemaniku tidur sebentar?" Pertanyaan Darto dibalas anggukan kepala Sesi. Sejurus kemudian tubuh wanita itu berangsur naik ke ranjang di sisi Darto. Disandarkan kepalanya di dada bidang sang suami, mendengar detak jantung itu berirama indah.
"Aku ingin mendengar suaramu melantunkan shalawat," pinta Darto menggenggam erat jemari sang istri.
Sesi tersenyum, bibirnya mulai bersenandung lirih,  menyanyikan shalawat badar dan shalawat lainnya yang diingat.  Tanpa terasa matanya ikut terpejam.  Hingga beberapa menit dia tertidur, hanya saja saat genggaman sang suami tiba-tiba terlepas dari tangannya. Dia tersentak kaget. Matanya makin membesar saat tak mendengar lagi detak jantung yang tadi berbunyi, senyap.
Wanita bertubuh mungil itu membeku. Tak disangka, kematian itu datang secepat matanya terpejam. Hatinya memang sudah menangkap sinyal kehilangan tapi tidak sekarang ini. Dia masih belum percaya akan kenyataan bahwa Darto sudah tak bernapas. Didekap tubuh yang berbaring lemas, masih hangat seperti halnya orang tengah tertidur.
"Ya Allah ... ampuni semua kesalahannya dan tempatkan dia di surga. Aamiin." Sesi menangis tersedu di samping jasad Darto. Dicium kening lelaki berwajah pucat itu berulang kali sambil terus melafadz-kan nama Allah. "Semoga kelak, Allah menjadikan aku bidadari surgamu. Tunggu aku di sana."
Beruntunglah Darto telah melewati puasa terakhirnya dengan khidmat. Semoga kita menjalani puasa seperti esok  tak bisa bertemu di bulan berikutnya agar kita tak menyesal bila maut menjemput. (Kartika Ningsih)