DIALOG PEMUDA
DAN GURUNYA
Seorang pemuda mengeluhkan kondisinya
pada gurunya.
"Duhai syekh, aku ini
sudah seringkali membaca al-Qur'an, tapi rasanya aku tidak mendapatkan manfaat
apa-apa yang kurasakan dalam hidupku, terlebih aku juga tidak terlalu paham
maksud dan arti bacaanku itu."
Syekh itu tersenyum.
"Mari ikuti aku!" pinta sang guru.
"Mari ikuti aku!" pinta sang guru.
Sang Syekh memerintahkan
pemuda itu menimba air sungai untuk memenuhi tong besar di rumahnya, akan
tetapi dengan menggunakan ember yang agak bocor.
Meski agak ragu, si pemuda
memenuhi permintaan gurunya. Ia berusaha memenuhi tong besar itu, namun
sia-sia, sebab ada banyak air yang tercecer dan tumpah di sepanjang jalanan,
hingga ia kelelahan. Tong hanya terisi seperempat.
"Bagaimana apa
hasilnya?" tanya sang guru.
"Tidak banyak yang
saya dapatkan, syekh, sebab embernya bocor, airnya banyak yang tumpah!"
jawab pemuda itu.
Si Syekh itu tersenyum.
"Mari ikuti aku
lagi!" Syekh mengajak pemuda itu berjalan menelusuri sepanjang jalanan
yang ia lalui ketika mengangkut air yang tumpah.
"Apa yang kamu
lihat?" tanya sang guru.
"Jalanan yang basah
akibat air yang kubawa tadi, wahai Syekh?!" jawab si pemuda enteng.
"Apa ada
perubahan?" tanya sang guru lagi.
"Hmm.. Ya, tadinya
jalanan ini penuh dengan debu, sekarang sudah terlihat adem, segar,
debu-debunya sudah tak bertebaran lagi tersiram air!" jawab si pemuda.
"Nah itulah yang
namanya perubahan!" tatap si guru.
"Jika air yang kamu
bawa tadi memang belum mampu memenuhi tong besar di rumahku, tapi kamu sudah
membasahi jalanan ini hingga tak berdebu lagi!
Boleh jadi bacaan
al-Qur'anmu belum memberikan perubahan maksimal dalam hidupmu, tapi minimal
kamu sudah mampu menyiram kotoran-kotoran debu di dalam hatimu dengan bacaan
al-Qur'an yang selalu kamu baca.
Si pemuda baru mulai
tersadar pengajaran hikmah yang diajarkan sang guru begitu sederhana, namun
menyadarkan keinsyafan dirinya yang selama ini lupa bahwa perubahan besar itu
tidak selalu mesti harus berbentuk materi, kebersihan dan ketentraman hati juga
sebuah anugerah yang besar tak ternilai harganya.
"Sekarang, coba kamu
perhatikan di dalam ember yang bocor itu!" pinta sang guru lagi.
"Apa yang
tampak?!" tanya sang Syekh.
"Lumut dan kotoran,
wahai Syekh!" jawab si pemuda.
"Nah itulah
manfaatnya apa yang kamu timba dari ember yang bocor itu, dia menyisakan
kotoran dari air sungai yang kamu timba. Semakin banyak kamu menimba air
sungai, maka semakin kamu mengetahui betapa ada kotoran yang tersaring.
Itulah perumpamaan dari
bacaan al-Qur'an itu, dia menyaring kesia-kesiaan dari ucapan dan perilaku yang
kita lakukan selama ini.
Semakin banyak kamu
membaca al-Qur'an, semakin terfilter kotoran dan ampas keburukan yang
tertinggal di hatimu!"
"Bagaimana jika aku
belum sepenuhnya memahami bacaan yang kubaca, wahai guru, apakah itu juga baik
bagiku?"
"Anakku! Imam
al-Junaid al-Baghdady, seorang sufi pernah bermimpi berjumpa dengan Rabb-nya
-yang bersifat laitsa kamitslihi syai'un- dalam mimpinya dia bertanya pada
Rabb-nya:
"Ya Rabb, apakah
amalan yang mendekatkan diri seorang hamba pada-Mu?"
Allah Swt menjawab,
"Dengan memperbanyak membaca al-Qur'an!"
"Apakah dengan paham
maknanya atau tidak, wahai Rabb?"
"Baik dengan hamba-Ku
memahami maknanya atau tidak!"
Oleh karena itulah, para
orang shaleh dan aulia shalihin membiasakan membaca al-Qur'an sepanjang hidup
mereka.
Bahkan ada diantara mereka
yang berulang-ulang hingga ratusan hingga ribuan kali khatam, mereka tak pernah
bosan, sebab ibarat menyelam ke dalam samudera lautan, semakin mereka menyelam,
semakin tampak keindahan di dasar lautan.
Seperti Sayyidah Nafisah;
seorang sufi wanita di Mesir yang juga cucu dari Sayyidina Husin
radhiyallahuanhu; cucu baginda kita Rasulullah Saw yang mengkhatamkan al-Qur'an
hingga 4444 sepanjang hidupnya.
Bagaimana dengan kita,
wahai anakku?!"
*Riwayat Imam al-Junaidi
al-Baghdadi saya kutip dari Kitab "Irsyadul Ibad"
**Ust. Dr. Miftah el-Banjary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar