InspirasI

Sabtu, 04 Mei 2019

PUASA TERAKHIR

Maut adalah rahasia Allah. Tak ada yang pernah tahu, bagaimana kita kelak bertemu dengan malaikat sang pencabut nyawa, Izroil. Saat itu kita dalam keadaan seperti apa dan kapan tepatnya. Bahkan saat sang ahli kesehatan telah memprediksi umur yang tak akan lama, bila Allah belum berkehendak, maka akan ada keajaiban untuk menyembuhkan sakit yang diderita.
Darto contohnya, dokter sudah memperkirakan umurnya akan bertahan hanya dua bulan saja. Kanker telah merusak susunan saraf di otak kemudian menyebar di sel-sel darah lainnya. Peralatan kesehatan yang canggih tak mampu membasmi virus mematikan itu secara total. Saat kemo therapy,  sel-sel beracun itu hilang sesaat tetapi kemudian muncul menyebar kembali. Hingga dokter yang menangani lelaki beranak dua itu menyerah, lalu mengembalikan pada keluarga pasien.
Darto yang dulu adalah lelaki perkasa dengan tubuh yang membuat perempuan mana saja terpikat, berubah menjadi manusia berbalut kulit tanpa daging yang tergolek lemas di ranjang. Rambut hitamnya terpaksa dicukur habis melihatkan kulit kepala yang pucat. Wajah bak purnama itu cenderung redup begitu sayup. Namun, semangat hidup untuk sembuh terus terpancar di binar matanya.
Sesi, wanita lembut yang dinikahi lelaki itu sepuluh tahun lalu, tak pernah jauh dari sampingnya. Selalu ada bersama sejak pertama kali mengetahui sang suami mengindap kanker otak.  Keluhan sakit pusing yang sering menyerang Darto. Pertama memang tidak terlalu membebani bahkan Darto acuh terhadap sakit yang menyerang itu. Lambat laun sakitnya sering muncul dan bertahan biarpun sudah diberi obat pereda sakit kepala, tetap berdenyut hebat hingga kadang Darto pingsan sangking tak kuat menahan sakit.
Melihat  tubuh Darto yang turun dratis, Sesi mengajak suaminya berobat ke dokter ahli. Awalnya lelaki bermata elang itu menolak tetapi Sesi yang tak pernah lelah membujuk, membuat hati Darto luluh. Akhirnya dia mau memeriksakan penyakit yang dirasakan selama ini ke tempat yang lebih pasti tahu. Setelah melakukan berbagai tes serta hasil poto scan kepala dalam Darto, dokter menyimpulkan bahwa lelaki pendiam itu mengidap kanker otak stadium empat.
Betapa terkejutnya sepasang suami istri itu bahkan beberapa kali Sesi menjerit histeris. Hatinya menolak keputusan yang diambil dokter. Wanita bermata teduh itu tak berhenti menangis sambil bibirnya terus mengucapkan istighar.
"Bunda, sabarlah! Ini ujian untuk kita." Darto mengusap lembut pipi sang istri yang berbaring di ranjang rs karena pingsan. Sementara dia duduk di kursi roda dengan tangan yang sudah ditancapi infus. Mata Sesi mengerjap berulang kali. Pandangannya tertuju pada dinding putih dengan korden berwarna senada. Ada dua tempat tidur dalam ruangan.
"Astaghfirullah!" seru Sesi terkejut. Dia langsung bangkit dari tidurnya, menatap sendu malaikat yang menemani di samping ranjang. Seharusnya dia lebih kuat mendengar berita ini agar sang suami lebih optimis untuk sembuh. Namun, dia malah lemah dibanding Darto yang terlihat tegar.
"Berapa lama aku tertidur?" tanyanya ketika melihat selang infus tertempel di rangan sang suami.
Darto tersenyum kecil. Menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dada. Melihat istrinya shock atas kenyataan pahit yang dia derita, lebih menyakitkan dari penyakit itu sendiri. Sesi beranjak dari tidurnya.
"Istirahatlah dulu, bunda!" Darto menahan tangan Sesi tapi ditepis halus oleh perempuan itu. Digenggam erat tangan yang tadi menyentuhnya, dicium punggung tangan Darto berulang kali dengan penuh khidmat. Tangan yang selama ini menghidupi dia dan kedua putrinya. Berjuang sendirian dengan mencari rejeki halal harus mengalami sakit yang bahkan dia sendiri tidak memikirkan akan mendapatkan kenyataan sepahit itu.
"Papa harus sembuh. Berjanjilah papa tidak akan meninggalkan kami." Wanita itu berucap sambil menitikkan airmata. Tangisnya meluluh lantakkan ketegaran yang diperlihatkan Darto. Pria sholeh itu pun menangis, merangkul erat tubuh sang istri. Tak dipungkiri, hatinya pun menolak mendapatkan ujian seberat ini. Dia merasa bahwa Allah tak adil baginya. Namun, melihat betapa rapuh istri dan kenyataan tentang anak-anaknya masih kecil. Dia bertekad untuk berjuang sembuh demi mereka.
Entah sudah berapa kali, dia harus di ranjang pesakitan, merasakan jarum menusuk kulitnya, lalu membiarkan efek obat membakar tubuh. Bahkan tak terhitung, dia harus menguatkan diri untuk menelan obat yang baginya begitu pahit. Apapun itu, asal dia bisa sembuh. Hingga ucapan dokter membuat harapannya lenyap. Sel Kanker sudah menyebar, besar kemungkinan dia tidak akan bertahan. Bahkan sang dokter pun telah memprediksikan bahwa nyawanya hanya hitungan bulan.
Tentu saja, pernyataan itu menghancurkan dunia Darto dan Sesi. Namun, bukan lagi tangisan yang mereka tunjukkan tetapi lantunan dzikir dan sholawat. Mereka sudah pasrah dengan apa kehendak Sang Pencipta. Selama masa penyembuhan di RS, pasangan suami istri itu bersikap lebih taqwakal, menyerahkan semua keputusan pada Sang Maha Kehendak. Lewat pengajian yang mereka dengar dari ponsel bahwa apapun itu sudah ada di dalam takdir yang dibawa masing-masing semenjak di lauful mahfud. Manusia hanya terus berusaha dan berdoa, keputusan akhir berada pada PemilikNya. Bukankah obat paling mujarab dari segala penyakit adalah doa? Yang pasti Allah-lah yang mampu dengan sekejab mengangkat penyakit itu tanpa menggunakan alat secanggih apapun hanya dengan berkata, "Kun fa ya kuun."
Seusai pengobatan dari rs, Darto lebih menfokuskan diri untuk meminum jamuan herbal. Info yang didapat dari beberapa artikel tentang masalah kanker. Pengobatan tradisional menggunakan ketela pohon sebagai pengganti karbohidrat, rebusan kulit sirsak dan daun mengkudu membuat tubuhnya sedikit demi sedikit mengalami perbaikan. Biarpun tidak seratus persen sembuh, setidaknya dia sudah mulai bisa berjalan dengan jarak pendek, melakukan gerak sholat dengan cara duduk dan mulai lagi melihatkan senyum ceria. Semangat hidup untuk sembuh.
Umur yang tadi diprediksi hitungan bulan masih bisa menghirup udara segar hingga beberapa tahun. Masya Allah. Darto pun melanjutkan hidup dengan membantu sang istri meneruskan bisnis sebagai penjual pakaian. Bulan ke bulan, penghasilan yang sempat meredup kembali bersinar. Usaha yang dikembangkan maju pesat hingga toko-toko yang dulu dijual demi membiayai kesembuhan berhasil kembali diambil. Banyak memperkerjakan karyawan agar apa yang dihasilkan bisa dinikmati oleh banyak orang, rajin bersedekah untuk menolak bala dan lebih khusu' lagi menjalankan shalat. Tidak ada yang mustahil bagi Allah biarpun manusia sudah berulangkali berkata menyerah.
"Puasa tahun ini ... kita tutup aja tokonya, bund," kata Darto setengah berbisik.
Tangan yang bergerak lincah di keyboard berhenti seketika, pandangan Sesi beralih ke arah suaminya. Perempuan tegar yang begitu setia itu mengamati wajah lelaki di atas kursi roda.
"Kenapa? Bukankah bulan ini yang dinanti untuk mendapatkan banyak keuntungan?" tanya Sesi tak mengerti. Biasanya, di bulan ramadhan penghasilan akan meningkat pesat. Pengunjung berdesak-desakan mendatangi toko-toko mereka karena mendekati hari lebaran, hari yang kebanyakan orang berlomba dengan melihatkan wujud dan kualitas baju mereka. Berjalan angkuh menuju rumah ke rumah, tanpa didalami sendiri arti hari lebaran itu sendiri.
"Aku ingin lebih fokus menjalankan puasa dan  lebih dekat dengan kamu serta anak-anak," ujar Darto tersenyum. Karena di setiap bulan ramadhan dia selalu mendapati sang istri begitu sibuk mengawasi toko-toko dan jarang bertemu lama di rumah.
Dia tak mampu mengajukan protes sebab tanggung jawab sebagai tulang punggung diambil ahli sang istri. Tubuhnya yang masih lemas bila berjalan terlalu lama membuat gerak tubuh tak leluasa. Hanya bisa membantu mengerjakan sesuatu berhubungan toko di depan laptop. Kadang lelaki itu ikut ke toko tapi lebih banyak mengerjakan di rumah sambil mengawasi kedua putri mereka.
"Bukankah sehabis saur sampai siang aku selalu di rumah ...." Sesi berjalan mendekati sang suami, lalu menyeret kursi roda itu menuju sofa panjang di pojok ruangan.
"Lalu setelahnya kamu pergi sampai malam bahkan aku tidak tahu, kamu ikut shalat tarawih atau tidak." Darto menatap lembut sang istri yang duduk di sofa menghadap ke arahnya.
Di ruangan ini terdapat ruang kerja yang digabung dengan ruang dimana keluarga kecilnya berkumpul. Di mana dinding ruangan berwarna biru laut dengan foto-foto keluarga yang tertempel rapi. Terdapat televisi plasma berukuran 32 inch di pojok ruangan, karpet warna merah bergambar bunga di lantai bawah tepat di depan tivi lalu sofa panjang didekatkan pada dinding. Di sinilah area anak-anak bermain kadang juga belajar.
Di pojok lain, tepat di mana Sesi tadi mengerjakan laporan keuangan. Hanya terdapat lemari berukuran sedang, dimana dia akan menaruh buku serta nota-nota penting. Satu buah laptop dan print kecil di atas meja. Sesi tak pernah kawatir akan benda-benda penting itu sebab kedua bocahnya sudah memahami bahwa benda itu tidak boleh disentuh sembarangan orang.
"Bantu aku menjalani bulan puasa ini dengan penuh khidmat?" Permintaan Darto sedikit membuat debar tak biasa di hati Sesi. Entah, semacam rasa takut luar biasa. "Belum tentu tahun depan aku bisa berjumpa kembali bulan penuh berkah ini."
Sesi tercekat, mendengar kalimat panjang sang suami. Rasa takut kehilangan yang dulu memenuhi hatinya tiba-tiba muncul. Dicium punggung tangan sang suami dengan penuh khidmat.
"Dalam setiap do'a, aku selalu meminta agar papa dipertemukan puasa-puasa di tahun berikutnya," bisik Sesi lirih. Ditanggapi kecupan lembut Darto di keningnya. Melihat kesedihan sang istri, lelaki itu berusaha menahan perkataannya untuk menegaskan keinginan.
"Aamiin," jawab Darto. Dia terenyuh melihat keikhlasan sang istri dalam menjaga dirinya. Betapa beruntung dia mendapatkan istri sholeha, yang selalu menemani di saat dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Suasana mendadak hening.
"Tapi bagi karyawan, bulan ini tempat mereka mendapatkan banyak uang," gumam Sesi sesaat mengingat kembali permintaan Darto.
Darto terdiam sejenak. Dia membetulkan perkataan istrinya. Bulan ramadhanlah tempat karyawan mendapatkan gaji lebih karena banyaknya lembur.
"Kita percayakan pada Agus untuk mengawasi toko," usul Darto. Agus adalah karyawan yang sudah lama bekerja di toko milik mereka. Sosok lelaki yang jujur dan bertanggung jawab serta kemampuan yang cukup diandalkan.
"Tapi pa ... apa kita bisa percaya begitu saja pada oranglain?" bantah Sesi
"Jangan su'udzon dengan orang!" Darto memperingati sang istri, "atau jangan-jangan kamu yang tidak bisa sehari saja melihatnya."
Kalimat terakhir Darto ditanggapi mata membelalak istrinya. Wajah cantik itu mengeras dengan bibir mengantup rapat. Melihat ekspresi yang ditunjukkan sang istri, lelaki itu memahami bahwa dia telah menyinggung perasaan wanita yang amat dicintai.
"Maaf ...," bisik Darto merengkuh sang istri di pelukan.
"Jangan pernah meragukan kesetiaanku!" Isak kecil melantun lembut di mulut perempuan berusia sekitar 36 tahun. Darto menyesal ternyata kalimat yang bermaksud gurauan itu melukai hati sang istri.
"Maaf!" Tangan Darto menjewer telinga sendiri dengan bibir manyun ke depan. Melihat aksi sang suami, Sesi yang tadi menangis mendadak tertawa lebar. Dicium pipi Darto dengan gemas. "Sudah memaafkanku?"
Sesi mengangguk, sejurus kemudian membenamkan diri di dada bidang lelaki yang amat disayangi. Malam makin larut membuat Sesi berkeinginan untuk menjamu sang suami ke peraduaan yang lebih indah.
#
Bulan yang dinantikan telah tiba, Darto dan  sang istri mempergunakan dengan sebaik mungkin. Banyak membaca Alqur'an dan lebih khusu' menjalankan shalat wajib dan sunnah, memperbanyak sedekah dengan membuat takjil untuk orang-orang tadarusan di masjid, memberi sembako pada orang yang kurang mampu sekitar tempat tinggalnya, dan kegiatan bermanfaat lainnya.
"Akhir-akhir ini, saya lihat bapak terlihat lebih muda," puji Agus saat tengah berkunjung untuk memberi laporan keuangan. Di ruang tamu yang sederhana dengan sofa berwarna cream polos, Darto dengan kursi roda ditemani Agus yang duduk di sofa.
Lembaran-lembaran kertas dibaca Darto dengan senyum sumringah. Penghasilan toko yang meningkat pesat serta pujian anak buahnya membuat lelaki itu bahagia.
"Terima kasih," balasnya dengan senyum simpul. "Aku tidak salah menaruh kepercayaan padamu. Toko kami makin maju pesat."
Agus tersenyum mendapat pujian majikannya, "Bagi saya, kepercayaan yang anda berikan adalah amanah besar, penentu surga atau neraka bagi saya dunia akhirat."
Darto tercengang mendengar jawaban menakjubkan dari pemuda yang umurnya jauh lebih muda, sepantaran umur sang istri. 8Sebuah kejujuran dan tanggung jawab yang besar terlihat dari sikap ditunjukkan. Pemuda yang sholeh.
"Aku jadi merasa beruntung mendapatkan kamu. Aku tidak merasa takut lagi bila sewaktu-waktu pergi karena Allah sudah memberikan malaikat di tengah keluargaku," kata Darto lirih setengah berguman. Entah antara sadar atau tidak, kalimat itu meluncur tanpa ekspresi.
Agus mengerutkan dahi, merasa aneh dengan ucapan majikannya. Hanya saja dia diam tanpa memperpanjang lagi perkataan beliau.
                                    #
Setelah pulang bersilaturahmi dengan keluarga besar, Darto beserta istri dan anaknya pulang ke rumah. Nampak wajahnya terlihat pucat.
"Papa capek?" tanya Sesi menghampiri sang suami yang tengah terduduk di kursi roda, mengamati kedua bocah menghitung uang pemberian sanak saudara.
Bagi tubuh selemah Darto, kegiatan sehari penuh ini akan banyak menghabiskan energi yang dia punya. Dari seusai shalat Id, dia beserta keluarga tanpa henti terus melakukan silaturahmi, bertandang dari satu rumah ke rumah tetangga, terakhir berkunjung di tempat keluarga besar yang berada di wilayah lain.
Sebenarnya Sesi melarang suaminya untuk berpergian jauh, biarlah keluarga besar yang datang berkunjung. Toh mereka tahu keadaan Darto yang sepenuhnya belum sembuh. Hanya saja, Darto bersikeras ingin pergi bersilaturahmi. Katanya, belum tentu besok ada kesempatan lagi bisa berkumpul bersama.
"Papa ingin istirahat?" tanya Sesi kembali setelah pertanyaan pertama hanya ditanggapi dengan sebuah gelengan. Darto tersenyum kemudian mengangguk.
"Tolong bila ada seseorang ke sini dan aku tengah tertidur, tolong minta maafkan kesalahanku padanya!" pinta Darto pada istrinya. Sesi tersenyum, tangannya meraih kursi yang diduduki sang suami lalu didorong.
"Ayo, minta cium papa!" seru Sesi pada kedua bocah perempuan yang asyik memamerkan uang yang beragam warna itu. Nila dan kumala langsung berdiri, berlari menghampiri sang ayah. Dicium punggung tangan Darto lalu dibalas kecupan lembut di dahi mereka. Entah kenapa lelaki itu memeluk satu per satu anak-anaknya dengan begitu lama serta diselipi satu nasehat yang membuat Sesi  curiga tentang firasat kehilangan.
"Jaga dan hormati bunda. Jadilah anak sholehah dan berbakti." Pesan singkat yang diucapkan Darto, tapi membuat seluruh sendi kaki Sesi gemetar. Perasaannya mendadak ngilu. Tanpa terasa airmata menghalangi pandangan.
"Ya Allah, Inikah pertanda Engkau akan mengambil dia dari sisiku," bisik Sesi dalam hati. Hatinya berdenyut perih, seolah rasa kehilangan sudah mulai menyiksa. Betapa pun dia sangat menginginkan suaminya terus berada di samping, sesakit apapun dia akan berusaha menerima dengan tulus. Namun, kuasa kita apa? Bila Sang Pemilik sudah menginginkannya kembali.
Sesi terus mengucapkan isthiqfar, berupaya menghalau rasa sakit yang terus memburu. Dia harus berlapang dada bila kemungkinan itu terjadi.
"Bund, kok malah ngelamun!" panggil Darto pada istrinya. Sesi terkejut, memalingkan muka hanya untuk menyeka airmata yang sengaja turun secara diam-diam.
"Maaf," jawabnya sambil mendorong kursi roda yang di duduki suami.
"Bangunin kalau memasuki shalat maghrib ya, bund." Darto meminta. Dilihat jam dinding di atas pintu masuk kamar pribadinya. Jarum menunjukkan pukul empat sore, masih punya waktu 2 jam untuk tertidur sejenak. Biasanya sehabis magrib, banyak tamu yang bakal berkunjung ke rumah. Tradisi hari raya di kampungnya.
"Iya." Sesi membantu sang suami untuk berdiri dari kursi roda, menuntun tangannya agar langkah Darto bisa seimbang, meletakkan tubuh yang sudah mulai berisi kembali itu pada kasur, lalu menyelimutinya.
Sesi duduk di samping ranjang, mengamati wajah bak purnama di kala siang hari, menelusuri setiap inchi tanpa sedetik pun berpaling.
"Bunda jatuh cinta lagi sama papa?" tegur Darto yang keheranan melihat istrinya menatap tanpa berkedip. Wanita yang tengah mati-matian berusaha menahan tangis itu memeluk tubuh sang suami, dikecup pelan kedua pipinya, lalu menenggelamkan wajah di dada bidang sang pemilik hati.
"Berkali-kali, aku selalu jatuh cinta padamu," bisik Sesi gemetar. Terpaksa dia menangis saat lengan milik Darto merengkuh kuat tubuhnya.
"Terima kasih sudah menjadi istri yang baik untukku dan maaf bila aku selalu merepotkanmu," ujar Darto pelan.
"Aku yang harusnya berterima kasih, kamu mau bertahan untuk sembuh hingga sejauh ini. Hanya satu kesalahan yang kamu lakukan ... tak bisa membuatku berhenti mencintaimu, tapi bila tempat yang paling baik untukmu adalah bertemu Pemilikmu sebenarnya. Aku ikhlas ...." Sesi menatap sendu mata yang mulai sayup. Entah karena rasa ngantuk yang mendera atau rasa lelah. Darto tersenyum, mengecup lembut dahi sang istri.
"Mau menemaniku tidur sebentar?" Pertanyaan Darto dibalas anggukan kepala Sesi. Sejurus kemudian tubuh wanita itu berangsur naik ke ranjang di sisi Darto. Disandarkan kepalanya di dada bidang sang suami, mendengar detak jantung itu berirama indah.
"Aku ingin mendengar suaramu melantunkan shalawat," pinta Darto menggenggam erat jemari sang istri.
Sesi tersenyum, bibirnya mulai bersenandung lirih,  menyanyikan shalawat badar dan shalawat lainnya yang diingat.  Tanpa terasa matanya ikut terpejam.  Hingga beberapa menit dia tertidur, hanya saja saat genggaman sang suami tiba-tiba terlepas dari tangannya. Dia tersentak kaget. Matanya makin membesar saat tak mendengar lagi detak jantung yang tadi berbunyi, senyap.
Wanita bertubuh mungil itu membeku. Tak disangka, kematian itu datang secepat matanya terpejam. Hatinya memang sudah menangkap sinyal kehilangan tapi tidak sekarang ini. Dia masih belum percaya akan kenyataan bahwa Darto sudah tak bernapas. Didekap tubuh yang berbaring lemas, masih hangat seperti halnya orang tengah tertidur.
"Ya Allah ... ampuni semua kesalahannya dan tempatkan dia di surga. Aamiin." Sesi menangis tersedu di samping jasad Darto. Dicium kening lelaki berwajah pucat itu berulang kali sambil terus melafadz-kan nama Allah. "Semoga kelak, Allah menjadikan aku bidadari surgamu. Tunggu aku di sana."
Beruntunglah Darto telah melewati puasa terakhirnya dengan khidmat. Semoga kita menjalani puasa seperti esok  tak bisa bertemu di bulan berikutnya agar kita tak menyesal bila maut menjemput. (Kartika Ningsih)


Tidak ada komentar: