PUASA TERAKHIR
Maut adalah
rahasia Allah. Tak ada yang pernah tahu, bagaimana kita kelak bertemu dengan
malaikat sang pencabut nyawa, Izroil. Saat itu kita dalam keadaan seperti apa
dan kapan tepatnya. Bahkan saat sang ahli kesehatan telah memprediksi umur yang
tak akan lama, bila Allah belum berkehendak, maka akan ada keajaiban untuk
menyembuhkan sakit yang diderita.
Darto contohnya, dokter sudah memperkirakan
umurnya akan bertahan hanya dua bulan saja. Kanker telah merusak susunan saraf
di otak kemudian menyebar di sel-sel darah lainnya. Peralatan kesehatan yang
canggih tak mampu membasmi virus mematikan itu secara total. Saat kemo
therapy, sel-sel beracun itu hilang sesaat tetapi kemudian muncul
menyebar kembali. Hingga dokter yang menangani lelaki beranak dua itu menyerah,
lalu mengembalikan pada keluarga pasien.
Darto yang
dulu adalah lelaki perkasa dengan tubuh yang membuat perempuan mana saja
terpikat, berubah menjadi manusia berbalut kulit tanpa daging yang tergolek
lemas di ranjang. Rambut hitamnya terpaksa dicukur habis melihatkan kulit
kepala yang pucat. Wajah bak purnama itu cenderung redup begitu sayup. Namun,
semangat hidup untuk sembuh terus terpancar di binar matanya.
Sesi, wanita
lembut yang dinikahi lelaki itu sepuluh tahun lalu, tak pernah jauh dari sampingnya.
Selalu ada bersama sejak pertama kali mengetahui sang suami mengindap kanker
otak. Keluhan sakit pusing yang sering menyerang Darto. Pertama memang
tidak terlalu membebani bahkan Darto acuh terhadap sakit yang menyerang itu.
Lambat laun sakitnya sering muncul dan bertahan biarpun sudah diberi obat
pereda sakit kepala, tetap berdenyut hebat hingga kadang Darto pingsan sangking
tak kuat menahan sakit.
Melihat tubuh Darto yang turun dratis, Sesi mengajak
suaminya berobat ke dokter ahli. Awalnya lelaki bermata elang itu menolak
tetapi Sesi yang tak pernah lelah membujuk, membuat hati Darto luluh. Akhirnya
dia mau memeriksakan penyakit yang dirasakan selama ini ke tempat yang lebih
pasti tahu. Setelah melakukan berbagai tes serta hasil poto scan kepala dalam
Darto, dokter menyimpulkan bahwa lelaki pendiam itu mengidap kanker otak
stadium empat.
Betapa
terkejutnya sepasang suami istri itu bahkan beberapa kali Sesi menjerit
histeris. Hatinya menolak keputusan yang diambil dokter. Wanita bermata teduh
itu tak berhenti menangis sambil bibirnya terus mengucapkan istighar.
"Bunda,
sabarlah! Ini ujian untuk kita." Darto mengusap lembut pipi sang istri
yang berbaring di ranjang rs karena pingsan. Sementara dia duduk di kursi roda
dengan tangan yang sudah ditancapi infus. Mata Sesi mengerjap berulang kali.
Pandangannya tertuju pada dinding putih dengan korden berwarna senada. Ada dua
tempat tidur dalam ruangan.
"Astaghfirullah!"
seru Sesi terkejut. Dia langsung bangkit dari tidurnya, menatap sendu malaikat
yang menemani di samping ranjang. Seharusnya dia lebih kuat mendengar berita
ini agar sang suami lebih optimis untuk sembuh. Namun, dia malah lemah
dibanding Darto yang terlihat tegar.
"Berapa lama aku tertidur?" tanyanya
ketika melihat selang infus tertempel di rangan sang suami.
Darto
tersenyum kecil. Menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dada. Melihat
istrinya shock atas kenyataan pahit yang dia derita, lebih menyakitkan dari
penyakit itu sendiri. Sesi beranjak dari tidurnya.
"Istirahatlah dulu, bunda!" Darto
menahan tangan Sesi tapi ditepis halus oleh perempuan itu. Digenggam erat
tangan yang tadi menyentuhnya, dicium punggung tangan Darto berulang kali
dengan penuh khidmat. Tangan yang selama ini menghidupi dia dan kedua putrinya.
Berjuang sendirian dengan mencari rejeki halal harus mengalami sakit yang
bahkan dia sendiri tidak memikirkan akan mendapatkan kenyataan sepahit itu.
"Papa
harus sembuh. Berjanjilah papa tidak akan meninggalkan kami." Wanita itu
berucap sambil menitikkan airmata. Tangisnya meluluh lantakkan ketegaran yang
diperlihatkan Darto. Pria sholeh itu pun menangis, merangkul erat tubuh sang
istri. Tak dipungkiri, hatinya pun menolak mendapatkan ujian seberat ini. Dia
merasa bahwa Allah tak adil baginya. Namun, melihat betapa rapuh istri dan kenyataan
tentang anak-anaknya masih kecil. Dia bertekad untuk berjuang sembuh demi
mereka.
Entah sudah
berapa kali, dia harus di ranjang pesakitan, merasakan jarum menusuk kulitnya,
lalu membiarkan efek obat membakar tubuh. Bahkan tak terhitung, dia harus menguatkan
diri untuk menelan obat yang baginya begitu pahit. Apapun itu, asal dia bisa
sembuh. Hingga ucapan dokter membuat harapannya lenyap. Sel Kanker sudah
menyebar, besar kemungkinan dia tidak akan bertahan. Bahkan sang dokter pun
telah memprediksikan bahwa nyawanya hanya hitungan bulan.
Tentu saja,
pernyataan itu menghancurkan dunia Darto dan Sesi. Namun, bukan lagi tangisan
yang mereka tunjukkan tetapi lantunan dzikir dan sholawat. Mereka sudah pasrah
dengan apa kehendak Sang Pencipta. Selama masa penyembuhan di RS, pasangan
suami istri itu bersikap lebih taqwakal, menyerahkan semua keputusan pada Sang
Maha Kehendak. Lewat pengajian yang mereka dengar dari ponsel bahwa apapun itu
sudah ada di dalam takdir yang dibawa masing-masing semenjak di lauful mahfud.
Manusia hanya terus berusaha dan berdoa, keputusan akhir berada pada
PemilikNya. Bukankah obat paling mujarab dari segala penyakit adalah doa? Yang
pasti Allah-lah yang mampu dengan sekejab mengangkat penyakit itu tanpa
menggunakan alat secanggih apapun hanya dengan berkata, "Kun fa ya
kuun."
Seusai
pengobatan dari rs, Darto lebih menfokuskan diri untuk meminum jamuan herbal.
Info yang didapat dari beberapa artikel tentang masalah kanker. Pengobatan
tradisional menggunakan ketela pohon sebagai pengganti karbohidrat, rebusan
kulit sirsak dan daun mengkudu membuat tubuhnya sedikit demi sedikit mengalami
perbaikan. Biarpun tidak seratus persen sembuh, setidaknya dia sudah mulai bisa
berjalan dengan jarak pendek, melakukan gerak sholat dengan cara duduk dan
mulai lagi melihatkan senyum ceria. Semangat hidup untuk sembuh.
Umur yang tadi
diprediksi hitungan bulan masih bisa menghirup udara segar hingga beberapa
tahun. Masya Allah. Darto pun melanjutkan hidup dengan membantu sang istri
meneruskan bisnis sebagai penjual pakaian. Bulan ke bulan, penghasilan yang
sempat meredup kembali bersinar. Usaha yang dikembangkan maju pesat hingga
toko-toko yang dulu dijual demi membiayai kesembuhan berhasil kembali diambil.
Banyak memperkerjakan karyawan agar apa yang dihasilkan bisa dinikmati oleh
banyak orang, rajin bersedekah untuk menolak bala dan lebih khusu' lagi
menjalankan shalat. Tidak ada yang mustahil bagi Allah biarpun manusia sudah
berulangkali berkata menyerah.
"Puasa tahun ini ... kita tutup aja tokonya,
bund," kata Darto setengah berbisik.
Tangan yang bergerak lincah di keyboard berhenti
seketika, pandangan Sesi beralih ke arah suaminya. Perempuan tegar yang begitu
setia itu mengamati wajah lelaki di atas kursi roda.
"Kenapa? Bukankah bulan ini yang dinanti untuk
mendapatkan banyak keuntungan?" tanya Sesi tak mengerti. Biasanya, di
bulan ramadhan penghasilan akan meningkat pesat. Pengunjung berdesak-desakan
mendatangi toko-toko mereka karena mendekati hari lebaran, hari yang kebanyakan
orang berlomba dengan melihatkan wujud dan kualitas baju mereka. Berjalan
angkuh menuju rumah ke rumah, tanpa didalami sendiri arti hari lebaran itu
sendiri.
"Aku ingin lebih fokus menjalankan puasa
dan lebih dekat dengan kamu serta anak-anak," ujar Darto tersenyum.
Karena di setiap bulan ramadhan dia selalu mendapati sang istri begitu sibuk
mengawasi toko-toko dan jarang bertemu lama di rumah.
Dia tak mampu
mengajukan protes sebab tanggung jawab sebagai tulang punggung diambil ahli
sang istri. Tubuhnya yang masih lemas bila berjalan terlalu lama membuat gerak
tubuh tak leluasa. Hanya bisa membantu mengerjakan sesuatu berhubungan toko di
depan laptop. Kadang lelaki itu ikut ke toko tapi lebih banyak mengerjakan di
rumah sambil mengawasi kedua putri mereka.
"Bukankah sehabis saur sampai siang aku
selalu di rumah ...." Sesi berjalan mendekati sang suami, lalu menyeret
kursi roda itu menuju sofa panjang di pojok ruangan.
"Lalu setelahnya kamu pergi sampai malam
bahkan aku tidak tahu, kamu ikut shalat tarawih atau tidak." Darto menatap
lembut sang istri yang duduk di sofa menghadap ke arahnya.
Di ruangan ini
terdapat ruang kerja yang digabung dengan ruang dimana keluarga kecilnya
berkumpul. Di mana dinding ruangan berwarna biru laut dengan foto-foto keluarga
yang tertempel rapi. Terdapat televisi plasma berukuran 32 inch di pojok
ruangan, karpet warna merah bergambar bunga di lantai bawah tepat di depan tivi
lalu sofa panjang didekatkan pada dinding. Di sinilah area anak-anak bermain
kadang juga belajar.
Di pojok lain,
tepat di mana Sesi tadi mengerjakan laporan keuangan. Hanya terdapat lemari
berukuran sedang, dimana dia akan menaruh buku serta nota-nota penting. Satu
buah laptop dan print kecil di atas meja. Sesi tak pernah kawatir akan
benda-benda penting itu sebab kedua bocahnya sudah memahami bahwa benda itu
tidak boleh disentuh sembarangan orang.
"Bantu aku menjalani bulan puasa ini dengan
penuh khidmat?" Permintaan Darto sedikit membuat debar tak biasa di hati
Sesi. Entah, semacam rasa takut luar biasa. "Belum tentu tahun depan aku bisa
berjumpa kembali bulan penuh berkah ini."
Sesi tercekat,
mendengar kalimat panjang sang suami. Rasa takut kehilangan yang dulu memenuhi
hatinya tiba-tiba muncul. Dicium punggung tangan sang suami dengan penuh
khidmat.
"Dalam setiap do'a, aku selalu meminta agar
papa dipertemukan puasa-puasa di tahun berikutnya," bisik Sesi lirih.
Ditanggapi kecupan lembut Darto di keningnya. Melihat kesedihan sang istri,
lelaki itu berusaha menahan perkataannya untuk menegaskan keinginan.
"Aamiin," jawab Darto. Dia terenyuh
melihat keikhlasan sang istri dalam menjaga dirinya. Betapa beruntung dia
mendapatkan istri sholeha, yang selalu menemani di saat dirinya tidak bisa
berbuat apa-apa. Suasana mendadak hening.
"Tapi bagi karyawan, bulan ini tempat mereka
mendapatkan banyak uang," gumam Sesi sesaat mengingat kembali permintaan
Darto.
Darto terdiam sejenak. Dia membetulkan perkataan
istrinya. Bulan ramadhanlah tempat karyawan mendapatkan gaji lebih karena
banyaknya lembur.
"Kita percayakan pada Agus untuk mengawasi
toko," usul Darto. Agus adalah karyawan yang sudah lama bekerja di toko
milik mereka. Sosok lelaki yang jujur dan bertanggung jawab serta kemampuan
yang cukup diandalkan.
"Tapi pa ... apa kita bisa percaya begitu
saja pada oranglain?" bantah Sesi
"Jangan su'udzon dengan orang!" Darto
memperingati sang istri, "atau jangan-jangan kamu yang tidak bisa sehari
saja melihatnya."
Kalimat
terakhir Darto ditanggapi mata membelalak istrinya. Wajah cantik itu mengeras
dengan bibir mengantup rapat. Melihat ekspresi yang ditunjukkan sang istri,
lelaki itu memahami bahwa dia telah menyinggung perasaan wanita yang amat
dicintai.
"Maaf ...," bisik Darto merengkuh sang
istri di pelukan.
"Jangan pernah meragukan kesetiaanku!"
Isak kecil melantun lembut di mulut perempuan berusia sekitar 36 tahun. Darto
menyesal ternyata kalimat yang bermaksud gurauan itu melukai hati sang istri.
"Maaf!" Tangan Darto menjewer telinga
sendiri dengan bibir manyun ke depan. Melihat aksi sang suami, Sesi yang tadi
menangis mendadak tertawa lebar. Dicium pipi Darto dengan gemas. "Sudah
memaafkanku?"
Sesi mengangguk, sejurus kemudian membenamkan
diri di dada bidang lelaki yang amat disayangi. Malam makin larut membuat Sesi
berkeinginan untuk menjamu sang suami ke peraduaan yang lebih indah.
#
Bulan yang dinantikan telah tiba, Darto dan
sang istri mempergunakan dengan sebaik mungkin. Banyak membaca Alqur'an dan
lebih khusu' menjalankan shalat wajib dan sunnah, memperbanyak sedekah dengan
membuat takjil untuk orang-orang tadarusan di masjid, memberi sembako pada
orang yang kurang mampu sekitar tempat tinggalnya, dan kegiatan bermanfaat
lainnya.
"Akhir-akhir ini, saya lihat bapak terlihat
lebih muda," puji Agus saat tengah berkunjung untuk memberi laporan
keuangan. Di ruang tamu yang sederhana dengan sofa berwarna cream polos, Darto
dengan kursi roda ditemani Agus yang duduk di sofa.
Lembaran-lembaran
kertas dibaca Darto dengan senyum sumringah. Penghasilan toko yang meningkat
pesat serta pujian anak buahnya membuat lelaki itu bahagia.
"Terima kasih," balasnya dengan senyum
simpul. "Aku tidak salah menaruh kepercayaan padamu. Toko kami makin maju
pesat."
Agus tersenyum mendapat pujian majikannya,
"Bagi saya, kepercayaan yang anda berikan adalah amanah besar, penentu
surga atau neraka bagi saya dunia akhirat."
Darto
tercengang mendengar jawaban menakjubkan dari pemuda yang umurnya jauh lebih
muda, sepantaran umur sang istri. 8Sebuah kejujuran dan tanggung jawab yang
besar terlihat dari sikap ditunjukkan. Pemuda yang sholeh.
"Aku jadi merasa beruntung mendapatkan kamu.
Aku tidak merasa takut lagi bila sewaktu-waktu pergi karena Allah sudah
memberikan malaikat di tengah keluargaku," kata Darto lirih setengah
berguman. Entah antara sadar atau tidak, kalimat itu meluncur tanpa ekspresi.
Agus mengerutkan dahi, merasa aneh dengan ucapan
majikannya. Hanya saja dia diam tanpa memperpanjang lagi perkataan beliau.
#
Setelah pulang
bersilaturahmi dengan keluarga besar, Darto beserta istri dan anaknya pulang ke
rumah. Nampak wajahnya terlihat pucat.
"Papa capek?" tanya Sesi menghampiri
sang suami yang tengah terduduk di kursi roda, mengamati kedua bocah menghitung
uang pemberian sanak saudara.
Bagi tubuh selemah Darto, kegiatan sehari penuh
ini akan banyak menghabiskan energi yang dia punya. Dari seusai shalat Id, dia
beserta keluarga tanpa henti terus melakukan silaturahmi, bertandang dari satu
rumah ke rumah tetangga, terakhir berkunjung di tempat keluarga besar yang
berada di wilayah lain.
Sebenarnya
Sesi melarang suaminya untuk berpergian jauh, biarlah keluarga besar yang
datang berkunjung. Toh mereka tahu keadaan Darto yang sepenuhnya belum sembuh.
Hanya saja, Darto bersikeras ingin pergi bersilaturahmi. Katanya, belum tentu
besok ada kesempatan lagi bisa berkumpul bersama.
"Papa
ingin istirahat?" tanya Sesi kembali setelah pertanyaan pertama hanya
ditanggapi dengan sebuah gelengan. Darto tersenyum kemudian mengangguk.
"Tolong bila ada seseorang ke sini dan aku
tengah tertidur, tolong minta maafkan kesalahanku padanya!" pinta Darto
pada istrinya. Sesi tersenyum, tangannya meraih kursi yang diduduki sang suami
lalu didorong.
"Ayo, minta cium papa!" seru Sesi pada
kedua bocah perempuan yang asyik memamerkan uang yang beragam warna itu. Nila
dan kumala langsung berdiri, berlari menghampiri sang ayah. Dicium punggung
tangan Darto lalu dibalas kecupan lembut di dahi mereka. Entah kenapa lelaki
itu memeluk satu per satu anak-anaknya dengan begitu lama serta diselipi satu
nasehat yang membuat Sesi curiga tentang firasat kehilangan.
"Jaga dan hormati bunda. Jadilah anak
sholehah dan berbakti." Pesan singkat yang diucapkan Darto, tapi membuat
seluruh sendi kaki Sesi gemetar. Perasaannya mendadak ngilu. Tanpa terasa
airmata menghalangi pandangan.
"Ya Allah, Inikah pertanda Engkau akan mengambil
dia dari sisiku," bisik Sesi dalam hati. Hatinya berdenyut perih, seolah
rasa kehilangan sudah mulai menyiksa. Betapa pun dia sangat menginginkan
suaminya terus berada di samping, sesakit apapun dia akan berusaha menerima
dengan tulus. Namun, kuasa kita apa? Bila Sang Pemilik sudah menginginkannya
kembali.
Sesi terus mengucapkan isthiqfar, berupaya
menghalau rasa sakit yang terus memburu. Dia harus berlapang dada bila
kemungkinan itu terjadi.
"Bund, kok malah ngelamun!" panggil
Darto pada istrinya. Sesi terkejut, memalingkan muka hanya untuk menyeka
airmata yang sengaja turun secara diam-diam.
"Maaf,"
jawabnya sambil mendorong kursi roda yang di duduki suami.
"Bangunin kalau memasuki shalat maghrib ya,
bund." Darto meminta. Dilihat jam dinding di atas pintu masuk kamar
pribadinya. Jarum menunjukkan pukul empat sore, masih punya waktu 2 jam untuk
tertidur sejenak. Biasanya sehabis magrib, banyak tamu yang bakal berkunjung ke
rumah. Tradisi hari raya di kampungnya.
"Iya."
Sesi membantu sang suami untuk berdiri dari kursi roda, menuntun tangannya agar
langkah Darto bisa seimbang, meletakkan tubuh yang sudah mulai berisi kembali
itu pada kasur, lalu menyelimutinya.
Sesi duduk di samping ranjang, mengamati wajah
bak purnama di kala siang hari, menelusuri setiap inchi tanpa sedetik pun
berpaling.
"Bunda jatuh cinta lagi sama papa?"
tegur Darto yang keheranan melihat istrinya menatap tanpa berkedip. Wanita yang
tengah mati-matian berusaha menahan tangis itu memeluk tubuh sang suami,
dikecup pelan kedua pipinya, lalu menenggelamkan wajah di dada bidang sang
pemilik hati.
"Berkali-kali, aku selalu jatuh cinta
padamu," bisik Sesi gemetar. Terpaksa dia menangis saat lengan milik Darto
merengkuh kuat tubuhnya.
"Terima kasih sudah menjadi istri yang baik
untukku dan maaf bila aku selalu merepotkanmu," ujar Darto pelan.
"Aku yang
harusnya berterima kasih, kamu mau bertahan untuk sembuh hingga sejauh ini.
Hanya satu kesalahan yang kamu lakukan ... tak bisa membuatku berhenti
mencintaimu, tapi bila tempat yang paling baik untukmu adalah bertemu Pemilikmu
sebenarnya. Aku ikhlas ...." Sesi menatap sendu mata yang mulai sayup.
Entah karena rasa ngantuk yang mendera atau rasa lelah. Darto tersenyum,
mengecup lembut dahi sang istri.
"Mau menemaniku tidur sebentar?"
Pertanyaan Darto dibalas anggukan kepala Sesi. Sejurus kemudian tubuh wanita
itu berangsur naik ke ranjang di sisi Darto. Disandarkan kepalanya di dada
bidang sang suami, mendengar detak jantung itu berirama indah.
"Aku
ingin mendengar suaramu melantunkan shalawat," pinta Darto menggenggam
erat jemari sang istri.
Sesi tersenyum, bibirnya mulai bersenandung
lirih, menyanyikan shalawat badar dan shalawat lainnya yang
diingat. Tanpa terasa matanya ikut terpejam. Hingga beberapa menit
dia tertidur, hanya saja saat genggaman sang suami tiba-tiba terlepas dari
tangannya. Dia tersentak kaget. Matanya makin membesar saat tak mendengar lagi
detak jantung yang tadi berbunyi, senyap.
Wanita bertubuh mungil itu membeku. Tak disangka,
kematian itu datang secepat matanya terpejam. Hatinya memang sudah menangkap
sinyal kehilangan tapi tidak sekarang ini. Dia masih belum percaya akan
kenyataan bahwa Darto sudah tak bernapas. Didekap tubuh yang berbaring lemas,
masih hangat seperti halnya orang tengah tertidur.
"Ya Allah
... ampuni semua kesalahannya dan tempatkan dia di surga. Aamiin." Sesi
menangis tersedu di samping jasad Darto. Dicium kening lelaki berwajah pucat
itu berulang kali sambil terus melafadz-kan nama Allah. "Semoga kelak,
Allah menjadikan aku bidadari surgamu. Tunggu aku di sana."
Beruntunglah Darto telah melewati puasa
terakhirnya dengan khidmat. Semoga kita menjalani puasa seperti esok tak
bisa bertemu di bulan berikutnya agar kita tak menyesal bila maut menjemput.
(Kartika Ningsih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar