InspirasI

Minggu, 10 Juli 2016

SANDAL JEPIT ISTRIKU

Sepulang dari luar kota badanku terasa lelah. Aku mempercepat tekanan gas sepeda motor agar cepat sampai rumah. Lapar. Membayangkan istri di rumah memasak sayur kesukaan. Sayur asem.

Ketika sudah sampai rumah, langsung ku cuci tangan dan membuka tudung saji. Benar saja, ada sayur asem di atas meja dengan perkedel kentang. Namun selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa jengkel dan kesal yang memenuhi kepala ini.

Duh, betapa tidak dalam keadaan lapar seperti ini makanan yang tersedia tidak memuaskan lidah. Sayur asem rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin enggak ketulungan.

“Ummi, Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar sih…? Selalu saja begini, kalau gak keasinan, ya kemanisanlah, kepedesanlah, keasemanlah!” Aku tak bisa menahan emosi dan menggerutu.

“Sabar, abi. Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khadijah. Katanya mau kayak Rasul? “ Ucap istriku pelan.

“Iya, tapi kan Abi manusia biasa. Abi gak tahan seperti ini terus,” jawabku dengan nada tinggi.

Mendengar ucapanku bernada emosi, kulihat istriku menundukkan kepala dalam- dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti airmatanya sudah merebak.

Sepekan sudah aku keluar kota, tentu ketika pulang, benak ini penuh dengan harapan untuk menemukan ‘ Baiti Jannati’ di rumahku.

Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Sesampainya di rumah kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumahku tak ubahnya kapal pecah. Pekaian belum disetrika menggunung disana sini, piring – piring kotor berpesta pora di dapur. Melihat keadaan seperti ini, aku cuma bisa mengurut dada sambil beristighfar.

“Ummi, ummi, bagaimana Abi gak jengkel kalau keadaan rumah begini terus?” ucapku sambil menggeleng – gelengkan kepala. ” Ummi, istri shalihah itu tak hanya pandai dalam mengisi pengajian, tapi juga harus pandai dalam mengatur setiap detail rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah,” belum sempat kata – kataku habis, sudah terdengar ledakan tangis istriku yang kelihatan begitu pilu.

Ah, wanita gampang sekali untuk menangis dan menangis, batinku berkata dalam hati.

“Sudah diam Mi, gak boleh cengeng, katanya mau jadi istri shalihah? Istri shalihah itu tidak cengeng,” bujukku hati – hati setelah melihat air matanya menganak sungai di pipinya.

“Gimana ga nangis! Baru juga pulang, sudah ngomel ngomel terus. Ummi ini lagi ga bisa ngerjain apa – apa, jangankan untuk kerja, untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah – muntah terus, ini badan rasanya gak bertenaga sama sekali,” ucap istriku diselingi isak tangis.

“Abi engga ngerasain sih gimana mualnya orang hamil muda,” ucap istriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.

Keseokan harinya….

“Abi, siang nanti antar Ummi ngaji yah?” pinta istriku.

“Aduh, Mi! Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja yah? “ ucapku

“Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik angkot ajah, moga ja ga pingsan di jalan,” jawab istriku.

“Lho, kok bilangnya gitu?”

“Iya, dalam kondisi mual – mual begini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak- desakkan dalam kendaraan dengan suasana panas menyengat. Tapi, mudah – mudahan sih ga kenapa – napa,” ucap istriku lagi.

Agendaku hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput istriku. Entah kenapa, hati ini tiba – tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat istriku mengisi pengajian.

Di depan pintu, tampak masih banyak sepatu yang berjajar, pertanda acara belum selesai. Ku amati satu persatu sepatu – sepatu itu.

Ah, semuanya indah – indah dan kelihatan harganya begitu mahal.
Wanita memang suka yang indah – indah, sampai bentuk sepatu pun lucu – lucu, aku membatin sendiri. Tiba – tiba mataku tertuju pada sepasang sandal jepit yang diapit sepatu indah. Deg! Hati ini menjadi luruh.

Oh, bukankah itu sandal jepit istriku? Tanya hatiku. Lalu kuambil sandal jepit kumal yang tertindih beberapa sepatu indah lain. Tes! Airmataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya memerhatikan istriku. Sampai – sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit. Sementara teman- temannya bersepatu bagus.

Maafkan aku umi, pinta hatiku. Krek! Suara pintu terdengar dibuka. Aku terkaget, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua wanita berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil berjilbab indah dan cerah, secerah baju dan jilbab umminya. Lalu melintas wanita – wanita yang lain.

Namun, belum kutemukan juga istriku. Aku menghitung sudah ada delapan orang yang keluar dari rumah itu, tapi istriku masih belum keluar juga. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berjilbab gelap dan berkerudung hitam melintas.

Ini dia mujahidahku! Pekik hatiku. Ia berbeda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam – diam, hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memerhatikan istri. Selama ini aku hanya banyak menuntut kepadanya.

Ya, aku baru sadar semenjak menikah, aku belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Apalagi memberi hadiah. Aku terlalu sibuk memerhatikan kekurangan – kekurangan istriku. Padahal dibalik semua itu, banyak kelebihanmu , wahai sayangku. Aku benar- benar menjadi malu pada Allah dan Rasul –Nya. Selama ini, aku terlalu sibuk mengurus orang lain sedang istriku tak pernah ku urusi.Betapa teganya diriku ini.

Padahal, Rasul telah bersabda,” Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istrinya.”

“Umi”, panggilku, ketika dia melintas. Lantas dia berbalik ke arahku, seakan tidak percaya atas kehadiranku. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.
“Abi!” bisiknya pelan dan girang. Sunguh, aku baru melihat istriku segirang ini. Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput istriku? Sesal hatiku.

Esoknya, aku membeli sepasang sepatu dan baju gamis (Jilbab) untuknya plus kerudung warna gelap kesukaannya. Ketika dia tau hal itu, bahagia kembali mengembang dari senyumnya.

“Alhamdulillah, jazakallahu,” ucapnya dengan suara tulus.

Ah, Maryam…, lagi – lagi kau terenyuh melihat polahmu. Lagi – lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bersyukur memperoleh istri zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar – binar karena perhatianku?

Semoga aku bisa terus meneladani bagaimana Rasulullah SAW bersikap terhadap istrinya...

Tidak ada komentar: