KH Hasyim Asy'ari Penentu
Tanggal Kemerdekaan RI
Pertaruhan jiwa dan raga bangsa Indonesia
selama selama menghadapi penjajah puncaknya terjadi ketika kemerdekaan rakyat
Indoensia akan diproklamasikan. Mereka melalui sejumlah penjajahan, baik oleh
Belanda, Jepang, dan tentara sekutu yang dibonceng NICA (Belanda) untuk kembali
melakukan agresi militer.
Kesempatan kembali menduduki Indonesia
dilakukan Belanda ketika sekutu berhasil mengalahkan Jepang pada 1945. Jepang
sendiri pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1942. Saat Nippon mengaku
sebagai saudara tua sehingga sebagian masyarakat Indonesia terkecoh.
Namun, makin hari Jepang justru
menampakkan belangnya sebagai negara yang juga ingin menjajah Indonesia.
Keberhasilan sekutu mengalahkan Jepang memiliki konsekuensi bahwa negeri
jajahan Jepang kembali ke pelukan sekutu, termasuk Indonesia.
Namun, para tokoh pergerakan nasional,
para pemuda, dan ulama tergerak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
karena terjadi kekosongan kekuasaan administrasi. Para pemuda berperan aktif
menggerakkan dan mendorong Soekarno dan Hatta agar segera memproklamasikan
kemerdekaan.
Walau Soekarno sempat merasa bimbang
memikirkan perjanjian Jepang dan seukut itu, tetapi pada akhirnya sepakat untuk
memproklamasikan kemerdekaan. Sesuai tradisinya setiap hendak melaksanakan
hal-hal penting, Soekarno meminta nasihat ulama. Ia meminta nasihat sekaligus
restu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari terkait waktu dan tanggal kemerdekaan yang
tepat. Meminta nasihat terjadi ketika Bung Karno, dan kawan-kawan hendak
memproklamasikan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Beberapa hari sebelum proklamasi
kemerdekaan, Bung Karno sowan Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim Asy’ari memberi
masukan, hendaknya proklamasi dilakukan hari Jumat pada Ramadhan. Jumat itu
Sayyidul Ayyam (penghulunya hari), sedangkan Ramadhan itu Sayyidus Syuhur
(penghulunya bulan). Hari itu tepat 9 Ramadhan 1364 H, bertepatan dengan 17
Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Hal itu sesuai dengan catatan Aguk Irawan
MN dalam Sang Penakluk Badai: Biografi KH Hasyim Asy’ari (2012) yang menyatakan
bahwa awal Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 8 Agustus, utusan Bung Karno
datang menemui KH Hasyim Asy’ari untuk menanyakan hasil istikharah para kiai,
sebaiknya tanggal dan hari apa memproklamirkan kemerdekaan?
Dipilihlah hari Jumat (sayyidul ayyam)
tanggal 9 Ramadhan (sayyidus syuhur) 1364 H tepat 17 Agustus 1945, dan lihatlah
apa yang dilakukan Bung Karno dan ribuan orang di lapangan saat itu, dalam
keadaan puasa semua berdoa dengan menengadahkan tangan ke langit untuk
keberkahan negeri ini.
Tak lama dari itu, sahabat Mbah Hasyim
semasa belajar di Mekkah (Hijaz) yang memang selama itu sering surat-menyurat,
Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, mufti besar Palestina untuk pertama kali
memberikan dukungan pada proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa
pemilihan hari kemerdekaan Indonesia dikonsultasikan terlebih dahulu kepada KH
Hasyim Asy’ari. Lalu Kiai Hasyim mengumpulkan para ulama secara bersama-sama
untuk melakukan munajat kemudian istikharah agar Allah memberi petunjuk hari
yang tepat.
Maka setelah para ulama memusyawarahkan
hasil istikharahnya, dipilihlah tanggal 9 Ramadhan 1364 H yang secara kebetulan
itu pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945. Angka Sembilan adalah simbol
numerik tertinggi, hari Jumat adalah penghulu atau raja-nya hari dalam sepekan
dan Ramadhan adalah rajanya bulan dalam setahun. Adapun naskah proklamasi
disusun dinihari jelang 17 Agustus 1945, di rumah Laksamana Tadashi Maeda (kini
Jalan Imam Bonjol Nomor 1).
Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh
Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah,
Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Beberapa orang Jepang, selain Maeda, juga ada
di sana. Di antara peristiwa besar tersebut, sebelumnya para tokoh pergerakan
nasional dan juga para ulama jauh-jauh hari telah mempersiapkan dasar negara
yang akan menjadi pijakan Indonesia merancang Undang-Undang. Seperti dasar
negara Pancasila yang pertama kali dimunculkan pada 1 Juni 1945.
Hal itu menunjukkan rekam jejak perjuangan
panjang bangsa Indonesia yang terus berupaya meraih kemerdekaan setelah
pertarungan fisik dan senjata yang kerap kali terjadi. Para tokoh pergerakan
nasional, termasuk para ulama pesantren berjuang mempersiapkan diri untuk
menjadi sebuah negara dengan merancang dasar negara.
Di sini KH Wahid Hasyim berperan besar.
Fakta ini membantah klaim Belanda yang mengatakan bahwa proklamasi kemerdekaan
bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah bentukan Jepang. Padahal sudah
diperjuangkan dan telah dipersiapkan secara matang oleh para tokoh
bangsa.
Perlu diketahui bahwa hingga saat ini,
Belanda hanya mengakui penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Peran NU
dalam mempersiapkan berdirinya negara bangsa bahkan dilakukan lima tahun
sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan resmi menunjuk Soekarno
dan Mohammad Hatta untuk memegang tampuk kepemimpinan nasional dalam Muktamar
ke-15 NU pada 15-21 Juni 1940 di Surabaya, Jawa Timur.
Selain sejumlah problem bangsa, dalam
Muktamar ini, NU membahas sekaligus memutuskan perihal kepemimpinan nasional.
Keputusan ini berangkat dari keyakinan NU bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia
akan segera tercapai. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010).
Hal itu ditindaklanjuti dengan menggelar
rapat tertutup guna membicarakan siapa calon yang pantas untuk menjadi presiden
pertana Indonesia. Rapat rahasia ini hanya diperuntukkan bagi 11 orang tokoh NU
yang saat itu dipimpin oleh KH Mahfudz Shiddiq dengan mengetengahkan dua nama
yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta. Rapat berkahir dengan kesepakatan
Soekarno calon presiden pertama, sedangkan Mohammad Hatta yang ketika itu hanya
mendapat dukungan satu suara, sebagai wakil presiden.
Pembahasan calon presiden pertama dalam
Muktamar ke-15 NU tersebut menunjukkan kematangan NU dalam mengkaji masalah-masalah
sosial-politik kala itu. Bahkan, ketika peneguhan negara pasca-Proklamasi
Kemerdekaan kembali mendapat gangguan penjajahan maupun pemberontakan, NU tegas
mempertahankan konsep kepemimpinan nasional berbasis negara bangsa. (Fathoni/NU
Online)
Repost
www.hwmi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar