INSPIRASI
DARI PEDAGANG BAKSO
Pernah lihat di Televis kalau di RCTI ada
kisah Tukang Bubur Naik haji.Ceritanya enak karena mengikuti dengan keseharian
kita dan menyesuaikan momentum harinya. Nah ini ada cerita yang lain yang bias juga
diambil hikmahnya.
Ini ada kisah inspiratif dari tukang bakso
Di suatu hari terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso
dorong lewat. ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso
setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau bakso ?
"Mauuuuuuuuu. ...", secara
serempak dan kompak anak - anak menjawab.
Selesai makan bakso, lalu saya
membayarnya. ...
Ada satu hal yang menggelitik fikiranku
selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang
diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke
kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku
selama ini.
"Mang kalo boleh tahu, kenapa uang
- uang itu Bapak pisahkan? Barangkali ada tujuan ?" "Iya, saya sudah
memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17
tahun. Tujuannya sederhana saja, saya hanya ingin memisahkan mana yang menjadi
hak saya, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang
menjadi hak cita - cita penyempurnaan iman ".
"Maksudnya.. ...?", saya
melanjutkan bertanya.
"Iya, kan agama dan Tuhan
menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. saya membagi 3, dengan
pembagian sebagai berikut :
1. Uang yang masuk ke dompet, artinya
untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari saya dan keluarga.
2. Uang yang masuk ke laci, artinya
untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah
selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Saya selalu ikut qurban seekor kambing,
meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.
3. Uang yang masuk ke kencleng, karena
saya ingin menyempurnakan agama yang saya pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan
kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini
tentu butuh biaya yang besar. Maka saya berdiskusi dengan istri dan istri
menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, saya
harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah
selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi saya dan istri akan melaksanakan
ibadah haji.
Hatiku sangat...... .....sangat
tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat
mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si Bapak
tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam
hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum
ada rejeki.
Terus saya melanjutkan sedikit
pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji
itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam
biaya....".
Ia menjawab, " Itulah sebabnya.
Saya justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi
mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.
Definisi "mampu" adalah
sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri.
Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin
selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita
mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala
kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".
"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang
bakso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar