SEJARAH
BATIK
Tanggal
2 Oktober adalah hari Batik Nasional. Batik merupakan budaya yang telah lama
berkembang dan dikenal oleh masyarakat Indonesia. Kata batik mempunyai beberapa
pengertian. Menurut Hamzuri dalam bukunya yang berjudul Batik Klasik,
pengertian batik merupakan suatu cara untuk memberi hiasan pada kain dengan
cara menutupi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan perintang. Zat
perintang yang sering digunakan ialah lilin atau malam.kain yang sudah digambar
dengan menggunakan malam kemudian diberi warna dengan cara pencelupan.setelah
itu malam dihilangkan dengan cara merebus kain. Akhirnya dihasilkan sehelai
kain yang disebut batik berupa beragam motif yang mempunyai sifat-sifat khusus.
Secara
etimologi kata batik berasal dari bahasa Jawa, yaitu”tik” yang berarti titik /
matik (kata kerja, membuat titik) yang kemudian berkembang menjadi istilah
”batik” (Indonesia Indah ”batik”, 1997, 14). Di samping itu mempunyai
pengertian yang berhubungan dengan membuat titik atau meneteskan malam pada
kain mori. Menurut KRT.DR. HC. Kalinggo Hanggopuro (2002, 1-2) dalam buku
Bathik sebagai Busana Tatanan dan Tuntunan menuliskan bahwa, para penulis
terdahulu menggunakan istilah batik yang sebenarnya tidak ditulis dengan
kata”Batik” akan tetapi seharusnya”Bathik”. Hal ini mengacu pada huruf Jawa
”tha” bukan ”ta” dan pemakaiaan bathik sebagai rangkaian dari titik adalah
kurang tepat atau dikatakan salah. Berdasarkan etimologis tersebut sebenarnya
batik identik dikaitkan dengan suatu teknik (proses) dari mulai penggambaran
motif hingga pelorodan. Salah satu yang menjadi ciri khas dari batik adalah
cara pengambaran motif pada kain ialah melalui proses pemalaman yaitu
mengoreskan cairan lilin yang ditempatkan pada wadah yang bernama canting dan
cap.
Sejarah Perkembangan
Batik
Ditinjau
dari perkembangan, batik telah mulai dikenal sejak jaman Majapahit dan masa
penyebaran Islam. Batik pada mulanya hanya dibuat terbatas oleh kalangan
keraton. Batik dikenakan oleh raja dan keluarga serta pengikutnya. Oleh para
pengikutnya inilah kemudian batik dibawa keluar keraton dan berkembang di
masyarakat hingga saat ini. Berdasarkan sejarahnya, periode perkembangannya
batik dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Jaman Kerajaan
Majapahit
Berdasarkan
sejarah perkembangannya, batik telah berkembang sejak jaman Majapahit.
Mojokerto merupakan pusat kerajaan Majapahit dimana batik telah dikenal pada
saat itu. Tulung Agung merupakan kota di Jawa Timur yang juga tercatat dalam
sejarah perbatikan. Pada waktu itu, Tulung Agung masih berupa rawa-rawa yang
dikenal dengan nama Bonorowo, dikuasai oleh Adipati Kalang yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan
Majapahit hingga terjadilah aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahit.
Adipati Kalang tewas dalam pertempuran di sekitar desa Kalangbret dan Tulung
Agung berhasil dikuasai oleh Majapahit. Kemudian banyak tentara yang tinggal di
wilayah Bonorowo (Tulung Agung) dengan membawa budaya batik. Merekalah yang
mengembangkan batik. Dalam perkembangannya, batik Mojokerto dan Tulung Agung
banyak dipengaruhi oleh batik Yogyakarta. Hal ini terjadi karena pada waktu clash tentara kolonial
Belanda dengan pasukan Pangeran Diponegoro, sebagian dari pasukan Kyai Mojo
mengundurkan diri ke arah timur di daerah Majan. Oleh karena itu, ciri khas
batik Kalangbret dari Mojokerto hampir sama dengan batik Yogyakarta, yaitu
dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua.
Jaman Penyebaran
Islam
Batoro
Katong seorang Raden keturunan kerajaan Majapahit membawa ajaran Islam ke
Ponorogo, Jawa Timur. Dalam perkembangan Islam di Ponorogo terdapat sebuah
pesantren yang berada di daerah Tegalsari yang diasuh Kyai Hasan Basri. Kyai Hasan Basri adalah menantu raja Kraton Solo. Batik
yang kala itu masih terbatas dalam lingkungan kraton akhirnya membawa batik
keluar dari kraton dan berkembang di Ponorogo. Pesantren Tegalsari mendidik anak didiknya untuk
menguasai bidang-bidang kepamongan dan agama. Daerah perbatikan lama yang dapat
dilihat sekarang adalah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan meluas ke desa
Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten,
Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut.
Batik Solo dan Yogyakarta
Batik di daerah Yogyakarta dikenal sejak jaman Kerajaan
Mataram ke-I pada masa raja Panembahan Senopati. Plered merupakan desa
pembatikan pertama. Proses pembuatan batik pada masa itu masih terbatas dalam
lingkungan keluarga kraton dan dikerjakan oleh wanita-wanita pengiring ratu. Pada saat upacara
resmi kerajaan, keluarga kraton memakai pakaian kombinasi batik dan lurik.
Melihat pakaian yang dikenakan keluarga kraton, rakyat tertarik dan meniru
sehingga akhirnya batikan keluar dari tembok kraton dan meluas di kalangan
rakyat biasa.
Ketika masa penjajahan Belanda, dimana sering terjadi peperangan yang
menyebabkan keluarga kerajaan yang mengungsi dan menetap di daerah-daerah lain
seperti Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah timur Ponorogo, Tulung Agung dan
sebagainya maka membuat batik semakin dikenal di kalangan luas.
Batik di Wilayah Lain
Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah
Sokaraja. Pada tahun 1830 setelah perang Diponegoro, batik dibawa oleh
pengikut-pengikut Pangeran Diponegoro yang sebagian besar menetap di daerah
Banyumas. Batik Banyumas dikenal dengan motif dan warna khusus dan dikenal
dengan batik Banyumas. Selain ke Banyumas, pengikut Pangeran Diponegoro juga
ada yang menetap di Pekalongan dan mengembangkan batik di daerah Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo.
Selain di daerah Jawa Tengah, batik juga berkembang di Jawa Barat. Hal ini
terjadi karena masyarakat dari Jawa Tengah merantau ke kota seperti Ciamis dan
Tasikmalaya. Daerah pembatikan di Tasikmalaya adalah Wurug, Sukapura, Mangunraja
dan Manonjaya. Di daerah Cirebon batik mulai berkembang dari keraton dan
mempunyai ciri khas tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar