InspirasI

Kamis, 28 Desember 2017

13 TAHUN  LALU  SAAT TSUNAMI  ACEH

        Kenangan tiga belas tahun yang lalu,  saat tragedi tsunami aceh melanda,  2004 yang lalu..Malam itu, engkau memelukku begitu lama,  mengelus perutku yang membuncit dan menempelkan wajahmu di sana.
"Aceh memanggilku, Mi. Abi akan berangkat besok pagi,  bersama rombongan relawan lainnya," katamu lirih. 
"Gempanya besar sekali,  Bi.  Mungkin masih akan ada beberapa gempa susulan walau tak sebesar yang pertama, " sahutku bergetar.  Aku tahu,  aku tak akan bisa menahanmu untuk tidak bergabung dengan mereka,  para relawan itu.  Tabiatmu yang suka menolong dan tak pernah bisa tinggal diam, cenderung tak bisa dicegah.  Dan itulah yang membuatku makin cinta padamu. Namun,  tentu saja ada kegundahan besar dalam dada.
"Korbannya banyak banget,  Mi.   Kita tidak bisa mengandalkan tim SAR dan kepolisian pemerintah saja.  Makin banyak relawan yang membantu,   makin baik,  jadi lebih cepat mendapat pertolongan.  Abi ikut rombongan pertama."
"Kira-kira  berapa hari,  Bi?" tanyaku agak cemas. 
"Paling lama dua minggu,  Mi. Abi ada uang lima ratus ribu rupiah.  Umi yang bawa ya,  untuk kebutuhan rumah."
Kuterima lembaran uang itu dari tanganmu dengan bergetar,  entah mengapa rasanya seperti tidak rela melepasmu pergi. Aku tahu aku tak bisa menahanmu lagi,  jadi kuserahkan kembali setengah dari uang itu untukmu, "untuk jaga-jaga,  Bi, bila engkau membutuhkan sesuatu.  Bila tidak,  sumbangkan saja untuk mereka.  In syaa Allah yang setengah ini sudah cukup buatku dan anak-anak."
Malam terasa berlalu begitu cepat,  usai subuh engkaupun pamit berangkat. Kaucium anak-anak yang terheran-heran melihat abinya menenteng ransel besar.
"Abi mau kemana sepagi ini? " tanya mereka sambil salim.
"Abi mau berjuang,  menolong orang yang kesusahan, baik-baik  di rumah ya.  Nurut sama Umi."
"Begitu sampai langsung kasih kabar ya,  Bi, "kataku lirih.
"Jangan bilang ibu-bapak ya,  kalau Abi berangkat ke Aceh.  Entar mereka kawatir, " bisikmu di telinga," senyum,  dong.... " 
Kupaksakan tersenyum saat kaujentik hidungku dengan lembut, "jaga diri baik-baik  ya,  jangan lupa ngabari. "
Kuikuti langkahmu sampai menghilang dari pandangan. Kuiringi dengan doa sepenuh harapan,  semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya,  Robb semesta alam.
Setiap saat,  kuikuti berita di TV tentang kondisi Aceh,  hatiku semakin ciut.  Sehari,  dua hari, dirimu tak jua memberi kabar.  Atau memang tak ada sinyal?  Atau karena hapeku yang jadul?  Atau sesuatu terjadi padamu?  Hatiku terus menduga-duga, apalagi sampai hari kelima belum ada jua kabar darimu.
Esok harinya ayah dan ibu datang ke rumah,  mereka menanyakanmu dan kujawab engkau sedang ada tugas kantor di luar kota. 
"Iki mesti,  Amir mangkat neng Aceh.  Iyo to...? Mantuku siji iki opo iso meneng ae yen ono bencana..., " gerutu ayah dan ibu membuatku tak bisa berkata-kata  lagi.
"Bapak tinggal  kene ae,  ngancani Titin.  Mesakke anakke limo cilik-cilik,  meteng tuo sisan,  mengko yen ono opo-opo ....," ujar ayah yang langsung diiyakan ibu.
"Mboten nopo-nopo kok,  Pak,  Bu.  Tanggine kathah, rencang ugi wonten sing dados dokter, " sahutku berusaha menghilangkan kecemasan mereka.
"Yo wis,  malah kebeneran.  Bapak taktirah kene ae,  rong dino pisan doktere kon mrikso Bapak nang kene ae."
Jadilah mulai hari itu Bapak nginep di rumah. Sore itu baru kuterima kabar darimu,  alhamdulillah, setidaknya aku bisa menjawab bila Bapak menanyakan kabarmu.
Esok paginya,  ayahmu pun bertandang.  Seperti halnya ayahku,  beliau pun memutuskan untuk tinggal di sini menemani kami.
Sepuluh hari berlalu,  persediaan beras menipis,  uang pun tinggal sepuluh ribu.  Ada tiga perut orang dewasa dan lima perut anak-anak yang harus diisi setiap hari,  belum lagi obat yang mesti kusediakan untuk Bapak. Aku tak mungkin mengatakan kesulitanku pada kedua ayahku. Aku juga tak mungkin memberitahukan kesulitanku padamu yang sedang berada jauh di Aceh sana.  Aku hanya berharap Allah memberikan jalan keluar dari masalah ini. Yang kutahu,  Dia tak pernah menelantarkan hamba-Nya.
Pagi itu,  sambil menjemur pakaian,  mulai terlintas pikiran di kepalaku untuk berhutang, tapi pada siapa?  Seumur-umur aku belum pernah meminjam uang kepada siapapun,  kalau yang pinjam,  banyak,  walaupun yang bisa kupinjamkan tak seberapa. Alhamdulillah,  belum juga selesai menjemur pakaian,  seorang bapak tua menghampiriku. 
"Apa ini rumahnya Pak Amir? " tanyanya.
"Iya,  ada apa nggih,  Pak? " tanyaku deg-degan, takut bila ia membawa kabar buruk darimu.
"Alhamdulillah,  ini saya mau mengembalikan uang yang saya pinjam setahun lalu.  Mohon diterima ya,  Bu".
Dengan bergetar kubuka amplop yang disodorkannya,  ma syaa Allah, lima ratus ribu rupiah,  jumlah yang tidak sedikit pada waktu itu.
"Pak,  ini ndak salah,  Pak?  Banyak sekali...  " seruku kaget,  tapi bapak tua itu sudah tidak ada lagi di depanku.  Kuputar pandangan mencari-cari sosoknya di sekitar gang,  tak kutemui juga,  dia seolah hilang tanpa jejak.
Mungkin ini pertolongan dari Allah,  hingga aku tak perlu mencari pinjaman.  Dengan uang itu,  aku bisa membeli beras,  kebutuhan lain dan juga obat untuk Bapak. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan harian kami sampai engkau kembali, alhamdulillah.
Masih di episode yang sama,  tiga pekan sepeninggalmu,  Hari Raya Idhul Adha tiba.  Dan kami merayakannya tanpamu.  Alhamdulillah, kita masih bisa berkorban dan berbagi.  Engkau di Aceh sana dan kami di sini. Tapi Sayang,  hati kita serasa berada di tempat yang sama,  tempat yang penuh kesyukuran. Dan engkau baru kembali beberapa hari sesudahnya, saat persediaan uangku benar-benar habis.  Allah itu Maha Baik,  ya.  Dia selalu memberi yang kita butuhkan.

Tidak ada komentar: