InspirasI

Minggu, 17 Desember 2017

KUTANG, SANTRI NAKAL, DAN GUS DUR

Setelah menempuh pendidikan pesantren di Tegalrejo, Magelang. Gus Dur diminta pamannya Kiai Abdul Fattah Hasyim, untuk membantu mengurus Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas di Jombang pada 1959. Usia Gus Dur saat itu sudah hampir 20 tahun.
Setelah mendapat restu dari Kiai Chudhori, Gus Dur membantu Kiai Fattah mengurus pesantren sebagai kepala keamanan pondok. Kisah ini pernah diceritakan oleh KH Anwar Zahid, Bojonegoro, Jawa Timur. Tugas Gus Dur sebagai kepala keamanan saat itu cukup sederhana. Yakni menindak santri yang melanggar peraturan, bahkan kalau perlu menghukum secara langsung. Dalam bahasa santri "di-takzir”.Di pondok itu ada satu santri yang luar biasa nakal.
“Saya geregatan sama santri nakal itu,” kata Gus Dur.
Hal itu bahkan sampai membuat Gus Dur “niteni” atau mengincar setiap kesalahan yang diperbuatnya karena begitu jengkel. Bagaimana tidak jengkel, jika kulit bedug di pesantren Tambakberas sering dipotong sedikit demi sedikit sampai membuatnya berlubang-lubang?
“Siapa ini ada orang berani-beraninya mencuri kulit bedug masjid?”, kata Gus Dur.
Setelah diselidiki oleh bagian keamanan, akhirnya terjawab kenapa kulit bedug ini bisa hilang. Kulit bedug masjid yang terbuat dari kulit sapi asli ini dicuri salah satu santri. Setelah ketahuan siapa yang mencuri si santri dipanggil untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Kenapa kamu mencuri kulit bedug?”, tanya Gus Dur,
"Kamu jual ya? Biar dapat duit?”, lanjut Gus Dur.
Santri itu menunduk diam saja. Setelah didesak berulang kali akhirnya si santri menjawab:
“Anu, Kang, digoreng buat lauk makan, jadi krecek.”
Sontak saja Gus Dur malah tertawa mendengar alasan si santri mencuri kulit bedug masjid. Dengan alasan itu, Gus Dur tidak mentakzir berlevel keras. Si santri tetap dihukum, tapi masih pada level-level ringan.
Bukannya kapok, si santri ini tetap nakal. Salah satu bentuk kenakalannya adalah ia sering masuk ke kompleks pondok putri. Mengintip para santri putri. Masalahnya tidak pernah bisa ditemukan bukti-bukti yang bisa digunakan untuk melaporkannya kepada Kiai Fattah. Karena pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran tingkat tinggi. Dan hukuman yang menanti pun tingkatnya ada di level tertinggi pula, yaitu diusir dari pondok pesantren.
Karena selalu gagal dalam melakukan “operasi tangkap tangan”, Gus Dur akhirnya memilih cara alternatif untuk bisa menangkap santri nakal ini dengan bukti serta alasan yang cukup kuat. Dalam kesimpulan Gus Dur, jika suka mengintip perempuan, itu berarti pikiran bocah ini pasti mesum. Dan karenanya pasti ada sesuatu di dalam lemarinya yang menunjukkan kemesuman itu.
Akhirnya Gus Dur melakukan razia ke lemari-lemari santri putra. Benar saja, dalam lemari santri yang dimaksud, ditemukan sebuah kutang yang setelah diselidiki memang salah satu kutang dari pondok putri. Gus Dur senang, karena dengan ini si santri akan mendapatkan hukuman tertinggi sesuai dengan hukum yang berlaku di pesantren.
Dengan senang Gus Dur pun menghadap Kiai Fattah sambil membawa kutang sebagai alat bukti. Begitu sudah sampai ndalem (kediaman) Kiai Fattah, Gus Dur mengeluarkan kutang curian tersebut.
“Itu apa, Dur? Kenapa kamu bawa kutang kemari?”, tanya Kiai Fattah heran.
“Pak Kiai, ini hasil curian salah satu santri putra. Namanya Fulan bin Fulan. Dia sering ngintip ke pondok putri. Di dalam lemarinya saya temukan bukti ini,” kata Gus Dur,
“Saya sama teman-teman dari keamanan pondok sepakat, agar santri ini bisa segera dikeluarkan.”
“Oh, begitu,” kata Kiai Fattah.
“Santri ini nakal banget, Kiai,” kata Gus Dur kepada pamannya.
“Lho, santri nakal, kok, dilaporkan ke aku? Mau dikeluarkan lagi,” kata Kiai Fattah,
"Kalau lapor ke aku, lapor santri yang sudah baik, sudah pintar, biar aku keluarkan dari pondok. Orang tua santri itu berharap anaknya pulang dari pondok biar jadi makin baik, bukan malah jadi tambah nakal,” tambah Kiai Fattah.
Mendengar jawaban itu, Gus Dur heran.
“Lha.. terus gimana ini Kiai?” tanya Gus Dur.
“Begini saja. Aku hargai musyawarah para pengurus keamanan. Karena kalian sudah sepakat untuk mengeluarkannya, ya sudah aku ya sepakat,” kata Kiai Fattah.
Gus Dur tersenyum senang mendengarnya.
“Keluar dari pondok, lalu masuk ke sini saja,” kata Kiai Fattah menunjuk kediamannya sendiri.
Gus Dur terkejut mendengarnya.
“Maksudnya, Kiai?”
“Iya, dipindahkan ke sini. Ke ndalem. Rumahku. Kamu aturlah sama teman temanmu. Pokoknya mulai hari ini santri itu dipindah ke sini,” kata Kiai Fattah menunjuk kediamannya sendiri.
Meski bingung dengan perintah pamannya, pada akhirnya Gus Dur tetap menurut. Mengeluarkan si santri dari pondok, tapi malah memasukkannya ke ndalem Kiai Fattah.
“Bukannya dikeluarkan, malah naik pangkat ini santri,” komentar teman-teman si santri.
Pada akhirnya, karena kamarnya dekat dengan kamar Kiai Fattah, si santri jadi orang pertama yang selalu ditemui Kiai Fattah ketika bangun tidur, berangkat ngaji, sampai dengan salat tahajud.
Ketika Kiai Fattah mengajar ngaji, si santri disuruh membawakan kitab dan menandai halaman-halamannya. Hal itu tanpa sadar membuat si santri mau tidak mau ikut mengaji tanpa bisa membolos satu kali pun. Karena sering harus menandai bagian yang akan dimulai dan yang diakhiri, ia jadi belajar membaca kitab kuning.
Selain itu, setiap Kiai Fattah akan salat, santri ini disuruh mempersiapkan tempat salat. Entah itu salat wajib atau pun sunah. Dengan pola seperti itu, akhirnya si santri dengan terpaksa mengikuti laku hidup Kiai Fattah selama bertahun-tahun. Pada akhirnya, diawali dengan terpaksa, si santri jadi terbiasa dan benar-benar menjadi santri yang saleh.
“Baik secara syariat, akhlak, maupun aturan pondok pesantren, ngintip ke dalam pondok putri adalah pelanggaran yang tidak bisa dibiarkan,” kata Gus Dur.
Dari segala aspek hukum apapun si santri ini jelas salah. Dan keputusan Kiai Fattah benar-benar memberi pelajaran berharga bagi Gus Dur. Jika Kiai Fattah hanya ikut apa kata hukum saat itu, si santri memang benar harus diusir, pesantren jelas tidak akan rugi, Kiai Fattah tidak akan repot. Hanya saja santri tersebut akan kehilangan peluang untuk bisa berubah menjadi orang yang lebih baik. Dengan langkah sederhana, Kiai Fattah menunjukkan bahwa ada yang lebih penting daripada sekadar mengikuti nalar hukum, yaitu mengikuti nalar kemanusiaan.
“Ternyata di atas hukum, masih perlu adanya rasa kemanusiaan,” kata Gus Dur.
Dari cerita versi KH. Anwar Zahid, santri ini kemudian menjadi kiai yang punya santri cukup banyak. Dan suatu ketika, Gus Dur dan santri ini bertemu. Dengan akrab Gus Dur pun bertanya,
"Yang kamu curi dulu warnanya apa, Nda?”

Keduanya pun tertawa terpingkal-pingkal. Tanpa menyadari, bahwa dari sanalah kemanusiaan untuk negeri ini lahir beberapa dekade tahun kemudian saat si kepala keamanan naik pangkat jadi kepala negara.

Tidak ada komentar: