KUTANG, SANTRI NAKAL, DAN
GUS DUR
Setelah
menempuh pendidikan pesantren di Tegalrejo, Magelang. Gus Dur diminta pamannya
Kiai Abdul Fattah Hasyim, untuk membantu mengurus Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas di Jombang pada 1959. Usia Gus Dur saat itu sudah hampir 20 tahun.
Setelah
mendapat restu dari Kiai Chudhori, Gus Dur membantu Kiai Fattah mengurus
pesantren sebagai kepala keamanan pondok. Kisah ini pernah diceritakan oleh KH
Anwar Zahid, Bojonegoro, Jawa Timur. Tugas Gus Dur sebagai kepala keamanan saat
itu cukup sederhana. Yakni menindak santri yang melanggar peraturan, bahkan
kalau perlu menghukum secara langsung. Dalam bahasa santri "di-takzir”.Di
pondok itu ada satu santri yang luar biasa nakal.
“Saya geregatan sama santri nakal itu,” kata Gus
Dur.
Hal itu bahkan
sampai membuat Gus Dur “niteni” atau mengincar setiap kesalahan yang
diperbuatnya karena begitu jengkel. Bagaimana tidak jengkel, jika kulit bedug
di pesantren Tambakberas sering dipotong sedikit demi sedikit sampai membuatnya
berlubang-lubang?
“Siapa ini ada orang berani-beraninya mencuri
kulit bedug masjid?”, kata Gus Dur.
Setelah
diselidiki oleh bagian keamanan, akhirnya terjawab kenapa kulit bedug ini bisa
hilang. Kulit bedug masjid yang terbuat dari kulit sapi asli ini dicuri salah
satu santri. Setelah ketahuan siapa yang mencuri si santri dipanggil untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Kenapa kamu mencuri kulit bedug?”, tanya Gus
Dur,
"Kamu jual ya? Biar dapat duit?”, lanjut Gus Dur.
"Kamu jual ya? Biar dapat duit?”, lanjut Gus Dur.
Santri itu menunduk diam saja. Setelah didesak
berulang kali akhirnya si santri menjawab:
“Anu, Kang, digoreng buat lauk makan, jadi
krecek.”
Sontak saja Gus Dur malah tertawa mendengar
alasan si santri mencuri kulit bedug masjid. Dengan alasan itu, Gus Dur tidak
mentakzir berlevel keras. Si santri tetap dihukum, tapi masih pada level-level
ringan.
Bukannya kapok, si santri ini tetap nakal. Salah
satu bentuk kenakalannya adalah ia sering masuk ke kompleks pondok putri.
Mengintip para santri putri. Masalahnya tidak pernah bisa ditemukan bukti-bukti
yang bisa digunakan untuk melaporkannya kepada Kiai Fattah. Karena pelanggaran
yang dilakukan adalah pelanggaran tingkat tinggi. Dan hukuman yang menanti pun
tingkatnya ada di level tertinggi pula, yaitu diusir dari pondok pesantren.
Karena selalu
gagal dalam melakukan “operasi tangkap tangan”, Gus Dur akhirnya memilih cara
alternatif untuk bisa menangkap santri nakal ini dengan bukti serta alasan yang
cukup kuat. Dalam kesimpulan Gus Dur, jika suka mengintip perempuan, itu
berarti pikiran bocah ini pasti mesum. Dan karenanya pasti ada sesuatu di dalam
lemarinya yang menunjukkan kemesuman itu.
Akhirnya Gus Dur melakukan razia ke lemari-lemari
santri putra. Benar saja, dalam lemari santri yang dimaksud, ditemukan sebuah
kutang yang setelah diselidiki memang salah satu kutang dari pondok putri. Gus
Dur senang, karena dengan ini si santri akan mendapatkan hukuman tertinggi
sesuai dengan hukum yang berlaku di pesantren.
Dengan senang
Gus Dur pun menghadap Kiai Fattah sambil membawa kutang sebagai alat bukti.
Begitu sudah sampai ndalem (kediaman) Kiai Fattah, Gus Dur mengeluarkan kutang
curian tersebut.
“Itu apa, Dur? Kenapa kamu bawa kutang kemari?”,
tanya Kiai Fattah heran.
“Pak Kiai, ini hasil curian salah satu santri
putra. Namanya Fulan bin Fulan. Dia sering ngintip ke pondok putri. Di dalam
lemarinya saya temukan bukti ini,” kata Gus Dur,
“Saya sama teman-teman dari keamanan pondok sepakat, agar santri ini bisa segera dikeluarkan.”
“Saya sama teman-teman dari keamanan pondok sepakat, agar santri ini bisa segera dikeluarkan.”
“Oh, begitu,” kata Kiai Fattah.
“Santri ini nakal banget, Kiai,” kata Gus Dur
kepada pamannya.
“Lho, santri nakal, kok, dilaporkan ke aku? Mau
dikeluarkan lagi,” kata Kiai Fattah,
"Kalau lapor ke aku, lapor santri yang sudah baik, sudah pintar, biar aku keluarkan dari pondok. Orang tua santri itu berharap anaknya pulang dari pondok biar jadi makin baik, bukan malah jadi tambah nakal,” tambah Kiai Fattah.
"Kalau lapor ke aku, lapor santri yang sudah baik, sudah pintar, biar aku keluarkan dari pondok. Orang tua santri itu berharap anaknya pulang dari pondok biar jadi makin baik, bukan malah jadi tambah nakal,” tambah Kiai Fattah.
Mendengar jawaban itu, Gus Dur heran.
“Lha.. terus gimana ini Kiai?” tanya Gus Dur.
“Begini saja. Aku hargai musyawarah para pengurus
keamanan. Karena kalian sudah sepakat untuk mengeluarkannya, ya sudah aku ya
sepakat,” kata Kiai Fattah.
Gus Dur tersenyum senang mendengarnya.
“Keluar dari pondok, lalu masuk ke sini saja,”
kata Kiai Fattah menunjuk kediamannya sendiri.
Gus Dur terkejut mendengarnya.
“Maksudnya, Kiai?”
“Maksudnya, Kiai?”
“Iya, dipindahkan ke sini. Ke ndalem. Rumahku.
Kamu aturlah sama teman temanmu. Pokoknya mulai hari ini santri itu dipindah ke
sini,” kata Kiai Fattah menunjuk kediamannya sendiri.
Meski bingung dengan perintah pamannya, pada
akhirnya Gus Dur tetap menurut. Mengeluarkan si santri dari pondok, tapi malah
memasukkannya ke ndalem Kiai Fattah.
“Bukannya dikeluarkan, malah naik pangkat ini
santri,” komentar teman-teman si santri.
Pada akhirnya, karena kamarnya dekat dengan kamar
Kiai Fattah, si santri jadi orang pertama yang selalu ditemui Kiai Fattah
ketika bangun tidur, berangkat ngaji, sampai dengan salat tahajud.
Ketika Kiai
Fattah mengajar ngaji, si santri disuruh membawakan kitab dan menandai
halaman-halamannya. Hal itu tanpa sadar membuat si santri mau tidak mau ikut
mengaji tanpa bisa membolos satu kali pun. Karena sering harus menandai bagian
yang akan dimulai dan yang diakhiri, ia jadi belajar membaca kitab kuning.
Selain itu,
setiap Kiai Fattah akan salat, santri ini disuruh mempersiapkan tempat salat.
Entah itu salat wajib atau pun sunah. Dengan pola seperti itu, akhirnya si
santri dengan terpaksa mengikuti laku hidup Kiai Fattah selama bertahun-tahun.
Pada akhirnya, diawali dengan terpaksa, si santri jadi terbiasa dan benar-benar
menjadi santri yang saleh.
“Baik secara syariat, akhlak, maupun aturan
pondok pesantren, ngintip ke dalam pondok putri adalah pelanggaran yang tidak
bisa dibiarkan,” kata Gus Dur.
Dari segala aspek hukum apapun si santri ini
jelas salah. Dan keputusan Kiai Fattah benar-benar memberi pelajaran berharga
bagi Gus Dur. Jika Kiai Fattah hanya ikut apa kata hukum saat itu, si santri
memang benar harus diusir, pesantren jelas tidak akan rugi, Kiai Fattah tidak
akan repot. Hanya saja santri tersebut akan kehilangan peluang untuk bisa
berubah menjadi orang yang lebih baik. Dengan langkah sederhana, Kiai Fattah
menunjukkan bahwa ada yang lebih penting daripada sekadar mengikuti nalar
hukum, yaitu mengikuti nalar kemanusiaan.
“Ternyata di
atas hukum, masih perlu adanya rasa kemanusiaan,” kata Gus Dur.
Dari
cerita versi KH. Anwar Zahid, santri ini kemudian menjadi kiai yang punya
santri cukup banyak. Dan suatu ketika, Gus Dur dan santri ini bertemu. Dengan
akrab Gus Dur pun bertanya,
"Yang kamu curi dulu warnanya apa, Nda?”
Keduanya pun tertawa terpingkal-pingkal. Tanpa
menyadari, bahwa dari sanalah kemanusiaan untuk negeri ini lahir beberapa
dekade tahun kemudian saat si kepala keamanan naik pangkat jadi kepala negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar