Lembut Itu Mampu Menahan
Diri
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Suatu ketika Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
cucu dari Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, masuk
ke dalam masjid. Ketika masjid dalam keadaan gelap gulita. Tak sengaja, rupanya
beliau menginjak seorang laki-laki yang sedang tidur di masjid itu. Seketika
lelaki itu berdiri dan berkata, “Apakah kamu sudah gila?”
Mendengar perkataan lancang tersebut, pengawal
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz segera bertindak, hendak memukul. Tetapi ‘Umar
mencegahnya seraya berkata, “Jangan! Dia tadi hanya bertanya kepadaku, ‘Apakah
aku sudah gila?’ Dan aku menjawab, ‘Tidak.’”
Ada pelajaran sangat berharga tentang al-hilm
(الحلم) di dalam kisah ini. Satu peristiwa yang memberikan dua gambaran
sekaligus, yakni tentang seseorang yang kehilangan sifat hilm alias lembut
sekaligus tidak ada sifat 'anah pada dirinya, sehingga bereaksi dengan
melontarkan perkataan yang kasar. Pada saat yang sama ada pelajaran tentang
bagaimana al-hilm itu menjadi pintu kebaikan sehingga dengannya tak perlu
terlontar kalimat yang kasar maupun ucapan yang buruk.
Apa yang dimaksud dengan al-hilm? Secara
sederhana kelembutan yang terangkum dalam kata al-hilm lebih banyak terkait
dengan kemampuan menahan diri, terlebih saat marah. Ahnaf bin Qais mengatakan
bahwa al-hilm atau kelembutan-ketenangan adalah, “Engkau bersabar terhadap apa
yang engkau benci.” Karena kita mampu bersabar terhadap apa yang tidak kita
sukai, semisal sikap anak, maka tindakan kita terukur, sikap kita terjaga,
sehingga tidak gegabah dalam bertindak, tidak pula melampaui batas.
Saat anak melakukan perbuatan buruk, yang perlu
kita perbaiki adalah kesalahan. Tampaknya sederhana dan tak perlu kita
diskusikan lagi. Tetapi jika tidak ada al-hilm dalam diri kita sehingga tidak
dapat mengendalikan diri, alih-alih memperbaiki kesalahan, justru kita terjatuh
pada tindakan menghancurkan harga diri anak. Bukannya mengoreksi kesalahan,
kita malah menjadikan anak seolah-olah buruk secara keseluruhan. Akibatnya,
alih-alih berusaha menjadikan anak menyadari kesalahannya, yang terjadi justru
anak merasa dirinya buruk sepenuhnya tanpa ada kebaikan.
Jika kelembutan dalam bentuk ar-rifq membawa kita
untuk mengambil yang mudah dan lurus sehingga tetap dapat menunjukkan keramahan
saat bersikap, maka lembut dalam makna al-hilm membawa kita pada sikap
hati-hati, tenang, tidak tergesa-gesa dan tidak pula lamban, serta tidak
teralihkan oleh hal-hal yang tidak perlu. Al-hilm pada diri kita ditunjukkan
dengan tenangnya hati yang membuat kita tidak mudah terpancing emosi, tidak
tersulut amarah karena ucapan yang buruk. Dan ini juga berlaku dalam mendidik
anak. Bahkan inilah yang sangat kita perlukan ketika menghadapi anak yang
sedang marah, sebagaimana kita juga memerlukannya saat mengajari mereka agar
tidak tersulut emosi saat mereka tak mampu segera berubah sesuai yang kita
harapkan.
Al-hilm sangat dekat dengan al-‘anah, yakni
kemampuan untuk berhati-hati, tidak mengambil tindakan kecuali setelah
betul-betul jelas duduk perkaranya. Keduanya merupakan sifat yang dicintai
Allah ‘Azza wa Jalla. Insya Allah kita akan berbincang secara lebih khusus
tentang al’anah pada kesempatan berikutnya. Kali ini kita akan memusatkan
pembahasan kita tentang kelembutan yang terangkum dalam al-hilm. Semoga Allah
Ta’ala karuniakan sifat ini kepada kita dalam upaya mendidik dan mengasuh
anak-anak kita.
Tetaplah Fokus, Kendalikan Nada Suara
Salah satu tantangan saat kita sedang menghadapi
anak, semisal ketika anak marah tak terkendali, mengamuk, merengek atau
menangis keras secara demonstratif adalah bagaimana menjaga ucapan maupun
tindakan kita agar tetap tenang. Jangan sebaliknya, tak kuat menghadapi
kemarahan anak, kita justru marah meledak-ledak melebihi anak. Tak mampu
menghadapi anak yang mengamuk, malah anak lain yang terkena getahnya karena
kita amuk mereka. Tak sanggup menghadapi anak yang merengek, kita pun akhirnya
merengek kepada anak; merayu-rayu, menawarkan imbalan, melakukan negosiasi yang
berakibat anak merasa mendapatkan hadiah dari tindakannya merengek.
Lalu apa yang
kita perlukan di saat seperti itu? Al-hilm. Kelembutan. Bagaimana bentuknya?
Berusaha tetap tenang, mengendalikan nada suara kita agar tetap berbicara
dengan intonasi yang normal, tawajjuh (menghadapkan wajah kita kepada wajah
anak) dengan tenang seraya menyampaikan pesan-pesan kepada mereka. Jika anak
itu mengamuk, kita sampaikan apa yang perlu dia lakukan, apa keburukan dari
mengamuk serta konsekuensi dari perbuatan semacam itu. Kita sampaikan dengan
intonasi yang tenang dan pilihan kata yang baik, sehingga anak menangkap alasan
yang jernih dari kita.
Cara ini belum
manjur? Kita dekatkan lagi anak itu kepada kita. Jika ia tak mau mendekat,
kitalah yang mendekat. Khusus yang disebut terakhir ini, kendala terbesarnya
adalah ego kita. Maka perlu kebesaran jiwa untuk melakukannya. Al-hilm memang
memerlukan dua hal penting, yakni keluasan pikiran dan kebesaran jiwa. Jika
kita hanya berpikir untuk kepentingan sesaat, berat sekali rasanya untuk
melonggarkan hati. Lebih berat lagi mengucapkan terima kasih tatkala anak telah
melakukan perbaikan, sesudah ia melakukan kesalahan.
Adakalanya
kita dapat menyampaikan dengan nada yang terdengar keras. Tetapi jika ada
ar-rifq, anak akan merasakan cinta dalam ucapan kita. Meskipun keras langgam
kita, tetapi anak merasakannya sebagai ketegasan dan konsistensi. Nah, dalam
keadaan seperti itu, al-hilm sangat kita perlukan agar tidaklah kita
mengucapkan kalimat, kecuali kalimat-kalimat yang baik dan membangun jiwanya.
Kita misalnya dapat mengatakan, “Nak, apa yang
membuatmu merasa lemah?! Padahal Tuhanmu adalah Allah Yang Maha Perkasa.
Tegakkan kepalamu. Pandang ke depan. Di sini ada orangtuamu yang siap hadir
untukmu.”
Kadang anak memancing kemarahan kita dengan
bantahan-bantahan yang bahkan boleh jadi disertai sumpah serapah. Ini memang
sangat tidak menyenangkan. Tetapi justru dalam keadaan seperti itulah perlu
al-hilm (kelembutan), sehingga kita tetap fokus pada apa yang menjadi pokok
masalah. Tidak terusik oleh ucapan buruknya, tidak terpancing emosi kita oleh
serangan. Ini merupakan jalan untuk mengoreksi sehingga anak akan luluh. Dalam
hal ini, kelembutan dalam bentuk al-hilm itu menjaga agar fokus tidak melebar
kemana-mana sehingga yang terjadi hanyalah saling melontarkan kemarahan maupun
serangan terhadap pribadi.
Bagaimana jika suami atau istri melakukan
kesalahan saat menghadapi anak? Sama halnya saat kita menangani anak, tetaplah
menjaga fokus. Kesalahan cara istri dalam menghadapi anak dapat diluruskan
sesudah masalah selesai. Jangan menyalahkannya di depan anak, sehingga rasa
hormat anak kepada orangtua akan jatuh. Sementara masalah yang hendak
diperbaiki justru mengambang.
Meraih Al-Hilm
Lembut tanpa ilmu adalah kelemahan. Sementara
belajar tentang kelembutan, tidak serta merta menjadikan kita lembut. Apa
pelajaran pentingnya? Ilmu perlu kita pelajari dengan sungguh-sungguh.
Sementara untuk menumbuhkan al-hilm dalam diri kita, perlu upaya secara sengaja
untuk melatihnya. Ini berarti, kelembutan tidaklah terbentuk dengan tiba-tiba,
seketika. Jika awalnya kita orang yang cenderung kasar, bersabarlah dalam
berlatih. Kesalahan mungkin masih akan sering terjadi. Tetapi kesungguhan itu
akan mengantarkan kita mampu memiliki kelembutan. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar