InspirasI

Kamis, 27 September 2018

Wanita cantik itu, istriku.

Sejak menikahi istriku sebelas tahun yang lalu, tak pernah terpikirkan olehku untuk menduakannya, meskipun secara psikis dan finansial mungkin aku mampu.
"Apa tak ingin untuk nambah lagi gan?"
Sahabatku pernah bertanya.
Tentu saja bukan anak yang dimaksudnya, tetapi istri. Aku hanya tersenyum. karena bagaimanapun aku menjelaskan bagaimana aku mencintai istriku, tetap saja aku jadi bahan tertawaan.
Sudah lumrah dilingkungan pekerjaan kami, yang sering melanglang buana ke penjuru kota, bermain cinta tanpa sepengetahuan istri mereka. Bahkan ada yang menikah diam-diam, kemudian kembali ke kota asalnya dengan membawa istri muda. Atau setidaknya mencari teman ngobrol, kencan atau berbagi cerita. "Naluriah lelaki" kata temanku waktu itu.
Lalu bagaimana denganku?  Entahlah. Yang pasti sampai saat ini, belum ada perempuan yang berhasil mengisi hati selain istriku. Bukan tidak ada godaan. Pekerjaan kami yang selalu bertemu klien dan banyak orang, seringkali menjadi kesempatan untuk bertemu wanita cantik. Bahkan ada yang berani menyatakan keinginannya untuk menjadi istri kedua. Melalui sahabatku, dia menyatakan keinginan untuk menjadi istriku, rela walau dimadu. Aku menolaknya secara halus, karena bagiku, cukuplah cinta sebagai alasan aku bertahan dengan satu-satunya wanita.
"Mungkin Pipit pakai pelet untukmu, Gan!" Celetuk temanku suatu waktu, yang membuatku meradang karena menuduh istriku meskipun hanya bercanda. Memang, banyak yang membicarakan ketimpangan antara aku dan istriku. Terlebih setelah ia melahirkan jagoan kedua kami.
Pernah aku memutuskan meninggalkan acara reuni, karena teman SMA-ku berkomentar menyakitinya. "Owh, ini istrimu gan, kupikir tantemu" kontan wajah istriku memerah. Saat itu juga kutinggalkan acara dan menghibur hati istriku dengan mengajaknya kencan berdua.
Apakah istriku tidak cantik? Jika indikatornya standar cantik netizen Indonesia, mungkin bisa dikatakan istriku tidak begitu cantik. Kulit coklat dan badan yang berisi. Beberapa orang mengatakan istriku mirip dengan presenter cerdas Okky Lukman.
Lalu apakah aku tampan? Ah, bukankah pria menjelang 40 tahun selalu terlihat tampan?
Tapi apakah mereka tahu, bahwa tidak pernah aku merasa ada sesuatu yang kurang dari dirinya. Darinya, dua jagoan kami lahir, dan karenanya pula mereka tumbuh berkembang menjadi anak yang cerdas dan Sholeh. Istriku selalu bisa mengerti dan mengendalikan suasana. Caranya berbicara, caranya bersikap, siapapun akan terpesona. Dia cerdas, lulusan cumlaude di jenjang sarjana maupun pendidikan magister. Dia bukan anak orang kaya, yang dari kecil biasa berjuang untuk membiayai sekolah, dan pada akhirnya menyelesaikan studi dengan beasiswa. Dan disaat ia mencapai puncak karier sebagai manajer di sebuah perusahaan ternama, tanpa kuminta dengan rela hati ia berhenti karena sibungsu yang sakit-sakitan. Aku yang hanya lulusan sarjana, tak pernah digurui dalam hal apapun. Tapi ketika pulang membawa segudang masalah pekerjaan, berbicara dengannya seolah-olah menghadirkan solusi didepan mata.
Dan kini ia sedang mengandung anak ketiga kami, yang kata om dokter akan hadir jagoan lagi. Rasa lelah karena menjalani pendidikan Doktor dalam kondisi hamil besar, ditambah lagi timbangan yang sudah bergerak ke kanan, sama sekali tak mengurangi pesonanya, dan aku jatuh cinta padanya, lagi.
Istriku cantik, dan siapapun tak boleh memungkirinya. Bisa saja dengan tabungannya, istriku mampu mempermak fisiknya yang mungkin akan lebih cantik dari Lucinta Luna. Tapi bagi kami, cukuplah cinta yang menyempurnakan sesuatu yang tidak sempurna.

(Ganda Saputra)


IJAZAH MIMPI BERTEMU RASULULLAH

SILAHKAN UCAPKAN "QOBILTU"
Ada seorang Sayyid yg mimpi bertemu Rasulullah صلى الله عليه وسلم، dan dalam mimpinya, Rasulullah memberikan 2 wirid ini, yg terbukti mujarrab bagi perindu-perindu Rasulullah agar bisa bermimpi bertemu beliau,dan terbukti, keesokan harinya, sang Sayyid memberi tahu muridnya, dan setelah 5 hari, salah satu muridnya langsung mimpi bertemu dengan Rasulullah!
Ini dia wiridnya :
1. اللهم صل على سيدنا محمد و آله وصحبه وسلم 100x
2. السلام عليك أيها النبي و ر حمة الله وبركاته 33x

2 amalan ini diamalkan setiap hari, disertai dengan bersihnya hati ketika mengamalkannya, karena dengan bersihnya hati, in sha Allah hubungan seseorang dengan Rasulnya akan jauh semakin deka
Silahkan dishare, diamalkan, dan diistiqomahkan
Wallahu A'lam semoga bermanfaat



Senin, 24 September 2018

PEREMPUAN TANPA SUARA


“Bang, apa ada uang lebih?” Tanti bertanya pada suaminya yang sedang bersiap pergi bekerja. Suaminya seorang karyawan di sebuah perusahaan perkebunan.
“Uang lebih apa, Tan?” tanya Alif tanpa menoleh ke arah istrinya.
“Buat bayar sekolah Nanda. Ada iuran untuk kegiatan ekstrakurikuler pramuka.”
“Lah, kan uangku semua sudah aku serahin ke kamu. Gajiku ya cuma segitu, Tanti!” Alif kesal.
“Ya sudah, Bang. Kan aku cuma nanya, barangkali ada uang lain, gak usah pake marah,” Tanti mencium tangan suaminya yang akan segera berangkat.
“Ada uang ya cuma untuk uang bensin. Pandai-pandai kamu mengatur uang belanja yang aku beri. Termasuk untuk biaya Nanda,” ujar Alif.
Tanti hanya mengangguk. Ia tahu penghasilan suaminya pas-pasan. Sayang, Alif tak mengizinkannya bekerja.  Padahal Tanti memiliki ijazah dan keahlian yang bagus.
Sebelum menikah dengan Alif, Tanti bekerja di perusahaan yang sama. Namun karena peraturan perusahaan yang tak memperbolehkan suami istri bekerja pada satu perusahaan, ia memilih resign. Setelahnya Alif meminta Tanti untuk fokus mengurus rumah.
“Biar Abang saja yang bekerja, Tan. Kamu di rumah. Urus anak,” perintah Alif dan sebagai istri yang baik Tanti patuh.
Awalnya semua berjalan mulus. Namun, kebutuhan hidup semakin meningkat. Nanda harus sekolah. Uang sekolah memang gratis karena Nanda hanya bersekolah di sekolah negeri biasa. Namun biaya seragam, buku dan keperluan lain tak bisa gratis.
Nanda yang sudah berusia 10 tahun mulai meminta handphone android seperti teman-temannya. Hal itu memang ada gunanya, sebab mereka bisa belajar kelompok dari rumah dengan memanfaatkan fasilitas aplikasi share it di android. Dan sejumlah manfaat lain.
Nanda tertarik ikut kegiatan ekstrakurikuler yang juga membutuhkan biaya untuk seragam atau keperluan lain. Bagaimanapun, kebutuhan Nanda tidak lagi cuma sekedar makan dan susu. Beruntung Tanti baru memiliki dua orang anak, yang bungsu masih PAUD.
Tanti memikirkan dengan penghasilan Alif yang cenderung stagnan, keperluan hidup yang meningkat. Belum lagi Tanti bercita-cita bisa membeli rumah sendiri dan tidak terus mengontrak, maka rasanya keinginan Tanti untuk bekerja semakin kuat.
Sayang suaminya tak mengizinkan ia bekerja. Tapi apa boleh buat sebab hidupnya tak semudah hidup Ratu Miranda ibu Princess Shofia The First.
“Bikin lauk-pauk matang, Tanti. Ibu-ibu bekerja tak selalu sempat memasak untuk menu makan siang. Nanti aku bantu pasarkan di kantor,” Rinda, salah seorang temannya memberi ide.
Hari itu Tanti bercerita pada Rinda yang kebetulan bertemu di PAUD. Anak Rinda satu kelas dengan si bungsu.
Tanti kadang iri dengan kehidupan Rinda sekarang. Rinda telah berhasil memiliki rumah sendiri, selain usaha suami Rinda kian maju, Rinda juga telah memiliki karir yang mapan.
“Aku bilang ke Bang Alif dulu, Rin,” ujar Tanti.
“Pastilah. Izin dulu sama Bang Alif. Kalo dia ngizinin, bikin lauk atau kue. Nanti aku bantu memasarkan,” jawab Rinda.
”Kamu enak, punya uang sendiri. Mau beli apa-apa tinggal beli. Rumah juga udah punya. Tabungan ada. Kalau aku, jangankan untuk menabung, gaji Bang Alif pas-pasan untuk bayar kontrakan, makan, belum lagi Bang Alif harus ikut membantu membiayai pengobatan ibunya,” keluh Tanti.
“Yah, namanya rezeki orang itu beda-beda, Tan. Kamu enak bisa nungguin anak-anakmu tiap detik. Kalo aku kan sedari bayi anak-anak harus ku tinggal. Meski alhamdulillah kantorku dekat dari rumah jadi jam istirahat aku bisa pulang untuk nengokin mereka,” ujar Rinda
"Belum lagi dengan kerja artinya aku harus berperan ganda, bangun lebih pagi, mengatur ART dan seterusnya. Tapi intinya semua itu pilihan, ya harus kita nikmati. Aku kerja, aku nikmati pilihanku. Kamu yang di rumah ya dinikmati, disyukuri," sambung Rinda.
“Enak kalau di rumah itu kita berkecukupan. Kalau pas-pasan ya pusing Rin, jenuh mengatur uang belanja yang cuma segitu-gitunya.”
"Ya kalau kayak istri-istri orang kaya itu, di rumah tapi semua kebutuhan terpenuhi. Kalo kayak aku ini, pusing mikirin kebutuhan," ujar Tanti.
“Iya sih, tapi semua itu memang ada plus minusnya. Minta izin baik-baiklah sama Bang Alif. Kalau aku memang dari awal menikah udah minta izin sama Abang agar tetap diizinkan bekerja."
“Kamu sih beruntung. Bang Firman orangnya pengertian, mau diajak diskusi, mau bantu-bantu beberes rumah. Lha kalo aku, mentang-mentang udah kerja, Bang Alif mana mau bantuin sekedar bikin kopi sendiri!” keluh Tanti.
“Bang Firman sudah jadi yatim sedari kecil. Ia belajar memasak dan membersihkan rumah saat Mama mertua berdagang di pasar. Karena itu, setelah menikah, Bang Firman sudah terbiasa dengan pola kerjasama dalam rumah tangga,” terang Rinda.
“Sudahlah, Tan. Jangan ngomongin suami kita, gak baik. Sebisa mungkin kita taat dan patuh sama mereka. Tiap lelaki kan punya prinsip sendiri tentang caranya memimpin rumahtangga. Bersyukurlah, Tan. Bang Alif pria baik. Bukan pemabuk, bukan penjudi atau tukang selingkuh. Banyak perempuan lain di luar sana yang nasibnya lebih memilukan.”
“Iya, sih… tapi aku benar-benar ingin mencari penghasilan tambahan, Rin. Kami tak selamanya akan ngontrak, anak-anak butuh biaya sekolah dan kuliah. Boro-boro mau umroh atau naik haji.”
“Insya Allah,” ucap Rinda.
***
“Apa? Jualan apa?” Alif bertanya dengan nada tinggi.
“Jualan lauk atau kue, Bang. Nanti dijual ke kantor atau ke online shop,” sahut Tanti takut-takut.
“Aku ini masih kuat memberimu makan, Tan! Kalau kamu bekerja jualan lauk gitu, nganter-nganter , kamu sama saja meraupkan abu ke mukaku. Dikira orang aku gak bisa lagi menafkahi keluarga!”
“Bang… aku enggak bermaksud menyaingimu, aku cuma mau membantumu. Anak-anak makin lama butuh uang banyak untuk sekolah, apalagi kuliah. Dan aku juga pengen punya rumah sendiri, biarpun kecil. Masa iya kita mau ngontrak terus sampai tua,” jawab Tanti.
“Kalau kamu mau membantuku, bantu dengan bersikap zuhud dan qonaah! Jangan banyak ngeluh! Banyak orang lain yang hidupnya lebih mengenaskan. Kamu harusnya banyak bersyukur, bukannya justru malah membanding-bandingkan hidupmu dengan hidup orang lain!”
“Aku gak membandingkan, Bang. Lagian jualan lauk kan bisa kulakukan di rumah, Bang….”
“Pokoknya tidak! Bukan masalah jualannya. Tapi kamu cari uang itu menyinggung harga diri Abang sebagai lelaki! Kamu jadi perempuan harus banyak bersyukur!"
“Anak-anak butuh biaya….”
“Anak-anak punya rezekinya sendiri! Jangan mengurusi yang sudah dijamin oleh Allah!” kali ini Alif gusar. Tanti dibentaknya.
Tanti terdiam. Tak ingin membantah.
Ia mafhum, Alif memang dibesarkan dalam keluarga patriarkal yang kental. Bahwa lelaki bekerja dan perempuan di rumah. Sayangnya, penghasilan Alif tak sebagus penghasilan almarhum ayahnya yang seorang pejabat teras BUMN, sehingga mampu membiayai Alif dan adik-adiknya sekolah sebelum akhirnya beliau meninggal dunia.
Kini, ibu mertuanya yang telah menjanda menggantungkan hidup dari uang peninggalan ayah Alif dan dari pemberian anak-anaknya.
Budaya patriarki yang kental juga membuat Alif enggan untuk mengetahui tetek bengek urusan rumah. Bahwa harga bahan pangan kian lama kian mahal, bahwa kebutuhan hidup tak lagi sesederhana kebutuhan pada masa kecilnya. Bahwa rezeki yang sudah dijamin oleh Allah untuk anak-anaknya itupun tetap harus diikhtiari dengan usaha.
Jika Alif hanya akan jadi staf biasa di perusahaannya tanpa ada usaha sampingan atau kenaikan gaji, maka Tanti tak tahu harus bagaimana ia mendefinisikan sikap zuhud dan qonaahnya sebagai istri.
Tanti mengambil gawainya dan memposting uneg-unegnya di sana.
"Enak ya jadi istri orang kaya, tak usah pusing mikirin naiknya harga-harga! Jaman sekarang, sepuluh ribu dapat apa?!"
Tanti bukan istri yang suka mengeluh. Meskipun ia tahu hidupnya tak semanis cerita dalam novel-novel yang ia baca.
Ia hanya butuh teman untuk berbagi cerita. Namun, ia hanya perempuan tanpa suara. Sebab suaminya tak hendak mendengarkan pendapatnya.

Latifah Annisa
End.


Jumat, 21 September 2018


WANITA YANG KEMATIANNYA DISAMBUT PARA MALAIKAT


Kisah ini mungkin telah sering kita dengar. Namun, sekedar mengingatkan kembali tentang perjuangan wanita mulia ini, semoga dapat mengembalikan ghirah kita untuk juga bisa menteladani beliau, wanita yang ‘berhati baja’.
Nusaibah Binti Ka’ab radhiyallahu anha, namanya tercatat dalam tinta emas penuh kemuliaan.
          Bahkan kematiannya mengundang ribuan malaikat untuk menyambutnya.
Hari itu Nusaibah sedang berada di dapur. Suaminya, Said sedang beristirahat di bilik tempat tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nusaibah menerka, itu pasti tentara musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di kawasan Gunung Uhud. Dengan bergegas, Nusaibah meninggalkan apa yang sedang dilakukannya dan masuk ke bilik. Suaminya yang sedang tertidur dengan halus dan lembut dikejutkannya.
“Suamiku tersayang”, Nusaibah berkata, “Aku mendengar pekik suara menuju ke Uhud. Mungkin orang-orang kafir telah menyerang.”
Said yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak. Dia menyesal mengapa bukan dia yang mendengar suara itu. Malah isterinya. Dia segera bangun dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu dia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Dia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang.”
Said memandang wajah isterinya. Setelah mendengar perkataannya itu, tak pernah ada keraguan padanya untuk pergi ke medan perang. Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju ke utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu semakin mengobarkan keberanian Said.
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda yang nampaknya sangat gugup.
“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si penunggang kuda, “Suami Ibu, Said baru sahaja gugur di medan perang. Beliau syahid…”
Nusaibah tertunduk sebentar,
“Inna lillah…..” gumamnya,
“Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat, Nusaibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan,
“Amar, kaulihat Ibu menangis?.. Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah Syahid. Aku sedih karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?”
Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.
“Ambillah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terhapus.”
Mata Amar bersinar-sinar. *“Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku ragu, seandainya Ibu tidak memberi peluang kepadaku untuk membela agama Allah.”
Putera Nusaibah yang berbadan kurus itu pun terus menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak terlihat ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di hadapan Rasulullah, ia memperkenalkan diri.
“Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayahku yang telah gugur.”
Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. *“Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”
Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung hingga petang. Pagi-pagi seorang utusan pasukan Islam berangkat dari perkemahan di medan tempur, mereka menuju ke rumah Nusaibah.
Setibanya di sana, wanita yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan?..” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, “Apakah anakku gugur?..”
Utusan itu menunduk sedih, “Betul….”
“Inna lillah….” Nusaibah bergumam kecil. Ia menangis.
“Kau berduka, ya Ummu Amar?..”
Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan?.. Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad yang sedang berada tepat di samping ibunya, menyela, *“Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putera seorang ayah yang gagah berani.”
Nusaibah terperanjat. Ia memandang puteranya. “Kau tidak takut, nak?..”
Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng, yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Ketika Nusaibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad hilang bersama utusan tentara itu.
Di arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu Akbar!..”
Kembali Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nusaibah.
Mendengar berita kematian itu, Nusaibah meremang bulu tengkuknya.
*“Hai utusan,” ujarnya, “Kau saksikan sendiri aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diriku yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
 Sang utusan mengerutkan keningnya.
*“Tapi engkau wanita, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku wanita?.. Apakah wanita tidak ingin pula masuk ke Syurga melalui jihad?..”
Nusaibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas menghadap Rasulullah dengan mengendarai kuda yang ada.
Tiba di sana, Rasulullah mendengarkan semua perkataan Nusaibah. Setelah itu, Rasulullah pun berkata dengan senyum.
*“Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum masanya wanita mengangkat senjata. Untuk sementara engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nusaibah pun segera menenteng obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur.
Dirawatnya mereka yang mengalami luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk dan memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba rambutnya terkena percikan darah. Nusaibah lalu memandang. Ternyata kepala seorang tentara Islam tergolek, tewas terbabat oleh senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini.
Apalagi ketika dilihatnya Rasulullah terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak dapat menahan diri lagi, menyaksikan hal itu.
Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang tewas itu.
Dinaiki kudanya.
Lantas bagaikan singa betina, ia mengamuk.
Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang.
Hingga pada suatu waktu ada seorang kafir yang mengendap dari arah belakang, dan langsung menebas putus lengan kirinya. Nusaibah pun terjatuh, terinjak-injak oleh kuda. Peperangan terus berjalan. Medan pertempuran makin menjauh, sehingga tubuh Nusaibah teronggok sendirian.
Tiba-tiba Ibnu Mas’ud menunggang kudanya, mengawasi kalau-kalau ada orang yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat ada tubuh yang bergerak-gerak dengan susah payah, dia segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu.
Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya, “Isteri Said-kah engkau?..”
Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “Bagaimana dengan Rasulullah?.. Selamatkah baginda?..”
“Baginda Rasulullah tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan?.. Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih terluka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku untuk membela Rasulullah?..”
Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke medan pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikkannya. Namun karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus oleh sabetan pedang musuh.
Gugurlah wanita perkasa itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah mendung, hitam kelabu. Padahal tadinya langit tampak cerah dan terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak.
Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya,
*“Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan?.. Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Subhanallah..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Tanpa pejuang sejati seperti dia, mustahil agama Islam bisa sampai dengan damai kepada kita yang hidup di jaman sekarang.
Semoga Allah ‘Azza Wa Jalla menempatkan mereka, dan kita semua di Syurga-Nya disamping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aamiin..
Apa yang telah kita perbuat untuk menegakkan Dienullah Islam ?
Kisah penuh inspiratif ini seharusnya dapat menggugah jiwa juang kita, agar tidak cengeng melepas anak -anak yang sedang berjuang. Kalo ingin anak menjadi kuat, maka kita harus menjadi ibu yang kuat terlebih dahulu.
Wallahu'alam...


Jumat, 07 September 2018

PUBER KEDUA MELANDA

Menjelang sebelas tahun usia pernikahan, kehidupan rumah tangga kami secara finansial lebih mapan. Kalaupun tidak bisa dikatakan kelas ekonomi atas, setidaknya kami punya tempat tinggal dan kendaraan yang layak. Anak-anak juga bersekolah di tempat yang diinginkan tanpa kendala kekurangan biaya. Beberapa tanah juga bisa terbeli karena setelah membayar kebutuhan bulanan, faktanya masih ada dana tersisa yang kemudian bisa ditabung.
Tahun-tahun berat penuh perjuangan telah berhasil terlewati. Aku pernah merasakan punya tiga balita, dengan keuangan pas-pasan, ditambah aku harus melanjutkan kuliah. Beruntung, ada istri yang mengerti dan mendukung. Mengatur keuangan agar cukup, merawat anak-anak dengan telaten, bahkan masih membantu mengerjakan tugas dari kampus.
Tidak ada sesuatu yang sia-sia, toh sekarang manisnya kami tuai. Semua tak lepas dari peran Nayra. Gadis berwajah oriental dengan kulit putih dan mata sipit yang kunikahi lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
Dulu ... kesulitan hidup dan keruwetan tiga bocah cilik telah mempererat hubungan kami sebagai suami istri. Saling menopang dan saling membantu. Kesibukan yang seakan tidak ada habisnya serta minimnya keuangan tak memberi celah untuk berpikir neko-neko.
Kini, senggangnya waktu ternyata adalah ujian yang lebih berat. Bukan untuk kami, tapi hanya untukku, seorang pria berkecukupan.
***
"Wow ... baunya wangi. Lihat nggak ... pipinya mulus, laler aja kepleset kali kalau menclok di sana," bisik sesama rekan kerja di ruanganku.
Sudah sekitar seminggu, kantor kami kedatangan admin baru. Perusahaan memang mengajukan syarat 'good looking' untuk bisa diterima sebagai admin.
Tidak mengira, kedatangan Sintya, gadis berambut sebahu itu cukup menggegerkan. Biasalah, laki-laki memang suka melihat yang indah-indah, entah yang masih lajang ataupun yang sudah beristri.
Aku yang selama ini lebih sering menjaga pandangan pun, tak mengingkari pesona Sintya, meski itu mungkin hanya efek polesan make up. Nampak jelas dari warna kulit punggung telapak tangan dan wajahnya yang begitu kontras berbeda.
Hanya beberapa kali berpapasan, batinku sebagai seorang pria mengakui, ia memang pintar mematut diri. Ah ... kenapa tetiba pikiran ini jadi membandingkan dengan istriku di rumah.
Kenapa ...? Salahkah? Saat aku jujur dengan apa yang kurasa, apakah akan dihujat? Aku akan dimaki? Atau akan dibilang pria tidak tahu diri? Atau mungkin akan ada yang mengusulkan untuk menundukkan pandangan? Mangataiku kurang iman?
Haruskah kembali kujelaskan, aku tidak sengaja berpapasan, tidak sengaja melihatnya. Salahkah kalau mengakui ia cantik.
Kurang iman? Haruskah juga kubilang kalau aku hampir tak pernah melewatkan panggilan adzan, berjamaah di masjid. Haruskah kusombongkan kalau aku punya jadwal kajian rutin tiap pekan? Haruskah pula kujelaskan bahwa penampilanku bercelana cingkrang dan berjenggot? Jika semua itu adalah tolak ukur keimanan. Padahal iman tidak bisa dinilai dari itu semua.
Ini adalah tentang rasa yang manusiawi saja hadir tiba-tiba. Terpicu oleh kejenuhan yang melanda sehingga menimbulkan perbandingan. Tanyakan pada semua pria, jika tak mengingkari kata batinnya, mayoritas akan menjawab bahwa indra penglihatannya suka keindahan. Sungguh betapa miris dan nelangsanya saat melihat keindahan di luar sana, namun yang ada di rumah hanyalah warna kelam yang membosankan. Padahal ia dalam keadaan mampu.
***
"Mas ... kenapa sich dasterku dijadiin keset, kan masih bagus." Pagi ini Nayra berteriak memprotes saat menemukan daster lengan panjang kesayangannya berada di lantai depan pintu kamar mandi.
"Oh ... kirain udah nggak dipakai, habisnya enak tuh ngresep air, cocok banget kan buat keset kamar mandi," sahutku datar.
Hem ... siapa bilang cuma laki-laki yang tidak peka. Lihatlah, perempuan juga bisa tidak peka. Aku tahu daster itu memang belum sobek, tapi siapa yang tidak jengah melihat istrinya di dalam rumah mengenakan baju seperti itu. Daster juga banyak modelnya kan? Kenapa harus yang seperti itu?
Sudahlah ... tidak usah bertengkar dengan perempuan karena kemampuannya berdalih dan menyanggah itu mirip pengacara, sangat lihai. Lebih baik mengiyakan saja apa katanya.
***
Kebosananku melihat Nayra ternyata semakin menumpuk. Hilangkah rasa cintaku yang dulu menggebu? Astaghfirullah ... kugelengkan cepat kepala ini, hendak mengusir pikiran yang aneh-aneh.
Pada siapa harus kuadukan perasaanku. Hanya akan jadi aib bila kutanyakan pada teman kantor. Meski aku yakin tidak hanya aku yang merasakan. Bosan melihat istri sendiri, yang sekarang tampilannya sudah mirip pembantu. Baju dinasnya (daster batik lengan panjang), rambut sepinggang yang kusut digelung asal-asalan, dan wajah pucat tanpa polesan. Masih sedikit beruntung tubuhnya tidak beraroma bawang.
***
      "Ya Allah Mas, ngapain sih uang dihambur-hamburkan buat beli ini? Mending ditabung untuk persiapan kuliah anak-anak nanti." Lagi-lagi Nayra tak mengerti maksudku. Tak peka.
Beberapa baju baru dengan model sesuai seleraku dan dua botol parfum yang kubelikan hanya tergeletak di atas kasur. Parfum itu dulu adalah favoritnya waktu kami baru menikah, harganya memang setara dengan dua bulan SPP si Sulung.
Rumit sekali pola pikir perempuan itu. Toh kami tak akan mendadak jadi miskin hanya karena apa yang barusan kubeli.
Kalau aku menjawab sekarang, yang ada hanya akan terjadi pertengkaran. Lebih baik diam. Merenungi nasib yang begini amat.
Salahkah jika suatu saat aku memilih menghirup wangi di luar sana, karena di rumah tidak tersedia? Siapa bilang yang di luar adalah haram? Bisa saja kan untuk dihalalkan?
Jangan tanyakan hal itu pada kaum Hawa. Kemungkinan besar hanya akan meminta kaum Adam bersyukur dengan istri yang ada di rumah. Mungkin sebagian besar akan mengungkit pengorbanan istriku di masa lalu. Atau mungkin akan ada yang menyarankan untuk memaklumi sikap Nayra. Semua demi masa depan karena sekarang pendidikan mahal. Sebagian mungkin akan menyebutkan berderet pekerjaan rumah tangga yang seakan tiada habisnya, sehingga lumrah tak punya waktu untuk bersolek diri.
Dikiranya ini cerita fiksi, mudah saja menuliskan solusi seperti itu. Tidak mengerti betapa godaan pria di luar sana tidak cukup diselesaikan hanya dengan sepotong kalimat "tolong mengerti, kami istri sudah begini, sudah begitu."
Aku juga bisa menyanggah, kalau mau hemat, kenapa di bufet ada bertumpuk perabot makan plastik brand ternama yang jarang terpakai? Tidak ada waktu bersolek, tapi begitu senggang untuk sekedar nonton sinetron atau membaca time line facebook?
Sudahlah ... tak ada gunanya. Kita hidup di dunia nyata, di mana perempuan selalu benar adanya. Perempuan ingin dimengerti, dan kaumku para pria harus mengerti.
***
         Jangan-jangan ini yang namanya puber kedua? Saat usia menjelang empat puluhan, keinginan akan pengalaman yang berbeda dan gejolak jiwa muda muncul begitu saja. Ingin memperhatikan dan diperhatikan.
Tapi siapa yang bisa mengimbangi rasa ini? Menerima mesranya perhatian dariku? Juga memperhatikanku dengan hal-hal kecil, sekedar omong kosong pelepas canda tawa. Nayra ...? Sedang ia sudah tak menarik lagi di mataku. Aku sudah kehilangan selera terhadapnya.
        Beberapa hari ini aku berusaha mengedepankan logika berpikir daridapa emosi. Cara khas seorang pria, mencoba mengitung laba rugi tiap pilihan yang mungkin kuambil. Memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan. Menimbang resiko yang harus ditanggung. Memperhatikan pilihan yang paling aman. Bahkan sampai mengerucut hanya ada tiga option.
Termasuk bisikan main stream bahwa yang di luar juga bisa dijadikan halal kan?
***
                 Pohon pinus berjajar, menyambut pagi ini ditamani tetes embun yang masih enggan menguap. Baru beberapa menit, tak tahan juga berdiri terlalu lama di balkon, hawa dingin seakan menusuk tulang.
           Aku melangkah masuk, menatap jendela kaca yang kusam berembun. Meski tanpa pendingin udara, kamar hotel di kawasan Lembang yang aku sewa ini berasa segar, khas udara alami dataran tinggi.
Kualihkan pandangan pada perempuan berambut lurus tergerai sebahu yang sedang berhias di depan cermin. Tubuh langsingnya mengenakan short pant merah marun berpadu T-shirt magenta tanpa lengan. Ia sedang mengusap bibirnya dengan lipstik. Dialah yang menemaniku menghabiskan malam. Mengantarkan pengalaman berbeda yang kudamba beberapa hari terakhir ini.
Kenangan tadi malam masih terbayang, semerbak aroma wangi dan keheningan yang syahdu. Hanya ada tatapan mata yang saling beradu, saling bertukar rasa cinta.
        Mataku masih belum beranjak dari menatapnya. Perempuan lain yang baru hadir beberapa hari yang lalu itu masih saja sering membuatku terpaku.
Salahkah aku? Tentu saja tidak, dengan egois hatiku membenarkan. Bagaimana dengan Nayra? Seiring berjalannya waktu ia pasti akan mengerti dan terbiasa dengan semua ini.
          Serempak kami menoleh ke arah pintu yang diketuk dari luar. Perempuan itu buru-buru mengenakan gamis dan merapikan lingeria yang tergeletak dilantai sisa semalam.
"Pa, kita mau berenang duluan ya? Ini kunci kamarnya." Sulungku minta ijin sembari menyerahkan kunci kamar sebelah.
"Hem ... udahan main minicraft-nya?"
"Iya."
"Dagh Mama ...." Si Bungsu menatap beberapa saat ke arah Mama barunya.
Ketiga anakku pun beranjak keluar. Aku kunci pintu kamar dan menatap lekat perempuan di hadapanku.
Sementara menunggunya berganti pakaian, pikiranku melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu. Hari yang mengantarkan kami pada sebuah keputusan, sehingga sekarang ini aku bisa berada di sini dengannya. Tersenyum aku mengingatnya antara kejam dan lucu.
***
Beberapa hari yang lalu.
Saat aku pulang, Nayra sedang membimbing anak-anak belajar dan muroja 'ah hafalan. Tak kupungkiri, dia ibu yang baik. Meski cerewet, semua tugas rumah tangga dikerjakannya dengan baik. Terenyuh rasa hati.
Setelah selesai mengurus anak-anak, Nayra menyusulku ke kamar dan rebahan di sampingku.
"Sukurin ... biar tau rasa, di rumah ada berlian malah nyari batu kali," Nayra bergumam sambil jarinya bergerak menyapu layar ponsel.
"Apaan sih, Ma? tanyaku penasaran.
"Ini lho Pah, cerita suami selingkuh, terus ninggalin istrinya karena sudah nggak cantik lagi. Eh ujung-ujungnya si selingkuhan hanya morotin hartanya saja. Lagian punya istri baik masih saja cari yang lain."
"Mama ngapain ikut menghujat? Kenal juga enggak, kan? Nggak usah nambah dosa, toh kita tak tahu siapa yang benar, siapa yang salah. Kalau kuat ya dibaca. Tapi kalau cuma bikin pikiran, hati, dan bibir jadi kotor sampai mengeluarkan umpatan, udah diskip aja."
"Memang kenapa? Papa selingkuh juga?"
"Pria normal ya wajarlah Ma milih yang bening."
"Maksud Papa?"
"Ya kalau ada yang bening mau sama Papa, kenapa nggak?"
"Papa nggak takut dosa?"
"Yang dosa itu selingkuh Ma, kalau dinikahin ya nggak dosa. Lagian gaji Papa cukup timbang buat nyukupin dua istri. Apalagi kalau yang di rumah nggak mau dibikin bening, bukan salah Papa, kan?"
Kutarik selimut menutupi seluruh tubuh sampai kepala. Tak menghiraukan teriakan Nayra yang berkali memanggil dan menggoyang lenganku. Penat, mau tidur.
Esoknya, bibir Nayra manyun, dia ngambek. Tak kuhiraukan, aku berangkat kerja seperti biasa. Begitu pulang, ternyata bukannya instropeksi diri, marahnya malah semakin menjadi. Allah ... sabarkanlah.
Hari ketiga ada keajaiban terjadi. Sampai rumah aku tidak mendapati Nayra yang biasanya menyambut kepulanganku. Yang ada justru perempuan lain, tersenyum malu sambil menunduk. Dia adalah istri baruku. Jiwa yang sama dalam tampilan raga yang berbeda.
Rupanya ancaman hanya membuat Nayra meradang dan marah dalam diam. Tapi tak ada langkah nyata untuk mau berbenah diri.
Langkah terakhir, menyentuh hatinya dengan kelembutan. Paket peralatan make up yang kurimkan lewat kurir beserta selarik permohonan, akhirnya ia kabulkan.
"Lelaki itu suka keindahan. Ma ... tolong bantu Papa menjaga mata ini, untuk melihat yang memang pantas di lihat. Hanya memandang yang halal dipandang, atau Mama benar-benar ingin Papa menikah lagi?"
***
"Pah?" ia membuyarkan lamunanku.
"Kenapa senyum-senyum?" tanyanya.
"Nggak ... emm ... nanti kalau dapat cuti panjang lagi kita liburan ke Anyer ya, Ma?"
Istri baruku mengangguk, kami pun beranjak ke ranjang, menikmati hawa dingin Lembang, mengulang pengalaman semalam.
Setelah berhitung dengan cermat, istri baru adalah solusi paling praktis puber keduaku. Istri baru? Nama yang sama, jiwa yang sama, dalam tampilan raga yang berbeda.
Suasana yang lain, membuat semua jadi berbeda, memberikan pengalaman baru.
Bahkan donat yang diberi toping pun akan terlihat lebih menarik bukan?
Ku lirik Nayra sekali lagi. Sentuhan gunting yang bertabrakan dengan rambutnya dari tangan profesional pegawai salon membuat tampilan Nayra tampak beberapa tahun lebih muda dan segar. Polesan lembut make up membuat wajahnya semakin cerah dan berbinar.
Sepertinya menyusul anak-anak berenang di bawah bisa ditunda nanti saja. Aku masih ingin berdua dengan istri baruku.

Hayya.