InspirasI

Jumat, 07 September 2018

PUBER KEDUA MELANDA

Menjelang sebelas tahun usia pernikahan, kehidupan rumah tangga kami secara finansial lebih mapan. Kalaupun tidak bisa dikatakan kelas ekonomi atas, setidaknya kami punya tempat tinggal dan kendaraan yang layak. Anak-anak juga bersekolah di tempat yang diinginkan tanpa kendala kekurangan biaya. Beberapa tanah juga bisa terbeli karena setelah membayar kebutuhan bulanan, faktanya masih ada dana tersisa yang kemudian bisa ditabung.
Tahun-tahun berat penuh perjuangan telah berhasil terlewati. Aku pernah merasakan punya tiga balita, dengan keuangan pas-pasan, ditambah aku harus melanjutkan kuliah. Beruntung, ada istri yang mengerti dan mendukung. Mengatur keuangan agar cukup, merawat anak-anak dengan telaten, bahkan masih membantu mengerjakan tugas dari kampus.
Tidak ada sesuatu yang sia-sia, toh sekarang manisnya kami tuai. Semua tak lepas dari peran Nayra. Gadis berwajah oriental dengan kulit putih dan mata sipit yang kunikahi lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
Dulu ... kesulitan hidup dan keruwetan tiga bocah cilik telah mempererat hubungan kami sebagai suami istri. Saling menopang dan saling membantu. Kesibukan yang seakan tidak ada habisnya serta minimnya keuangan tak memberi celah untuk berpikir neko-neko.
Kini, senggangnya waktu ternyata adalah ujian yang lebih berat. Bukan untuk kami, tapi hanya untukku, seorang pria berkecukupan.
***
"Wow ... baunya wangi. Lihat nggak ... pipinya mulus, laler aja kepleset kali kalau menclok di sana," bisik sesama rekan kerja di ruanganku.
Sudah sekitar seminggu, kantor kami kedatangan admin baru. Perusahaan memang mengajukan syarat 'good looking' untuk bisa diterima sebagai admin.
Tidak mengira, kedatangan Sintya, gadis berambut sebahu itu cukup menggegerkan. Biasalah, laki-laki memang suka melihat yang indah-indah, entah yang masih lajang ataupun yang sudah beristri.
Aku yang selama ini lebih sering menjaga pandangan pun, tak mengingkari pesona Sintya, meski itu mungkin hanya efek polesan make up. Nampak jelas dari warna kulit punggung telapak tangan dan wajahnya yang begitu kontras berbeda.
Hanya beberapa kali berpapasan, batinku sebagai seorang pria mengakui, ia memang pintar mematut diri. Ah ... kenapa tetiba pikiran ini jadi membandingkan dengan istriku di rumah.
Kenapa ...? Salahkah? Saat aku jujur dengan apa yang kurasa, apakah akan dihujat? Aku akan dimaki? Atau akan dibilang pria tidak tahu diri? Atau mungkin akan ada yang mengusulkan untuk menundukkan pandangan? Mangataiku kurang iman?
Haruskah kembali kujelaskan, aku tidak sengaja berpapasan, tidak sengaja melihatnya. Salahkah kalau mengakui ia cantik.
Kurang iman? Haruskah juga kubilang kalau aku hampir tak pernah melewatkan panggilan adzan, berjamaah di masjid. Haruskah kusombongkan kalau aku punya jadwal kajian rutin tiap pekan? Haruskah pula kujelaskan bahwa penampilanku bercelana cingkrang dan berjenggot? Jika semua itu adalah tolak ukur keimanan. Padahal iman tidak bisa dinilai dari itu semua.
Ini adalah tentang rasa yang manusiawi saja hadir tiba-tiba. Terpicu oleh kejenuhan yang melanda sehingga menimbulkan perbandingan. Tanyakan pada semua pria, jika tak mengingkari kata batinnya, mayoritas akan menjawab bahwa indra penglihatannya suka keindahan. Sungguh betapa miris dan nelangsanya saat melihat keindahan di luar sana, namun yang ada di rumah hanyalah warna kelam yang membosankan. Padahal ia dalam keadaan mampu.
***
"Mas ... kenapa sich dasterku dijadiin keset, kan masih bagus." Pagi ini Nayra berteriak memprotes saat menemukan daster lengan panjang kesayangannya berada di lantai depan pintu kamar mandi.
"Oh ... kirain udah nggak dipakai, habisnya enak tuh ngresep air, cocok banget kan buat keset kamar mandi," sahutku datar.
Hem ... siapa bilang cuma laki-laki yang tidak peka. Lihatlah, perempuan juga bisa tidak peka. Aku tahu daster itu memang belum sobek, tapi siapa yang tidak jengah melihat istrinya di dalam rumah mengenakan baju seperti itu. Daster juga banyak modelnya kan? Kenapa harus yang seperti itu?
Sudahlah ... tidak usah bertengkar dengan perempuan karena kemampuannya berdalih dan menyanggah itu mirip pengacara, sangat lihai. Lebih baik mengiyakan saja apa katanya.
***
Kebosananku melihat Nayra ternyata semakin menumpuk. Hilangkah rasa cintaku yang dulu menggebu? Astaghfirullah ... kugelengkan cepat kepala ini, hendak mengusir pikiran yang aneh-aneh.
Pada siapa harus kuadukan perasaanku. Hanya akan jadi aib bila kutanyakan pada teman kantor. Meski aku yakin tidak hanya aku yang merasakan. Bosan melihat istri sendiri, yang sekarang tampilannya sudah mirip pembantu. Baju dinasnya (daster batik lengan panjang), rambut sepinggang yang kusut digelung asal-asalan, dan wajah pucat tanpa polesan. Masih sedikit beruntung tubuhnya tidak beraroma bawang.
***
      "Ya Allah Mas, ngapain sih uang dihambur-hamburkan buat beli ini? Mending ditabung untuk persiapan kuliah anak-anak nanti." Lagi-lagi Nayra tak mengerti maksudku. Tak peka.
Beberapa baju baru dengan model sesuai seleraku dan dua botol parfum yang kubelikan hanya tergeletak di atas kasur. Parfum itu dulu adalah favoritnya waktu kami baru menikah, harganya memang setara dengan dua bulan SPP si Sulung.
Rumit sekali pola pikir perempuan itu. Toh kami tak akan mendadak jadi miskin hanya karena apa yang barusan kubeli.
Kalau aku menjawab sekarang, yang ada hanya akan terjadi pertengkaran. Lebih baik diam. Merenungi nasib yang begini amat.
Salahkah jika suatu saat aku memilih menghirup wangi di luar sana, karena di rumah tidak tersedia? Siapa bilang yang di luar adalah haram? Bisa saja kan untuk dihalalkan?
Jangan tanyakan hal itu pada kaum Hawa. Kemungkinan besar hanya akan meminta kaum Adam bersyukur dengan istri yang ada di rumah. Mungkin sebagian besar akan mengungkit pengorbanan istriku di masa lalu. Atau mungkin akan ada yang menyarankan untuk memaklumi sikap Nayra. Semua demi masa depan karena sekarang pendidikan mahal. Sebagian mungkin akan menyebutkan berderet pekerjaan rumah tangga yang seakan tiada habisnya, sehingga lumrah tak punya waktu untuk bersolek diri.
Dikiranya ini cerita fiksi, mudah saja menuliskan solusi seperti itu. Tidak mengerti betapa godaan pria di luar sana tidak cukup diselesaikan hanya dengan sepotong kalimat "tolong mengerti, kami istri sudah begini, sudah begitu."
Aku juga bisa menyanggah, kalau mau hemat, kenapa di bufet ada bertumpuk perabot makan plastik brand ternama yang jarang terpakai? Tidak ada waktu bersolek, tapi begitu senggang untuk sekedar nonton sinetron atau membaca time line facebook?
Sudahlah ... tak ada gunanya. Kita hidup di dunia nyata, di mana perempuan selalu benar adanya. Perempuan ingin dimengerti, dan kaumku para pria harus mengerti.
***
         Jangan-jangan ini yang namanya puber kedua? Saat usia menjelang empat puluhan, keinginan akan pengalaman yang berbeda dan gejolak jiwa muda muncul begitu saja. Ingin memperhatikan dan diperhatikan.
Tapi siapa yang bisa mengimbangi rasa ini? Menerima mesranya perhatian dariku? Juga memperhatikanku dengan hal-hal kecil, sekedar omong kosong pelepas canda tawa. Nayra ...? Sedang ia sudah tak menarik lagi di mataku. Aku sudah kehilangan selera terhadapnya.
        Beberapa hari ini aku berusaha mengedepankan logika berpikir daridapa emosi. Cara khas seorang pria, mencoba mengitung laba rugi tiap pilihan yang mungkin kuambil. Memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan. Menimbang resiko yang harus ditanggung. Memperhatikan pilihan yang paling aman. Bahkan sampai mengerucut hanya ada tiga option.
Termasuk bisikan main stream bahwa yang di luar juga bisa dijadikan halal kan?
***
                 Pohon pinus berjajar, menyambut pagi ini ditamani tetes embun yang masih enggan menguap. Baru beberapa menit, tak tahan juga berdiri terlalu lama di balkon, hawa dingin seakan menusuk tulang.
           Aku melangkah masuk, menatap jendela kaca yang kusam berembun. Meski tanpa pendingin udara, kamar hotel di kawasan Lembang yang aku sewa ini berasa segar, khas udara alami dataran tinggi.
Kualihkan pandangan pada perempuan berambut lurus tergerai sebahu yang sedang berhias di depan cermin. Tubuh langsingnya mengenakan short pant merah marun berpadu T-shirt magenta tanpa lengan. Ia sedang mengusap bibirnya dengan lipstik. Dialah yang menemaniku menghabiskan malam. Mengantarkan pengalaman berbeda yang kudamba beberapa hari terakhir ini.
Kenangan tadi malam masih terbayang, semerbak aroma wangi dan keheningan yang syahdu. Hanya ada tatapan mata yang saling beradu, saling bertukar rasa cinta.
        Mataku masih belum beranjak dari menatapnya. Perempuan lain yang baru hadir beberapa hari yang lalu itu masih saja sering membuatku terpaku.
Salahkah aku? Tentu saja tidak, dengan egois hatiku membenarkan. Bagaimana dengan Nayra? Seiring berjalannya waktu ia pasti akan mengerti dan terbiasa dengan semua ini.
          Serempak kami menoleh ke arah pintu yang diketuk dari luar. Perempuan itu buru-buru mengenakan gamis dan merapikan lingeria yang tergeletak dilantai sisa semalam.
"Pa, kita mau berenang duluan ya? Ini kunci kamarnya." Sulungku minta ijin sembari menyerahkan kunci kamar sebelah.
"Hem ... udahan main minicraft-nya?"
"Iya."
"Dagh Mama ...." Si Bungsu menatap beberapa saat ke arah Mama barunya.
Ketiga anakku pun beranjak keluar. Aku kunci pintu kamar dan menatap lekat perempuan di hadapanku.
Sementara menunggunya berganti pakaian, pikiranku melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu. Hari yang mengantarkan kami pada sebuah keputusan, sehingga sekarang ini aku bisa berada di sini dengannya. Tersenyum aku mengingatnya antara kejam dan lucu.
***
Beberapa hari yang lalu.
Saat aku pulang, Nayra sedang membimbing anak-anak belajar dan muroja 'ah hafalan. Tak kupungkiri, dia ibu yang baik. Meski cerewet, semua tugas rumah tangga dikerjakannya dengan baik. Terenyuh rasa hati.
Setelah selesai mengurus anak-anak, Nayra menyusulku ke kamar dan rebahan di sampingku.
"Sukurin ... biar tau rasa, di rumah ada berlian malah nyari batu kali," Nayra bergumam sambil jarinya bergerak menyapu layar ponsel.
"Apaan sih, Ma? tanyaku penasaran.
"Ini lho Pah, cerita suami selingkuh, terus ninggalin istrinya karena sudah nggak cantik lagi. Eh ujung-ujungnya si selingkuhan hanya morotin hartanya saja. Lagian punya istri baik masih saja cari yang lain."
"Mama ngapain ikut menghujat? Kenal juga enggak, kan? Nggak usah nambah dosa, toh kita tak tahu siapa yang benar, siapa yang salah. Kalau kuat ya dibaca. Tapi kalau cuma bikin pikiran, hati, dan bibir jadi kotor sampai mengeluarkan umpatan, udah diskip aja."
"Memang kenapa? Papa selingkuh juga?"
"Pria normal ya wajarlah Ma milih yang bening."
"Maksud Papa?"
"Ya kalau ada yang bening mau sama Papa, kenapa nggak?"
"Papa nggak takut dosa?"
"Yang dosa itu selingkuh Ma, kalau dinikahin ya nggak dosa. Lagian gaji Papa cukup timbang buat nyukupin dua istri. Apalagi kalau yang di rumah nggak mau dibikin bening, bukan salah Papa, kan?"
Kutarik selimut menutupi seluruh tubuh sampai kepala. Tak menghiraukan teriakan Nayra yang berkali memanggil dan menggoyang lenganku. Penat, mau tidur.
Esoknya, bibir Nayra manyun, dia ngambek. Tak kuhiraukan, aku berangkat kerja seperti biasa. Begitu pulang, ternyata bukannya instropeksi diri, marahnya malah semakin menjadi. Allah ... sabarkanlah.
Hari ketiga ada keajaiban terjadi. Sampai rumah aku tidak mendapati Nayra yang biasanya menyambut kepulanganku. Yang ada justru perempuan lain, tersenyum malu sambil menunduk. Dia adalah istri baruku. Jiwa yang sama dalam tampilan raga yang berbeda.
Rupanya ancaman hanya membuat Nayra meradang dan marah dalam diam. Tapi tak ada langkah nyata untuk mau berbenah diri.
Langkah terakhir, menyentuh hatinya dengan kelembutan. Paket peralatan make up yang kurimkan lewat kurir beserta selarik permohonan, akhirnya ia kabulkan.
"Lelaki itu suka keindahan. Ma ... tolong bantu Papa menjaga mata ini, untuk melihat yang memang pantas di lihat. Hanya memandang yang halal dipandang, atau Mama benar-benar ingin Papa menikah lagi?"
***
"Pah?" ia membuyarkan lamunanku.
"Kenapa senyum-senyum?" tanyanya.
"Nggak ... emm ... nanti kalau dapat cuti panjang lagi kita liburan ke Anyer ya, Ma?"
Istri baruku mengangguk, kami pun beranjak ke ranjang, menikmati hawa dingin Lembang, mengulang pengalaman semalam.
Setelah berhitung dengan cermat, istri baru adalah solusi paling praktis puber keduaku. Istri baru? Nama yang sama, jiwa yang sama, dalam tampilan raga yang berbeda.
Suasana yang lain, membuat semua jadi berbeda, memberikan pengalaman baru.
Bahkan donat yang diberi toping pun akan terlihat lebih menarik bukan?
Ku lirik Nayra sekali lagi. Sentuhan gunting yang bertabrakan dengan rambutnya dari tangan profesional pegawai salon membuat tampilan Nayra tampak beberapa tahun lebih muda dan segar. Polesan lembut make up membuat wajahnya semakin cerah dan berbinar.
Sepertinya menyusul anak-anak berenang di bawah bisa ditunda nanti saja. Aku masih ingin berdua dengan istri baruku.

Hayya.


Tidak ada komentar: