PUBER KEDUA MELANDA
Menjelang
sebelas tahun usia pernikahan, kehidupan rumah tangga kami secara finansial
lebih mapan. Kalaupun tidak bisa dikatakan kelas ekonomi atas, setidaknya kami
punya tempat tinggal dan kendaraan yang layak. Anak-anak juga bersekolah di
tempat yang diinginkan tanpa kendala kekurangan biaya. Beberapa tanah juga bisa
terbeli karena setelah membayar kebutuhan bulanan, faktanya masih ada dana
tersisa yang kemudian bisa ditabung.
Tahun-tahun
berat penuh perjuangan telah berhasil terlewati. Aku pernah merasakan punya
tiga balita, dengan keuangan pas-pasan, ditambah aku harus melanjutkan kuliah.
Beruntung, ada istri yang mengerti dan mendukung. Mengatur keuangan agar cukup,
merawat anak-anak dengan telaten, bahkan masih membantu mengerjakan tugas dari
kampus.
Tidak ada sesuatu yang sia-sia, toh sekarang
manisnya kami tuai. Semua tak lepas dari peran Nayra. Gadis berwajah oriental
dengan kulit putih dan mata sipit yang kunikahi lebih dari sepuluh tahun yang
lalu.
Dulu ...
kesulitan hidup dan keruwetan tiga bocah cilik telah mempererat hubungan kami
sebagai suami istri. Saling menopang dan saling membantu. Kesibukan yang seakan
tidak ada habisnya serta minimnya keuangan tak memberi celah untuk berpikir
neko-neko.
Kini,
senggangnya waktu ternyata adalah ujian yang lebih berat. Bukan untuk kami,
tapi hanya untukku, seorang pria berkecukupan.
***
"Wow ...
baunya wangi. Lihat nggak ... pipinya mulus, laler aja kepleset kali kalau
menclok di sana," bisik sesama rekan kerja di ruanganku.
Sudah sekitar seminggu, kantor kami kedatangan
admin baru. Perusahaan memang mengajukan syarat 'good looking' untuk bisa
diterima sebagai admin.
Tidak mengira,
kedatangan Sintya, gadis berambut sebahu itu cukup menggegerkan. Biasalah,
laki-laki memang suka melihat yang indah-indah, entah yang masih lajang ataupun
yang sudah beristri.
Aku yang selama ini lebih sering menjaga
pandangan pun, tak mengingkari pesona Sintya, meski itu mungkin hanya efek
polesan make up. Nampak jelas dari warna kulit punggung telapak tangan dan
wajahnya yang begitu kontras berbeda.
Hanya beberapa
kali berpapasan, batinku sebagai seorang pria mengakui, ia memang pintar
mematut diri. Ah ... kenapa tetiba pikiran ini jadi membandingkan dengan
istriku di rumah.
Kenapa ...? Salahkah? Saat aku jujur dengan apa
yang kurasa, apakah akan dihujat? Aku akan dimaki? Atau akan dibilang pria
tidak tahu diri? Atau mungkin akan ada yang mengusulkan untuk menundukkan
pandangan? Mangataiku kurang iman?
Haruskah
kembali kujelaskan, aku tidak sengaja berpapasan, tidak sengaja melihatnya.
Salahkah kalau mengakui ia cantik.
Kurang iman? Haruskah juga kubilang kalau aku
hampir tak pernah melewatkan panggilan adzan, berjamaah di masjid. Haruskah
kusombongkan kalau aku punya jadwal kajian rutin tiap pekan? Haruskah pula
kujelaskan bahwa penampilanku bercelana cingkrang dan berjenggot? Jika semua
itu adalah tolak ukur keimanan. Padahal iman tidak bisa dinilai dari itu semua.
Ini adalah
tentang rasa yang manusiawi saja hadir tiba-tiba. Terpicu oleh kejenuhan yang
melanda sehingga menimbulkan perbandingan. Tanyakan pada semua pria, jika tak
mengingkari kata batinnya, mayoritas akan menjawab bahwa indra penglihatannya
suka keindahan. Sungguh betapa miris dan nelangsanya saat melihat keindahan di
luar sana, namun yang ada di rumah hanyalah warna kelam yang membosankan.
Padahal ia dalam keadaan mampu.
***
"Mas ...
kenapa sich dasterku dijadiin keset, kan masih bagus." Pagi ini Nayra
berteriak memprotes saat menemukan daster lengan panjang kesayangannya berada
di lantai depan pintu kamar mandi.
"Oh ... kirain udah nggak dipakai, habisnya
enak tuh ngresep air, cocok banget kan buat keset kamar mandi," sahutku
datar.
Hem ... siapa bilang cuma laki-laki yang tidak
peka. Lihatlah, perempuan juga bisa tidak peka. Aku tahu daster itu memang
belum sobek, tapi siapa yang tidak jengah melihat istrinya di dalam rumah
mengenakan baju seperti itu. Daster juga banyak modelnya kan? Kenapa harus yang
seperti itu?
Sudahlah ... tidak usah bertengkar dengan
perempuan karena kemampuannya berdalih dan menyanggah itu mirip pengacara,
sangat lihai. Lebih baik mengiyakan saja apa katanya.
***
Kebosananku
melihat Nayra ternyata semakin menumpuk. Hilangkah rasa cintaku yang dulu
menggebu? Astaghfirullah ... kugelengkan cepat kepala ini, hendak mengusir
pikiran yang aneh-aneh.
Pada siapa harus kuadukan perasaanku. Hanya akan
jadi aib bila kutanyakan pada teman kantor. Meski aku yakin tidak hanya aku
yang merasakan. Bosan melihat istri sendiri, yang sekarang tampilannya sudah
mirip pembantu. Baju dinasnya (daster batik lengan panjang), rambut sepinggang
yang kusut digelung asal-asalan, dan wajah pucat tanpa polesan. Masih sedikit
beruntung tubuhnya tidak beraroma bawang.
***
"Ya
Allah Mas, ngapain sih uang dihambur-hamburkan buat beli ini? Mending ditabung
untuk persiapan kuliah anak-anak nanti." Lagi-lagi Nayra tak mengerti
maksudku. Tak peka.
Beberapa baju
baru dengan model sesuai seleraku dan dua botol parfum yang kubelikan hanya
tergeletak di atas kasur. Parfum itu dulu adalah favoritnya waktu kami baru
menikah, harganya memang setara dengan dua bulan SPP si Sulung.
Rumit sekali
pola pikir perempuan itu. Toh kami tak akan mendadak jadi miskin hanya karena
apa yang barusan kubeli.
Kalau aku menjawab sekarang, yang ada hanya akan
terjadi pertengkaran. Lebih baik diam. Merenungi nasib yang begini amat.
Salahkah jika
suatu saat aku memilih menghirup wangi di luar sana, karena di rumah tidak
tersedia? Siapa bilang yang di luar adalah haram? Bisa saja kan untuk
dihalalkan?
Jangan
tanyakan hal itu pada kaum Hawa. Kemungkinan besar hanya akan meminta kaum Adam
bersyukur dengan istri yang ada di rumah. Mungkin sebagian besar akan
mengungkit pengorbanan istriku di masa lalu. Atau mungkin akan ada yang
menyarankan untuk memaklumi sikap Nayra. Semua demi masa depan karena sekarang
pendidikan mahal. Sebagian mungkin akan menyebutkan berderet pekerjaan rumah
tangga yang seakan tiada habisnya, sehingga lumrah tak punya waktu untuk
bersolek diri.
Dikiranya ini
cerita fiksi, mudah saja menuliskan solusi seperti itu. Tidak mengerti betapa
godaan pria di luar sana tidak cukup diselesaikan hanya dengan sepotong kalimat
"tolong mengerti, kami istri sudah begini, sudah begitu."
Aku juga bisa menyanggah, kalau mau hemat, kenapa
di bufet ada bertumpuk perabot makan plastik brand ternama yang jarang
terpakai? Tidak ada waktu bersolek, tapi begitu senggang untuk sekedar nonton
sinetron atau membaca time line facebook?
Sudahlah ...
tak ada gunanya. Kita hidup di dunia nyata, di mana perempuan selalu benar
adanya. Perempuan ingin dimengerti, dan kaumku para pria harus mengerti.
***
Jangan-jangan
ini yang namanya puber kedua? Saat usia menjelang empat puluhan, keinginan akan
pengalaman yang berbeda dan gejolak jiwa muda muncul begitu saja. Ingin
memperhatikan dan diperhatikan.
Tapi siapa yang bisa mengimbangi rasa ini?
Menerima mesranya perhatian dariku? Juga memperhatikanku dengan hal-hal kecil,
sekedar omong kosong pelepas canda tawa. Nayra ...? Sedang ia sudah tak menarik
lagi di mataku. Aku sudah kehilangan selera terhadapnya.
Beberapa
hari ini aku berusaha mengedepankan logika berpikir daridapa emosi. Cara khas
seorang pria, mencoba mengitung laba rugi tiap pilihan yang mungkin kuambil.
Memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan. Menimbang resiko yang harus
ditanggung. Memperhatikan pilihan yang paling aman. Bahkan sampai mengerucut
hanya ada tiga option.
Termasuk bisikan main stream bahwa yang di luar
juga bisa dijadikan halal kan?
***
Pohon pinus berjajar, menyambut pagi ini ditamani tetes embun yang masih
enggan menguap. Baru beberapa menit, tak tahan juga berdiri terlalu lama di
balkon, hawa dingin seakan menusuk tulang.
Aku
melangkah masuk, menatap jendela kaca yang kusam berembun. Meski tanpa
pendingin udara, kamar hotel di kawasan Lembang yang aku sewa ini berasa segar,
khas udara alami dataran tinggi.
Kualihkan pandangan pada perempuan berambut lurus
tergerai sebahu yang sedang berhias di depan cermin. Tubuh langsingnya
mengenakan short pant merah marun berpadu T-shirt magenta tanpa lengan. Ia
sedang mengusap bibirnya dengan lipstik. Dialah yang menemaniku menghabiskan
malam. Mengantarkan pengalaman berbeda yang kudamba beberapa hari terakhir ini.
Kenangan tadi malam masih terbayang, semerbak
aroma wangi dan keheningan yang syahdu. Hanya ada tatapan mata yang saling
beradu, saling bertukar rasa cinta.
Mataku
masih belum beranjak dari menatapnya. Perempuan lain yang baru hadir beberapa
hari yang lalu itu masih saja sering membuatku terpaku.
Salahkah aku? Tentu saja tidak, dengan egois
hatiku membenarkan. Bagaimana dengan Nayra? Seiring berjalannya waktu ia pasti
akan mengerti dan terbiasa dengan semua ini.
Serempak
kami menoleh ke arah pintu yang diketuk dari luar. Perempuan itu buru-buru
mengenakan gamis dan merapikan lingeria yang tergeletak dilantai sisa semalam.
"Pa, kita mau berenang duluan ya? Ini kunci
kamarnya." Sulungku minta ijin sembari menyerahkan kunci kamar sebelah.
"Hem ... udahan main minicraft-nya?"
"Iya."
"Dagh Mama ...." Si Bungsu menatap beberapa
saat ke arah Mama barunya.
Ketiga anakku pun beranjak keluar. Aku kunci
pintu kamar dan menatap lekat perempuan di hadapanku.
Sementara menunggunya berganti pakaian, pikiranku
melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu. Hari yang mengantarkan kami
pada sebuah keputusan, sehingga sekarang ini aku bisa berada di sini dengannya.
Tersenyum aku mengingatnya antara kejam dan lucu.
***
Beberapa hari yang lalu.
Saat aku pulang, Nayra sedang membimbing
anak-anak belajar dan muroja 'ah hafalan. Tak kupungkiri, dia ibu yang baik.
Meski cerewet, semua tugas rumah tangga dikerjakannya dengan baik. Terenyuh
rasa hati.
Setelah selesai mengurus anak-anak, Nayra
menyusulku ke kamar dan rebahan di sampingku.
"Sukurin ... biar tau rasa, di rumah ada
berlian malah nyari batu kali," Nayra bergumam sambil jarinya bergerak
menyapu layar ponsel.
"Apaan sih, Ma? tanyaku penasaran.
"Ini lho Pah, cerita suami selingkuh, terus
ninggalin istrinya karena sudah nggak cantik lagi. Eh ujung-ujungnya si
selingkuhan hanya morotin hartanya saja. Lagian punya istri baik masih saja
cari yang lain."
"Mama ngapain ikut menghujat? Kenal juga
enggak, kan? Nggak usah nambah dosa, toh kita tak tahu siapa yang benar, siapa
yang salah. Kalau kuat ya dibaca. Tapi kalau cuma bikin pikiran, hati, dan
bibir jadi kotor sampai mengeluarkan umpatan, udah diskip aja."
"Memang kenapa? Papa selingkuh juga?"
"Pria normal ya wajarlah Ma milih yang
bening."
"Maksud Papa?"
"Ya kalau ada yang bening mau sama Papa,
kenapa nggak?"
"Papa nggak takut dosa?"
"Yang dosa itu selingkuh Ma, kalau dinikahin
ya nggak dosa. Lagian gaji Papa cukup timbang buat nyukupin dua istri. Apalagi
kalau yang di rumah nggak mau dibikin bening, bukan salah Papa, kan?"
Kutarik selimut menutupi seluruh tubuh sampai
kepala. Tak menghiraukan teriakan Nayra yang berkali memanggil dan menggoyang
lenganku. Penat, mau tidur.
Esoknya, bibir Nayra manyun, dia ngambek. Tak
kuhiraukan, aku berangkat kerja seperti biasa. Begitu pulang, ternyata bukannya
instropeksi diri, marahnya malah semakin menjadi. Allah ... sabarkanlah.
Hari ketiga ada keajaiban terjadi. Sampai rumah
aku tidak mendapati Nayra yang biasanya menyambut kepulanganku. Yang ada justru
perempuan lain, tersenyum malu sambil menunduk. Dia adalah istri baruku. Jiwa
yang sama dalam tampilan raga yang berbeda.
Rupanya ancaman hanya membuat Nayra meradang dan
marah dalam diam. Tapi tak ada langkah nyata untuk mau berbenah diri.
Langkah terakhir, menyentuh hatinya dengan
kelembutan. Paket peralatan make up yang kurimkan lewat kurir beserta selarik
permohonan, akhirnya ia kabulkan.
"Lelaki itu suka keindahan. Ma ... tolong
bantu Papa menjaga mata ini, untuk melihat yang memang pantas di lihat. Hanya
memandang yang halal dipandang, atau Mama benar-benar ingin Papa menikah
lagi?"
***
"Pah?" ia membuyarkan lamunanku.
"Kenapa senyum-senyum?" tanyanya.
"Nggak ... emm ... nanti kalau dapat cuti
panjang lagi kita liburan ke Anyer ya, Ma?"
Istri baruku mengangguk, kami pun beranjak ke
ranjang, menikmati hawa dingin Lembang, mengulang pengalaman semalam.
Setelah berhitung dengan cermat, istri baru
adalah solusi paling praktis puber keduaku. Istri baru? Nama yang sama, jiwa
yang sama, dalam tampilan raga yang berbeda.
Suasana yang lain, membuat semua jadi berbeda,
memberikan pengalaman baru.
Bahkan donat yang diberi toping pun akan terlihat
lebih menarik bukan?
Ku lirik Nayra sekali lagi. Sentuhan gunting yang
bertabrakan dengan rambutnya dari tangan profesional pegawai salon membuat
tampilan Nayra tampak beberapa tahun lebih muda dan segar. Polesan lembut make
up membuat wajahnya semakin cerah dan berbinar.
Sepertinya menyusul anak-anak berenang di bawah
bisa ditunda nanti saja. Aku masih ingin berdua dengan istri baruku.
Hayya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar