PEREMPUAN
TANPA SUARA
“Bang, apa ada uang lebih?” Tanti bertanya pada suaminya yang sedang
bersiap pergi bekerja. Suaminya seorang karyawan di sebuah perusahaan
perkebunan.
“Uang lebih apa, Tan?” tanya Alif tanpa menoleh ke arah istrinya.
“Buat bayar sekolah Nanda. Ada iuran untuk kegiatan ekstrakurikuler
pramuka.”
“Lah, kan uangku semua sudah aku serahin ke kamu. Gajiku ya cuma segitu,
Tanti!” Alif kesal.
“Ya sudah, Bang. Kan aku cuma nanya, barangkali ada uang lain, gak usah
pake marah,” Tanti mencium tangan suaminya yang akan segera berangkat.
“Ada uang ya cuma untuk uang bensin. Pandai-pandai kamu mengatur uang
belanja yang aku beri. Termasuk untuk biaya Nanda,” ujar Alif.
Tanti hanya mengangguk. Ia tahu penghasilan suaminya pas-pasan. Sayang,
Alif tak mengizinkannya bekerja. Padahal Tanti memiliki ijazah dan
keahlian yang bagus.
Sebelum menikah dengan Alif, Tanti bekerja di perusahaan yang sama.
Namun karena peraturan perusahaan yang tak memperbolehkan suami istri bekerja
pada satu perusahaan, ia memilih resign. Setelahnya Alif meminta Tanti untuk
fokus mengurus rumah.
“Biar Abang saja yang bekerja, Tan. Kamu di rumah. Urus anak,” perintah
Alif dan sebagai istri yang baik Tanti patuh.
Awalnya semua berjalan mulus. Namun, kebutuhan hidup semakin meningkat.
Nanda harus sekolah. Uang sekolah memang gratis karena Nanda hanya bersekolah
di sekolah negeri biasa. Namun biaya seragam, buku dan keperluan lain tak bisa
gratis.
Nanda yang sudah berusia 10 tahun mulai meminta handphone android seperti
teman-temannya. Hal itu memang ada gunanya, sebab mereka bisa belajar kelompok
dari rumah dengan memanfaatkan fasilitas aplikasi share it di android. Dan
sejumlah manfaat lain.
Nanda tertarik ikut kegiatan ekstrakurikuler yang juga membutuhkan biaya
untuk seragam atau keperluan lain. Bagaimanapun, kebutuhan Nanda tidak lagi
cuma sekedar makan dan susu. Beruntung Tanti baru memiliki dua orang anak, yang
bungsu masih PAUD.
Tanti memikirkan dengan penghasilan Alif yang cenderung stagnan,
keperluan hidup yang meningkat. Belum lagi Tanti bercita-cita bisa membeli
rumah sendiri dan tidak terus mengontrak, maka rasanya keinginan Tanti untuk
bekerja semakin kuat.
Sayang suaminya tak mengizinkan ia bekerja. Tapi apa boleh buat sebab
hidupnya tak semudah hidup Ratu Miranda ibu Princess Shofia The First.
“Bikin lauk-pauk matang, Tanti. Ibu-ibu bekerja tak selalu sempat
memasak untuk menu makan siang. Nanti aku bantu pasarkan di kantor,” Rinda,
salah seorang temannya memberi ide.
Hari itu Tanti bercerita pada Rinda yang kebetulan bertemu di PAUD. Anak
Rinda satu kelas dengan si bungsu.
Tanti kadang iri dengan kehidupan Rinda sekarang. Rinda telah berhasil
memiliki rumah sendiri, selain usaha suami Rinda kian maju, Rinda juga telah
memiliki karir yang mapan.
“Aku bilang ke Bang Alif dulu, Rin,” ujar Tanti.
“Pastilah. Izin dulu sama Bang Alif. Kalo dia ngizinin, bikin lauk atau
kue. Nanti aku bantu memasarkan,” jawab Rinda.
”Kamu enak, punya uang sendiri. Mau beli apa-apa tinggal beli. Rumah
juga udah punya. Tabungan ada. Kalau aku, jangankan untuk menabung, gaji Bang
Alif pas-pasan untuk bayar kontrakan, makan, belum lagi Bang Alif harus ikut
membantu membiayai pengobatan ibunya,” keluh Tanti.
“Yah, namanya rezeki orang itu beda-beda, Tan. Kamu enak bisa nungguin
anak-anakmu tiap detik. Kalo aku kan sedari bayi anak-anak harus ku tinggal.
Meski alhamdulillah kantorku dekat dari rumah jadi jam istirahat aku bisa
pulang untuk nengokin mereka,” ujar Rinda
"Belum lagi dengan kerja artinya aku harus berperan ganda, bangun
lebih pagi, mengatur ART dan seterusnya. Tapi intinya semua itu pilihan, ya
harus kita nikmati. Aku kerja, aku nikmati pilihanku. Kamu yang di rumah ya
dinikmati, disyukuri," sambung Rinda.
“Enak kalau di rumah itu kita berkecukupan. Kalau pas-pasan ya pusing Rin,
jenuh mengatur uang belanja yang cuma segitu-gitunya.”
"Ya kalau kayak istri-istri orang kaya itu, di rumah tapi semua
kebutuhan terpenuhi. Kalo kayak aku ini, pusing mikirin kebutuhan," ujar
Tanti.
“Iya sih, tapi semua itu memang ada plus minusnya. Minta izin
baik-baiklah sama Bang Alif. Kalau aku memang dari awal menikah udah minta izin
sama Abang agar tetap diizinkan bekerja."
“Kamu sih beruntung. Bang Firman orangnya pengertian, mau diajak
diskusi, mau bantu-bantu beberes rumah. Lha kalo aku, mentang-mentang udah
kerja, Bang Alif mana mau bantuin sekedar bikin kopi sendiri!” keluh Tanti.
“Bang Firman sudah jadi yatim sedari kecil. Ia belajar memasak dan
membersihkan rumah saat Mama mertua berdagang di pasar. Karena itu, setelah
menikah, Bang Firman sudah terbiasa dengan pola kerjasama dalam rumah tangga,”
terang Rinda.
“Sudahlah, Tan. Jangan ngomongin suami kita, gak baik. Sebisa mungkin
kita taat dan patuh sama mereka. Tiap lelaki kan punya prinsip sendiri tentang
caranya memimpin rumahtangga. Bersyukurlah, Tan. Bang Alif pria baik. Bukan
pemabuk, bukan penjudi atau tukang selingkuh. Banyak perempuan lain di luar
sana yang nasibnya lebih memilukan.”
“Iya, sih… tapi aku benar-benar ingin mencari penghasilan tambahan, Rin.
Kami tak selamanya akan ngontrak, anak-anak butuh biaya sekolah dan kuliah.
Boro-boro mau umroh atau naik haji.”
“Insya Allah,” ucap Rinda.
***
“Apa? Jualan apa?” Alif bertanya dengan nada tinggi.
“Jualan lauk atau kue, Bang. Nanti dijual ke kantor atau ke online
shop,” sahut Tanti takut-takut.
“Aku ini masih kuat memberimu makan, Tan! Kalau kamu bekerja jualan lauk
gitu, nganter-nganter , kamu sama saja meraupkan abu ke mukaku. Dikira orang
aku gak bisa lagi menafkahi keluarga!”
“Bang… aku enggak bermaksud menyaingimu, aku cuma mau membantumu.
Anak-anak makin lama butuh uang banyak untuk sekolah, apalagi kuliah. Dan aku
juga pengen punya rumah sendiri, biarpun kecil. Masa iya kita mau ngontrak
terus sampai tua,” jawab Tanti.
“Kalau kamu mau membantuku, bantu dengan bersikap zuhud dan qonaah!
Jangan banyak ngeluh! Banyak orang lain yang hidupnya lebih mengenaskan. Kamu
harusnya banyak bersyukur, bukannya justru malah membanding-bandingkan hidupmu
dengan hidup orang lain!”
“Aku gak membandingkan, Bang. Lagian jualan lauk kan bisa kulakukan di
rumah, Bang….”
“Pokoknya tidak! Bukan masalah jualannya. Tapi kamu cari uang itu
menyinggung harga diri Abang sebagai lelaki! Kamu jadi perempuan harus banyak
bersyukur!"
“Anak-anak butuh biaya….”
“Anak-anak punya rezekinya sendiri! Jangan mengurusi yang sudah dijamin
oleh Allah!” kali ini Alif gusar. Tanti dibentaknya.
Tanti terdiam. Tak ingin membantah.
Ia mafhum, Alif memang dibesarkan dalam keluarga patriarkal yang kental.
Bahwa lelaki bekerja dan perempuan di rumah. Sayangnya, penghasilan Alif tak
sebagus penghasilan almarhum ayahnya yang seorang pejabat teras BUMN, sehingga
mampu membiayai Alif dan adik-adiknya sekolah sebelum akhirnya beliau meninggal
dunia.
Kini, ibu mertuanya yang telah menjanda menggantungkan hidup dari uang
peninggalan ayah Alif dan dari pemberian anak-anaknya.
Budaya patriarki yang kental juga membuat Alif enggan untuk mengetahui
tetek bengek urusan rumah. Bahwa harga bahan pangan kian lama kian mahal, bahwa
kebutuhan hidup tak lagi sesederhana kebutuhan pada masa kecilnya. Bahwa rezeki
yang sudah dijamin oleh Allah untuk anak-anaknya itupun tetap harus diikhtiari
dengan usaha.
Jika Alif hanya akan jadi staf biasa di perusahaannya tanpa ada usaha
sampingan atau kenaikan gaji, maka Tanti tak tahu harus bagaimana ia
mendefinisikan sikap zuhud dan qonaahnya sebagai istri.
Tanti mengambil gawainya dan memposting uneg-unegnya di sana.
"Enak ya jadi istri orang kaya, tak usah pusing mikirin naiknya
harga-harga! Jaman sekarang, sepuluh ribu dapat apa?!"
Tanti bukan istri yang suka mengeluh. Meskipun ia tahu hidupnya tak
semanis cerita dalam novel-novel yang ia baca.
Ia hanya butuh teman untuk berbagi cerita. Namun, ia hanya perempuan tanpa
suara. Sebab suaminya tak hendak mendengarkan pendapatnya.
Latifah Annisa
End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar