Jendral Soedirman; Santri Yang Menjadi Panglima Besar
Panglima
Besar Jendral Soedirman merupakan salah satu tokoh penting yang pernah dimiliki
negeri ini. Dia pejuang dan pemimpin teladan bangsa. Pribadinya teguh pada
prinsip, keyakinan dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat dan bangsa di
atas kepentingan pribadinya.
Jendral
Soedirman lahir pada 1916 di desa Bodas, Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah.
Sebelum memasuki dunia kemiliteran, Soedirman berlatar belakang guru HIS
Muhammadiyah di Cilacap dan aktif kepanduan Hizbul Wathan. Sejarah mencatat,
ketika berusia 31 tahun dia sudah menyandang pangkat jenderal. Meski saat itu
menderita sakit paru-paru, tetapi dia terus bergerilya melawan penjajah.
Apa sesungguhnya yang membuat Sudirman memiliki keteguhan dan prinsip kuat
dalam hidupnya sehingga dia memiliki nama harum di negeri ini?
“Soedirman
mendapat didikan seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya memiliki
keteguhan dalam berjuang. Meskipun dia menderita sakit paru-paru dan harus
ditandu, tetapi semangat juangnya tinggi,” ujar H. Abdul
Malik kepada saya di kediamannya di Palimanan, Cirebon.
KH. Busyro
Syuhada. Dikisahkan, sekitar 50 km dari Kota Purbalingga,
ada seorang ulama bernama Kyai Haji Busyro Syuhada. Sang ulama memiliki sebuah
pesantren di desa Binorong, Banjarnegara. Selain dikenal sebagai ulama, Kyai
Busyro juga seorang pendekar pencak silat (ketika itu istilahnya pencak ragawi
dan batin). Sebagaimana umumnya pesantren, para santri diajarkan ilmu
agama dan beladiri pencak. Pencak silatnya dikenal dengan nama Aliran Banjaran
yang intinya memadukan ilmu batin dan ilmu dhohir. Dikemudian hari pencak silat
yang dirintis Kyai Busyro Syuhada menjadi cikal bakal perguruan silat Tapak
Suci Putera Muhammadiyah.
Suatu hari,
Soedirman berkunjung ke pesantren Kyai Busyro di Banjarnegara. Dia bermaksud
silaturrahmi. Saat itu Soedirman masih menjalankan pekerjaan sebagai guru di Cilacap. Pada pertemuan itu,
tiba-tiba saja Kyai Busyro menangkap suatu firasat saat berhadapan dengan
Soedirman.
“Kyai Busyro
menyarankan agar Soedirman tinggal sementara waktu di pesantren. Dia ingin agar
Soedirman mau menjadi muridnya. Kyai Busyro tidak menjelaskan alasan
sesungguhnya,” ujar H. Abdul Malik.
Tentu saja
Soedirman terkejut mendengar saran Kyai Busyro Syuhada. Tetapi dia menyambut
dengan antusias. Bagaimanapun juga, saran dan nasehat seorang ulama tentu baik
dan pasti ada alasan-alasan khusus yang tidak dapat diungkapkan.
Selanjutnya Soedirman nyantri di
pesantren asuhan Kyai Busyro Syuhada. Saat itu usia Soedirmansekitar
25 tahun. Selama menjadi santri, Soedirman diperlakukan
khusus oleh Kyai Busyro. Bahkan terkesan diistimewakan. Semua keperluan
Sudirman menyangkut urusan apa saja, termasuk urusan makan dan minum selalu
disiapkan.
Kyai Busyro
sengaja menyediakan seorang pelayan khusus untuk murid spesialnya itu. Pelayan
itu masih keponakan Kyai Busyro sendiri yang bernama Amrullah. Saat itu usia
Amrullah lebih muda 5 tahun dibandingkan Soedirman. Amrullah adalah ayah kandung
Abdul Malik.
“Ayah saya
menceritakan seputar bagaimana Kyai Busyro menggembleng Soedirman. Di
lingkungan keluarga besar kami, kisah ini sebenarnya sudah umum diketahui, ”kata Abdul
Malik.
Menurutnya,
gemblengan terhadap Soedirman sepintas memiliki kemiripan pola didikan silat dalam film Mandarin,
seperti: Shaolin Temple. Murid dilatih ilmu silat dan juga disuruh melakukan
olahraga yang menguras fisik. Namun demikian, Soedirman diharuskan
berpuasa dan saat tengah malam melakukan shalat sunnah secara
rutin.
“Bagaimana
sebenarnya bentuk didikan secara fisik?” Tanya
saya.
“Salah satu
cerita yang pernah saya dengar, meskipun dalam keadaan berpuasa, Soedirman
diperintahkan melakukan pekerjaan keras memotong beberapa pohon yang ada di
dekat pesantren. Batang-batang pohon itu kemudian diseretnya. Lalu dimasukkan
ke dalam kolam atau empang. Pekerjaan itu dilakukan sendirian tanpa dibantu
siapapun. Setelah matahari terbenam, batang pohon itu harus dikeluarkan lagi dari
kolam,” Jawab Abdul Malik.
Abdul Malik
menambahkan, saat Soedirman berbuka puasa dan sahur, Amrullah bertugas
menyediakan makanan dan minuman. Di samping itu, Kyai Busyro juga memberi
amalan zikir atau hizib khusus kepada Soedirman untuk dibaca setiap harinya.
Secara hampir bersamaan, hizib ini juga diamalkan Amrullah (kelak Amrullah
menjadi ulama di Wonosobo, Jawa Tengah).
Pada tahun
1942, Kyai Busyro meninggal dunia. Melihat kenyataan itu, Soedirman memutuskan
kembali ke kampung halamannya di Purbalingga. Namun tidak berapa lama kemudian
balatentara Jepang mulai menjajah Indonesia.
Seolah sudah
menjadi takdirnya, Soedirman segera mengikuti pendidikan militer di Bogor
bergabung dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Begitu tamat pendidikan,
Soedirman menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Sesudah TKR (Tentara
Keamanan Rakyat) terbentuk, Soedirman diangkat menjadi Panglima Divisi
V/Banyumas.
Pada
puncaknya, Soedirman menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia
(Panglima TNI pertama dan termuda) hingga beliau wafat pada 29 Januari 1950.
Tahun 1997 ia dianugerahi gelar Jendral Besar Anumerta dengan bintang lima,
pangkat dalam militer yang hanya dimiliki oleh tiga jendral di Indonesia.
“Apa yang
saya katakan tadi hanya sepenggal cerita saja. Sebenarnya kisah gemblengan Kyai
Busyro kepada Soedirman cukup banyak. Tetapi intinya, Soedirman mendapat
bimbingan khusus dari seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya
berhasil menjadi pemimpin,” ujar Abdul Malik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar