InspirasI

Sabtu, 10 Januari 2015


Jendral Soedirman; Santri Yang Menjadi Panglima Besar



Panglima Besar Jendral Soedirman merupakan salah satu tokoh penting yang pernah dimiliki negeri ini. Dia pejuang dan pemimpin teladan bangsa. Pribadinya teguh pada prinsip, keyakinan dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat dan bangsa di atas kepentingan pribadinya.  

Jendral Soedirman lahir pada 1916 di desa Bodas, Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah. Sebelum memasuki dunia kemiliteran, Soedirman berlatar belakang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan aktif kepanduan Hizbul Wathan. Sejarah mencatat, ketika berusia 31 tahun dia sudah menyandang pangkat jenderal. Meski saat itu menderita sakit paru-paru, tetapi dia terus bergerilya melawan penjajah.  Apa sesungguhnya yang membuat Sudirman memiliki keteguhan dan prinsip kuat dalam hidupnya sehingga dia memiliki nama harum di negeri ini?


“Soedirman mendapat didikan seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya memiliki keteguhan dalam berjuang. Meskipun dia menderita sakit paru-paru dan harus ditandu, tetapi semangat juangnya tinggi,” ujar H. Abdul Malik kepada saya di kediamannya di Palimanan, Cirebon.  

KH. Busyro Syuhada. Dikisahkan, sekitar 50 km dari Kota Purbalingga, ada seorang ulama bernama Kyai Haji Busyro Syuhada. Sang ulama memiliki sebuah pesantren di desa Binorong, Banjarnegara. Selain dikenal sebagai ulama, Kyai Busyro juga seorang pendekar pencak silat (ketika itu istilahnya pencak ragawi dan batin).  Sebagaimana umumnya pesantren, para santri diajarkan ilmu agama dan beladiri pencak. Pencak silatnya dikenal dengan nama Aliran Banjaran yang intinya memadukan ilmu batin dan ilmu dhohir. Dikemudian hari pencak silat yang dirintis Kyai Busyro Syuhada menjadi cikal bakal perguruan silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah.  

Suatu hari, Soedirman berkunjung ke pesantren Kyai Busyro di Banjarnegara. Dia bermaksud silaturrahmi. Saat itu Soedirman masih menjalankan pekerjaan sebagai guru di Cilacap. Pada pertemuan itu, tiba-tiba saja Kyai Busyro menangkap suatu firasat saat berhadapan dengan Soedirman.   

“Kyai Busyro menyarankan agar Soedirman tinggal sementara waktu di pesantren. Dia ingin agar Soedirman mau menjadi muridnya. Kyai Busyro tidak menjelaskan alasan sesungguhnya,” ujar H. Abdul Malik.  

Tentu saja Soedirman terkejut mendengar saran Kyai Busyro Syuhada. Tetapi dia menyambut dengan antusias. Bagaimanapun juga, saran dan nasehat seorang ulama tentu baik dan pasti ada alasan-alasan khusus yang tidak dapat diungkapkan.  

Selanjutnya Soedirman nyantri di pesantren asuhan Kyai Busyro Syuhada. Saat itu usia Soedirmansekitar 25 tahun. Selama menjadi santri, Soedirman diperlakukan khusus oleh Kyai Busyro. Bahkan terkesan diistimewakan. Semua keperluan Sudirman menyangkut urusan apa saja, termasuk urusan makan dan minum selalu disiapkan.  

Kyai Busyro sengaja menyediakan seorang pelayan khusus untuk murid spesialnya itu. Pelayan itu masih keponakan Kyai Busyro sendiri yang bernama Amrullah. Saat itu usia Amrullah lebih muda 5 tahun dibandingkan Soedirman. Amrullah adalah ayah kandung Abdul Malik.  

“Ayah saya menceritakan seputar bagaimana Kyai Busyro menggembleng Soedirman. Di lingkungan keluarga besar kami, kisah ini sebenarnya sudah umum diketahui, ”kata Abdul Malik.  

Menurutnya, gemblengan terhadap Soedirman sepintas memiliki kemiripan pola didikan silat dalam film Mandarin, seperti: Shaolin Temple. Murid dilatih ilmu silat dan juga disuruh melakukan olahraga yang menguras fisik. Namun demikian, Soedirman diharuskan berpuasa dan saat tengah malam melakukan shalat sunnah secara rutin.  

“Bagaimana sebenarnya bentuk didikan secara fisik?” Tanya saya. 
“Salah satu cerita yang pernah saya dengar, meskipun dalam keadaan berpuasa, Soedirman diperintahkan melakukan pekerjaan keras memotong beberapa pohon yang ada di dekat pesantren. Batang-batang pohon itu kemudian diseretnya. Lalu dimasukkan ke dalam kolam atau empang. Pekerjaan itu dilakukan sendirian tanpa dibantu siapapun. Setelah matahari terbenam, batang pohon itu harus dikeluarkan lagi dari kolam,” Jawab Abdul Malik.  

Abdul Malik menambahkan, saat Soedirman berbuka puasa dan sahur, Amrullah bertugas menyediakan makanan dan minuman.  Di samping itu, Kyai Busyro juga memberi amalan zikir atau hizib khusus kepada Soedirman untuk dibaca setiap harinya. Secara hampir bersamaan, hizib ini juga diamalkan Amrullah (kelak Amrullah menjadi ulama di Wonosobo, Jawa Tengah).  

Pada tahun 1942, Kyai Busyro meninggal dunia. Melihat kenyataan itu, Soedirman memutuskan kembali ke kampung halamannya di Purbalingga. Namun tidak berapa lama kemudian balatentara Jepang mulai menjajah Indonesia.  

Seolah sudah menjadi takdirnya, Soedirman segera mengikuti pendidikan militer di Bogor bergabung dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Begitu tamat pendidikan, Soedirman menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, Soedirman diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas.  

Pada puncaknya, Soedirman menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI pertama dan termuda) hingga beliau wafat pada 29 Januari 1950. Tahun 1997 ia dianugerahi gelar Jendral Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat dalam militer yang hanya dimiliki oleh tiga jendral di Indonesia.

“Apa yang saya katakan tadi hanya sepenggal cerita saja. Sebenarnya kisah gemblengan Kyai Busyro kepada Soedirman cukup banyak. Tetapi intinya, Soedirman mendapat bimbingan khusus dari seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya berhasil menjadi pemimpin,” ujar Abdul Malik.


Tidak ada komentar: