AGAMA JADI TERSANGKA
Oleh: Haedar
Nashir
Ketua
Umum PP Muhammadiyah
Ada apa dengan agama?
Urusan radikalisme, terorisme, intoleransi, dan kekerasan banyak dikaitkan
dengan agama dan umat beragama. Agama malah disebut produk impor layaknya
barang dagangan.
Aura negatif
keagamaan itu tidak jarang tertuju pada Islam. Ibnu Taimiyah secara ceroboh
dimasukkan sebagai salah satu tokoh sumber paham radikalisme. Padahal, dialah
yang menyatakan pemimpin non-Islam yang adil lebih baik ketimbang pemimpin
muslim nan zalim. Pemikiran pembaruan ulama besar dari Syiria ini malah
melampau zamannya.
Ironisnya, ada
sebagian golongan agama membeli isu radikalisme itu tanpa sikap kritis. Dalil
dan fatwa keagamaan tentang radikalisme pun serta-merta dikeluarkan. Padahal,
ranah lain tak kurang bermasalah dan menjadi sumber masalah kalau kita angkat
secara objektif ke ruang publik. Radikalisme itu milik siapa saja tanpa pandang
bulu. Sejarah mengenal radikalisme petani sebagai gerakan perlawanan.
Tanyakan pada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)
di Papua, kenapa dan atas nama apa mereka menyandera dan berbuat teror terhadap
orang-orang tak bersalah. Kelompok ini pun tidak disebut teroris dan radikalis.
Tentu selalu ada alasan untuk pembenaran, tetapi tampak sekali bias parameter
yang dipakai ketika mengaitkannya dengan agama.
Agama dan umat
beragama seolah jadi terdakwa. Agama dianggap sumber radikalisme dan benih
konflik yang membelah warga bangsa. Hingga di negeri ini mulai tumbuh pandangan
kuat, janganlah membawa-bawa agama di ruang publik. Simpanlah agama di ranah
domestik.
Sementara ranah politik, etnik, kedaerah, dan
segala atribut lain ketika bermasalah dianggap biasa dan bukan sumber
kegaduhan. Padahal, karena soal politik rakyat terbelah, gedung dibakar,
konflik mengeras, dan kehidupan gaduh. Orang mengelompok dengan fanatik dalam
referensi etnik atau kedaerahan tak disebut eksklusif dan intoleran. Semuanya
keliru, tetapi tidak membuahkan stigma dengan aura buruk-muka!
*Pandangan sekular*
Kita umat beragama sungguh menolak segala bentuk radikalisme atas nama apapun, di manapun, dan kapanpun. Lebih-lebih yang memproduksi kekerasan dan segala bentuk tindakan fasad fil-Ardi. Sejengkal apapun tak ada ruang untuk perbuatan merusak di muka bumi, Hatta atas nama agama, kitab suci, nabi, dan Tuhan.
Kita umat beragama sungguh menolak segala bentuk radikalisme atas nama apapun, di manapun, dan kapanpun. Lebih-lebih yang memproduksi kekerasan dan segala bentuk tindakan fasad fil-Ardi. Sejengkal apapun tak ada ruang untuk perbuatan merusak di muka bumi, Hatta atas nama agama, kitab suci, nabi, dan Tuhan.
Kita akui juga ada elemen umat beragama
karena bias-pemahaman dan bias-perilaku keagamaan menjadikan agama pendorong
tindakan-tindakan ekstrem seperti sikap radikal, intoleran, kebencian, aksi
sweeping, dan sejenisnya. Kita juga paham atas sorotan tajam manakala agama
dipakai sebagai pendorong hal-hal yang beraura garang dan permusuhan karena
secara normatif dan profetik agama dan umat beragama memang membawa misi Ilahi
yang suci untuk membangun kehidupan serba bermoral dan rahmat bagi semesta
alam.
Jadi, tidak
terlalu keliru kalau agama dan umat beragama disoroti tajam ketika masuk pada
ranah yang dikategorikan radikal dan sebagainya. Umat beragama tentu penting
untuk bermuhasabah diri agar tidak terjebak pada keberagamaan yang bermasalah
seperti itu.
Dengan demikian fungsi agama dan peran
pemeluk agama tetap kuat sebagai penyebar misi damai, toleran, inklusif, dan
segala kebajikan yang utama. Jadikan agama sebagai rujukan nilai utama
kebajikan peradaban di negeri tercinta ini, bukan sebaliknya sebagai pemicu
perilaku keras dan konflik atasannya Tuhan.
Namun, penting juga pandangan yang adil
dan objektif dalam melihat posisi agama dan umat beragama di negeri ini, yang
nilai positifnya jauh lebih luas dan menjadi bingkai moral utama kehidupan
berbangsa dan bernegara. Selain itu arus utama umat beragama di negeri ini pun
sungguh moderat, damai, toleran, dan berkemajuan. Agama dan umat beragama harus
dilihat secara komprehensif, tidak parsial dengan nada sarat dakwaan. Tidak
perlu juga dipolitisisasi secara ekstrem, seolah agama dan umat beragama
sebagai sumber masalah.
Tampaknya, terdapat kecenderungan yang
menguat di sebagian elite, pakar, dan warga bangsa tentang alam pikiran sekuler
yang bersenyawa dengan proses demokratisasi dan hak asasi manusia yang liberal
sebagaimana pandangan hidup masyarakat Barat yang berbasis pada
humanisme-sekuler. Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang agama dan kepercayaan
yang kontroversial dapat dibaca dalam aura alam pikir humanisme-sekuler itu.
Pandangan yang demikian tentu tidak cocok dengan jati diri bangsa Indonesia
yang beragama kuat dan berideologi Pancasila.
Peter L Berger pernah menengarai
bahwa masyarakat moderen tidak begitu hirau dengan persoalan-persoalan
metafisik, tentang hakikat kehidupan, dari mana manusia berasal dan untuk apa
tujuan hidup di dunia, serta makna-makna kehidupan lainnya. Hal itu karena
proses rasionalisasi atau lebih tepatnya sekularisasi begitu kuat, sehingga
hal-hal yang mendasar seperti itu seolah wilayah abstrak dan tidak empirik.
Padahal
kenyataan masyarakat modern justru memerlukan dimensi yang melampaui dunia
rasional itu, yang hanya dapat ditemukan dalam agama. Agama, tulis Berger,
merupakan kanopi suci (the sacred canopy) yang dapat membebaskan manusia dari
chaos atau segala bentuk kekacauan hidup. Hatta dalam masyarakat dan dunia yang
sekuler, menurut Bryan Wilson, secara sosiologis agama masih tetap diperlukan
dalam memberi makna luhur bagi kehidupan umat manusia.
Maka menjadi ironis manakala di
Indonesia yang penduduknya beragama dan ber-Pancasila, agama dipandang sebagai
sumber masalah atau malah menjadi terdakwa untuk segala hal buruk seperti
radikalisme, terorisme, intoleran, dan kekerasan. Lebih-lebih karena prinsip
demokrasi dan hak asasi manusia yang serbaliberal, agama mulai dimarjinalkan
dan malah harus disama sebangunkan dengan bentuk-bentuk kepercayaan tertentu
yang sama sekali berbeda dari agama. Agama dianggap skrup kecil dari kehidupan
masyarakat Indonesia.
*Fungsi agama*
Benarkah agama sumber masalah? Agama merupakan sistem keyakinan universal yang berdasarkan wahyu Illahi membimbing manusia menuju jalan hidup yang benar untuk meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Agama, menurut Arseln van Feuerbach merupakan kebutuhan hidup manusia yang ideal. Ekspresi orang beragama dan bertuhan dapat beragam tetapi manusia sungguh tidak dapat hidup tanpa Tuhan dan tanpa agama, meski ada manusia yang ateis dan agnostik.
Benarkah agama sumber masalah? Agama merupakan sistem keyakinan universal yang berdasarkan wahyu Illahi membimbing manusia menuju jalan hidup yang benar untuk meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Agama, menurut Arseln van Feuerbach merupakan kebutuhan hidup manusia yang ideal. Ekspresi orang beragama dan bertuhan dapat beragam tetapi manusia sungguh tidak dapat hidup tanpa Tuhan dan tanpa agama, meski ada manusia yang ateis dan agnostik.
Agama mengajarkan manusia hidup saleh
untuk diri sendiri, sesama, dan lingkungannya sehingga kehadiran agama justru
menjadi rahmatan lil-‘alamin. Tidak ada agama apapun yang mengajarkan
keburukan, semuanya berisi kebajikan yang utama. Agama sebagai refleksi iman
tidak hanya terbukti dalam ucapan keyakinan dan iman saja, tetapi agama juga
merefleksikan sejauh mana iman itu diungkapkan dalam kehidupan dunia ini (Mukti
Ali, 1982).
Agama menurut
tokoh Perbandingan Agama dan mantan Menteri Agama itu berfungsi sebagai faktor
transendensi, sublimasi, profetik, liberasi, humanisasi, dan kritik atas
kehidupan manusia. Dengan agama manusia menjadi insan relijius, shaleh, welas
asih, sabar, peduli, mau berbagi, rendah hati, dan berbuat serba kebajikan yang
utama. Agama mengajarkan manusia menjadi hamba Allah yang beriman sekaligus
beramal shaleh bagi kebaikan semesta. Rasul bahkan diutus untuk menyempurnakan
akhlak utama manusia serta menyebar misi rahmatan lil-‘alamin untuk kemajuan
peradaban dunia.
Umat Islam selaku mayoritas di negeri
ini selain menjadikan agamanya sebagai pedoman kehidupan yang utama dalam
keberagamaan, pada saat yang sama menjadikan Islam berfungsi bagi kehidupan
berbangsa. Apalah jadinya bangsa ini tanpa Islam dan umat Islam, bersama dengan
agama dan pemeluk agama lain. Setidaknya bangsa Indonesia menjadi relijius dan
berkeadaban, sesuatu yang mendasar bagi kehidupan suatu bangsa. Bacalah secara
jernih dan objektif pengaruh positif agama dalam kehidupan bangsa Indonesia
agar tidak terjebak pada stigma atau pandangan negatif dan menjadikannya seolah
terdakwa atas hal-hal buruk di negeri ini.
Dalam konteks kesatuan dan persatuan
nasional, peranan umat Islam di negeri ini sangatlah besar. Menurut antropolog
kenamaan Koentjaraningrat, Islam merupakan kekuatan integrasi nasional dalam
pembentukan kebudayaan Indonesia. Menurut George Kahin (1995), salah satu
faktor terpenting yang mendukung pertumbuhan suatu nasionalisme terpadu di
Indonesia adalah tingginya derajat homogenitas agama yakni lebih 90 persen
penduduknya beragama Islam. Agama Islam bukan hanya hanya suatu ikatan biasa,
ini benar-benar merupakan semacam simbol kelompok atau in-group untuk melawan
penggangu asing dan penindas suatu agama yang berbeda.
Dalam pejuangan melawan penjajahan
sungguh besar pengorbanan dan perjuangan umat Islam. Pengaruh, peranan, dan
kiprah umat Islam sungguh tak terhitung. Kekuatan Islam seperti Muhammadiyah
bahkan menjadikan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Nahdatul
Ulama mengeluarkan Resolusi Jihad. Segenap pergerakan Islam menggelorakan cinta
Tanah Air sebagai bagian dari jihad fi-sabilillah. Semuanya berjuang untuk
Indonesia yang dicintai dan dibelanya dengan sepenuh jiwa-raga dengan ruh
agama!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar