InspirasI

Minggu, 26 November 2017

Dzikir Fikir, Design Thinking ala alQuran
Dzikir dan Fikir

Dzikir itu pusaran hati & Fikir itu pusaran aqal. Menumbuhkan Dzikir itu wilayah Bunda, membangun Fikir itu wilayah Ayah. Dzikir tanpa Fikir, Fikir tanpa Dzikir, tidak akan melahirkan solusi apapun.
Dzikir adalah tentang menumbuhkan firasat, nurani, intuisi, empati dan seterusnya tanya dalam rangka mengembangkan kepekaan membaca tanda tanda atau ayat ayat Ilahi di semesta dan di dalam diri kita termasuk dalam diri ananda.
Fikir adalah tentang membangun sistem logika, rasionalitas, pembiakan idea, pemilihan idea, pengambilan keputusan, perancangan solusi dstnya dalam rangka menajamkan kepekaan menemukan solusi aqal atas pembacaan hati melalui dzikir.

Design Thinking
Design thinking adalah sebuah tools, yang awalnya banyak dilakukan di dunia arsitektur, untuk menemukan atau merancang poduk atau solusi dengan menggali secara mendalam kebutuhan pengguna (observe & emphatize), menangkap tanda tanda bahagia dan harapan maupun kerisauan pengguna dan membingkainya (define) secara utuh serta menemukan insight (hikmah), lalu dari sanalah idea idea solusi dikembangkan secara bebas dan kreatif (ideate) sehingga ditemukan solusi yang paling dekat (prototype).
        Tidak perlu sempurna, karena akan terus diulang prosesnya. Design thinking adalah perpaduan Dzikir (Emphatize & Define) dengan Fikir (Ideate & Prototype Solution). Setiap solusi peradaban dalam kehidupan dihasilkan dari kemampuan atau potensi yang cukup untuk Dzikir dan Fikir.
         Dzikir adalah proses pembacaan tanda tanda atau makna makna (ayat ayat Allah) dengan mata hati, telinga hati, kaki hati dengan penuh empati (emphatize), kemudian kemampuan membingkai kebutuhan dan potensi (define atau point of view) yang perlu diperhatikan dikembangkan atau ditumbuhkan. Inilah proses divergen, menyebar, multi tasking.
Sementara Fikir adalah proses membiakan ide atau mengenerate idea (Ideate) atas hasil dzikir, kemudian menemukan idea yang paling feasible untuk diturunkan menjadi prototype solusi yang disiap direlease menebar manfaat dan rahmat. Inilah proses menuju konvergen, mengerucut, single tasking.
Ibu Sang Penumbuh Dzikir, Ayah Sang Pembentuk Fikir
Dzikir adalah proses membeningkan hati, menajamkan firasat, mengokohkan nurani, menghaluskan empati dstmya adalah tanggungjawab Bunda, sementara membangun sistem berfikir, menajamkan logika dan nalar, membiakan idea dan fokus menemukan solusi adalah tanggungjawab Ayah.
         Karenanya awal kelahiran manusia sampai masa latih awal , anak lebih didekatkan ke ibu, karena ibulah yang mensuplai kemampuan dzikir sebagaimana digambarkan di atas, itulah mengapa usia dini bukanlah pusat kepintaran tetapi pusat perasaan, puncak tumbuhnya daya imajinasi dan abstraksi. Anak yang tidak dekat atau tak dibersamai ibunya akan kehilangan potensi fitrah dzikirnya atau kemampuan mrasanya.
Karenanya masa latih awal (7-10 tahun, ketika nalar sudah tumbuh pesat, anak lebih didekatkan ke ayahnya, karena ayahlah yang mensuplai kemampuan fikir sebagaimana digambarkan di atas. Itulah mengapa usia 7-10 tahun bergeser menjadi pusat kepintaran. Anak yang tidak dekat atau tidak dibersamai ayahnya akan kehilangan potensi fitrah fikirnya atau menalarnya.
          Maka menjelang AqilBaligh, kemampuan dzikir dan fikir harus menyatu dalam menghadapi ujian ujian kehidupan lalu memberi solusinya. Kemampuan berfikir yang hebat tak akan mampu menemukan solusi hebat, ia harus dimulai dengan kemampuan dzikir yang hebat, atau kemampuan membaca tanda atau ayat ayat Allah dengan hati. Begitupula sebaliknya, kemampuan membaca tanda, tanpa kemampuan fikir akan tiada berarti mengerucutkan solusi.
         Maka tiada sekolah berdzikir dan berfikir terbaik kecuali rumah, dan guru terbaiknya adalah ayah dan ibunya, yang fitrah keibuan dan keayahannya tumbuh paripurna. Ulil Albab dilahirkan dari rumah rumah yang sosok Ayah dan sosok Ibu hadir seutuhnya sesuai fitrah keayah bundaannya.

Tidak ada komentar: