InspirasI

Jumat, 10 Oktober 2014

REFLEKSI  SPIRIT BERKURBAN


           Hari Raya Idul Adha yang juga disebut Hari Raya Qurban telah kita laksanakan. Sudah banyak keterangan tentang maksud dan tujuan Idul Qurban, semua itu mengacu pada sejarah pembuktian iman dari dua orang nabi, Ibrahim dan Ismail. Kisah pembuktian iman tanpa reserve itu tetap relevan untuk dikaji oleh siapapun dan kapanpun.
           Apabila kita kaitkan dengan persoalan bangsa yang sedang terjadi saat ini pun sangatlah tepat. Karena kesulitan yang sedang dihadapi bangsa ini tiada lain bersumber akibat sifat tamak dan arogan yang sedang merajalela di negeri ini. Korupsi dan kolusi yang dari waktu ke waktu terus menggerogoti negeri ini, merupakan penjelmaan dari sifat tamak pada harta benda. Tidak peduli pejabat ataupun konglomerat telah beramai-ramai melakukan penyimpangan itu karena nafsu. Dengan ketamakannya, mereka memanfaatkan setiap kesempatan untuk menumpuk kekayaan. Jangankan tersisa sedikit untuk yang lain, selama kantung masih muat, mereka masukkan segala yang didepan mata, seakan perut tak pernah kenyang. Itulah ketamakan nyata yang telah berlangsung hingga berpuluh tahun.
     Juga tentang arogansi. Khususnya berkaitan dengan sikap para politikus. Rasanya semua menyadari, bagaimana kita sering dihadapkan pada sikap-sikap mau menang sendiri dan merasa paling benar yang dipertunjukkan para politikus kita. Mereka bahkan rela saling memfitnah, membantai dan juga tidak segan-segan menantang. Para politikus yang haus kekuasaan dan pejabat yang ingin terus berkuasa, merupakan avonturisme arogansi yang tiada pernah berhenti. Hingga dengan mudah rakyat mencatat, bagaimana orang menjadi mudah berlaku arogan begitu kekuasaan sudah dalam genggaman.
     Dengan bertemunya dua sifat negatif, tamak dan arogan, ini telah membuat bangsa dan negara terpuruk sekian lama. Dan itulah awal dari krisis multidimensi yang berujung pada berakhirnya kekuasaan.
     Semangat berkurban yang dicontohkan Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s, hendaknya diresapi sebagai tuntunan untuk berkurban demi sesama. Andai saja para pejabat dan politisi mau berkurban dengan sedikit meninggalkan kepentingan pribadi ataupun golongan, dapatlah diharapkan, kehidupan berpolitik dan bernegara akan mempunyai wajah penuh harapan. Apalagi kalau mau berkurban dengan meninggalkan ketamakan dan arogansi, pastilah krisis ini segera berakhir.
Memang sangat sulit meneladani hakikat ibadah kurban. Kalau hanya menyediakan hewan kurban serta membagikan dagingnya kepada para fakir miskin, hampir semua orang bisa melakukannya. Tetapi mempraktekkan hikmah di balik ibadah kurban itulah yang sulit. Padahal, justru itu inti dari Idul Adha.
Islam itu bersifat universal, “Dan tidaklah Kami mengutusmu (wahai Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam”. Derivasi makna universal Islam tentu saja mengacu pada sifat cinta kasih (Rahman-Rahim) Tuhan untuk dimanifestasikan dalam tindakan berazaskan manfaat dan maslahah pada tataran sosial yang konkret. Dalam cinta kasih, meminjam penjelasan Heidegger, ada tiga hal asasi penting, yaitu:Befindlichkeit (kepekaan), Verstehen (mengerti, memahami), dan Rede (kata-kata, hal bicara). Artinya, dalam cinta kasih sejati yang dibutuhkan bukan hanya pemahaman, tetapi juga perhatian, pengorbanan, dan tanggung jawab.
    Cinta mencakup sikap dasar untuk memperhatikan kepuasan serta ketentraman dan perkembangan orang yang kita cintai. Erich Fromm menulis: “Cinta itu suatu tindakan yang aktif, bukan perasaan yang pasif, kita berdiri dalam cinta, tidak jatuh ke dalamnya. Sifat aktif cinta itu dapat dilukiskan dengan menekankan bahwa cinta itu terutama memberi bukan menerima. Demikianlah cinta itu merupakan satu ikatan yang lahir dari keputusan yang matang“. Dalam redaksi al-Qur’an tercatat begini,“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada suatu kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai” (Qs. 3;92).
      Kesempurnaan hubungan dengan orang lain dibangun dengan cinta kasih, dan cinta kasih membutuhkan tindak nyata, yaitu pengorbanan. Cinta kasih yang diejawantahkan dalam bentuk berqurban merupakan pokok eksistensial yang tak tersangkal (l’ndubitable existentiel). Manusia tidak akan dapat mencapai eksistensi yang sempurna sebelum menyerahkan apa yang dicintainya kepada orang lain. Nabi juga bersabda, “Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri“. Pada kesempatan lain Nabi SAW bersabda, “Siapa yang menutup mata sementara tetangganya kelaparan adalah bukan seorang muslim“.

Keadilan Sosial dan budaya kosmopolit
    Sebuah paradigma dan pandangan hidup (worldview, weltanschauung) universal akan menemukan lokusnya pada keterbukaan menerima peradaban yang kosmopolit yang bertolak pada keadilan sosial. Manifestasi kultural, wawasan keilmuan dan kearifan pemahaman akan melahirkan apa yang disebutkan sejarawan Arnold J. Toynbee sebagai oikumene (peradilan dunia).
  Watak kosmopolitan dari peradaban Islam itu telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu yang dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad saw mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis Muslim awal (seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijriah, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa Hellenisme hingga peradaban anak benua India (Nuraholish Madjid, Kontekstualisasi, 1995: 549).
     Cakrawala makna universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam memperkuat tesis tentang keharusan memberi makna baru atas perintah berqurban, sebagaimana juga analisis hermeneutik (penafsiran) menghendaki makna yang hidup dan dinamis atas nash qurban. Watak universal dari qurban terletak pada dimensi pembebasannya, melawan dominasi, dan ketidakadilan. Ekspresi bahasa tindakan tersebut akan hilang manakala qurban dipahami sekedar bentuk ritual, tanpa refleksi perasaan dan pengalaman mental atas fenomena aktual. Jika pemaknaan qurban berhenti pada tataran penyembelihan binatang ternak, maka wawasan rahmat universal dari kehadiran Islam telah tereduksi dan tereksploitasi. Cakrawala dunia dari ajaran Nabi ketika berhadapan dengan peradaban lain yang juga termasuk dalam kategori sunnah telah termarginalisasi. Hampir seluruh segmen masyarakat muslim menghendaki dapat memeluk Islam secara kaffah (sempurna), namun seringkali memaknai kaffah dengan makna eksklusif, kurang proporsional dan tidak metodologis. Contohnya adalah bentuk interpretasi dari qurban itu sendiri.
Menurut Gus Dur , kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat. Artinya, di sini ada unsur relatif untuk membentuk inisiatif, nuansa, dan nafas baru bagi ajaran dan doktrin Islam.
     Bentuk-bentuk imperatif normatif agama yang dipahami secara letterlijk sempit perlu ditafsirkan agar tidak terlalu menghimpit. Inti dari perintah berqurban adalah ketaatan dan ketundukan kepada perintah-perintah Tuhan, menyadari keagungan-Nya, dan tumbuh berkembangnya komitmen sosial. Untuk membumikan pemahaman itu perlu membangun kebudayaan kosmopolit yaitu, meminjam bahasa Cak Nur, sebuah pola budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari, budaya seluruh umat manusia. Representasi dari norma dan dogma Islam klasik setidaknya mencontoh budaya material arsitektur masjid, yakni mengambil berbagai unsur lokal, kontekstual, agar lebih meresap dan terpantul dalam refleksi fungsional yang kongkret.
     Urgensi agenda baru universalisasi nilai dan peradaban Islam ini bertitik tolak dari kebutuhan umat untuk mendialogkan peradabannya dengan berbagai budaya luar. Tujuannya adalah agar masyarakat muslim tidak terus menjadi objek sejarah, tapi bisa menjadi pelaku yang bermartabat dan berderajat. Pemaknaan qurban bertopang pada unsur-unsur utama kemanusiaan dan berbagai keprihatinan keterbelakangan, ketertindasan, dan meningkatnya individualitas akan membebaskan umat manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomis dan kebiadaban rezim-rezim peradaban dan politik yang zalim.
:

Tidak ada komentar: