REFLEKSI SPIRIT BERKURBAN
Hari Raya Idul
Adha yang juga disebut Hari Raya Qurban telah kita laksanakan. Sudah banyak
keterangan tentang maksud dan tujuan Idul Qurban, semua itu mengacu pada
sejarah pembuktian iman dari dua orang nabi, Ibrahim dan Ismail. Kisah
pembuktian iman tanpa reserve itu tetap relevan untuk dikaji
oleh siapapun dan kapanpun.
Apabila
kita kaitkan dengan persoalan bangsa yang sedang terjadi saat ini pun sangatlah
tepat. Karena kesulitan yang sedang dihadapi bangsa ini tiada lain bersumber
akibat sifat tamak dan arogan yang sedang merajalela di negeri ini. Korupsi dan
kolusi yang dari waktu ke waktu terus menggerogoti negeri ini, merupakan
penjelmaan dari sifat tamak pada harta benda. Tidak peduli pejabat ataupun
konglomerat telah beramai-ramai melakukan penyimpangan itu karena nafsu. Dengan
ketamakannya, mereka memanfaatkan setiap kesempatan untuk menumpuk kekayaan.
Jangankan tersisa sedikit untuk yang lain, selama kantung masih muat, mereka
masukkan segala yang didepan mata, seakan perut tak pernah kenyang. Itulah
ketamakan nyata yang telah berlangsung hingga berpuluh tahun.
Juga
tentang arogansi. Khususnya berkaitan dengan sikap para politikus. Rasanya
semua menyadari, bagaimana kita sering dihadapkan pada sikap-sikap mau menang
sendiri dan merasa paling benar yang dipertunjukkan para politikus kita. Mereka
bahkan rela saling memfitnah, membantai dan juga tidak segan-segan menantang.
Para politikus yang haus kekuasaan dan pejabat yang ingin terus berkuasa,
merupakan avonturisme arogansi yang tiada pernah berhenti. Hingga dengan mudah
rakyat mencatat, bagaimana orang menjadi mudah berlaku arogan begitu kekuasaan
sudah dalam genggaman.
Dengan
bertemunya dua sifat negatif, tamak dan arogan, ini telah membuat bangsa dan
negara terpuruk sekian lama. Dan itulah awal dari krisis multidimensi yang
berujung pada berakhirnya kekuasaan.
Semangat
berkurban yang dicontohkan Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s, hendaknya
diresapi sebagai tuntunan untuk berkurban demi sesama. Andai saja para pejabat
dan politisi mau berkurban dengan sedikit meninggalkan kepentingan pribadi
ataupun golongan, dapatlah diharapkan, kehidupan berpolitik dan bernegara akan
mempunyai wajah penuh harapan. Apalagi kalau mau berkurban dengan meninggalkan
ketamakan dan arogansi, pastilah krisis ini segera berakhir.
Memang
sangat sulit meneladani hakikat ibadah kurban. Kalau hanya menyediakan hewan
kurban serta membagikan dagingnya kepada para fakir miskin, hampir semua orang
bisa melakukannya. Tetapi mempraktekkan hikmah di balik ibadah kurban itulah
yang sulit. Padahal, justru itu inti dari Idul Adha.
Islam
itu bersifat universal, “Dan tidaklah Kami mengutusmu (wahai Muhammad),
kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam”. Derivasi makna universal
Islam tentu saja mengacu pada sifat cinta kasih (Rahman-Rahim) Tuhan
untuk dimanifestasikan dalam tindakan berazaskan manfaat dan maslahah pada
tataran sosial yang konkret. Dalam cinta kasih, meminjam penjelasan Heidegger, ada
tiga hal asasi penting, yaitu:Befindlichkeit (kepekaan), Verstehen (mengerti,
memahami), dan Rede (kata-kata, hal bicara). Artinya, dalam
cinta kasih sejati yang dibutuhkan bukan hanya pemahaman, tetapi juga
perhatian, pengorbanan, dan tanggung jawab.
Cinta
mencakup sikap dasar untuk memperhatikan kepuasan serta ketentraman dan
perkembangan orang yang kita cintai. Erich Fromm menulis: “Cinta itu suatu
tindakan yang aktif, bukan perasaan yang pasif, kita berdiri dalam cinta, tidak
jatuh ke dalamnya. Sifat aktif cinta itu dapat dilukiskan dengan menekankan
bahwa cinta itu terutama memberi bukan menerima. Demikianlah cinta itu
merupakan satu ikatan yang lahir dari keputusan yang matang“. Dalam redaksi
al-Qur’an tercatat begini,“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada suatu
kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu
cintai” (Qs. 3;92).
Kesempurnaan
hubungan dengan orang lain dibangun dengan cinta kasih, dan cinta kasih
membutuhkan tindak nyata, yaitu pengorbanan. Cinta kasih yang diejawantahkan
dalam bentuk berqurban merupakan pokok eksistensial yang tak tersangkal (l’ndubitable
existentiel). Manusia tidak akan dapat mencapai eksistensi yang sempurna
sebelum menyerahkan apa yang dicintainya kepada orang lain. Nabi juga bersabda,
“Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri“. Pada
kesempatan lain Nabi SAW bersabda, “Siapa yang menutup mata sementara
tetangganya kelaparan adalah bukan seorang muslim“.
Keadilan Sosial dan budaya kosmopolit
Sebuah
paradigma dan pandangan hidup (worldview, weltanschauung) universal akan
menemukan lokusnya pada keterbukaan menerima peradaban yang kosmopolit yang bertolak
pada keadilan sosial. Manifestasi kultural, wawasan keilmuan dan kearifan
pemahaman akan melahirkan apa yang disebutkan sejarawan Arnold J. Toynbee
sebagai oikumene (peradilan dunia).
Watak
kosmopolitan dari peradaban Islam itu telah tampak sejak awal pemunculannya.
Peradaban itu yang dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad saw mengatur
pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis Muslim
awal (seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijriah, memantulkan proses saling
menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Dunia Islam waktu itu, dari
sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa Hellenisme hingga peradaban anak
benua India (Nuraholish Madjid, Kontekstualisasi, 1995: 549).
Cakrawala
makna universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam memperkuat tesis
tentang keharusan memberi makna baru atas perintah berqurban, sebagaimana juga
analisis hermeneutik (penafsiran) menghendaki makna yang hidup dan dinamis atas
nash qurban. Watak universal dari qurban terletak pada dimensi pembebasannya,
melawan dominasi, dan ketidakadilan. Ekspresi bahasa tindakan tersebut akan
hilang manakala qurban dipahami sekedar bentuk ritual, tanpa refleksi perasaan
dan pengalaman mental atas fenomena aktual. Jika pemaknaan qurban berhenti pada
tataran penyembelihan binatang ternak, maka wawasan rahmat universal dari
kehadiran Islam telah tereduksi dan tereksploitasi. Cakrawala dunia dari ajaran
Nabi ketika berhadapan dengan peradaban lain yang juga termasuk dalam kategori
sunnah telah termarginalisasi. Hampir seluruh segmen masyarakat muslim
menghendaki dapat memeluk Islam secara kaffah (sempurna), namun seringkali
memaknai kaffah dengan makna eksklusif, kurang proporsional
dan tidak metodologis. Contohnya adalah bentuk interpretasi dari qurban itu
sendiri.
Menurut
Gus Dur , kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik
optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum
Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat. Artinya, di sini ada
unsur relatif untuk membentuk inisiatif, nuansa, dan nafas baru bagi ajaran dan
doktrin Islam.
Bentuk-bentuk
imperatif normatif agama yang dipahami secara letterlijk sempit
perlu ditafsirkan agar tidak terlalu menghimpit. Inti dari perintah berqurban
adalah ketaatan dan ketundukan kepada perintah-perintah Tuhan, menyadari
keagungan-Nya, dan tumbuh berkembangnya komitmen sosial. Untuk membumikan
pemahaman itu perlu membangun kebudayaan kosmopolit yaitu, meminjam bahasa Cak
Nur, sebuah pola budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari,
budaya seluruh umat manusia. Representasi dari norma dan dogma Islam klasik
setidaknya mencontoh budaya material arsitektur masjid, yakni mengambil
berbagai unsur lokal, kontekstual, agar lebih meresap dan terpantul dalam refleksi
fungsional yang kongkret.
Urgensi
agenda baru universalisasi nilai dan peradaban Islam ini bertitik tolak dari
kebutuhan umat untuk mendialogkan peradabannya dengan berbagai budaya luar.
Tujuannya adalah agar masyarakat muslim tidak terus menjadi objek sejarah, tapi
bisa menjadi pelaku yang bermartabat dan berderajat. Pemaknaan qurban bertopang
pada unsur-unsur utama kemanusiaan dan berbagai keprihatinan keterbelakangan,
ketertindasan, dan meningkatnya individualitas akan membebaskan umat manusia dari
ketidakadilan struktur sosial-ekonomis dan kebiadaban rezim-rezim peradaban dan
politik yang zalim.
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar