BAJAJ
PAK UMAR
Suasana terminal Blok-M seperti biasanya, ramai
dan berdebu. Aku turun dengan tergesa karena metro mini yang kutumpangi sudah
mulai mengambil penumpang. Kardus besar yang kupegang membuatku agak susah
untuk berjalan di antara kerumunan orang. Kuputuskan untuk mencari bajaj.
Sebenarnya di masa krisis seperti ini, naik bajaj adalah kemewahan bagiku.
Namun tak apalah, daripada kardus yang berisi mainan edukatif bikinan istriku,
hancur tak berbentuk.
Terselip juga sedikit penyesalan di hatiku. Mengapa aku tak ikut kompromi papa
yang menawarkan aku mobil dan uang saku tam-bahan.
"Ryan, kau boleh pakai kijang yang ada di rumah, kalau kau mau.."
Tawar papa ketika aku bilang aku ingin mencoba hidup mandiri dengan Lisna
istriku. Aku menolak waktu itu, dengan alasan gajiku sebagai pegawai negeri tak
cukup untuk membeli bensin.
"Kalau uang bensin, kan papa bisa kasih.." Aku berterimakasih pada
papa atas perhatian dan niat untuk menolongku, tapi aku laki-laki. Masa
bermanja dan bergantung sekaligus menyusahkan orang tua sudah
"kenyang" aku nikmati semasa SMA. Kini, saat aku sudah beristri, dan
bekerja walaupun dengan penghasilan yang sekedarnya, aku tak mau lagi
merepotkan orang tua ku yang sudah mulai menua, walaupun mereka mampu untuk itu.
Lamunanku terhenti ketika aku sampai di jajaran bajaj yang menunggu penumpang
di antara warung-warung jajanan. Suara bising mesin bajaj yang akan berangkat,
tak menganggu beberapa supir bajaj yang sedang makan-makan di pinggiran selokan
besar. Aku tersenyum melihat keacuhan mereka, yang tampak tetap menikmati
makanan di sela-sela bau solar bajaj, selokan, debu, dan derum bis-bis kota.
Mungkin, itu salah satu cara mereka mensyukuri nikmat rizki yang Allah berikan
kepada mereka.
Ku hampiri bajaj terdepan, seorang sopir bajaj usia 60 an bergegas
menghampiriku. Dari jauh, penampilannya tak pantas sebagai supir bajaj, bersih
dan tampak berpendidikan. Ketika supir bajaj itu mendekat, aku terkesiap,
rasanya aku mengenali wajah supir bajaj yang telah memasuki bajaj tersebut..
"Mau ke arah mana dik..?"Tanyanya sambil menstater bajaj. Aku yang
sedang terbengong-bengong tersadarkan oleh pertanyaan itu, sekaligus
memastikan, siapa sosok di depanku. Supir bajaj di depanku ini adalah Pak Umar!
Guru agamaku di SMA dulu. Memang dia tak mengenaliku, karena itu adalah 11
tahun lalu. Tapi aku masih mengenalinya, karena ketika aku SMA aku banyak
berurusan dengan Pak Umar ini akibat kenakalanku dan kejagoanku berkelahi
dulu..
"Hmm....arah Cipulir Pak..." jawabku agak tergagap, karena aku masih
tak mempercayai penglihatanku. Apakah benar ini Pak Umar..? Aku mengangguk saja
ketika Pak Umar menyebutkan harga ongkos bajaj. Aku ingin bertanya, apakah
benar ini guruku ketika di SMA dulu. Tapi tenggorokan ku tercekat dengan
keragu-raguan. Siapa tahu bukan Pak Umar. Kalau benar Pak Umar, apakah baik
jika aku menyapanya di sini ? Jangan-jangan Pak Umar sendiri tak mau bertemu
dengan bekas muridnya dalam keadaan seperti ini, menjadi supir bajaj! Selama di
perjalanan aku asyik dengan pertarungan antara memastikan atau tidak, dan
ketika itu ku dengar pertanyaan:
" Pulang kerja, dik?" "Iya, Pak..." Mungkin ini
kesempatan buat bertanya ... " Sekarang ini penumpang bajaj menurun,
dik..."kata nya melanjutkan percakapan.
"Yah, namanya juga sedang masa krisis, ya Pak. Sebisa mungkin
menghemat.."jawabku sambil memperhatikan wajah di depanku dari kaca spion
bajaj yang berdebu. Aku tak ragu lagi sekarang, benar dia Pak Umar!
"Sudah lama, jadi sopir bajaj, Pak?" tanyaku mencoba mengorek untuk
mencari kepastian.
"Sudah dik, 18 tahunan.." Jawabnya. Senyumnya terlihat di kaca
spion.
"Tapi saya tak full narik bajaj. Biasanya hari Ahad saya full, tapi hari
biasa cuma bisa sore-sore seperti ini."
"Oh, begitu..?Jadi cuma sambilan, Pak?" tanyaku dengan suara setengah
berteriak untuk mengalahkan derum bajaj.
"Iya, dik...Pekerjaan utama saya guru di SMA, sekarang sih SMU,
ya..?"
Aku mendapat kepastian sekarang..Benar dia adalah Pak Umar. Jadi, Pak Umar
sudah belasan tahun menyambi mengajar sambil menarik bajaj? Kutelan ludahku,
teringat kenakalan-kenakalan ku dan kekurangajaran-kekurangan dalam bersikap
pada sosok yang mulai menua yang membelakangiku. Apakah aku harus bilang
kepadanya, bahwa aku adalah bekas muridnya, dan meminta maaf padanya atas segala
kelakuanku dulu. Ku urungkan niat tersebut, biarlah, mungkin Pak Umar akan
lebih enak bercerita tanpa tahu siapa yg diajak berbicara sekarang...
"Wah, sudah lama sekali ya, Pak? Mengapa supir bajaj yang dipilih, Pak?
Kenapa tak menyambi mengajar di sekolah swasta misalnya?"tanyaku penuh
rasa ingin tahu.
Pak Umar tertawa. "Kalau harus mengajar lagi di sekolah lain, tanggung
jawabnya berat, dik... Mengajar satu sekolah, dengan ratusan murid saja,
tanggung jawab terhadap Allahnya besar sekali. Jadi rasanya tak layak kalau
saya mengajar hanya semata-mata cari uang. Kasihan murid-murid, dapat perhatian
nya sebagai pengganti mencari uang. Kalau bajaj, kan tak harus memikirkan
perkembangan murid, dik. Jadi secara moral buat saya lebih ringan. Apalagi
dengan jadi supir bajaj, saya sering bertemu dengan murid-murid yang sudah
"jadi". Bahagia rasanya, kalau mereka masih ingat bahwa saya adalah
gurunya dulu. Tapi tahun depan ini saya pensiun,kok dik.. Mungkin jika masih
diberi kesempatan saya ingin megajar di sekolah swasta. Menjadi guru itu
menyenangkan dik, imbalannya banyak..Gaji dari sekolah dan gaji dari Allah
karena memanfaatkan ilmu yang tiada putus..." Urainya panjang. Aku
terpesona dengan uraian sederhananya. Aku tak tahu, bahwa sosok Pak Umar yang
dulu sering kusepelekan, ternyata mempunyai idealisme mulia sebagai seorang
guru. Adzan magrib dari corong menara mesjid dekat gang rumah
mengingatkanku.
"Tolong belok ke kanan, Pak.."
Bajaj berhenti di mulut gang rumahku. Kusodorkan uang 10000-an pada Pak Umar.
Wajah bersih itu terkejut, ketika kukatakan tak usah ada kembalinya.
"Wah, si adik ini. Kan adik juga masih perlu bukan? Apalagi jaman krismon
seperti sekarang..."tolaknya halus sambil menyodorkan uang kembalian. Ah,
Pak Umar, ini tak seberapa dibandingkan dengan nasehat-nasehat berharga bapak
ketika saya SMA dulu. Batinku dalam hati. Tapi aku tak memaksa, aku mengerti
arti penolakan Pak Umar.
"Bajaj bisa saya parkir di sini tidak ya,Dik..?" Tanyanya tiba-tiba.
"Sudah magrib, ingin shalat di Mesjid ini dulu.
Aku mengangguk. Kebetulan, aku pun ingin shalat Magrib sekalian.
Lepas berjamaah, tangan keriput di sampingku, mengusap mukanya. Wajahnya yang
bersih tersenyum kepadaku. "Mari Dik, saya pergi dulu.
Assalamualaikum!" Dia beranjak sambil menyalamiku. Aku mengangguk. Rasanya
sekarang sudah terlambat untuk mengaku bahwa aku adalah bekas muridnya
dahulu.
Tapi sebelum bajaj itu berlalu, aku bertanya padanya.
"Pak kalau boleh tahu nama bapak siapa..? Siapa tahu bisa jadi
langganan..?"
"Saya? Saya Umar dik. Tapi murid-murid sering meledek saya dengan sebutan
Umar Bakrie. Mungkin karena tokoh itu pas dengan nama saya,
ya..?"senyumnya. Lalu Pak Umar mengangkat tangan kirinya melambai
perlahan. Dan aku menatapi bajaj itu sampai sosoknya menghilang di kelokan
jalan.
Tiba di rumah, seperti biasa, Lisna dan dua orang anakku, Latifah dan Ahmad
menyambutku dengan ramai. Latifah, 4 tahun mencium tanganku lantas
menggandengnya dengan manja. Kardus besar ku letakkan perlahan di dekat kursi.
Dan ku sambut Ahmad anak laki-lakiku, 2 tahun, dalam gendongan.
"Ayo, Ifah, Ahmad, ayah lelah 'kan...Nanti saja mainnya setelah ayah
makan.."
Lisna melerai anak-anak yang bergelendotan manja padaku. Beginilah anak-anak
setiap aku pulang.Tapi bagiku mereka adalah pelipur lelah, penghibur di kala
aku susah dan sedih. Sambil makan kuceritakan satu-satu kejadian yang kualami
hari ini. Kuceritakan tentang permainan edukatif Lisna yang belum tuntas
kutawarkan pada toko-toko buku. Lisna mengangguk mengerti.
"Namanya juga usaha, Bang...Apalagi ini baru tahap pengenalan terhadap
pentingnya permainan yang mendidik buat anak-anak...Insya Allah, makin banyak
yang tertarik, jika orang tua diberi pengertian tentang tanggung jawab mereka
sebagai sekolah pertama..." Lisna terlihat optimis.
Ketika Lisna menyebutkan kata sekolah, aku langsung teringat pertemuanku yang
tak kusangka dengan Pak Umar tadi. Tanpa ada yang tersisa, kuceritakan semuanya
pada Lisna.
"Pak Umar yang sering Abang ceritakan itu..? Yang pernah Abang
"kerjain" dengan memasukkan lem ke tas kerjanya..?"
Aku mengangguk dengan segunung penyesalan. Keisenganku pada Pak Umar, hanya
dikarenakan dia adalah guru yang paling rajin menasihatiku ketika aku selesai
berkelahi dengan beberapa siswa SMA tetangga hanya karena masalah sepele.
"Maaf, Bang..Bukan bermaksud bikin Abang merasa bersalah.." Lisna
seperti memahami perasaanku. "Abang 'kan sudah berubah
sekarang.."
Aku mengangguk, aku mengerti maksud Lisna. Tapi ingatanku akan kenakalan dan
kekurangajaranku pada Pak Umar, tak mudah dilepaskan begitu saja. Kini ketika
hidayah Islam dilimpahkan Allah pada kehidupanku, ketika aku merasakan bahwa
Islam yang kupeluk sejak lahir ternyata memberiku kedamaian dan ketenangan jiwa
yang tak kurasakan dulu, membukakan mata hatiku. Betapa berharganya
nasihat-nasihat Pak Umar di ruangan bimbingan dulu. Betapa malunya aku karena
aku membayar nasihat-nasihat beliau dengan kekurang ajaran-kekurangajaranku.
Ketika aku habis "berkelahi" dari medan pertempuran dengan beberapa luka
di seluruh tubuh. Sementara guru-guru yang lain telah bosan berurusan dengan
ku, hanya Pak Umar yang rajin menemuiku sambil bertanya," Belum bosan kau
berkelahi, Ryan..?"
"Tak kasihan pada orangtuamu, apalagi ibumu, yang selalu menangis kawatir
melihat keadaanmu yang seperti ini setiap habis berkelahi..?"
"Tak kasihan pada orangtuamu, ayahmu, yang selalu harus menanggung
kerugian karena mobil yang dibeli dari hasil jerihpayahnya, hancur di medan
perkelahian..?"
"Tahukah, kau Ryan, bahwa banyak orang yang tak punya banyak rizki
sepertimu..? Muda, punya orangtua yang bisa mencukupi kebutuhanmu, Tanpa terasa
air mataku meleleh mengingat nasihat-nasihat Pak Umar. Apalagi, ketika hari ini
aku menyaksikan sisi lain dari kehidupan Pak Umar. Bahwa untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya dan anak-anaknya, dia harus menarik bajaj. Dan itu dilakukannya dengan
ikhlas, tanpa merasa rendah padahal dia adalah seorang guru yang pantas
dihormati. Sedangkan aku...? Dulu begitu mudahnya menghamburkan rizki yang
dikaruniakan Allah. Ya Allah... Aku tambah tergugu...
"Bang, Insya Allah kita masih punya waktu buat minta maaf kepada Pak Umar.
Lisna menggenggam tanganku sambil berkata pelan. Aku mengangguk.Walaupun sejak
lulus SMA, lalu menjadi mahasiswa, bertemu Islam kemudian bertekad untuk
berIslam seutuhnya aku selalu menghindari hal-hal yang mengingatkan ku pada
masa laluku. Tetapi jauh dilubuk hatiku pertemuan dengan Pak Umar selalu aku
harapkan. Ya, mungkin ini saatnya aku untuk minta maaf padanya, dan menunjukkan
pada Pak Umar bahwa semua nasihat-nasihatnya membekas dalam kehidupanku.
"Kita bisa ke SMA Abang dulu atau bertandang ke rumahnya..."
Rumahnya...? Aku baru menyadari bahwa aku tak tahu rumah Pak Umar sama
sekali... Akhirnya kutanamkan tekad, aku akan pergi ke bekas SMAku yang telah
belasan tahun tak kukunjungi, dan bertemu dengan Pak Umar, sebagai guru.
Meminta maaf padanya atas segala kenakalanku, dan bilang kepadanya bahwa
sekarang aku telah menjadi manusia yang sesungguhnya. Tentu Pak Umar akan
merasa bangga, Seperti yang beliau ungkapkan di bajaj sore tadi...
*****
Namun sayang, ternyata Allah belum memberiku kesempatan untuk menemui Pak Umar.
Kesibukanku di kantor, dan tugas proyek penelitianku ke Bandung, membuatku
sejenak melupakan janjiku untuk menemui Pak Umar.
Sampai kemudian di hari itu... Aku bergegas ke tempat mangkal bajaj.
Mudah-mudahan hari ini aku bisa bertemu Pak Umar, dan bilang padanya bahwa aku
adalah bekas muridnya dan meminta maaf kepadanya atas kekurangajaranku padanya
dulu. Karena jika bertandang ke SMAku dulu, aku kawatir aku tak bisa
menyisihkan waktu lagi.
Dengan agak berdebar-debar aku menghampiri deretan bajaj. Kuperhatikan di
antara supir-supir bajaj, tak ada sosok berwajah bersih di antara mereka.
Apakah Pak Umar sedang narik penumpang..? Dengan agak canggung aku ikut masuk
pada deretan supir-supir bajaj yang sedang duduk makan. Kupesan segelas es
kelapa muda, agar aku punya alasan untuk berlama-lama di situ. Satu jam
berlalu. Langit sebelah barat sudah mulai menjingga, sepertinya magrib tinggal
beberapa menit lagi. Tapi bajaj Pak Umar tak nampak juga.
Sebenarnya aku tak berharap akan mendapat jawaban yang pasti, ketika sedikit
iseng aku bertanya pada supir bajaj yang baru datang di sampingku.
"Bapak kenal Pak Umar yang katanya guru SMA tapi juga supir bajaj,
Pak..?" Supir bajaj itu menatapku,
"Adik bekas muridnya, ya..?" Aku mengangguk...
"Wah, dik, Pak Umar sudah meninggal 3 hari lalu. Karena bajajnya di tabrak
truk di persimpangan Jalan A......"
Aku tak mendengar kelanjutan omongannya. Hanya satu kata kunci yang kudengar.
Pak Umar telah meninggal dunia, ditabrak truk ! Innalillahi wa inna ilaihi
raajiun.
Langit sebelah barat atas makin menjingga. Langkahku terasa gamang. Pak Umar,
maafkan saya, Pak.... Penyesalanku membuncah karena aku tak cepat-cepat
menemuinya sekali lagi. Sepertinya Allah memberiku pelajaran sekarang, karena
aku tak memanfaatkan pertemuanku dengan Pak Umar semasa beliau hidup. Dadaku
terasa sakit, dan mataku terasa panas.
Kutengadahkan wajahku, agar air yang menggelantung di sudut mata tak terjatuh
di pipiku. Jingga di langit sebelah barat perlahan berganti gelap. Mungkin
sudah lewat magrib sekarang. Aku harus shalat magrib dan shalat ghaib untuk Pak
Umar sekarang. Selagi aku punya waktu luang, seperti nasihat Pak Umar sebelas
tahun lalu.
Selamat jalan, Pak Umar! Semoga Allah mengampuni segala kesalahanmu, dan
membalas segala kebaikan-kebaikanmu dengan yang terbaik. Dan jangan kawatir Pak
Umar, ilmumu, nasihatmu, terus mengalir hidup dalam diri murid-muridmu. dalam
diriku, dan semoga dia menjadi amal shalihmu. Dan menjadi gaji akhiratmu yang
tiada putus seperti yang engkau bilang padaku di bajaj dulu.
Blok-M, walaupun telah mulai gelap, tapi masih saja ramai...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar