SYAIKHONA
CHOLIL PUASA GULA
Syaikhona
KH. Cholil, Kyai masyhur dan alim dari Bangkalan Madura, kedatangan tamu
seorang bapak dari desa. Maksud kedatangan tamu tersebut adalah mengeluhkan
perihal anaknya yang suka makan gula.
"Anak saya tidak mau berhenti makan gula, Kyai.
Sudah tidak terhitung lagi saya menasehatinya agar mau berhenti makan
gula!" kata tamu itu mengeluhkan anaknya.
"Jajanan anak saya, jika tidak permen ya pasti gula,
Kyai," orang itu melanjutkan. "Tolong saya diberi sesuatu sebagai
obat agar anakku mau berhenti makan gula, Kyai! Saya takut ia akan penyakitan
karena kebanyakan makan gula!"
Demi mendengar keluhan tamunya itu, Kyai berpikir juga.
Keluhan tamunya itu tampaknya memang sepele, yaitu mencari cara untuk mengatasi
anaknya yang bandel, yang suka makan gula. Tampaknya Kyai menanggapinya dengan
serius.
"Bapak setiap hari hanya minum air?" tanya Kyai
tiba-tiba.
Sang tamu merasa terkejut ditanya demikian.
"Tidak Kyai! Kadang minum kopi, kadang minum
teh!"
"Pakai gula?"
"Tentu saja Kyai!" di hati Bapak itu terasa
geli juga mendengar pertanyaan Kyai Cholil. Kira-kira apa ya hubungannya?
Hening sejenak. Sesaat kemudian: "Begini, Bapak
pulang saja dulu, tiga hari lagi kesini bersama anak Bapak!"
Tanda tanya memenuhi benak sang bapak, ia berpikir kenapa
tidak diberi doa atau mungkin segelas air yang sudah dibacakan doa untuk
pengobatan anaknya? Begitu sulitkah bagi Kyai?
* * *
Tiga hari berlalu, orang dari desa itu datang lagi
menghadap Kyai Cholil bersama anaknya yang suka makan gula itu.
Setelah anaknya dihadapkan pada Kyai Cholil, bukannya
diberi do'a malah dinasehati.
"Nak, kamu jangan suka makan gula lagi ya?"
Nasehat Kyai pada anak itu seperti ketika menasehati cucunya sendiri.
"Iya Kyai!" jawab anak itu patuh. Terasa di
hati bocah itu seperti tengah disiram air pegunungan yang sejuk, menyegarkan.
Indah pula rasanya di hati.
Setelah itu Kyai tidak berbuat apa-apa lagi. Bahkan
bercengkerama dengan sang anak dengan menghujani pertanyaan-pertanyaan tentang
dunia anak. Lama-lama hati sang Bapak gundah juga. Ia berprasangka, sepertinya
Kyai Cholil tidak berusaha 'mengobati' anaknya.
"Sudah begitu saja Kyai?" tanya sang Bapak
kemudian.
"Iya Pak. Saya kira saya sudah menuruti kemauan
Bapak. Saya sudah menasehati anak Bapak agar tidak hobi makan gula lagi!"
Jawab Kyai.
Lagi-lagi jawaban Kyai membuat sang bapak itu makin
terheran-heran.
"Kyai, kenapa anak saya hanya diberi nasehat begitu
saja?" tanyanya. "Jika hanya nasehat, saya sendiri sebagai ayahnya
sudah tak terhitung lagi menasehatinya!"
"Itulah masalahnya!"
"Maksud Kyai?"
"Saya jelaskan ya Pak, kenapa sampeyan saya suruh
pulang dulu dan baru tiga hari kemudian saya minta kembali. Karena saya berdoa
dan berpuasa selama tiga hari itu dengan tidak makan gula, agar ketika
menasehati anakmu omongan saya bisa dipercaya!" jawab Kyai.
Rupanya jawaban Kyai yang terakhir bikin mulut orang itu
tercekat. Tak sepatah katapun yang bisa diucapkan lagi. Dia tidak habis pikir,
sampai seperti itu Kyai Cholil yang hendak menasehati anaknya? Harus dirinya
dulu yang menjalani nasehatnya dengan bersusah payah berdo'a, berpuasa selama
tiga hari sebelum disampaikan kepada si anak. Orang sekaliber Kyai Cholil saja,
yang terkenal dengan ilmu nahwu, fiqih dan tasawuf itu masih harus 'tirakat' untuk
sekedar berucap satu kalimat. Kedekatannya kepada Allah SWT sungguh luar biasa,
sehingga setiap langkahnya selalu bernuansa dzikrullah, ingat Allah.
Akhirnya tamu itu pulang dengan membawa cerita
keteladanan sang Kyai. Kenyataannya memang, sang anak langsung sembuh alias
tidak lagi suka makan gula.
Betapa cerita di atas mampu membuat kita tersenyum juga
mendapatkan sebuah hikmah. Seperti yang telah difirmankan Allah di dalam surat
Al Baqarah ayat 44, yaitu:
"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat).
Maka tidakkah kamu berpikir?"
Bagaimana mungkin kita bisa melarang anak kita untuk
tidak berbohong sementara kita sendiri masih suka bohong?
Bagaimana mungkin kita bisa melarang anak kita untuk
tidak tidur larut malam sementara kita sebagai orang tua juga suka begadang?
Maka, *sebelum kita menasehati anak, nasehatilah diri
kita sendiri terlebih dahulu.* Karena anak adalah cerminan dari orang tuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar