InspirasI

Kamis, 21 September 2017

Didiklah Anak Laki-laki dengan Cara Laki-laki

          Sebuah kisah saya memang tidak punya anak laki-laki, tetapi suatu saat nanti saya akan memilih tiga anak laki-laki untuk tiga anak perempuan saya. Maka, saya merasa relevan menuliskan tentang ini.
        Beberapa hari lalu, saya bertelepon dengan kolega yang belum bisa memenuhi kesepakatan dengan saya terkait tenggat pekerjaan. Nilai pekerjaannya cukup membuat pening kepala. Dia mengatakan bahwa sedang pusing dengan permintaan anak laki-lakinya. Anak laki-lakinya minta sebuah mobil untuk pergi-pulang kuliah di sebuah universitas swasta, istrinya pun yang sholihah tersebut (sholihah = rajin ngaji, rajin datang pengajian, jilbab syar’i dll) merengek-rengek hal yang sama: sebuah mobil untuk anak laki-lakinya.
Apakah salah memberikan mobil untuk berangkat pergi-pulang kuliah? Ini subyektif. Tetapi menurut saya, anak kuliahan tidak perlu pulang-pergi naik mobil. Bayar wc saja masih minta orang-tua, apalagi beli bensin, dan service mobil di bengkel?
         Jadi ingat bapak almarhum yang menolak mentah-mentah mengajari saya setir mobil saat saya SMA (padahal ada 2 mobil di garasi rumah). “Kamu masih punya keringet, sana naik bus!” “Nanti saja kalau kamu sudah bisa beli mobil sendiri, baru belajar setir mobil”
         Saya geram. Teringat anak perempuan saya yang naik kereta Bekasi-Depok tiga ribu rupiah sekali jalan, dan berpanas-panas naik motor atau angkot dari kost ke kampusnya. Dia bahkan menolak sewa mobil online atau saya antar jika saya menawarkan. “Sayang uangnya, kasihan umi harus antar aku”
Ini, anak laki-laki bikin pening kepala bapaknya karena minta mobil! Dan bapaknya menggunakannya sebagai alasan mangkir pekerjaan, mangkir dari amanatnya dengan saya, sebagai koleganya.
        Dalam Al-Qur’an sih jelas: Ar-rijaalu qowamuna ala nisaa’, suami itu pemimpin para istri. Rupanya menjadi laki-laki yang baik, laki-laki yang mengerti makna kepemimpinan memang tidak mudah, mungkin masih lebih mudah meraih gelar Ph.D dibidang fisika nuklir, sejarah, pebisnis atau pemimpin politik. Ternyata menjadi anak laki-laki yang patut, ayah yang terhormat, tetangga yang proporsional atau teman bisnis yang layak bukanlah hal yang mudah. Padahal, justru itu yang paling mendasar.
Mendididik anak laki-laki dengan cara laki-laki
1. Biasakan anak-anak terutama anak laki-laki menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah
Menjadi bagian dari solusi adalah tugas akhir sebagai manusia. Sumbangsih dalam kehidupan adalah kita menjadi manusia yang berguna minimal bagi diri sendiri (tidak menjadi beban orang-lain) dan paripurna ketika ia menjadi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. “Khairukum, anfauhum lin naasi” sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Jika tidak bisa menjadi solusi, paling tidak menjauhlah dari menjadi masalah bagi orang lain.
2. Biasakan mengerti kesulitan orang-tua dan memberikan pendapat
Apakah Anda termasuk orang-tua yang superhero? Yang menjadi solusi bagi semua problematika anak-anak Anda? Percayalah, Anda tidak sedang memberi contoh bagaimana menjadi super-hero, Anda sedang menjerumuskan anak Anda, pada kehancuran sehancur-hancurnya. Anak anda akan tumbuh menjadi pribadi lemah yang senantiasa ingin masalahnya dibantu diselesaikan orang lain, Anak Anda akan tumbuh menjadi pribadi yang suka melempar kesalahannya pada orang lain.
Apakah Anda adalah orang-tua yang tidak pernah menceritakan kesulitan Anda pada anak Anda? Karena menganggap hidup mereka harus lebih mudah daripada hidup Anda? Percayalah Anda sedang menciptakan pribadi pemalas yang tipis empati dan tidak biasa bekerja keras.
Saya pernah menunjukkan saldo atm saya pada anak-anak, ketika pada suatu saat saya benar-benar tidak ada: Rp 36 rupiah. Anak-anak langsung berkata, “Maaf ya Mi, lagi broke ya?” Saya menjawab “iya” sambil tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk. Lalu dalam beberapa bulan itu, mereka mengeluarkan tabungannya dan membeli sendiri keperluannya.
3. Biasakan menghadapi masalah
Cuma masalah yang akan membuat kita menjadi pemecah masalah. Bagaimana kita bisa menjadi pemecah masalah. Jika mengetahui bahwa ada masalah atau tidak saja kita tidak tahu? Anak laki-laki yang meminta mobil itu tidak bisa mengenali ekspresi ayahnya (dari wajahnya, gesturenya dll) bahwa orang-tuanya sedang tidak punya uang. Akan tumbuh menjadi pribadi seperti apa dia nantinya?
4. Biasakan melindungi yang lemah
Kepimimpinan adalah masalah perlindungan. Jika tidak bangga melindungi yang lemah, bagaimana bisa menjadi pemimpin yang baik? Keqawaman bukan hanya masalah finansial (yang kuantitatif: banyak dan berlimpah) tetapi masalah proporsi untuk perlindungan. Mendidik anak laki-laki adalah mendidik bashirah dan nalurinya untuk melindungi yang lemah. Ayah yang baik, mengerti bagaimana cara menumbuhkannya, yakni terbiasa mendahulukan orang-orang yang lemah. Maka ia akan tumbuh kuat.
5. Biasakan mendahulukan orang lain daripada diri sendiri
Qawam bukan masalah pendapatan berlimpah, tetapi seberapa proporsi dia berikan untuk orang lain daripada dirinya sendiri. Betapa banyak ayah-ayah di dunia ini, mendahulukan anak-anak dan istrinya daripada dirinya, meski pendapatannya sedikit. Ayah yang ingin membelikan mobil bagi anak laki-lakinya bukannya mendahulukan orang lain? Bukan, ia sedang memberikan racun pada anaknya, karena barang mewah harusnya diperoleh dengan kerja keras dan kemandirian.
6. Biasakan merasa gagah dengan kesulitan yang dihadapi
Kegagahan laki-laki adalah ketika ia bisa tegar menghadapi kesulitan. Harga dirinya ditentukan sejauhmana ia bisa menghadapi dan mengatasi kesulitannya. Jika tidak dihadapkan pada kesulitan, manusia tidak akan tumbuh berkembang dengan baik. Maka manusia-manusia paripurna selalu mengalami kesulitan pada masa kecilnya, Nabi Isa lahir dari Ibu tanpa ayah, Muhammad lahir yatim dan piatu pada usia 6 tahun. Mereka yang melewati fase kehidupan yang sulit, akan menjadi pribadi yang gagah.
7. Biasakan mengenali emosi dirinya dan bagaimana mengelolanya dengan baik
Mengenali emosi umumnya diserahkan pada perempuan, tetapi saya melihat manusia pari-purna seperti Nabi Isa, Nabi Muhammad dan hampir semua para Nabi. Mengerti hal ini luar-dalam. Mengenali emosi diri sendiri akan memantul menjadi ketrampilan mengenali emosi sesama. Betapa romantisnya Muhammad ketika mengajarkan dzikir pada Fatimah putrinya saat menghadapi kemiskinan Ali suaminya. Laki-laki yang sibuk berperang daripada berbisnis untuk memberi nafkah istrinya.
Bagaimana anak laki-laki yang belum bisa cari nafkah sendiri meminta mobil pada ayahnya? Mungkin kelak, ia tidak sibuk apa-apa kecuali minta dilayani terus-menerus. Tidak sibuk mencari nafkah, apalagi sibuk berperang. 
Ya, Allah jauhkanlah dari hal yang demikian.
Wallahu alam

Tidak ada komentar: