InspirasI

Jumat, 01 September 2017

KEHANGATAN CINTA KELUARGA IBRAHIM AS

Nabi Ibrahim As bersama istrinya, Siti Hajar, dan anaknya Ismail, juga Siti Sarah dan anaknya Ishaq, adalah contoh keluarga yang berhasil membangun kehidupan atas dasar keyakinan kepada Allah SWT.
Mereka juga dapat membangun idealisme dan cita-cita yang sangat tinggi disertai dengan pengorbanan yang tanpa mengenal pamrih, kecuali hanya mengharap ridha Allah SWT.
Ibrahim dan isterinya saling menjaga dan saling memelihara dalam ketaatan kepada Allah SWT.  Nabi Ibrahim sebagai suami dan ayah, sangat tekun menjalankan perintah Allah, berjalan ke berbagai pelosok negeri untuk menyebarkan risalah Allah SWT.
Siti Hajar, sang istri, dengan ikhlas mendukung kegiatan ini sekaligus memberikan dorongan dan doa agar suaminya mendapatkan keberkahan Allah SWT.
“Dan Ibrahim berkata, "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (Ash Shaaffaat : 99).
Keluarga Ibrahim As memberikan teladan kepada kita tentang kelembutan dan kehangatan dalam interaksi dalam keluarga.
Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim memanggil putranya dengan sebutan lembut, “Ya bunayya”. Ia tidak memanggil dengan ungkapan “Ya Ismail”.
Maka anaknya pun membalas dengan panggilan yang juga sangat lembut “Ya Abati”, bukan semata-mata “Ya Abi”.
Ini adalah keteladanan yang besar dalam dunia kita sekarang, dimana telah banyak terjadi keretakan dan kehancuran keluarga.
Nabi Ibrahim As juga membiasakan keterbukaan dan musyawarah dalam keluarga sehingga timbul pemahaman dan pengertian yang baik.
Sebagai contoh, ketika bermimpi untuk menyembelih anaknya --yang diyakininya sebagai perintah Allah SWT--- Nabi Ibrahim dalam implementasinya tetap berdialog dan berkomunikasi dengan anaknya. Lalu, keduanya melaksanakan ketentuan Allah SWT ini dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu.
Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (Ash Shaaffaat : 102).
Luar biasa kehangatan cinta dan kasih sayang dalam keluarga Nabi Ibrahim, sebagai teladan untuk kita semua.
Sebagai Nabi, mudah saja bagi Ibrahim As untuk mengatakan, “Aku diperintahkan oleh Allah untuk menyembelihmu, dan aku akan mentaati perintah Tuhanku”. Dengan bahasa perintah seperti itu, pasti Ismail akan taat dan patuh.
Namun, subhanallah, bukan itu bahasa yang beliau pilih. Ibrahim mengajarkan kepada kita pentingnya sikap qana’ah, sikap penerimaan yang tulus dalam melaksanakan perintah. Bukan sebuah keterpaksaan.
Maka, lihatlah betapa indah bahasa yang dipilih Ibrahim as untuk disampaikan kepada ananda tercinta, Ismail, "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu...” 
Beliau hanya menyebut perintah Allah sebagai mimpi. Ibrahim tidak mengatakan penyembelihan Ismail sebagai sebuah perintah yang wajib dilaksanakan.
Kalimat musyawarah muncul dalam ungkapan Ibrahim as, “maka pikirkanlah apa pendapatmu....."
Sungguh, beliau bisa saja mengatakan, “Engkau harus taat dan tidak boleh membantah. Ini perintah Allah !” 
Beliau membahasakan perintah Allah dengan bahasa istisyarah (meminta pendapat), agar penerimaan Isma’il bisa lebih sempurna, bukan semata-mata karena melaksanakan kewajiban.
Dengan bentuk musyawarah seperti itu, lebih tampak kualitas kepribadian Ismail yang luar biasa. Ia sangat yakin, bahwa bapaknya adalah Nabi yang selalu berada dalam bimbingan Allah.
Ismail tidak menyangsikan perkataan dan perbuatan bapaknya, karena selama ini ia mengetahui bahwa bapaknya sangat mentaati Allah. Dengan mudah Ismail memahami bahwa apa yang disebut sebagai mimpi oleh Ibrahim as, sesungguhnya adalah sebuah perintah dari Allah.
Nabi Ibrahim juga mengajarkan kepada kita pemilihan bahasa dan kehalusan perasaan. Ibrahim berbicara dengan bahasa hati yang tulus, maka langsung menyambung pula dengan hati Ismail yang halus. Mereka tidak perlu berdebat dan adu argumen. Mereka berbicara dengan kehalusan budi.
Lihatlah, betapa luar biasa jawaban Ismail :
"Hai  Ayahanda,  kerjakanlah  apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang shabar" (Ash Shaffat: 102).
Inilah  perbincangan antara dua orang yang saling  mengasihi dalam mencintai Allah melebihi segala-galanya.
Ungkapan mimpi yang disebutkan Ibrahim, dijawab Ismail dengan, "Hai  Ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu...” Sangat peka hati Ismail, bahwa mimpi bapaknya bukanlah takhayul, namun sebuah perintah Allah.
Keduanya mampu menggunakan bahasa yang santun, bahasa yang halus dan lembut. Itu semua muncul karena kehalusan perasaan Ibrahim dan Ismail, yang telah ditempa dalam keimanan kepada Allah.
"Tatkala  keduanya telah berserah diri dan  Ibrahim  membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah keshabaran keduanya)"  (Ash Shaffat: 103).
Tentu saja, Allah tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan keduanya. Ketaatan Ibrahim terhadap perintah Allah untuk menyembelih anak tercinta, membuahkan syariat kurban yang kita laksanakan hingga sekarang.
"Dan  Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan  yang  besar" (Ash Shaffat: 107).

Tidak ada komentar: