KEHANGATAN CINTA KELUARGA
IBRAHIM AS
Nabi Ibrahim
As bersama istrinya, Siti Hajar, dan anaknya Ismail, juga Siti Sarah dan
anaknya Ishaq, adalah contoh keluarga yang berhasil membangun kehidupan atas
dasar keyakinan kepada Allah SWT.
Mereka juga
dapat membangun idealisme dan cita-cita yang sangat tinggi disertai dengan
pengorbanan yang tanpa mengenal pamrih, kecuali hanya mengharap ridha Allah
SWT.
Ibrahim dan
isterinya saling menjaga dan saling memelihara dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Nabi Ibrahim sebagai suami dan ayah, sangat tekun menjalankan perintah Allah,
berjalan ke berbagai pelosok negeri untuk menyebarkan risalah Allah SWT.
Siti Hajar,
sang istri, dengan ikhlas mendukung kegiatan ini sekaligus memberikan dorongan
dan doa agar suaminya mendapatkan keberkahan Allah SWT.
“Dan Ibrahim
berkata, "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan
memberi petunjuk kepadaku” (Ash Shaaffaat : 99).
Keluarga
Ibrahim As memberikan teladan kepada kita tentang kelembutan dan kehangatan
dalam interaksi dalam keluarga.
Lihatlah
bagaimana Nabi Ibrahim memanggil putranya dengan sebutan lembut, “Ya bunayya”.
Ia tidak memanggil dengan ungkapan “Ya Ismail”.
Maka anaknya
pun membalas dengan panggilan yang juga sangat lembut “Ya Abati”, bukan
semata-mata “Ya Abi”.
Ini adalah
keteladanan yang besar dalam dunia kita sekarang, dimana telah banyak terjadi
keretakan dan kehancuran keluarga.
Nabi Ibrahim
As juga membiasakan keterbukaan dan musyawarah dalam keluarga sehingga timbul
pemahaman dan pengertian yang baik.
Sebagai
contoh, ketika bermimpi untuk menyembelih anaknya --yang diyakininya sebagai
perintah Allah SWT--- Nabi Ibrahim dalam implementasinya tetap berdialog dan
berkomunikasi dengan anaknya. Lalu, keduanya melaksanakan ketentuan Allah SWT
ini dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
“Maka tatkala
anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu.
Ia menjawab:
Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (Ash Shaaffaat : 102).
Luar biasa
kehangatan cinta dan kasih sayang dalam keluarga Nabi Ibrahim, sebagai teladan
untuk kita semua.
Sebagai Nabi,
mudah saja bagi Ibrahim As untuk mengatakan, “Aku diperintahkan oleh Allah
untuk menyembelihmu, dan aku akan mentaati perintah Tuhanku”. Dengan bahasa
perintah seperti itu, pasti Ismail akan taat dan patuh.
Namun,
subhanallah, bukan itu bahasa yang beliau pilih. Ibrahim mengajarkan kepada
kita pentingnya sikap qana’ah, sikap penerimaan yang tulus dalam melaksanakan
perintah. Bukan sebuah keterpaksaan.
Maka, lihatlah
betapa indah bahasa yang dipilih Ibrahim as untuk disampaikan kepada ananda
tercinta, Ismail, "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu...”
Beliau hanya
menyebut perintah Allah sebagai mimpi. Ibrahim tidak mengatakan penyembelihan
Ismail sebagai sebuah perintah yang wajib dilaksanakan.
Kalimat
musyawarah muncul dalam ungkapan Ibrahim as, “maka pikirkanlah apa
pendapatmu....."
Sungguh,
beliau bisa saja mengatakan, “Engkau harus taat dan tidak boleh membantah. Ini
perintah Allah !”
Beliau
membahasakan perintah Allah dengan bahasa istisyarah (meminta pendapat), agar
penerimaan Isma’il bisa lebih sempurna, bukan semata-mata karena melaksanakan
kewajiban.
Dengan bentuk
musyawarah seperti itu, lebih tampak kualitas kepribadian Ismail yang luar
biasa. Ia sangat yakin, bahwa bapaknya adalah Nabi yang selalu berada dalam
bimbingan Allah.
Ismail tidak
menyangsikan perkataan dan perbuatan bapaknya, karena selama ini ia mengetahui
bahwa bapaknya sangat mentaati Allah. Dengan mudah Ismail memahami bahwa apa
yang disebut sebagai mimpi oleh Ibrahim as, sesungguhnya adalah sebuah perintah
dari Allah.
Nabi Ibrahim
juga mengajarkan kepada kita pemilihan bahasa dan kehalusan perasaan. Ibrahim
berbicara dengan bahasa hati yang tulus, maka langsung menyambung pula dengan
hati Ismail yang halus. Mereka tidak perlu berdebat dan adu argumen. Mereka
berbicara dengan kehalusan budi.
Lihatlah,
betapa luar biasa jawaban Ismail :
"Hai
Ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang shabar" (Ash Shaffat:
102).
Inilah
perbincangan antara dua orang yang saling mengasihi dalam mencintai Allah
melebihi segala-galanya.
Ungkapan mimpi
yang disebutkan Ibrahim, dijawab Ismail dengan, "Hai Ayahanda,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu...” Sangat peka hati Ismail, bahwa
mimpi bapaknya bukanlah takhayul, namun sebuah perintah Allah.
Keduanya mampu
menggunakan bahasa yang santun, bahasa yang halus dan lembut. Itu semua muncul
karena kehalusan perasaan Ibrahim dan Ismail, yang telah ditempa dalam keimanan
kepada Allah.
"Tatkala
keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah keshabaran keduanya)" (Ash Shaffat: 103).
Tentu saja,
Allah tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan keduanya. Ketaatan Ibrahim terhadap
perintah Allah untuk menyembelih anak tercinta, membuahkan syariat kurban yang
kita laksanakan hingga sekarang.
"Dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar" (Ash
Shaffat: 107).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar