ISLAM, KOMUNIS DAN
PANCASILA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Oleh: Dr. Adian Husaini
Sejarah perjalanan kehidupan bernegara di
Indonesia mencatat satu babak tentang perebutan memaknai Pancasila antar
berbagai kelompok ideologi di Indonesia. Pergulatan pemikiran itu secara
intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante, dimana kekuatan Islam dan
sekulerisme kembali terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia.
Kekuatan komunis pernah menggunakan Pancasila untuk memuluskan penerapan
ideologi komunisme di Indonesia.
Mantan Wakil Kepala BIN, As'ad Said Ali, menulis
dalam bukunya, Negara Pancasila, (hlm. 170-171), bahwa munculnya semangat para
tokoh Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dalam Majelis
Konstituante, antara lain juga didorong oleh masuknya kekuatan komunis (melalui
Partai Komunis Indonesia/PKI) ke dalam blok pendukung Pancasila.
"Kalangan
Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh
kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi
religiusitasnya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena adanya peluang
perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis
Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif," tulis As'ad
dalam bukunya tersebut.
Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal
13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan
dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila
untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologi komunisme. Ketika itu PKI
bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi "kebebasan
beragama". Termasuk dalam cakupan "kebebasan beragama" adalah
"kebebasan untuk tidak beragama."
Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung RI
1945-1946 dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1950). Ia juga
dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah. Dalam Sidang Konstituante itu mengingatkan:
"Saudara ketua, sama-sama tokh kita mengetahui bahwa soko guru dari
Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui
bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang
tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua,
sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umum nya dan pada dasarnya
justru anti Tuhan dan anti-Agama!." (Lihat buku Hidup Itu Berjuang, Kasman
Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 480-481).
Masuknya kaum komunis ke dalam blok pembela
Pancasila kemudian dipandang oleh kubu Islam sebagai upaya membelokkan
Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, pada 20
Mei 1957, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Ir. Sakirman mendukung pandangan
Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa "Rakyat Indonesia terdiri dari
berbagai-bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan
masing-masing bersifat universal."
Karena itu Sakirman menyeru kepada golongan
Islam: "Betapa pun universal, praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena
Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan,
yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang
dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) suatu "grootste gemene
deler" yang mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua, akan
tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal dari pada Islam."
Dalam Sidang
Konstituante tanggal 2 Desember 1957, Kasman mengkritik ucapan Nyoto dari PKI
pada Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan: "Pancasila itu
bersegi banyak dan berpihak ke mana-mana." Kasman berkomentar: "Itu
artinya, dan menurut kehendak dan tafsiran PKI, bahwa Pancasila itu dapat dan
boleh saja bersegi ateis dan politeis, pun dapat/ boleh saja berpihak ke
syaitan dan neraka." Begitulah sikap para tokoh Islam dalam sidang
Konstituante yang memang merupakan forum untuk merumuskan dasar negara yang
baru. Tapi, ketika forum itu di bubarkan dan dikeluarkan Dekrit pada 5 Juli
1959, Kasman dan para tokoh Islam lain nya, menerimanya karena telah sah secara
konstitusional. (Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm.
536-540).
Dalam bukunya, Renungan dari Tahanan, Kasman
menulis: "… seluruh rakyat Indonesia, termasuk seluruh umat Islam yang
meliputi mayoritas mutlak dari rakyat Indonesia itu kini harus mengindahkan
Dekrit Presiden itu sepenuh-penuhnya." (Lihat, Kasman Singodimedjo,
Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Tintamas, 1967), hlm. 34).
Memang, Ir. Sakirman pernah berpidato dalam
Majlis Kontituante dengan menyebutkan adanya rumusan sila kelima yang diajukan
Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang berbeda dengan rumusan risalah sidang BPUPK,
yaitu (5) "Ke-Tuhanan yang berkebudayaan atau Ke-Tuhanan yang berbudi
luhur atau Ke-Tuhanan yang hormat menghormati satu sama lain." Sakirman
juga mengakui, bahwa PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa
diganti dengan sila "Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup."
(Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar
Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien
Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008), hlm. 275.
Fakta
komunisme
Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan usaha untuk menyatukan kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian mencatat, upaya penyatuan antara kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis, di bawah payung Pancasila mengalami kegagalan.
Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan usaha untuk menyatukan kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian mencatat, upaya penyatuan antara kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis, di bawah payung Pancasila mengalami kegagalan.
Golongan Islam
melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam Muktamar Ulama
se-Indonesia tanggal 8- 11 September 1957 di Palembang, para ulama memutuskan:
(1) Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam
menganutnya, (2)
Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran
Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, maka kafirlah dia dan tiada sah
menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram hukumnya
jenazahnya diselenggarakan secara Islam, (3) Bagi orang yang memasuki
organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda Rakyat dll;
tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam
menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut, (4) Walaupun
Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat
Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme, (5)
Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi
subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia, (6) Mendesak
kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel
organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia. (Lihat buku Muktamar Ulama
se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H.
Husin Abdul Mu'in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia,
1957).
Dalam
sambutannya untuk Muktamar tersebut, mantan wakil Presiden RI Mohammad Hatta
mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan Komunisme di Indonesia,
terutama dihasilkan melalui kerja keras mereka dan kondisi kemiskinan rakyat.
"Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis
mengembangkan ideologi yang belum di mengerti oleh rakyat, melainkan dengan
kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan
tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang miskin… Apabila kaum Ulama kita tidak
menilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran yang tepat, Muktamar tidak
akan dapat menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan Atheisme," kata
Hatta dalam sambutannya. Hatta mengajak agar Ulama berusaha menegakkan keadilan
Islam. Kata Hatta lagi, "Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka
dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia.
Apabila
berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh
Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan
Ilahi. Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera."
Perjuangan melawan komunisme, dalam sejarah
perjuangan umat Islam, bisa dikatakan sudah mendarah daging di berbagai penjuru
dunia. Sebab, kekejaman komunisme di berbagai belahan dunia sudah terbukti. Di
Indonesia, salah seorang sastrawan terkemuka yang aktif melawan komunisme,
sejak zaman Orde Lama sampai zaman kini adalah Taufik Ismail. Berbagai buku
yang menjelaskan bahaya dan kegagalan komunisme ditulis oleh Taufik Ismail,
termasuk buku-buku saku yang disebarluaskan secara gratis kepada masyarakat
luas.
Taufiq mengaku
risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum
komunis. Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit
Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik
Infinitum, 2007), Taufiq menyajikan data yang menarik: Komunisme adalah
ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam
mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta manusia,
dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per
jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75
tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata: "Bila waktu
kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita."
Vladimir Ilich
Ullyanov Lenin (1870- 1924) juga menyatakan: "Saya suka mendengarkan musik
yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah
tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah." Satu
lagi tulisannya: "Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang
tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan
di atas mayat 30 juta orang."
Lenin bukan
menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta
bangsanya sendiri. Dilanjut kan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta
orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5
juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987).
Buku saku lain tentang komunis me yang ditulis oleh Taufiq Ismail adalah
Komunisme=Narkoba dan Komunis Bakubunuh Komunis, serta Karl Marx, Tukang Ramal
Sial yang Gagal (Jakarta: Infinitum, 2007).
Sepatutnya,
bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah. Ketika agama dibuang; Tuhan
disingkirkan, jadilah manusia laksana binatang. Anehnya, kini ada yang mulai
berkampanye tentang perlunya "kebebasan beragama" harus mencakup juga
"kebebasan untuk tidak beragama". Dalam kondisi seperti ini, Islam
dan kekuatan anti-komunisme lainnya, diharapkan memainkan perannya yang
signifikan. Jangan sampai elite-elite muslim lupa diri; sibuk memikirkan kepentingan
diri dan kelompoknya; sibuk saling caci; tanpa sadar komunisme dalam kemasan
baru semakin mendapat simpati masyarakat. Na'udzubillahi min dzalika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar