SEMANGAT BERQURBAN
Siapapun yang
Belum Berniat Qurban Bisa Menangis Membaca Kisah Ini"
Kisah ini
dituturkan oleh seorang penjual hewan qurban. Ia tak sanggup menahan tangis
saat mengetahui siapa sebenarnya orang yang membeli seekor kambing darinya di
hari itu. Ketika Anda membaca kisah ini dengan hati, Anda pun dijamin tak kuasa
menahan air mata.
Idul adha kian
dekat. Kian banyak orang yang mengunjungi stan hewan qurbanku. Sebagian hanya
melihat-lihat, sebagian lagi menawar dan alhamdulillah tidak sedikit yang
akhirnya membeli. Aku menyukai bisnis ini, membantu orang mendapatkan hewan
qurban dan Allah memberiku rezeki halal dari keuntungan penjualan.
Suatu hari,
datanglah seorang ibu ke stanku. Ia mengenakan baju yang sangat sederhana,
kalau tidak boleh dibilang agak kumal. Dalam hati aku menyangka ibu ini hanya
akan melihat-lihat saja. Aku mengira ia bukanlah tipe orang yang mampu
berqurban. Meski begitu, sebagai pedagang yang baik aku harus tetap
melayaninya.
“Silahkan Bu, ada yang bisa saya bantu?” sapaku seramah mungkin
“Kalau kambing itu harganya berapa, Pak?” tanyanya sambil menunjuk seekor kambing yang paling murah.
“Silahkan Bu, ada yang bisa saya bantu?” sapaku seramah mungkin
“Kalau kambing itu harganya berapa, Pak?” tanyanya sambil menunjuk seekor kambing yang paling murah.
“Itu 700 ribu
Bu,” tentu saja harga itu bukan tahun ini. Kisah ini terjadi beberapa tahun
yang lalu. “Harga pasnya berapa?”
Wah, ternyata ibu itu nawar juga. “Bolehlah 600 ribu, Bu. Itu untungnya sangat tipis. Buat ibu, bolehlah kalau ibu mau”
Wah, ternyata ibu itu nawar juga. “Bolehlah 600 ribu, Bu. Itu untungnya sangat tipis. Buat ibu, bolehlah kalau ibu mau”
“Tapi, uang
saya Cuma 500 ribu, Pak. Boleh?” kata ibu itu dengan penuh harap. Keyakinanku
mulai berubah. Ibu ini benar-benar serius mau berqurban. Mungkin hanya
tampilannya saja yang sederhana tapi sejatinya ia bukanlah orang miskin.
Nyatanya ia mampu berqurban.
“Baik lah, Bu.
Meskipun tidak mendapat untung, semoga ini barakah,” jawabku setelah agak lama
berpikir. Bagaimana tidak, 500 ribu itu berarti sama dengan harga beli. Tapi
melihat ibu itu, aku tidak tega menolaknya.
Aku pun
kemudian mengantar kambing itu ke rumahnya. “Astaghfirullah… Allaahu akbar…”
Aku terperanjat. Rumah ibu ini tak lebih dari sebuah gubuk berlantai tanah.
Ukurannya kecil, dan di dalamnya tidak ada perabot mewah. Bahkan kursi, meja,
barang-barang elektronik, dan kasur pun tak ada. Hanya ada dipan beralas tikar
yang kini terbaring seorang nenek di atasnya. Rupanya nenek itu adalah ibu dari
wanita yang membeli kambing tadi. Mereka tinggal bertiga dengan seorang anak
kecil yang tak lain adalah cucu nenek tersebut.
“Emak, lihat
apa yang Sumi bawa” kata ibu yang ternyata bernama Sumi itu. Yang dipanggil
Emak kemudian menolehkan kepalanya, “Sumi bawa kambing Mak. Alhamdulillah, kita
bisa berqurban”
Tubuh yang
renta itu duduk sambil menengadahkan tangan. “Alhamdulillah… akhirnya
kesampaian juga Emak berqurban. Terima kasih ya Allah…”
“Ini uangnya
Pak. Maaf ya kalau saya nawarnya terlalu murah, karena saya hanya tukang cuci
di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk membeli kambing buat
qurban atas nama Emak….” kata Bu Sumi.
Kaki ini
bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa dalam
hati, “Ya Allah… Ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang
pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan imannya begitu
luar biasa”.
“Pak, ini ongkos
kendaraannya…”, panggil ibu itu.
“Sudah bu, biar ongkos kendaraannya saya yang bayar”, jawabku sambil cepat-cepat berpamitan, sebelum Bu Sumi tahu kalau mata ini sudah basah karena karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya.
“Sudah bu, biar ongkos kendaraannya saya yang bayar”, jawabku sambil cepat-cepat berpamitan, sebelum Bu Sumi tahu kalau mata ini sudah basah karena karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya.
Untuk menjadi
mulia, ternyata tak harus menunggu kaya. Untuk mampu berqurban, ternyata yang
dibutuhkan adalah kesungguhan. Kita jauh lebih kaya dari Bu Sumi. Rumah kita
bukan gubuk, lantainya keramik. Ada kursi, ada meja, ada perabot hingga TV di
rumah kita. Ada kendaraan. Bahkan, HP kita lebih mahal dari harga kambing
qurban. Tapi… sudah sungguh-sungguhkah kita mempersiapkan qurban? Masih ada
waktu sekitar satu bulan.
Jika kita
sebenarnya mampu berqurban, tapi tak mau berqurban, hendaklah kita malu kepada
Allah ketika Dia membandingkan kesungguhan kita dengan Bu Sumi.
Siapapun yang
Belum Berniat Qurban Sebaiknya Membaca Kisah Ini.
Repost by :
Rumah Tahfizh Ats Tsaani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar