DARI
JI'RANAH KITA BELAJAR MENGELOLA KECEWA
Oleh. Ustadz. Dwi Budiyanto
Di Ji’ranah hari itu ada
kecewa. Ada kebijakan Rasulullah yang tak dipahami. Ada keputusan yang
disalahmengerti. Sangat manusiawi kelihatannya. Orang-orang Anshar merasa
disisihkan selepas perang Hunain yang menggemparkan.
Mereka telah berjuang total.
Mereka berperang di sisi Rasul dengan penuh kecintaan. Tapi, harta rampasan
perang lebih banyak dibagikan pada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah Arab
lainnya. Sementara pada mereka, seakan hanya memperoleh sisa.
Padahal, semua orang tahu,
sebagaimana Rasul pun juga mengetahuinya: merekalah yang berjuang dengan
sepenuh iman ketika orang-orang Quraisy dan kabilah Arab itu lari tunggang
langgang pada serangan pertama pasukan Malik bin Auf An-Nashry.Maka, hari itu
di Ji’ranah, ada yang kasak-kusuk, ada yang memercikan api, “Demi Allah,
Rasulullah shallallahu aalaihi wasallam telah bertemu kaumnya sendiri!” Kalimat
itu jelas sarat kekecewaan.
Hari
itu juga utusan Anshar, Sa’d bin Ubadah menemui Sang Rasul. Hatinya gusar. Ia
ingin segera sampaikan apa yang dirasakan sahabat Anshar pada beliau. Ada yang
mengganjal di hati, tapi (mungkin) mereka anggap tak layak untuk disampaikan.
Sa’d bin Ubadahlah yang memberanikan diri.
“Ya Rasulullah, dalam diri
kaum Anshar ada perasaan mengganjal terhadap engkau, perkara pembagian harta
rampasan perang. Engkau membagikannya pada kaummu sendiri dan membagikan bagian
yang teramat besar pada kabilah Arab, sementara orang-orang Anshar tidak
mendapat bagian apapun.”
Kita menangkap protes itu disampaikan dengan lugas tapi tetap santun.
Ada kecewa, tapi iman mereka mencegahnya dari sikap yang merendahkan. Ada
ganjal di hati, tapi bukan amarah tak terkendali.
“Lalu, kamu sendiri bagaimana Sa’d?” tanya Sang Rasul.
“Wahai Rasulullah, aku tidak punya pilihan lain, selain harus bersama
kaumku.” Jawab Sa’d menjelaskan perasaannya. Jujur. Apa adanya. Ia tidak
menutup-nutupi bahwa dirinya juga kecewa. Rasulullah lalu meminta mengumpulkan
semua orang Anshar. Pada mereka Rasul menenangkan.
“Bukankah dulu aku datang dan kudapati kalian dalam kesesatan, lalu
Allah berikan kalian petunjuk? Bukankah dulu saat aku datang kalian saling
bertikai, lalu Allah menyatukan hati kalian? Bukankah dulu saat aku datang,
kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah mengayakan kalian?”
Orang-orang Anshar itu
membenarkan. Mereka memang sedang dilanda kecewa, tapi lihatlah betapa mereka
memilih diam, dan tidak balik menyerang dengan kata-kata dan argumentasi yang
dapat diungkapkan.
Disebabkan iman sematalah mereka bersikap hormat pada Sang Rasul, meski
mereka teramat kecewa. Saya bayangkan hari itu di Ji’ranah. Para sahabat yang
mengelilingi Rasulullah.
“Demi Allah, jika kalian mau
kalian bisa mengatakan, ‘Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan didustakan,
lalu kami membenarkan. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan lemah, lalu
kami menolongmu. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan terusir, lalu
kami memberikan tempat. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan miskin,
lalu kami yang menampungmu.”
Saya bayangkan Rasul yang
mulia menghela nafas sejenak. Dapat kita rasakan kata-kata itu menggetarkan
dada orang-orang yang diliputi iman itu. Saya bayangkan tempat itu mendadak
senyap, kecuali suara Rasulullah yang teduh. Beberapa sahabat mulai menitikkan
airmata.
“Apakah ada hasrat di hati kalian pada dunia?” tanya Rasulullah tanpa
susulan jawab dari para sahabat. Semua terdiam.
Pertanyaan itu mengetuk sisi terdalam dari jiwa para sahabat. Jiwa yang
sejak semula disemai iman.
“Padahal, dengan dunia itu
aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam.” Rasul mulai
menjelaskan alasan kebijakannya.
Saya bayangkan para sahabat Anshar yang mengangguk paham dalam diam.
“Sedangkan terkait keimanan kalian, aku sudah teramat percaya.” Kata-kata itu
begitu dalam dan jujur.
Tetes airmata tak kuasa lagi
ditahan. Terlebih ketika Rasulullah melanjutkan, Apakah kalian tidak berkenan
di hati jika orang-orang lain pergi membawa onta dan domba, sementara kalian
pulang bersama Rasul Allah?
Sebuah perbandingan yang kontras. Kesadaran itu hadir tidak tiba-tiba.
Tangis para sahabat meledak. Jika bukan karena iman, kekuatan apa yang mampu
menghadirkan kesadaran setelah kekecewaan? Sungguh, iman merekalah yang
menyebabkan semua itu terjadi.
Kisah di atas teramat
panjang. Dari dalamnya kita belajar bagaimana dalam komunitas kebaikan
sekalipun, kekecewaan itu nyaris tak dapat dielakkan.
Setiap kita mungkin pernah
kecewa. Sebabnya bisa bermacam-macam. Tapi sebagiannya karena kita tak
persepaham dengan orang lain; apakah kelakuannya, kebijakannya, pernyataannya,
perhatiannya, atau apapun. Kita pun bisa kecewa karena merasa tidak mendapat
dukungan yang memadai. Kecewa itu bisa muncul dimana-mana, bahkan dalam dakwah
sekalipun.
Di dalam bilik-bilik rumah
bisa lahir kekecewaan. Suami kecewa pada istri atau sebaliknya, istri kecewa
dengan suami. Di ruang-ruang kerja, kekecewaan dapat juga timbul. Di manapun
ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kekecewaan bisa hadir tiba-tiba.
Dalam dakwah, kecewa bisa
juga tumbuh bagai ilalang. Sebabnya bisa bermacam-macam. Gagasan yang
‘dianggap’ tidak diperhatikan, selera-selera yang tak sama, kebijakan qiyadah
yang tak memenuhi keinginan kita, perilaku dan tindakan ikhwah, dan yang lain.
Hanya kekuatan imanlah yang
mampu menjaga kita dari penyikapan yang salah saat kecewa.
Sebagian di antaranya menyikapi dengan marah, kalap, bahkan bisa juga dengan ‘mutung.’Sebagian yang lain menyikapi dengan cara-cara yang lebih arif dan bijak. Jika kecewa datang menggerogoti, periksalah kembali orientasi kita.
Sebagian di antaranya menyikapi dengan marah, kalap, bahkan bisa juga dengan ‘mutung.’Sebagian yang lain menyikapi dengan cara-cara yang lebih arif dan bijak. Jika kecewa datang menggerogoti, periksalah kembali orientasi kita.
Periksa
pula niat-niat kita dalam beramal dan beraktivitas. Inilah saat paling tepat
untuk menakar motif dan orientasi kita.
Semoga pengiring atas rasa
kecewa adalah sikap lapang dada, semangat beramal yang makin menggelora,
keikhlasan yang mempesona, dan penghormatan pada sesama.
Jangan biarkan, kekecewaan
ditanggapi dengan aktivitas yang tidak memuliakan kita. Jangan pula sampai
kekecewaan menyeret kita pada devisit iman dan juga devisit emosi.
Sedari awal, kita memilih
jalan dakwah, bukan karena ingin selalu disenangkan. Bukan pula hasrat
untuk terus dimenangkan. Kadang tak semua hasrat hati mesti terturuti.
Begitulah tabiat perjalanan ini; kesediaan untuk berjalan bersama, mesti
diikuti lapang dada atas segala kecewa yang muncul menggoda.
Kita memilih jalan dakwah
semata karena berharap ridha Allah. Seluruh rasa kecewa itu hanyalah liliput
atas kerinduan kita yang besar atas keridlaan Allah.
Semoga Allah menjaga
keistiqamahan kita dan menguatkan keikhlasan kita dalam beramal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar