Kisah
Imam Ali bin Abi Thalib dan Ashabul Kahfi
Dalam surat Al-Kahfi, Alloh Ta’ala, menceritakan tiga kisah
masa lalu, yaitu, kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan Nabi Musa as dan Nabi
Khidzir as, serta kisah Dzulqornain.
Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan
digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu
bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah
dalam Al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak
pelajaran didalamnya.
Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang
hidup pada masa Raja “Diqyanus” di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum
diutusnya Nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah patung dengan
seorang raja yang dzolim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang
tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan
memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi
menolak dan melarikan diri, sehingga mereka sampai di sebuah gua yang kemudian
dipakai tempat persembunyian.
Dengan izin Alloh Ta’ala, mereka kemudian ditidurkan selama
309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja
mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Alloh
Ta’ala.
Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi
(Penghuni Gua) yang diketengahkan secara jelas jalan ceritanya. Penulis kitab
Fadho’ilul Khomsah Minas Shikhohis Sittah (jilid II, halaman 291-300),
mengetengahkan suatu riwayat yang dinukil dari kitab Qishoshul Anbiya’. Riwayat
tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi.
Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya’ mulai dari
halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut :
Di kala Umar Ibnul Khottob ra,
menjadi Kholifah, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka
berkata kepada Kholifah: “Hai Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah
Muhammad dan shohabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah
penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami
mau memahami bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar
seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti agama
Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi”.
“Silahkan bertanya tentang apa saja
yang kalian inginkan,” sahut Kholifah Umar ra. “Jelaskan kepada kami tentang
induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu,
memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah
kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjuk-kan kepada kami
tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia
bukan manusia dan bukan jin? Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluq
yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluq-makhluq itu tidak
dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya? Beritahukan kepada kami apa
yang dikatakan oleh burung puyuh di saat ia sedang berkicau? Apakah yang
dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok? Apakah yang dikatakan
oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di
waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang
meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang
berkicau?”
Kholifah Umar menunduk-kan kepala
untuk berfikir sejenak, kemudian berkata : “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak
tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu
bukan suatu hal yang memalukan…!”
Mendengar jawaban Kholifah Umar
seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak
kegirangan, sambil berkata : “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang
bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil..!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan
berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu : “Kalian tunggu sebentar…! Ia
cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib . Setelah bertemu, Salman berkata
: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam…!” Imam Ali kw, bingung, lalu
bertanya : “ada apa ?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh
Kholifah Umar Ibnul Khottab. Imam Ali , segera saja berangkat menuju ke rumah
Kholifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung
atau leher) peninggalan Rosululloh SAW. Ketika Kholifah Umar melihat Ali bin
Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya,
sambil berkata : “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu
kupanggil…!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang
menunggu-nunggu jawaban itu, Imam Ali bin Abi Thalib kw, berkata : “Silakan
kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rosululloh SAW,. sudah
mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu
macam cabang ilmu…!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi
pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Imam Ali bin Abi Thalib kw,
berkata : “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata
aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di
dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman…!” “Ya
baik…!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Imam Ali bin
Abi Thalib kw. Mereka mulai bertanya : “Apakah induk kunci (gembok) yang
mengancing pintu-pintu langit ?
“Induk kunci itu, jawab Imam Ali
as, ialah syirik kepada Alloh. Sebab semua hamba Alloh, baik pria maupun
wanita, jika ia bersyirik kepada Alloh, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke
hadhirat Alloh..!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi : “Anak kunci apakah yang
dapat membuka pintu-pintu langit ?”
Imam Ali kw, menjawab : “Anak kunci
itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad
adalah Rosululloh..!”Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka,
sambil berkata : “Orang itu benar juga..!”. Mereka bertanya lagi :
“Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan
bersama penghuninya?”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus
putera Matta” jawab Imam Ali kw. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh
samudera” Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi : “Jelaskan kepada
kami tentang makhluq yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi
makhluq itu bukan manusia dan bukan jin ?”
Imam Ali kw, menjawab : “Makhluq itu ialah semut Nabi
Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimassalam. Semut itu berkata kepada kaumnya :
“Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak di-injak
injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya :
“Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluq yang berjalan di atas
permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluq-makhluq itu yang
dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya ?”
Imam Ali kw, menjawab : “Lima makhluq itu ialah, pertama,
Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim.
Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)”.
Dua di antara tiga orang pendeta
Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan
oleh Imam Ali kw, lalu mengatakan : “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Alloh dan Muhammad adalah Rosululloh…!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil
berkata kepada Imam Ali bin Abi Tholib kw, : “Hai Ali, hati teman-temanku sudah
dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya
agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada
anda”
“Tanyakanlah apa saja yang kau
inginkan” sahut Imam Ali kw. “Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang
yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali
oleh Alloh. Bagaimana cerita tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi. Ali bin
Ali Thalib kw, menjawab : “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni
gua. cerita tentang mereka itu sudah dijelaskan oleh Alloh SWT, kepada
Rosul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu”.
Pendeta Yahudi itu menyahut : “Aku sudah banyak mendengar
tentang Al-Qur’an kalian itu…! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba
sebutkan nama-nama Ashabul Kahfi, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama
raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah
mereka dari awal sampai akhir….!”
Imam Ali bin Abi Thalib kw, kemudian merapikan duduknya,
menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang di-ikatkan ke
pinggang. Lalu Beliau as, berkata : “Hai saudara saudara Yahudi… Muhammad
Rosululloh SAW, kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi
di negeri Romawi, di sebuah kota bernama “Aphesus” atau disebut juga dengan
nama “Tharsus”. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese).
Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse,
sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya
mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita
kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama “Diqyanius”. Dia seorang
raja kafir yang amat Sombong dan dzolim. dia datang menyerbu negeri itu dengan
kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Akhirnya
kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana”.
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu
berdiri, terus bertanya : “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan
kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya ?”
Imam Ali kw menerangkan : “Hai saudara saudara Yahudi, raja
itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya
satu farsakh (kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang
berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang
berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu
bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya
dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat
lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya.
Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi
serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta
dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya
terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah
kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para
petinggi dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana
dengan mengenakan mahkota di atas kepala”. Sampai di situ pendeta yang
bersangkutan berdiri lagi sambil berkata : “Jika engkau benar-benar tahu, coba
terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat ?”
“Hai saudara saudara Yahudi”.. kata
Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas,
berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya
laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang
pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan
baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna
hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah.
Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di
belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari
anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau
pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa
berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di
kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang
lainnya berdiri di sebelah kiri”.
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata : “Hai
Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang
menjadi pembantu-pembantu raja itu ?”
Imam Ali kw, menjawab : “Kekasihku Muhammad Rosululloh SAW,
menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja,
masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang
pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius,
Casitius dan Sidemius.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana
dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan
menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian
murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang
yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini
kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang
berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia
mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari bunga itu habis dipercikkan
ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat
lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian
murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan
bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke
tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu
lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap
yang harum semerbak di atas kepala raja. demikianlah raja itu berada di atas
singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah
diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut,
demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri
sedemikian kuat dan sehat, ia mulai sombong, durhaka dan dzolim. Dia
mengaku-aku diri sebagai “Tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Alloh
Ta’ala.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari
rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan
berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu
semua orang terpaksa menerima kemauan raja. Dalam masa yang cukup lama, semua
orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi
memuja dan menyembah Alloh Ta’ala.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk
di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah
seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke
dalam wilayah kerajaannya, yang ingin melancarkan peperangan terhadap raja.
Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang
sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh
terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di
sebelah kanan, seorang yang pintar bernama Tamlikha, memperhatikan keadaan sang
raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati : “Kalau
Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia
tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu
semua bukanlah sifat-sifat Tuhan”.
Enam orang pembantu raja itu tiap
hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara
bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima
orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum,
tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya : “Hai
Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum ?” “Teman-teman…”
sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak
ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur”.
Teman-temannya mengejar : “Apakah yang merisaukan hatimu,
hai Tamlikha ?” “Sejek lama aku memikirkan soal langit” ujar Tamlikha
menjelaskan. Aku lalu bertanya pada diriku sendiri : “siapakah yang
mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa
gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah ? Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu
dengan bintang-bintang bertaburan?”Kemudian kupikirkan juga bumi ini :
“Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala ? Siapakah yang
menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan
tidak miring ?” Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri : “Siapakah yang
mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku ? Siapakah yang memelihara
hidupku dan memberi makan kepadaku ? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan
sudah tentu bukan Diqyanius…“
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua
kaki Tamlikha diciumi sambil berkata : “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang
terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah
engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua?” “Saudara-saudara…” kata
Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari
meninggalkan raja yang dzolim itu, menuju kepada Raja pencipta langit dan
bumi..” “Kami setuju dengan pendapatmu…” sahut teman-temannya. Tamlikha lalu
berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil
mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong
baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata
kepada teman-temannya : “Saudara-saudara, kita sekarang sudah bebas dari raja
dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah
kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Alloh akan memudahkan urusan kita serta
memberikan jalan keluar”.
Mereka turun dari kudanya
masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak
berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka.
Kepada penggembala itu mereka bertanya : “Hai penggembala, apakah engkau
mempunyai air minum atau susu?” “Aku mempunyai semua yang kalian inginkan” sahut
penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan.
Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku
bagaimana kalian itu ?” “Ah.., susahnya orang ini..” jawab mereka. “Kami sudah
memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika
kami mengatakan yang sebenarnya?” “Ya..” jawab penggembala itu. ( Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar