Toleransi Tanpa
Pluralisme
Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A., M.Phill
(Wakil Rektor I Universitas Darussalam Gontor)
(Wakil Rektor I Universitas Darussalam Gontor)
Jika
sekarang ini ada kepala negara Islam mengirim surat meminta Tony Blair agar
masuk Islam tentu dianggap pelecehan dan intoleransi. Bukan hanya karena
mustahil Blair sudi, tapi doktrin postmodern dan teologi global “mengharamkan”
hal tersebut. Doktrin pluralisme agama melarang menganggap agama orang lain
salah, dan agama sendiri paling benar, karena itu dianggap benih terorisme dan
fundamentalisme.
Pluralitas
agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme adalah doktrin
peradaban Barat postmodern yang mencoba membangun persamaan dari perbedaan dan
bahkan cenderung menghilangkannya. Sumber utamanya adalah filsafat relativisme
Nietzche, tokoh filosof Barat postmo.
Filsafat kemudian menjalar ke tengah-tengah diskursus teologi Kristen. Ketika doktrin extra ecclesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) tidak dapat dipertahankan lagi, maka para teolog Kristen membuat kreasi teologis yang disebut teologi inklusif. Artinya semua agama selamat dalam pelukan Kristen.
Filsafat kemudian menjalar ke tengah-tengah diskursus teologi Kristen. Ketika doktrin extra ecclesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) tidak dapat dipertahankan lagi, maka para teolog Kristen membuat kreasi teologis yang disebut teologi inklusif. Artinya semua agama selamat dalam pelukan Kristen.
Namun
gereja masih dianggap belum “maju” jika belum sesuai dengan doktrin relativisme
Nietzche. Orang-orang seperti Wilfred Cantwell Smith, John Hicklah dan para
pemikir Kristen pakar teori Comparative Religion kemudian meneruskannya menjadi
upaya peleburan perbedaan yang disebut doktrin inklusifisme. (Agama) yang
satu – dalam konteks pluralisme agama – mengakui (kebenaran agama) yang lain.
Ide inilah yang kemudian berubah menjadi pluralisme. Truth claim (mengklaim kebenaran agamanya sendiri) diharamkan. Pokoknya semua harus mengakui (kebenaran) semua. Tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Sebab kebenaran itu adalah relatif, yang absolut hanya Tuhan.
Di sini hak asasi untuk beragama dan berkeyakinan seakan-akan dibela dan dijunjung tinggi. Sikap-sikap seperti itu disebut sikap pluralis. Tapi benarkah Islam sejalan dengan doktrin pluralisme seperti itu?
Ide inilah yang kemudian berubah menjadi pluralisme. Truth claim (mengklaim kebenaran agamanya sendiri) diharamkan. Pokoknya semua harus mengakui (kebenaran) semua. Tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Sebab kebenaran itu adalah relatif, yang absolut hanya Tuhan.
Di sini hak asasi untuk beragama dan berkeyakinan seakan-akan dibela dan dijunjung tinggi. Sikap-sikap seperti itu disebut sikap pluralis. Tapi benarkah Islam sejalan dengan doktrin pluralisme seperti itu?
Jika
cara berpikir seperti itu diterapkan ke dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam,
tentu Islam bertentangan dengan makna pluralisme seperti itu. Surat-surat Nabi
mengajak raja Romawi, Persia, Ethiopia dan lain-lain untuk masuk Islam
bertentangan dengan doktrin pluralisme.
Jika doktrin pluralisme
agama harus mengakui kebenaran agama lain, Islam hanya mengakui Islam yang
paling benar di sisi Allah (Sesungguhnya al-Din (yang diterima) di sisi Allah
adalah Islam). Jadi Islam adalah agama yang eksklusif dan tidak pluralis.
Biasanya
cendekiawan Muslim pembela doktrin pluralisme agama menggunakan al-Ma'idah: 69
dan al-Baqarah: 62 untuk menjustifikasi doktrin tersebut. Dalam al-Ma'idah: 69
berbunyi “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan
orang-orang Nasrani, siapa saja yang [diantara mereka] yang benar-benar beriman
kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih”. (Bandingkan dengan
al-Baqarah: 62).
Ayat
di atas dipahami sebagai membenarkan agama-agama Yahudi, Kristen dan Sabiin.
Bahkan mereka memasukkan agama-agama lain yang serupa dengan Sabiin, seperti
Hindu, Budha, Konghucu dan sebagainya dalam kategori ini. Alasannya karena
Sabiin adalah agama penyembah bintang-bintang alias agama musyrik.
Jika
dilihat dari sibaq dan siyaq ayat tersebut maka penafsiran itu menjadi tidak
tepat. Sebelumnya (pada al-Ma’idah: 65) disebutkan bahwa “Jika orang-orang
ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa mereka
dan akan Kami masukkan surga”.
Kata “jika” (law anna)
adalah pra-kondisi yang berarti bahwa ahlul kitab itu tidak beriman kepada
Allah SWT. Selanjutnya (pada ayat 67) disebutkan bahwa ahlul kitab itu tidak
berarti apa-apa jika tidak menjalankan apa yang ada dalam Kitab Taurat dan
Injil.
Sudah
tentu ini bukan Taurat dan Injil (Bible) yang ada sekarang. Sebab kitab-kitab
itu dalam pandangan Islam tidak asli lagi. Jika yang dimaksud adalah Bible maka
implikasinya bahwa Trinitas dalam Bible itu diterima al-Qur’an. Padahal pada
ayat ke 71 dan 73 disebutkan bahwa ahlul kitab yang percaya Trinitas adalah
kafir. Apa yang dimaksud ayat itu adalah ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang
membawa konsep tauhid.
Oleh sebab itu, kajian
al-Baydhawi menunjukkan bahwa ayat itu merujuk kepada ahlul kitab sebelum
datangnya Islam. Dan karena kedatangan Islam, agama-agama itu dibatalkan
(mansukh). Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabiin dan sebagainya itu kini
telah mansukh.
Ini diperkuat oleh al-Thabari bahwa surat al-Baqarah: 62 dan Ali Imran: 69 itu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 75: "Barangsiapa memeluk agama selain Islam ….". Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-Sahih, mausu'ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma'thur, 2 jld, jld 1, Dar al-Ma'athir, Madinah, 1999, 169).
Ini diperkuat oleh al-Thabari bahwa surat al-Baqarah: 62 dan Ali Imran: 69 itu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 75: "Barangsiapa memeluk agama selain Islam ….". Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-Sahih, mausu'ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma'thur, 2 jld, jld 1, Dar al-Ma'athir, Madinah, 1999, 169).
Selanjutnya, mengenai
pemahaman bahwa orang-orang Sabiin penyembah bintang-bintang, alias musyrik
yang disebut bersamaan dengan Yahudi dan Nasrani juga diakui kebenarannya oleh
al-Qur’an asal percaya pada Tuhan dan hari akhir serta berbuat baik.
Pendapat
ini memiliki kelemahan premisnya. Ternyata menurut al-Thabari tidak begitu.
Penganut Sabiin adalah orang yang percaya pada Yahudi dan Nasrani shalat lima
waktu dan menghadap kiblat. Jadi bukan musyrik. (Lihat Hikmat Ibn Bashir,
al-Tafsir al-Sahih, hal. 169).
Maka dari itu menurut Ibn
Taimiyyah beriman kepada Allah dan hari akhir itu termasuk
konsekuensi-konsekuensi lainnya yang berarti masuk Islam. Kecuali mereka yang
hidup sebelum datangnya Islam.
Lalu
mengapa dalam ayat itu disebut “Sesungguhnya orang-orang beriman” yang kemudian
diikuti “Yang beriman kepada Allah”? Apakah ini merujuk kepada orang yang
percaya kepada agama apa saja atau orang Islam saja? Yang dimaksud
“Orang-orang beriman” dalam ayat itu menurut ibn Qutaybah adalah orang-orang
yang mengaku beriman tapi sebenarnya tidak alias munafiq. (Ibn Qutaybah, Ta'wil
Mushkilat al-Qur'an, ed. Sayyid Ahmad Safar, Kairo: Maktabah Dar al-Turath,
1973, 482).
Jadi,
jika pluralisme diartikan sebagai pengakuan kebenaran agama lain, Islam jelas
menolak pluralisme. Logikanya, jika Islam mengakui kebenaran agama lain,
mengapa Islam mengajak agama lain masuk Islam. (al-Nahl: 126). Mengapa pula
Nabi sendiri mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia
Ebrewez, Raja Ethiopia masuk Islam.
Jika
pluralisme melarang adanya klaim kebenaran atau menganggap agamanya paling
benar sendiri. Tentu Islam tidak masuk kategori agama yang pluralistis. Apa
yang dibawa Islam adalah melengkapi kitab-kitab yang datang sebelumnya. Bahkan
lebih dari itu Islam juga menyalahkan penyelewengan yang dilakukan pengikut
kitab-kitab (ahlul kitab).
Meskipun
Islam tidak mengandung ajaran yang pluralistis, namun Islam adalah agama yang
memiliki toleransi tinggi. Ayat-ayat Ali Imran: 20, al-Kafirun: 2-6,
menunjukkan bahwa Islam adalah eksklusif tapi tidak memaksa manusia untuk
mengikutinya. Al-Nahl: 126 juga menunjukkan cara-cara yang beradab dalam
berdakwah, tidak ada paksaan dan kekerasan ataupun tipu daya. Masih banyak lagi
ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an.
Ajaran toleransi ini
bukan hanya terdapat dalam teks, tapi juga diterapkan dalam kehidupan dakwah
umat Islam. Pada awal Islam, suku-suku di jazirah Arab masuk Islam secara
sukarela, karena argumentasi, karena kagum pada pribadi Nabi, karena konsep
Tauhid dalam Islam dan lain sebagainya.
Pada
periode Umar bin Khattab, umat Islam menguasai Yerussalem tanpa peperangan.
Umat Islam datang dan menguasai tapi tidak menghancurkan. Islam malah menjadi
penengah pertikaian antara sekte-sekte Kristen yang sering terjadi di dalam
Kanisah al-Qiyamah.
Dalam
sejarahnya, Yerussalem mengalami kehidupan keagamaan yang paling damai ketika
di bawah kekuasaan Islam. Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan secara
damai.
Di
Cordoba umat Islam juga hidup damai dengan orang-orang Kristen dan Yahudi. Tapi
sesudah kerajaan Bani Umayyah jatuh, orang-orang Kristen Barat mengusir umat
Islam secara biadab. Mereka tidak mempunyai ajaran toleransi. Bahkan
orang-orang Kristen yang dekat dengan orang-orang Islam dirazia oleh tim
inquisisi Kristen.
Demikian
pula ketika Islam masuk ke Persia kekaisaran di sana sangat lemah dan
tercabik-cabik, sehingga kedatangan Islam memberikan solusi bagi persoalan
politik di sana. Pada tahun 700-an ketika Qutaibah bin Muslim menjabat Gubernur
Khurasan, ia dengan damai meluaskan kawasan Muslim ke Bukhara, Samarqand, dan
ke Timur hingga mencapai perbatasan Cina.
Dalam catatan sejarah
Cina periode dinasti Tang (713-742), misalnya tertulis begini: “Mereka
(orang-orang Islam) datang ke pusat Kerajaan laksana banjir, dan membawa hadiah
kitab suci yang disimpan di ruangan tersendiri di dalam istana. Kitab itu
dipandang sebagai standar dan sumber hukum yang dipandang suci. Sejak masa ini,
ajaran-ajaran agama dari negeri asing ini menjadi bercampur dengan ajara-ajaran
agama pribumi dan dipraktekkan dalam kehidupan rakyat secara terbuka di seluruh
wilayah Imperium Tang”.
Orientalis
pakar sejarah asal Perancis, Du Halde, mencatat bahwa orang Islam menetap di
Cina selama lebih 6 abad tidak ada kegiatan dakwah yang mencolok, kecuali
hubungan perkawinan. Mereka adalah saudagar kaya yang menyantuni anak kaum
penyembah api yang miskin.
Ketika
terjadi kelaparan di Chantong mereka menyantuni lebih dari 10.000 anak miskin,
sehingga ketika anak-anak itu dewasa mereka menjadi Muslim. Semua itu berjalan
tanpa paksaan dan masyarakat tidak merasa keberatan. Pada tahun 1323-1328, anak
Timur Khan cucu Kubilay Khan, bernama Ananda, menggantikan ayahnya dan masuk
Islam. Ia lalu membangun 4 masjid di Peking.
Begitulah,
meskipun Islam adalah agama misi, tapi ia tetap berpegang pada prinsip la
ikraha fi al-din (Tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Peperangan memang
terjadi antara bala tentara Islam dan daerah yang dimasuki mereka. Namun Islam
tidak memerangi penganut agama lain agar mereka masukIslam. Islam adalah agama yang memberi rahmat
bagi penduduk alam semesta. Ini tidak berarti bahwa Islam mengakui kebenaran
agama apapun di seluruh dunia. Rahmat Islam terdapat pada ajaran-ajarannya yang
universal, yang sesuai dengan fitrah manusia.
Menurut
Ibn Taimiyyah Allah menurunkan fitrah pada alam dan pada manusia, dan
melengkapi kedua fitrah itu dengan fitrah yang diturunkan (fitrah munazzalah)
yakni al-Qur’an. Dan pada ketiga fitrah itu Allah meletakkan ayat-ayat, yaitu
ayat kauniyyah, ayat qauliyyah dan ayat nafsiyyah.
Rahmat
Islam adalah kekayaan konsep-konsepnya yang mencerminkan sebuah pandangan
hidup. Di dalamnya terdapat ruang-ruang bagi ilmu pengetahuan, etika, estetika,
logika, metafisika, sains, teknologi, teologi dan sebagainya.
Karena
itulah, maka konsep-konsep asing dapat terakomodasikan dalam peradaban Islam,
sehingga bangsa selain Islam dapat dengan mudah memanfaatkan konsep-konsep
Islam bagi kepentingan kebudayaan mereka.
Pandangan hidup Islam
telah membuka wawasan dan prinsip-prinsip baru bagi kehidupan bangsa Eropa.
Kemampuan umat Islam menerjemahkan filsafat dan sains Yunani membawa rahmat
bagi kebangkitan Barat. Proses dari Yunani ke Arab kemudian ke Latin merupakan
fakta sejarah bahwa peranan Islam bagi bangunnya peradaban Barat tidak dapat
diragukan lagi.
Demikian
pula Islam masuk ke Spanyol, Persia, India dan Mesir membawa cara pandang
terhadap dunia yang khas. Islam tidak datang ke suatu Negara untuk menjajah dan
menguras kekayaan alam Negara itu, seperti yang dilakukan bangsa Barat ke
negara-negara Islam.
Islam
memakmurkan Negara yang telah dikuasainya dan tidak membawanya pulang ke Arab
misalnya. Oleh sebab itu, istilah yang tepat untuk serangan Islam adalah
al-fath, pembukaan dan bukan penjajahan.
Kedatangan
pandangan hidup Islam ke dunia Melayu (Asia Tenggara) telah membawa perubahan
konsep waktu, konsep ada, konsep hidup dan sebagainya. kepada masyarakat yang
animistis dan dinamistis waktu itu.
Dan
yang pasti Islam masuk ke dunia Melayu tanpa peperangan. Peperangan yang ada
hanyalah peperangan konsep, konsep teologi agama-agama Hindu, animisme dan
dinamisme dengan mudah dikalahkan oleh konsep universal Islam. Jadi, Islam
bertentangan dengan prinsip pluralisme agama, tapi memiliki rasa toleransi yang
tiada bandingannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar