PAMAN,
LIHATLAH, BIDADARI YANG PERNAH KUCERITAKAN PADAMU ADA DI DEKATKU...
Hari itu di salah
satu sudutnya Masjid Nabawi berkumpullah Abu Qudamah dan para sahabatnya.Di
hati para sahabatnya, Abu Qudamah adalah orang yang sangat dikagumi. Itu karena
Abu Qudamah adalah seorang mujahid. Berjihad dari satu front ke medan-medan
jihad lainnya. Seolah hidup beliau, beliau persembahkan untuk berjihad.
Debu yang beterbangan, kilatan pedang, hempasan anak panah, derap kuda adalah hal yang sudah biasa bagi beliau. Pengalaman, tragedi, kisah dan momen pun telah banyak beliau saksikan di setiap gelanggang perjuangan jihad.
Debu yang beterbangan, kilatan pedang, hempasan anak panah, derap kuda adalah hal yang sudah biasa bagi beliau. Pengalaman, tragedi, kisah dan momen pun telah banyak beliau saksikan di setiap gelanggang perjuangan jihad.
”Abu Qudamah, ceritakanlah pada kami kisah paling mengagumkan di
hari-hari jihadmu,”
tiba-tiba salah seorang sahabatnya meminta.
tiba-tiba salah seorang sahabatnya meminta.
“Ya,” jawab Abu
Qudamah.
"Beberapa
tahun lalu. Aku singgah di kota Recca. Aku ingin membeli onta untuk membawa
persenjataanku.
Saat aku sedang bersantai di penginapan, keheningan pecah oleh suara ketukan. Ku buka ternyata seorang perempuan.
Saat aku sedang bersantai di penginapan, keheningan pecah oleh suara ketukan. Ku buka ternyata seorang perempuan.
”Engkaukah Abu
Qudamah?” tanyanya.
”Engkaukah yang menghasung umat manusia untuk berjihad?” pertanyaannya yang kedua.
”Engkaukah yang menghasung umat manusia untuk berjihad?” pertanyaannya yang kedua.
“Sungguh, Allah
telah menganugerahiku rambut yang tak dimiliki wanita lain. Kini aku telah
memotongnya. Aku kepang agar bisa menjadi tali kekang kuda. Aku pun telah
menutupinya dengan debu agar tak terlihat.
Aku berharap sekali agar engkau membawanya. Engkau gunakan saat menggempur musuh, saat jiwa kepahlawananmu merabung. Engkau gunakan bersamaan saat kau menghunus pedang, saat kau melepaskan anak panah dan saat tombak kau genggam erat.
Kalau pun engkau tak membutuhkan, ku mohon berikanlah pada mujahid yang lain. Aku berharap agar sebagian diriku ikut di medan perang, menyatu dengan debu-debu fi sabilillah.
Aku adalah seorang janda. Suamiku dan karib kerabatku, semuanya telah mati syahid fi sabilillah. Kalau pun syariat mengizinkan aku berperang, aku akan memenuhi seruannya,”ungkapnya sembari menyerahkan kepangan rambutnya.
Aku berharap sekali agar engkau membawanya. Engkau gunakan saat menggempur musuh, saat jiwa kepahlawananmu merabung. Engkau gunakan bersamaan saat kau menghunus pedang, saat kau melepaskan anak panah dan saat tombak kau genggam erat.
Kalau pun engkau tak membutuhkan, ku mohon berikanlah pada mujahid yang lain. Aku berharap agar sebagian diriku ikut di medan perang, menyatu dengan debu-debu fi sabilillah.
Aku adalah seorang janda. Suamiku dan karib kerabatku, semuanya telah mati syahid fi sabilillah. Kalau pun syariat mengizinkan aku berperang, aku akan memenuhi seruannya,”ungkapnya sembari menyerahkan kepangan rambutnya.
Aku hanya diam
membisu. Mulutku kelu walau tuk mengucapkan “iya”.
”Abu Qudamah,
walaupun suamiku terbunuh, namun ia telah mendidik seorang pemuda hebat. Tak
ada yang lebih hebat darinya.
Ia telah menghapal Al-Qur’an. Ia mahir berkuda dan memanah. Ia senantiasa sholat malam dan berpuasa di siang hari. Kini ia berumur 15 tahun. Ialah generasi penerus suamiku. Mungkin esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia. Aku persembahkan dia untuk Allah. Ku mohon jangan halangi aku dari pahala,”
kata-kata sendu terus mengalir dari bibirnya.
Ia telah menghapal Al-Qur’an. Ia mahir berkuda dan memanah. Ia senantiasa sholat malam dan berpuasa di siang hari. Kini ia berumur 15 tahun. Ialah generasi penerus suamiku. Mungkin esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia. Aku persembahkan dia untuk Allah. Ku mohon jangan halangi aku dari pahala,”
kata-kata sendu terus mengalir dari bibirnya.
Adapun aku masih diam membisu. Memahami
kalimat per kalimat darinya. Lalu tanpa sadar perhatianku tertuju pada kepangan
rambutnya.
”Letakkanlah dalam barang bawaanmu agar kalbuku tenang,”
pintanya.
Tahu aku memperhatikan kepangan rambutnya.
”Letakkanlah dalam barang bawaanmu agar kalbuku tenang,”
pintanya.
Tahu aku memperhatikan kepangan rambutnya.
Aku pun segera meletakkannya bersama
barang bawaanku. Seolah aku tersihir dengan kata-kata dan himmah (tekad) nya
yang begitu mengharukan.Keesokan harinya, aku bersama pasukan beranjak
meninggalkan Recca. Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik,
tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggang kuda yang memanggil-manggil.
“Abu Qudamah!” serunya.
“Abu Qudamah,
tunggu sebentar, semoga Allah merahmatimu.”
Kaki pun terhenti.
Lalu aku berpesan kepada pasukan, “tetaplah di tempat hingga aku mengetahui
orang ini.”
Dia mendekat dan
memelukku.
”Alhamdulillah, Allah
memberiku kesempatan menjadi pasukanmu. Sungguh Dia tidak ingin aku gagal,”
ucapnya.
“Kawan, singkaplah
kain penutup kepalamu dahulu,” pintaku.
Ia pun
menyingkapnya. Ternyata wajahnya bak bulan purnama. Terpancar darinya cahaya
ketaatan.
”Kawan, apakah
engkau memiliki Abi?” tanyaku.
“Justru aku keluar
bersamamu hendak menuntut balas kematian Abi. Dia (insya Allah) telah mati
syahid. Semoga saja Allah menganugerahiku syahid seperti Abi,” jawabnya.
“Lalu, bagaimana
dengan Ummi? Mintalah restu darinya terlebih dahulu. Jika merestui, ayo. Jika
tidak, layanilah beliau. Sungguh baktimu lebih utama dibandingkan jihad. Memang,
jannah di ba
wah bayangan pedang, namun juga di bawah telapak kaki ibu”
wah bayangan pedang, namun juga di bawah telapak kaki ibu”
“Duhai Abu
Qudamah. Tidakkah engkau mengenaliku.”
“Tidak.”
“Aku putra pemilik
titipan itu. Betapa cepatnya engkau melupakan titipan Ummi, pemilik kepangan
rambut itu”
“Aku, insya Allah,
adalah seorang syahid putra seorang syahid. Aku memohon kepadamu dengan nama
Allah, jangan kau halangi aku ikut berjihad fi sabilillah bersamamu. Aku telah
menyelesaikan Al-Qur’an. Aku juga telah mempelajari Sunnah Rasul. Aku pun lihai
menunggang kuda dan memanah. Tak ada seorang pun lebih berani dariku. Maka,
janganlah kau remehkan aku hanya karena aku masih belia.”
"Ummi telah
bersumpah agar aku tidak kembali. Beliau berpesan; 'Nak, jika kau telah melihat
musuh, jangan pernah kau lari. Persembahkanlah ragamu untuk Allah. Carilah
kedudukan di sisi Allah. Jadilah tetangga Abimu dan paman-pamanmu yang sholeh
di jannah. Jika nantinya kau menjadi syahid, jangan kau lupakan Ummi. Berilah
Ummi syafa’at. Aku pernah mendengar faedah bahwa seorang syahid akan memberi
syafaat untuk 70 orang keluarganya dan juga 70 orang tetangganya. Ummi pun
memelukku dengan erat dan mendongakkan kepalanya ke langit;
'Rabbku..
Maulaku.. Inilah putraku, penyejuk jiwaku, buah hatiku.. aku persembahkan ia
untukmu. Dekatkanlah ia dengan ayahnya,”
terang sang pemuda.Kata-katanya terus mendobrak tanggul air mataku.
terang sang pemuda.Kata-katanya terus mendobrak tanggul air mataku.
Dan akhirnya aku benar-benar tak kuasa
menahannya. Aku tersedu-sedu. Aku tak tega melihat wajahnya yang masih muda,
namun begitu tinggi tekadnya. Aku pun tak bisa membayangkan kalbu sang ibu.
Betapa sabarnya ia.
Melihatku
menangis, sang pemuda bertanya,
“Paman, apa gerangan tangisanmu ini? Jika sebabnya adalah usiaku, bukankah ada orang yang lebih muda dariku, namun Allah tetap mengadzabnya jika bermaksiat !?”
“Paman, apa gerangan tangisanmu ini? Jika sebabnya adalah usiaku, bukankah ada orang yang lebih muda dariku, namun Allah tetap mengadzabnya jika bermaksiat !?”
“Bukan,” aku
segera menyanggah.
“Bukan lantaran
usiamu. Namun aku menangis karena kalbu ibumu. Bagaimana jadinya nanti jika
engkau gugur?”
Akhirnya aku menerimanya sebagai bagian
dari pasukan. Siang malam si pemuda tak pernah jemu berdzikir kepada Allah
Ta’ala. Saat pasukan bergerak, ia yang paling lincah mengendalikan kuda. Saat
pasukan berhenti istirahat, ia yang paling aktif melayani pasukan. Semakin kita
melangkah, tekadnya juga semakin membuncah, semangatnya semakin menjulang,
kalbunya semakin lapang dan tanda-tanda kebahagiaan semakin terpancar darinya.
Kami terus berjalan menyusuri hamparan
bumi nan luas. Hingga kami tiba di medan laga bersamaan dengan bersiap-siapnya
matahari untuk terbenam. Sesampainya, sang pemuda memaksakan diri menyiapkan
hidangan berbuka untuk pasukan. Memang, hari itu kami berpuasa. Dan dikarenakan
hal inilah juga khidmatnya kepada pasukan selama perjalanan, dia tertidur
pulas. Pulas sekali hingga kami iba membangunkan.
Akhirnya, kami sendiri yang menyiapkannya
dan membiarkan si pemuda tidur. Saat tidur, tiba-tiba bibirnya mengembang
menghiasi wajahnya.
”Lihatlah, ia
tersenyum!” kataku pada teman keheranan.
Setelah bangun,
aku bertanya padanya, “kawan, saat tertidur kau tersenyum. Apa gerangan
mimpimu?”
“Aku mimpi indah
sekali. Membuatku bahagia,” jawabnya
”Ceritakanlah
padaku!” pintaku penasaran.”
"Aku seperti
di sebuah taman hijau nan permai. Indah sekali. Pemandangannya menarik kalbuku
untuk berjalan-jalan Saat asyik berjalan, tiba-tiba aku berdiri di depan istana
perak, balkonnya dari batu permata dan mutiara serta pintu-pintunya dari emas.
Sayang, tirai-tirainya terjuntai, menghalangiku dari bagian dalam istana. Namun
tak lama, keluarlah gadis-gadis menyingkap tirai-tirainya.
Sungguh wajah
mereka bagaikan rembulan. Kutatap wajah-wajah cantik itu dengan penuh
kekaguman, amboi cantiknya.”Marhaban,” kata salah seorang dari mereka tahu ku
memandanginya.
Aku pun tak tahan hendak menjulurkan tangan menyentuhnya. Belum sampai tangan ini menyentuh, dia berkata, “Belum. Ini belum waktunya. Janganlah terburu-buru.”
Telingaku juga menangkap sebuah suara salah seorang mereka, “Ini suami Al Mardhiyah.”
Mereka berkata kepadaku, ”kemarilah, yarhamukalloh.”
Baru saja kakiku hendak melangkah, ternyata mereka telah berdiri di depanku.
Aku pun tak tahan hendak menjulurkan tangan menyentuhnya. Belum sampai tangan ini menyentuh, dia berkata, “Belum. Ini belum waktunya. Janganlah terburu-buru.”
Telingaku juga menangkap sebuah suara salah seorang mereka, “Ini suami Al Mardhiyah.”
Mereka berkata kepadaku, ”kemarilah, yarhamukalloh.”
Baru saja kakiku hendak melangkah, ternyata mereka telah berdiri di depanku.
Mereka membaw
aku ke atas istana. Di sebuah kamar, seluruhnya dari emas merah yang berkilauan indahnya. Dalam kamar itu ada dipan yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih. Dan di atasnya. . .seorang gadis belia dengan wajah bersinar lebih indah dari sekedar rembulan!!
Kalaulah Allah tidak memantapkan kalbu dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena tak kuasa menatap kecantikannya!!
“Marhaban, ahlan wa sahlan, duhai wali Allah. Sungguh engkau adalah milikku dan aku adalah milikmu” katanya menyambutku, membuatku tak terasa hendak memeluknya.
”Sebentar...Janganlah terburu-buru. Belum waktunya. Aku berjanji padamu, kita bertemu besok selepas sholat dhuhur. Bergembiralah,”
sang pemuda mengakhiri kisahnya.
aku ke atas istana. Di sebuah kamar, seluruhnya dari emas merah yang berkilauan indahnya. Dalam kamar itu ada dipan yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih. Dan di atasnya. . .seorang gadis belia dengan wajah bersinar lebih indah dari sekedar rembulan!!
Kalaulah Allah tidak memantapkan kalbu dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena tak kuasa menatap kecantikannya!!
“Marhaban, ahlan wa sahlan, duhai wali Allah. Sungguh engkau adalah milikku dan aku adalah milikmu” katanya menyambutku, membuatku tak terasa hendak memeluknya.
”Sebentar...Janganlah terburu-buru. Belum waktunya. Aku berjanji padamu, kita bertemu besok selepas sholat dhuhur. Bergembiralah,”
sang pemuda mengakhiri kisahnya.
Lalu, aku berusaha
membangkitkan himmahnya,
“Kawan, mimpimu begitu indah. Engkau akan melihat kebaikan nantinya.” Kami pun bermalam dengan perasaan takjub dan kagum akan mimpi sang pemuda.
“Kawan, mimpimu begitu indah. Engkau akan melihat kebaikan nantinya.” Kami pun bermalam dengan perasaan takjub dan kagum akan mimpi sang pemuda.
Esok hari, kami
bersiap menghadapi kaum kafir. Barisan diluruskan, formasi dan strategi
dimatangkan, senjata tergenggam kuat dan tali kekang kuda dipegang erat.
Semangat pun
semakin berkobar saat mendengar hasungan,
“wahai segenap para tentara Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian. Bergembiralah dengan jannah. Majulah kalian, baik terasa ringan oleh kalian ataupun terasa berat.”
“wahai segenap para tentara Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian. Bergembiralah dengan jannah. Majulah kalian, baik terasa ringan oleh kalian ataupun terasa berat.”
Tak lama, skuadron pasukan kuffar tiba
di hadapan kami. Banyak sekali, bagaikan belalang yang menyebar
kemana-mana.Perang campuh pun terjadi. Kesunyian pagi hari sontak terpecah oleh
teriakan skuadron kuffar dan gema takbir kaum muslimin.
Suara senjata yang saling beradu, berbaur dengan riuh rendah suara para prajurit yang sedang bertaruh nyawa.
Suara senjata yang saling beradu, berbaur dengan riuh rendah suara para prajurit yang sedang bertaruh nyawa.
Tiba-tiba aku mengkhawatirkan pemuda
itu. Iya, dimana pemuda itu…Dimana pemuda itu ? Ku berusaha mencari di tengah
medan laga. Ternyata dia di barisan depan pasukan muslimin. Dia merangsek maju,
menyibak skuadron kuffar dan memporak porandakan barisan mereka.
Dia bertempur dengan hebatnya. Dia
mampu melumpuhkan begitu banyak pasukan kuffar. Namun begitu, tetap saja hati
ini tak tega melihatnya. Aku segera menyusulnya di depan.
“Kawan, kau masih
terlalu muda. Kau tak tahu betapa liciknya pertempuran. Kembalilah ke
belakang,”
teriakku mencoba menyaingi suara riuh pertempuran, sambil menarik tali kekang kudanya.
teriakku mencoba menyaingi suara riuh pertempuran, sambil menarik tali kekang kudanya.
“Paman, tidakkah
kau membaca ayat { wahai segenap kaum mukmin, jika kalian telah bercampuh
dengan kaum kuffar, maka janganlah kalian mundur ke belakang } [Al Anfal:15].
Sudikah engkau aku masuk neraka ?” serunya menimpali.
Saat kucoba memahamkannya, serbuan
kavelari kuffar memisahkan kami. Aku berusaha mengejarnya, namun sia-sia.
Peperangan semakin bergejolak.
Dalam kancah
pertempuran, terdengarlah derap kaki kuda diiringi gemerincing pedang dan hujan
panah. Lalu mulailah kepala berjatuhan satu persatu. Bau anyir darah tercium
dimana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan.Dan tubuh tak bernyawa tergeletak
bersimbah darah. Demi Allah, perang itu telah menyibukkan tiap orang akan
dirinya sendiri dan melalaikan orang lain. Sabetan dan kilatan pedang di atas
kepala yang tak henti-hentinya, menjadikan suhu memuncak. Kedua pasukan
bertempur habis-habisan.
Saat perang usai, aku segera mencari si
pemuda. Terus mencari di medan laga. Aku khawatir dia termasuk yang terbunuh.
Aku berkeliling mengendarai kuda di sekitar kumpulan korban. Mayat demi mayat,
sungguh wajah mereka tak dapat dikenali, saking banyaknya darah bersimbah dan
debu menutupi.
Dimana sang pemuda
? Aku terus melanjutkan pencarian. Dan tiba-tiba aku mendengar suara lirih,
”Kaum muslimin, panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari!”
”Kaum muslimin, panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari!”
Itu suaranya,
teriakku dalam kalbu. Kucari sumber suara, ternyata benar, si pemuda. Berada di
tengah-tengah kuda bergelimpangan. Wajahnya bersimbah darah dan tertutup debu.
Hampir aku tak mengenalnya.
Aku segera
mendatanginya. “Aku di sini! Aku di sini! Aku Abu Qudamah!” isakku tak kuasa
menahan tangis.
Aku sisingkan sebagian kainku dan
mengusap darah yang menutupi wajah polosnya.
”Paman, demi Rabb
ka’bah, aku telah meraih mimpiku. Akulah putra ibu pemilik rambut kepang itu.
Aku telah berbakti padanya, ku kecup keningnya dan ku hapus debu dan darah yang
terkadang mengalir di wajahnya,” kenangnya.
Sungguh aku
benar-benar tak kuasa dengan kejadian ini.
“Kawan, janganlah kau lupakan pamanmu ini. Berilah dia syafa’at nanti di hari kiamat.”
“Kawan, janganlah kau lupakan pamanmu ini. Berilah dia syafa’at nanti di hari kiamat.”
“Orang sepertimu
tak kan pernah kulupakan.”
”Jangan!” serunya lagi saat kucoba mengusap wajahnya.
”Jangan!” serunya lagi saat kucoba mengusap wajahnya.
“Jangan kau usap
wajahku dengan kainmu. Kainku lebih berhak untuk itu. Biarkanlah darah ini
mengalir hingga aku menemui Rabb-ku, paman."
"Paman,
lihatlah, bidadari yang pernah kuceritakan padamu ada di dekatku. Dia menunggu
ruhku keluar. Dengarkanlah kata-katanya; 'sayang, bersegeralah. Aku rindu.'
"Paman, demi
Allah, tolong bawalah bajuku yang berlumuran darah ini untuk Ummi. Serahkanlah
padanya, agar beliau tahu aku tak pernah menyia-nyiakan petuahnya. Juga agar
beliau tahu aku bukanlah pengecut melawan kaum kafir yang busuk itu.
Sampaikanlah salam dariku dan katakan hadiahmu telah diterima Allah. Paman,
saat berkunjung ke rumah nanti, kau akan bertemu adik perempuanku. Usianya
sekitar sepuluh tahun. Jika aku datang, ia sangat gembira menyambutku. Dan jika
aku pergi, ia paling tidak mau kutinggalkan."
"Saat ku
meninggalkannya kali ini, ia mengharapkanku cepat kembali. “Kak, cepat pulang,
ya.” Itulah kata-katanya yang masih terngiang di telingaku. Jika engkau bertemu
dengannya, sampaikan salamku padanya dan katakan; 'Allah-lah yang akan
menggantikan kakak sampai hari kiamat, ”
kata-katanya terus membuat air mataku meleleh.
kata-katanya terus membuat air mataku meleleh.
Menetes dan terus
menetes membuat aliran sungai di pipi.
”Asyhadu alla ilaaha illalloh, wahdahu laa syarikalah, sungguh benar janji-Nya. Wa asyhadu anna muhammadarrosululloh. Inilah apa yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya dan nyatalah apa yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya,”
itulah kata-kata terakhirnya sebelum ruh berlepas dari jasadnya.
”Asyhadu alla ilaaha illalloh, wahdahu laa syarikalah, sungguh benar janji-Nya. Wa asyhadu anna muhammadarrosululloh. Inilah apa yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya dan nyatalah apa yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya,”
itulah kata-kata terakhirnya sebelum ruh berlepas dari jasadnya.
Lalu aku
mengkafaninya dan menguburkannya.
Aku harus segera ke Recca, tekadku. Aku segera pergi ke Recca. Tak lain dan tak bukan tujuanku hanyalah ibu si pemuda.
Aku harus segera ke Recca, tekadku. Aku segera pergi ke Recca. Tak lain dan tak bukan tujuanku hanyalah ibu si pemuda.
Celakanya aku, aku belum mengetahui nama
si pemuda dan dimana rumahnya. Aku berkelililing ke seluruh kota Recca. Setiap
sudut, gang dan jalan ku telusuri. Dan akhirnya aku mendapatkan seorang gadis
mungil. Wajahnya bersinar mirip si pemuda.
Ia melihat-lihat setiap orang yang berlalu
di depannya. Tiap kali melihat orang baru datang dari bepergian, ia bertanya,
“Paman, anda datang darimana?”
“Paman, anda datang darimana?”
“Aku datang dari
jihad,” kata lelaki itu.
“Kalau begitu
kakakku ada bersamamu?” tanyanya
“Aku tak kenal,
siapa kakakmu.” kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu lewatlah
orang kedua dan tanyanya, “Paman, anda datang dari mana?”
“Aku datang dari
jihad,” jawabnya.
“Kakakku ada
bersamamu?”, tanya gadis itu.
“Aku tak kenal,
siapa kakakmu.” jawabnya sambil berlalu.
Gadis itu pun tak
bisa menahan rindu kepada sang kakak. Sambil terisak-isak, dia berkata,
”mengapa mereka semua kembali dan kakakku tak kunjung kembali?”
”mengapa mereka semua kembali dan kakakku tak kunjung kembali?”
Aku iba kepadanya.
Ku coba menghampiri tanpa membawa ekspresi kesedihan.
“Adik kecil, bilang sama Ummi, Abu Qudamah datang.”
“Adik kecil, bilang sama Ummi, Abu Qudamah datang.”
Mendengar suaraku,
sang ibu keluar.
”Assalamu’alaikum,” salamku.”Wa’alaikum salam,” jawabnya.
”Assalamu’alaikum,” salamku.”Wa’alaikum salam,” jawabnya.
“Engkau ingin
memberiku kabar gembira atau berbela sungkawa?” lanjutnya.
“Maksud, ibu ?”
“Jika putraku
datang dengan selamat, berarti engkau berbela sungkawa. Jika dia mati syahid,
berarti engkau kemari membawa kabar gembira,” terangnya.
”Bergembiralah.
Allah telah menerima hadiahmu.”
Ia pun menangis
terharu.
“Benarkah?”
“Iya."
Benar-benar ia tak kuasa menahan tangis.
“Benarkah?”
“Iya."
Benar-benar ia tak kuasa menahan tangis.
”Alhamdulillah.Segala
puji milik Allah yang telah menjadikannya tabunganku di hari kiamat,” pujinya
kepada Zat Yang Maha Kuasa.
Para sahabat Abu
Qudamah mendengarkan kisahnya dengan penuh kekaguman.
”Lalu gadis kecil
itu bagaimana?” tanya salah seorang dari mereka.
”Dia mendekat
kepadaku. Dan kukatakan padanya,
'Kakakmu menitipkan salam padamu dan berkata; 'Dik, Allah-lah yang menggantikanku sampai hari kiamat nanti”.
'Kakakmu menitipkan salam padamu dan berkata; 'Dik, Allah-lah yang menggantikanku sampai hari kiamat nanti”.
Tiba-tiba dia
menangis sekencang-kencangnya. Wajahnya pucat. Terus menangis hingga tak
sadarkan diri. Dan set
elah itu nyawanya tiada.
elah itu nyawanya tiada.
Sang ibu mendekapnya dan menahan sabar
atas semua musibah yang menimpanya. Aku benar-benar terharu melihat kejadian
ini. Aku serahkan padanya sekantong uang, berharap bisa mengurangi bebannya.
Sang ibu pun melepas kepergianku. Aku meninggalkan mereka dengan kalbu yang
penuh kekaguman, ketabahan sang ibu, sifat ksatria sang pemuda dan cinta gadis
kecil itu kepada kakaknya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar