InspirasI

Senin, 30 April 2018

Ada Apa Dengan Surat Yusuf

Oleh : Nur Hasan

Di surat Yusuf Allah Swt., menjelaskan kepada kita, bahwa dalam perjalanan hidup Nabi Yusuf ini ada 6 peristiwa penting di sana. Di mana tiga yang pertama adalah episode kesedihan dan tiga peristiwa yang berikutnya adalah episode-episode kegembiraan.
Tiga yang pertama adalah ketika Nabi Yusuf menjadi korban konspirasi saudara-saudaranya, dimasukkan ke dalam sumur. Kedua, ketika dari sumur itu Nabi Yusuf ditemukan oleh seorang musafir di dalam sumur kemudian dijual sebagai budak. Ketiga, ketika Nabi Yusuf mendapatkan fitnah yang sangat berat dirasakan, sehingga beliau lebih memilih senang hidup di penjara.
Tiga berikutnya adalah, peristiwa-peristiwa yang mengubah kesedihan Nabi Yusuf ini menjadi kebahagiaan dan kegembiraan. Pertama, ketika beliau dikeluarkan dari penjara. Sebagai bentuk bonus ketika beliau bisa mentakwil mimpi. Kedua, ketika setelah keluar dari penjara itu kemudian beliau jadi penguasa, menjadi raja di Mesir. Ketiga, ketika beliau bisa memboyong semua keluarganya: orangtuanya dan sebelas saudaranya berkumpul semua.
Allah Swt., berfirman:
"Dan demikianlah, Tuhan memilih engkau (untuk menjadi Nabi) dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi dan menyempurnakan (nikmat-Nya) kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua orang kakekmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sungguh, Tuhanmu Maha Mengetahui, Mahabijaksana."
(QS. Yusuf: Ayat 6)
Nabi Yusuf disebut dengan ibnul karim...ibnul karim...ibnul karim. Maknanya, beliau adalah orang saleh dan dari bapak yang saleh juga, karena Nabi Yusuf ini bin Ya'qub.
Ya'qub juga dari anak yang saleh. Karena Ya'qub ini bin Ishaq. Ishaq juga dari anak yang saleh. Karena ishaq bin Ibrahim.
Jadi Nabi Yusuf ini adalah orang saleh yang dipilih oleh Allah Swt., keturunan dari orang-orang saleh juga. Sehingga Nabi Yusuf termasuk satu di antara orang yang dipilih Allah Swt., sejak dari nenek moyangnya terpilih dari orang-orang saleh. Sehingga ketika diutus Allah menjadi Nabi, beliau memang pilihan Allah untuk manusia.
Di dunia ini ada 3 macam orang, di antaranya adalah: kafir, munafik, dan muslim. Dan di antara orang-orang muslim di dunia ini, ada yang taat dan ada yang tidak.
Alhamdulillah, Allah memilih kita menjadi muslim yang taat. Kemudian dari sekian banyak muslim yang taat itu, ada yang rajin ke masjid dan ada yang tidak.
Alhamdulillah, kita dipilih oleh Allah masuk kelompok yang rajin ke masjid. Dan begitu seterusnya. Maka kita perlu bersyukur ketika dipilih oleh Allah Swt., sebagai muslim yang taat, rajin ke masjid, dan senang hadir di majelis-majelis taklim.
Karena sekarang ini banyak orang yang tak suka pergi ke masjid dan majelis taklim, tapi suka ke warung-warung kopi.
Yang suka ke masjid juga sudah banyak, tapi yang tidak ke sana lebih banyak lagi.
Namun, alhamdulillah kita dipilih oleh Allah termasuk orang-orang yang suka ke masjid, sebagaimana Nabi Yusuf dipilih oleh Allah Swt.
Kemudian Allah Swt., bekali Nabi Yusuf punya keahlian mentafsir mimpi. Ini merupakan salah satu mukjizatnya Nabi Yusuf.
Kalau orang jawa punya banyak tafsir mimpi, misal jika mimpi dipatok ular katanya mau nikah. Itu kalau yang mimpi masih bujangan tidak masalah. Jika umurnya sudah 70 tahun lalu mimpi digigit ular, ini yang jadi masalah.
Takwil mimpi yang ditafsirkan oleh  Nabi Yusuf ini adalah mimpi-mimpi yang benar. Karena termasuk wahyu dari Allah Swt.
"Dan menyempurnakan (nikmat-Nya) kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub."Ini cerita tentang keluarga di dalam Al-Quran. Antara orangtua dan anak yang terkait dengan masalah pendidikan dan pembinaan, maka yang sering disebutkan di situ adalah bapaknya.
Hampir tak pernah kalau kita lihat, Al-Quran berkisah tentang orangtua dan anak yang terkait dengan pendidikan, lalu ibunya yang disebutkan. Tidak ada. Semua ayahnya.
Misalnya kisah Nabi Ya'qub dengan Nabi Yusuf. Panjang ceritanya, satu surat penuh. Tapi tak ada satu pun ayat yang menceritakan siapa ibunya Yusuf.
Di dalam Al-Quran ada kisah tentang Nabi Nuh dengan Kan'an. Tapi tidak ada cerita tentang istrinya Nabi Nuh. Ada cerita Nabi Ibrahim dengan Ismail dan Ishaq. Tapi kisah tentang Hajar dan Sarah tidak di dalam Al-Quran, tapi di hadis.
Bahkan dialog yang paling terkenal antara orangtua dan anak, yaitu Luqman Al-Hakim. Istrinya juga tidak diceritakan di situ.
Ini semua bisa diambil sebuah pelajaran, bahwa tugas mendidik dan membina anak bukan hanya seorang ibu, tapi juga bapaknya. Bahkan bapaknya lebih berat lagi. Persoalan kalau ada undangan pertemuan wali murid, tidak apa-apa kalau lebih banyak yang datang ibu-ibunya.
Allah Swt., berfirman:
"Sungguh, dalam (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang bertanya." (QS. Yusuf: Ayat 7)
Yusuf itu seibu dengan Bunyamin. Sementara sebelas saudaranya yang lain beda ibu. Karena Yusuf dan Bunyamin ini ditinggal mati oleh ibunya saat keduanya masih kecil. Maka sejak awal, sebelum Yusuf mimpi itu sudah akrab.
Allah Swt., berfirman:
"Ketika mereka berkata, "Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh, ayah kita dalam kekeliruan yang nyata." (QS. Yusuf: Ayat 8)
Karena sebelas saudaranya Yusuf ini merasa diperlakukan tidak adil oleh bapaknya. Yang kemudian perasaan itu melahirkan rasa iri, dengki, dan dendam. Lalu itulah yang menggerakkan mereka untuk berbuat jahat. Maka, Allah Swt., berfirman:
"Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik." (QS. Yusuf: Ayat 9)
Jadi sebelas saudaranya Yusuf ini merencanakan berbuat jahat dan sekaligus setelah itu merencanakan tobat.
Allah Swt., berfirman:
"Seorang di antara mereka berkata, "Janganlah kamu membunuh Yusuf, tetapi masukkan saja dia ke dasar sumur agar dia dipungut oleh sebagian musafir, jika kamu hendak berbuat"." (QS. Yusuf: Ayat 10)
Ya'qub tak bermaksud sedikit pun membuat zalim kepada anak-anaknya, kemudian hanya memanjakan Yusuf dan Bunyamin.
Tetapi apa yang dilakukan oleh Ya'qub terhadap Yusuf dan Bunyamin, itu suatu kewajiban. Karena memang Yusuf dengan mimpinya melihat sebelas planet sujud kepadanya, Ya'qub sudah merasa mendapat firasat dari Allah Swt., bahwa anaknya yang bernama Yusuf ini akan menjadi Nabi.
Maka sudah selayaknya Ya'qub memperlakukan Yusuf beda dengan yang lain. Karena ini Nabi. Tetapi apa yang sudah diniatkan oleh Ya'qub, baik berdasarkan dasar-dasar yang baik, dipahami oleh yang lain itu tak adil bagi mereka. Sehingga mereka mengatakan, "Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh, ayah kita dalam kekeliruan yang nyata." (QS. Yusuf: Ayat 8)
Sekali lagi, tidak adilnya orangtua yang itu dirasakan oleh anak, ini bisa menimbulkan iri. Iri itulah yang menimbulkan dengki dan dendam. Dan dendam itulah yang mendorong orang untuk melakukan kejahatan. Ini yang harus menjadi perhatian kita semuanya.
Ada sebuah hadis Rasulullah. Dari Nu'man bin Basyir dia bercerita, bahwa pernah dibawa oleh ayahnya menemui Rasulullah.
Kata ayahnya, "Ya Rasul, anakku ini aku hadiahi pembantu yang dulu milikku." Kemudian Rasul bertanya, "Apa semua anakmu kamu beri pembantu seperti dia." Lalu ayahnya Nu'man menjawab, "Tidak."
Rasul berkata lagi, "Batalkan."
Kenapa? Kalau ini dilakukan oleh ayahnya Nu'man, maka itu akan dirasakan sebagai perbuatan tidak adilnya orangtua pada anak-anaknya. Karena tidak diberi pembantu rumah tangga dan itu bisa menyebabkan seperti dulu yang dialami oleh Nabi Yusuf dan saudara-saudaranya.
Orangtua harus bisa dirasakan anak-anaknya bersikap adil dalam setiap pemberiannya.
Kemudian ada hadis lain yang masih bercerita tentang Nu'man dari riwayat lain. Saat itu Rasulullah bersabda, "Ya Basyir, apakah kamu punya anak selain Nu'man?" Basyir kemudian menjawab, "Ya." Rasul lalu bertanya lagi, "Apakah setiap anakmu kamu beri seperti ini?" Basyir menjawab, "Tidak." "Kalau begitu jangan jadikan aku sebagai saksi. Sebab aku tidak mungkin menjadi saksi perbuatan zalim," kata Rasul.
Kenapa Rasulullah tidak mau? Karena perbuatan Basyir ini termasuk menzalimi yang lain. Dan Rasulullah tidak mau menjadi saksi atas peristiwa seperti itu.
Bahkan seorang ulama yang bernama Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari mengatakan, "Ini merupakan suatu kewajiban memutus hubungan silaturahmi dan durhaka. Itu dua hal yang diharamkan. Sehingga segala sesuatu yang mengarah kepada putus hubungan keluarga dan durhaka kepada kedua orangtua itu juga hukumnya haram dalam Islam. Sementara orangtua yang mengutamakan anak satu dibanding yang lain itu di antara hal yang menyebabkan dua hal tersebut."
Pertama, seperti Nabi Yusuf dengan kakak-kakaknya yang sebelas itu. Putus sudah hubungannya. Kedua, durhaka kepada kedua orangtuanya akan terjadi, seperti saudara-saudaranya Yusuf kepada bapaknya. Apa itu? Yaitu berbohong.
Nah, dua hal itu bisa dihindari dari orangtua dengan cara bersikap adil kepada anaknya. Misal satu dibelikan baju yang lain juga dibelikan. Dengan catatan jika memang membutuhkan. Tentu adil itu proporsional, mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya.
Sekali lagi kembali kepada ayat tadi, bahwa ketika orangtua tidak adil kepada anaknya, maka yang akan terjadi adalah iri. Ketika menimbulkan rasa iri itu akibat beratnya dua tadi: putus hubungan kekeluargaan dan durhaka kepada kedua orangtua. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari keduanya ini.
Hal kedua, ada rencana jahat. Di belakang rencana jahat itu ada rencana baik, yaitu tobat. Merencanakan kejahatan sekaligus merencanakan tobat. "Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik."
(QS. Yusuf: Ayat 9)
Di dalam kitab Riyadhus Shalihin itu ada bab tobat. Di situ disebutkan, para ulama mengatakan bahwa tobat itu hukumnya wajib dari semua jenis dosa. Baik dosa besar maupun kecil.
Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya yang berjudul Al-Kabair (Dosa-dosa Besar). Kenapa disebut dosa besar? Pertama, beliau mengatakan ada dosa yang Allah dan Rasulullah menyebutkan dosa yang merusak amal.
Misalnya, jauhi 7 dosa besar yang merusak seluruh amal kita. Salah satunya adalah syirik. Beliau juga mengatakan, ada dosa yang Allah Swt., melaknat pelakunya. Yaitu, Allah melaknat kalau ada orang melaknat, mencela, menghina, dan merendahkan kedua orangtuanya.
Atau dosa besar itu dosa yang Allah sebutkan dan Allah tentukan hukumannya di dunia sebelum nanti di akhirat. Misalnya, membunuh ada hukuman dunianya qishas. Berzina, ada hukuman dunianya yaitu dicambuk seratus kali atau dirajam. Membuat fitnah atau isu perbuatan zina ada 80 kali cambukan. Minum-minuman keras ada hukumannya di dunia, yaitu 80 kali cambukan. Homo sex dan lesbian ada hukumannya. Dan seterusnya. Ini semua termasuk dosa besar.
Di dalam kitab Al-Kabair itu beliau menyebutkan ada 70 macam dosa besar. Di bagian akhir dikatakan, "Jangan engkau lihat dosa apa yang kamu kerjakan, tapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat maksiat."
Jadi kalau kita melakukan dosa walaupun dosanya dosa kecil, tapi itu dilakukan dengan sadar dan dengan niat melanggar maka bisa menjadi besar.
Allah Swt., berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya." (QS. At-Tahrim: Ayat 8)
Kenapa orang-orang beriman disuruh untuk bertobat? Karena memang orang beriman itu belum ada jaminan bersih dari dosa dan kesalahan.
Bedanya, kalau orang kafir melakukan perbuatan dosa bukan disuruh bertobat, tapi disuruh masuk Islam. Makanya perintah tobat itu bagi orang mukmin.
Kalau maksiatnya itu antara hamba dengan Allah dan tidak terkait dengan hak orang, tobatnya punya tiga syarat. Pertama, maksiatnya tinggalkan. Kalau dulu tidak shalat ya shalat. Kalau dulu tidak puasa ramadhan ya puasa ramadhan. Kedua, harus disertai dengan rasa menyesal. Kapok dan menyesali kenapa kemarin melakukan maksiat. Ketiga, harus ada tekad untuk tidak kembali lagi ke lubang maksiat selamanya.
Kalau tobatnya berpedoman pada tiga hal ini, maka tobatnya tergolong serius. Sebab ada orang yang berhenti dari maksiat tapi tidak menyesal. Ini bisa gawat. Karena kalau ada kesempatan maksiatnya akan balik lagi.
Nah, bagaimana kalau dosanya itu terkait dengan orang lain? Syarat diterima tobatnya itu ada empat. Tiga yang tadi dan keempatnya harus selesai urusannya dengan orang yang dimaksiati, baru diterima tobatnya oleh Allah.
Kalau dosanya dengan orang lain itu terkait dengan harta atau sejenisnya, maka yang diambil punya orang harus dikembalikan. Misal tobat karena berkali-kali mencuri sandal di masjid. Ini terkait dengan Allah dan manusia. Maka syarat diterima tobatnya adalah tidak mencuri lagi, menyesal telah melakukan pencurian, berjanji tidak akan mencuri lagi, dan yang selanjutnya sandalnya harus kembalikan.
Ini terkait dengan serius atau tidak tobatnya. Kalau sudah dijual sandalnya gimana? Ya harus diganti dengan harganya.
Tobat dari korupsi juga begitu. Berhenti tidak lagi korupsi, menyesal karena melakukan korupsi, berjanji tidak korupsi lagi, dan selanjutnya kembalikan uang hasil korupsi tersebut.
Kalau kita serius bertobat, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa kita dan menghapus jejak-jejak dosa yang masih ada dalam diri kita, karena orang yang makan harta orang lain maka di dalam tubuhnya tumbuh daging yang berasal dari makanan haram. Ini yang terkait dengan harta.
Kalau yang terkait dengan orang lain itu menuduh atau menghina, bagaimana cara membereskannya? Yaitu kita harus minta maaf. Sampai orang yang disakiti itu memaafkannya.
Jadi kalau orang mau melakukan dosa hal ini harus dipikirkan matang-matang. Makanya di dalam hadis dijelaskan, "Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik." (HR. Tirmidzi)
Dihapus di Lauhul Mahfudz dan dihapus di dalam pikiran orang. Orang sulit melupakan dosa kita kalau tidak kita tutup dengan kebaikan.
Kalau kita berbuat salah atau maksiat kemudian tobat lalu kita akhiri dengan perbuatan baik, mudah-mudahan catatan di langit dihapus dan di pikiran orang juga dihilangkan oleh Allah.
Seperti para sahabat. Siapa yang tak kenal Umar bin Khattab. Beliau sebelum masuk Islam itu pernah minum-minuman keras, menyembah berhala, dan menempeleng adiknya yang masuk Islam. Tapi begitu dia masuk Islam ditutup dengan kebaikannya. Orang mengenal Umar bin Khattab karena baiknya, sudah tidak ingat buruknya lagi. Karena sudah ditutup dengan kebaikan.
Kita juga mengenal Khalid bin Walid. Pernah menyembah berhala, pernah membantai umat Islam di perang uhud, dan pernah mengusir dan menghina Rasulullah. Tapi ketika sekarang kita mendengar nama Khalid bin Walid kita sudah tidak ingat keburukannya. Yang kita ingat adalah sebagai pahlawan Islam. Kenapa? Karena keburukannya ditutup dengan kebaikan.
Dan kita semua pernah melakukan keburukan dan punya catatan-catatan kesalahan. Tapi dengan keseriusan kita bertobat, Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan tersebut.
Tapi ini yang berat, kalau dosa itu terkait dengan orang lain yang berbentuk ghibah. Rangking 2 setelah syirik dalam kitab Al-Kabair. Karena saking berat dan menjijikkannya dosa ini sampek Al-Quran menyebutnya begini:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat: Ayat 12)
Orang yang melakukan ghibah sesama saudaranya itu sama dengan makan bangkai saudaranya sendiri. Begitu sangat menjijikkan. Apa ghibah itu? Kalau kamu menyebutkan dan menceritakan tentang saudaramu, seandainya saudaramu ini mendengar dia tidak suka. Pertanyaanya, siapa yang tidak pernah mengghibah orang? Artinya, kebalikannya kalau kita menceritakan tentang saudara kita lalu saudara kita mendengar malah senang. Itu termasuk bukan ghibah.
Sahabat pernah bertanya, "Ya Rasul, kalau yang saya ceritakan itu memang kenyataannya begitu. Saya tidak mengada-ada." Rasul lalu menjawab, "Ya itulah yang namanya ghibah. Memang ghibah itu cerita tentang kenyataan." Sahabat bertanya lagi, "Kalau yang saya ceritakan tidak seperti itu ya Rasul?" Rasul menjawab, "Berarti kamu bohong."
Dua-duanya jelek. Cerita sesuai kenyataan berarti ghibah, kalau tidak berarti tergolong dusta. Kalau dosanya karena ghibah, berat. Karena harus mendatangi orangnya dan menceritakan apa masalahnya, sampek orangnya memaafkan.
Jadi apa yang dilakukan saudara-saudaranya Yusuf itu tidak termasuk di sini, sebab tobat itu seperti firman Allah Swt., berikut ini:
"Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." (QS. An-Nisa': Ayat 17)
Kebalikannya: "Dan tobat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, "Saya benar-benar bertobat sekarang." Dan tidak (pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal, sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan azab yang pedih."
(QS. An-Nisa': Ayat 18)
Pintu tobat terus dibuka pintunya oleh Allah: malam, siang, pagi. Dan pintu tobat ditutup ketika kiamat sudah datang dan nyawa sudah sampai di tenggorokan. Tobatnya Fir'aun ditolak karena tobatnya ketika pas mau tenggelam. Sudah terlambat.
Maka, di sini ada dua pelajaran penting yang bisa dipetik dari kisah Yusuf di atas. Di antaranya adalah:
1. Berusaha adil, objektif, dan proporsional dalam pemberian terhadap anak. Jangan sampai apa yang diberikan orangtua ke anak justru menimbulkan iri dan dendam kepada anak-anaknya yang lain
2. Bertobat sekecil apa pun dari perbuatan dosa.
Kalau dia tidak tahu bahwa itu dosa, setelah sadar kalau itu dosa, maka segera tobat dan tidak menunda-nundanya.


Sabtu, 28 April 2018

10 KEPRIBADIAN LUAR BIASA

1. TULUS -- Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi.
2. RENDAH HATI -- Hanya orang yang kuat batinnya yang bisa bersikap rendah hati. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain.
3. SETIA -- Orang yang setia bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak berkhianat.
4. POSITIVE THINKING -- Orang berpikiran positif selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun.
5. CERIA -- Artinya bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh, dan selalu berusaha meraih kegembiraan.
6. TANGGUNG JAWAB -- Ia akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau salah, berani mengakuinya dan tidak mencari kesalahan orang lain.
7. PECAYA DIRI -- Mampu menerima dirinya sebagaimana adanya,
menghargai dirinya dan orang lain. Juga mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.
8. BERJIWA BESAR -- Ia tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia tetap tegar!
9. EASY GOING -- Maksudnya, tidak suka membesar-besarkan masalah kecil atau berusaha mengecilkan masalah besar. Dia tidak mau pusing dengan masalah yang berada di luar kontrolnya.
10. EMPATI -- Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik tapi juga selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.
Semoga bermanfaat...


Senin, 23 April 2018

Menanam Kebaikan
                                                     

Rasulullah saw., bersabda, "Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanam sebelum terjadi kiamat maka hendaklah dia menanamnya." (HR. Imam Ahmad)
Hadis ini memberikan pemahaman kepada kita semua, bahwa dengan menanam kita akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Misalnya esok hari akan terjadi kiamat, kemudian di tangan kita masih ada tunas, lantas oleh Nabi diperintah untuk menanam, kira-kira antara waktu yang diperlukan tanaman ini hingga berbuah dengan terjadinya hari kiamat, mana yang terjadi terlebih dahulu?
Yang menarik di sini adalah kiamat mau terjadi, tapi Nabi tidak memerintahkan untuk memperbanyak shalat dan puasa. Tapi kita disuruh menanam.
Hadis di atas sangat istimewa dengan cara kita ilustrasikan seperti ini, kita punya teman divonis oleh dokter usianya tinggal 10 hari. Saat itu kita menjenguknya kemudian berpesan kepada yang bersangkutan dengan mengatakan, "Sabar, banyak berzikir, ibadah, dan berdoa kepada Allah ya."
Mungkin ini saran yang biasa. Tapi kalau sarannya begini, "Ayo ikut saya cari pekerjaan biar dapat uang banyak." Kira-kira jawabannya bagaimana? Mungkin dia akan menjawab "Kamu ini gila ya, orang sakit kok diajak bekerja!"
Sebetulnya apa yang diinginkan oleh Rasulullah melaui pesan hadis tadi adalah, kehidupan ini perlu kita jaga produktifitasnya. Tapi produktifitas yang dimaksud bukan semata-mata untuk kepentingan duniawi, meskipun yang kita lakukan adalah tentang urusan materi dan kerja-kerja untuk mencari uang.
Namun yang diinginkan sesunggunya bukan semata-mata menanam, tapi di balik menanam itu ada apa?
Abu Darda ketika usianya sudah tua, beliau menanam lalu terlihat anak-anak muda. Melihat Abu Darda menanam anak-anak muda ini kemudian bertanya, "Wahai Abu Darda engkau ini sudah tua, untuk apa menanam lagi. Karena waktu yang dibutuhkan buah ini hingga berbuah dengan hidupmu, sepertinya engkau yang akan mati duluan!"
Mendengar itu lalu Abu Darda menjawab, "Tugasku hanya menanam. Masalah buahnya itu urusan lain. Saya mendapatkan pahala dengan menanam atau karena berbuah?"
Abu Darda berusaha menjaga produktifitas hingga akhir usianya. Karenanya tak ada kata pensiun untuk menjadikan hidup kita selalu produktif.
Di sisi lain hubungan sama Allah jika kita mengacu pada Al-Quran, diistilahkan dengan hubungan bisnis atau transaksional. Kadang juga diilustrasikan seperti orang berladang atau menanam.
Allah Swt., berfirman:
"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung." (QS. At-Taubah: Ayat 111)
Pertanyaannya, kalau Allah membeli dari orang mukmin terus yang jualan siapa? Jawabannya adalah kita yang jualan, Allah yang membeli. Lalu apa yang dibeli oleh Allah? Yaitu jiwa dan harta kita yang awalnya juga berasal dari Allah.
Contoh ada seorang teman lalu ia kasih modal ke kita untuk berdagang. Setelah itu modal ini kita buat untuk kulakan barang dan kemudian dia membeli barang kita. Ngasih untungnya besar pula. Apa yang kita katakan kepada dia? Pasti kita akan memberi ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada dia.
Maka karunia yang berikan Allah Swt., kepada kita, harapannya kita tetap menjaga produktifitasnya. Kita berbisnis dan berladang untuk mengejar kesejahteraan yang tak hanya berdimensi material tapi juga spiritual.
Mari lihat ayat-ayat yang terkait dengan bisnis dan perdagangan kita dengan Allah Swt. Orientasinya di sana bukan semata-mata untuk mengejar dunia.
Allah Swt., berfirman:
"Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahi lah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
(QS. Al-Mulk: Ayat 15)
Bumi ini dijadikan mudah oleh Allah untuk dikelola dan di huni manusia. Tapi harus diingat bumi yang diciptakan Allah bagi manusia lantas untuk apa? Tidak lain kita sebagai hamba Allah harus menyelaraskan tujuan kita dengan tujuan Allah Swt.
Allah punya tujuan penciptaan bumi dan alam ini kita yang ada di atasnya harus menyeleraskan. Di sinilah nanti akan ketemu tujuan hamba dengan tujuan Allah Swt. Makanya ada sebuah kaidah yang mengatakan, "Setiap tujuan yang berlawanan dengan Allah Swt., maka tujuan itu adalah kebatilan."
Kalau Allah menghendaki bumi itu harus dibeginikan, tapi kita berbeda dengan yang dikehendaki-Nya, maka yang kita lakukan itu termasuk sebuah kebatilan.
Allah menginginkan bumi yang dikaruniakan kepada manusia adalah agar dilakukan aktivitas yang produktif untuk mengelola kekayaan yang ada di bumi ini.
Setelah berproduksi maka makanlah dari rezekinya Allah. Saat Allah memerintahkan kita untuk menikmati isi bumi ini, Allah tak menyuruh makanlah dari rezekimu, tapi makanlah dari rezeki Allah. Apa ini maknanya? Meskipun kita dari pagi sampai sore berladang dan menanam. Setelah itu merawatnya kemudian menghasilkan dan bisa dipanen. Sesungguhnya hasil panen tersebut bukan karya kita, tapi itu adalah karunia Allah Swt. Kok bisa seperti itu? Mari kita bandingkan, upaya yang dilakukan manusia dengan campur tangan Allah sampai tanaman itu menghasilkan, kira-kira mana yang lebih besar?
Misalnya, tugas yang kita lakukan untuk menanam padi diawali dengan apa? Yaitu mencangkul atau ditraktor tanahnya terlebih dahulu baru kemudian ditanami.
Pertanyaannya, yang menurunkan airnya siapa? Yang mengatur suhu udaranya siapa? Yang menyinari matahari siapa? Yang menumbuhkan siapa? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Makanya Qarun itu zalim, kemudian ditenggelamkan oleh Allah Swt., karena dia mengatakan, "Aku punya kekayaan dan harta itu karena ilmu yang aku miliki."
Karenanya Allah mengingatkan kepada kita, "Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (QS. Al-Mulk: Ayat 15)
Artinya, aktivitas produksi dan konsumsi meskipun secara kasat mata adalah amaliah kita yang sifatnya materi, namun sesungguhnya tujuannya bukan semata-mata untuk dunia, tapi untuk kembali kepada Allah Swt.
Begitu juga ketika kita berbisnis, ini bukanlah semata-mata mencari laba. Kalau bisa bisnis untuk mencari surga. Jadi mencari surga itu tempatnya bukan hanya di masjid, tapi mencarinya bisa di pasar dan tempat-tempat perdagangan. Karena di balik transaksi yang kita lakukan, itu bisa berpotensi mengantarkan kita ke surga atau neraka.
Dalam sebuah hadis sahih diceritakan ada orang didatangi malaikat, kemudian ditanya, "Kamu melakukan kebaikan apa tidak?" Lalu ia menjawab, "Aku tidak tahu." Selanjutnya ditanya lagi, "Coba kamu pikirkan, adakah kebaikan yang kamu lakukan." Kemudian ia menjawab, "Saya punya kebiasaan bisnis, terhadap orang yang mampu membayar aku berikan kemudahan dan terhadap orang yang tidak mampu aku bebaskan dia."
Akhirnya yang bersangkutan dimasukkan ke dalam surga. Kenapa? Karena cara bisnisnya itu. Menariknya di sini karena ketemunya di pasar dan bukan di masjid.
Kemudian bagaimana cara kita dalam mengejar keberuntungan dengan segala potensi yang diberikan Allah Swt.?
Pertama, memaknai kembali kata rugi.
Bagi pedagang rugi itu bukan semata-mata pengeluaran lebih besar daripada pendapatannya. Bukan hanya itu. Tapi para pedagang punya modal kok tidak diputar itulah rugi.
Sama halnya kalau kita punya potensi waktu, harta, dan anak, kok tidak didayagunakan, kita akan rugi.
Dalam Al-Quran kalau kita baca, neraka salah satunya disiapkan untuk siapa? Kebanyakan jin dan manusia karena mereka punya hati tapi tidak digunakan untuk memahami, punya penglihatan tidak digunakan untuk melihat kebesaran Allah, punya telinga tidak digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah.
Sekedar tidak digunakan saja sudah disiapkan neraka oleh Allah. Coba kalau digunakan untuk hal-hal yang berlawanan.
Ada ungkapan yang disampaikan oleh Abdul Azis Al Muhammad al Salman, ini menggambarkan orang yang punya potensi tapi tidak digunakan: kelak yang sangat merugi di hari kiamat itu ada tiga:
Pertama, orang yang punya pembantu tapi pada saat hari kiamat amalnya lebih baik daripada majikannya.
Biasanya kalau orang itu punya pembantu yang bangun pagi duluan siapa? Bisa jadi pembantunya lebih awal untuk menunaikan shalat, majikannya masih tidur. Pembantu ini kemudian bekerja secara ikhlas karena Allah, untuk kepentingan keluarganya yang sedang sakit.
Pembantunya selesai masak, kemudian shalat dhuha. Padahal tidak jarang waktu luang majikannya itu lebih banyak dibandingkan pembantunya tadi.
Misalnya, ada seorang direktur yang sudah tidak disibukkan dengan urusan-urusan teknis, karena sudah di-handle oleh bawahannya semua, tapi ternyata kelak di hari kiamat staffnya ini yang lebih baik amalnya dari direkturnya.
Jadi dia punya potensi waktu tapi tidak digunakan dan akhirnya rugi.
Kedua, orang yang punya harta tapi hartanya tidak disedekahkan. Dia meninggal kemudian diwarisi oleh orang lain, yang mewarisi ini tidak bekerja tinggal terima lalu dia menyedekahkan. Kira-kira yang dapat pahala siapa? Pasti yang sedekah itu.
Jadi harta kita yang sebenarnya adalah yang kita sedekahkan. Kalau yang ada di rekening itu adalah hartanya ahli waris. Kalau ahli waris digunakan untuk kebaikan masih mending, tapi kalau digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Na'udzu billahi mindzalik.
Ketiga, orang yang punya ilmu tapi tidak mau menerapkan ilmunya itu, tapi dia mengajarkan pada orang lain, orang yang diajari ini kemudian mengamalkan ilmu tersebut.
Kalau dia mengajar memang dapat pahala mengajar, yang diajari dapat pahala belajar. Yang ini menerapkan dan yang ini tidak menerapkan, kira-kira yang banyak mendapat pahala yang mana?
Jadi rugi itu adalah bila punya potensi tapi tak digunakan. Ibarat seorang pedagang yang punya modal tapi tidak diputar.
Maka, Allah sudah memberikan karunia berupa tunas kemudian disuruh untuk menanam.
Yang diberikan oleh Allah itu banyak, seperti ilmu, harta, keturunan, dan jabatan. Kalau tidak digunakan dengan baik maka akan rugi. Oleh karenanya kita harus tahu harta itu untuk apa? Ilmu yang kita miliki untuk apa? Keturunan yang kita lahirkan untuk apa? Jabatan yang kita emban untuk apa?
Tidak lain adalah untuk menyelaraskan tujuan kita dengan Allah. Jika kita bisa maka kita akan diberikan taufiq dari Allah Swt. Taufiq artinya adalah selaras. Kita sering mendengar dari penceramah wabillahi taufiq wal hidayah, ini bermakna ingin menyelaraskan antara yang kita inginkan dengan yang diinginkan oleh Allah Swt.
Setelah kita pahami makna rugi, yang harus kita lakukan berikutnya adalah niatkan dengan niat yang baik. Apapun yang dikaruniakan Allah kita niatkan yang baik. Punya harta silahkan. Apakah Allah melarang kita punya harta yang banyak? Tidak melarang. Bahkan secara tersirat Allah menyebutkan di dalam surat Al-Mu'minun berikut ini:
"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang yang menunaikan zakat." (QS. Al-Mu'minun: Ayat 1-4)
Orang-orang yang beraktivitas di kehidupan ini agar mencari pendapatan surplus atau lebih. Kemudian dengan pendapatannya itu dia membayar zakat. Maka ciri orang mukmin di ayat ini adalah "Dan orang yang menunaikan zakat."
Jadi untuk bisa membayar zakatnya itu dia bekerja dengan sungguh-sungguh.
Maka tak ada larangan, silahkan punya harta dan uang yang banyak. Termasuk punya anak yang banyak juga tak ada larangan. Bahkan Rasulullah akan bangga di akhirat kelak.
Yang dilarang adalah kita pasang niat tidak untuk Allah Swt. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang memelihara seekor kuda untuk fii sabilillah karena iman kepada Allah dan membenarkan janjinya maka sesungguhnya setiap makanan kuda itu, minumannya, kotorannya dan kencingnya akan menjadi timbangan (kebaikan) baginya pada hari kiamat."
Umpama kita punya kendaraan yang bagus kemudian untuk fii sabilillah, maka bensin yang dimasukkan dan asap yang dikeluarkan akan bisa memperberat timbangan di akhirat kelak.
Kalau kita punya anak kemudian anak ini kita niatkan untuk Allah. Ketika kita sekolahkan juga begitu, kita pilihkan sekolah dalam rangka menyiapkan untuk perbaikan umat. Harta, ilmu, dan jabatan begitu pun juga. Semua diniatkan untuk Allah Swt.
Setelah diniatkan dengan niatan yang baik kemudian mendayagunakan potensi yang dimilikinya itu sesuai yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Kita lihat potensi-potensi yang dianugerahkan oleh Allah itu apa saja.
Allah Swt., berfirman:
"Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah."
(QS. Al-A'raf: Ayat 179)
Dalam ayat ini sudah jelas, bahwa Allah menyiapkan neraka jahannam itu salah satunya adalah bagi orang yang punya hati tapi tak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah Swt. Hati ini kita gunakan untuk belajar memahami. Ada yang mengatakan akal itu posisinya di dalam hati. Artinya kita mengfungsikan hati itu untuk memahami Allah Swt.
Selanjutnya sesuaikan dan luruskan cara belajar kita. Kalau kita belajar urut-urutan yang baik itu begini. Pertama kita memahami Allah, setelah itu ilmu yang kita pelajari adalah mencari ilmu tentang manusia. Lalu mempelajari ilmu tentang alam.
Kita kayaknya keliru dulu ketika pas sekolah. Kelirunya bagaimana? Kita belum mengenal Allah Swt., sudah mengenal alam semesta duluan. Belum mengenal Allah Swt., sudah belajar tentang manusia.
Makanya apa yang terjadi saat kita melihat kebesaran alam semesta, kira-kira kita pernah nggak mengatakan: "subhanallah, masya Allah."
Nah, sekarang hati kita gunakan untuk belajar dalam rangka mengurutkan kembali ilmu-ilmu itu. Kita kenali Allah Swt., kita pelajari ilmu tentang manusia dan alam semesta. Tapi didasari dengan basis ma'rifatullah (mengenal Allah).
Ketika kita sekolah juga begitu, kalau disebut pelajaran agama apa isinya? Isinya adalah tentang shalat, thaharah, ibadah, dan akhlak. Sementara pelajaran fisika dan biologi di sisi yang lain.
Kemudian siswa ini memahaminya bagaimana, "Oh ternyata fisika dan biologi itu bukan agama." Padahal di Al-Quran itu ada ayat yang mengatakan, "Maka tidaklah mereka memerhatikan unta, bagaimana diciptakan?"
(QS. Al-Gasyiyah: Ayat 17)
Yang memerhatikan justru orang lain. Onta jika di tengah badai itu masih bisa jalan. Matanya dapat melihat karena ada bulu-bulu yang menutupi sehingga dia bisa melihat. Dan ternyata ini mengilhami produsen helm. Bagaimana dengan memakai helm, bisa terus melaju kencang tapi masih bisa melihat ke arah depan.
Jadi menggunakan hati, pendengaran, dan penglihatan untuk memahami kebesaran Allah Swt.
Kemudian, ketika kita punya anak. Ini merupakan sebuah potensi, untuk apa anak kita ini? Sebagai orangtua tentu berharap anak kita kelak akan meneruskan perjuangan kita.
Tetapi seringkali yang kita inginkan dari anak hanya sekadar profesi, ingin mewarisinya dari sisi pekerjaan saja. Padahal ada yang lebih utama untuk kita wariskan.
Allah Swt., berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya."
(QS. At-Tur: Ayat 21)
Ketika Nabi Nuh minta kepada Allah agar anaknya diselamatkan. Nabi Nuh sudah berusaha menjadikan anaknya saleh, tapi ternyata dia memilih jalan yang lain. Berbeda dengan keinginan orangtunya.
Jadi kalau punya anak, yang kita inginkan tak lain adalah agar mewarisi keimanan dan diharapkan untuk kita siapkan sebagai pemimpin umat ini, sebagaimana doa yang sering kita panjatkan berikut ini:
Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a'yun waj'alna lilmuttaqina imama (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa) (QS. Al Furqan: Ayat 74)
Kita minta kepada Allah agar menjadikan anak-anak kita pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Syaratnya apa? Ya harus bertakwa. Ini anak.
Kemudian kita diberikan oleh Allah potensi ilmu. Ilmu itu untuk apa? Tak lain adalah diamalkan ilmu tersebut sesuai dengan yang diinginkan dan dikehendaki oleh Allah Swt.
Kalau kita sudah punya ilmu yang diinginkan oleh Allah itu apa? Bisa kita baca surat Al-Imran ayat 79 berikut ini:
"Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, "Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah," tetapi (dia berkata), "Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan Kitab dan karena kamu mempelajarinya!"" (QS. Ali 'Imran: Ayat 79)
Ayat ini mengingatkan Rasulullah sekaligus mengingatkan kita semua, bahwa tidak layak bagi orang yang diberikan oleh Allah Al-kitab dan hikmah kenabian kemudian mengatakan kepada para pengikutnya begini, "Jadilah kalian para pengikut dan budakku selain Allah."
Tetapi bagi orang berilmu itu apa yang dipesankan oleh Allah? "Jadilah kalian orang-orang yang Robbani."
Nah, ilmu yang dianugerahkan oleh Allah tanamlah. Bagaimana cara menanamnya? Jadikan ilmu itu bekal menjadi robbani. Apa itu robbani? Kalau kita baca tafsir Ath-Thabari yang ditulis oleh Imam Ath-Thabari, bagian akhir penjelasan ayat ini, beliau mengutip pendapat mujahid rahimahullah.
Apa kalimat yang disebutkan di situ? Robbani itu adalah orang yang punya beberapa kriteria, di antaranya adalah: pertama, dia itu punya ilmu dan pemahaman yang dalam. Kedua, punya kemampuan politik atau melek politik. Ketiga, punya kemampuan profesional atau bisa melakukan sesuatu dengan baik. Keempat, berpartisipasi aktif di tengah-tengah masyarakat untuk menebar manfaat duniawi dan ukhrawinya.
Jadi kalau kita punya ilmu maka manfaatkan. Tanamkan ilmu itu agar jadi robbani.
Kemudian harta. Kalau kita diberi harta untuk apa? Disebutkan dalam surat Al-Hadid itu untuk belanja. Belanja dalam sebuah hadis dijelaskan, ada seorang petani yang punya rahasia sukses dalam pertaniannya. Dalam hadis itu disebutkan, setiap kali panen maka hasil panennya tersebut, sepertiga digunakan untuk konsumsi keluarga. Sepertiganya lagi disedekahkan. Dan sepertiganya lagi diinvestasikan atau diputar lagi untuk menanam.
Jadi potensi hartanya sesuai yang diinginkan oleh Allah Swt. Artinya, ada bagian untuk konsumsi, donasi, dan investasi. Inilah kunci berkah harta itu dengan membagi kemanfaatannya.
Kemudian kalau ada pertanyaan, "Pendapatan saya selama ini tidak saya gunakan seperti itu, apakah harta saya tidak barakah?
Ada dua kemungkinan. Pertama, karena kurang banyak penghasilannya. Kedua, jangan-jangan memang tidak barakah.
Untuk berdonasi apakah harus menunggu uangnya banyak dulu? Tidak. Di dalam Al-Quran disebutkan, sedekah bisa dalam keadaan punya uang banyak maupun sedikit. Bahkan boleh jadi yang sedekahnya sedikit itu lebih baik yang sedekahnya banyak.
Kenapa? Karena yang sedikit ini disedekahkan separuhnya. Misal punya uang satu juta, kemudian lima ratus ribunya disedekahkan. Tapi, ada orang yang sedekahnya 10 juta tapi uang yang dimiliki berapa? Miliaran rupiah. Tidak sampai 5 persen. Nah, yang lebih baik siapa? Yaitu, yang separuhnya tadi.
Berikutnya, memanfaatkan jabatan. Meskipun besok akan diganti orang lain atau dilantik pejabat yang baru, manfaatkan jabatan itu sebaik-baiknya.
Allah Swt., berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: Ayat 58)
Namun, yang dikhawatirkan di sini adalah, menanam jabatan untuk kebaikan itu kalau sudah di akhir-akhir masa jabatan, harapannya adalah agar dipilih lagi. Dia mengira yang mengangkat dirinya itu para konstituen, bukan Allah Swt.
Terus yang dilakukan selama ini apa? Tanamlah, maka akan mendapatkan pahala.
Setelah mendayagunakan potensi yang dimiliki, berikutnya adalah hati-hati jangan sampai potensi tersebut membuat lupa dan terlena untuk mengingat Allah Swt.
Pertanyaannya sekarang, apakah mungkin orang yang punya potensi harta, ilmu, jabatan lupa kepada Allah Swt.? Sangat mungkin. Biasanya orang rajin shalat itu ketika punya uang atau tidak punya uang?
Dulu ketika SD masih jujur, rajin ke masjid, belajar ngaji dan shalat. Ketika SMP sudah lain lagi, mulai jarang ke masjid. Setelah SMA dan kuliah tambah jarang lagi. Setelah bekerja dan berkeluarga malah tak melakukan sama sekali. Na'udzu billah minzalik.
Karenanya kita jangan sampai memiliki harta dan ilmu membuat lupa kepada Allah Swt.
Punya keturunan juga begitu harus hati-hati. Ketika belum punya anak doanya rajin kepada Allah, "Ya Allah kalau misalnya engkau anugerahkan anak yang saleh, sungguh kami akan menjadi orang yang bersyukur."
Namun setelah diberi anak, malah jarang bersyukur kepada Allah Swt. Jabatan demikian juga, ketika sebelum menjabat rajin ke masjid. Setelah jadi apa yang terjadi, jarang ke masjid.
Sebelum pilihan berangkat menunaikan haji, setelah pilihan nggak shalat lagi. Katanya, "Saya dulu sudah shalat di Masjidil Haram karena sama dengan shalat 100 ribu kali shalat biasa."
Setelah itu perlu berhati-hati jangan sampai potensi yang dimiliki disalahgunakan. Kalau punya uang, ilmu, dan jabatan jangan menggunakannya untuk menzalimi orang lain. Kenapa? Karena kita ingin keberuntungan, tak hanya di dunia tapi juga di akhirat.
Kalau ternyata apa yang dianugerahkan oleh Allah tidak kita tanam dengan baik tapi justru kita gunakan untuk menzalimi orang lain, maka bukan keberuntungan (falah) yang kita dapatkan malah akan jadi bangkrut.
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw., bersabda, "Tahukah kalian, siapakah muflis (orang yang bangkrut) itu?" Mereka (para sahabat) berkata, "Orang bangkrut yang ada di antara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang." Rasulullah saw., berkata, "Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan shalat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan si fulan. Jika kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup untuk menebus kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia zalimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu ia pun dilemparkan ke neraka." (HR. Muslim)
          Akhirnya dia jadi orang yang bangkrut di akhirat. Modal yang ia bawa ternyata tak sebesar kesalahan-kesalahannya. Karenanya mari kita menanam dengan baik. Mumpung masih punya kesempatan.
Kalau sudah kita tanam tunas itu, kita cari tunas lain untuk kemudian kita tanam lagi. Agar kita tidak menjadi orang-orang yang merugi. Dengan cara bagaimana? Yaitu, kita niatkan semua yang kita miliki untuk Allah Swt.: dengan cara semua yang kita miliki sesuai kehendak-Nya. Dengan cara yang kita miliki jangan sampai lupa kepada-Nya. Dan jangan sampai potensi yang kita miliki untuk menzalimi sesama.
(Nur Hasan)