InspirasI

Senin, 30 April 2018

Ada Apa Dengan Surat Yusuf

Oleh : Nur Hasan

Di surat Yusuf Allah Swt., menjelaskan kepada kita, bahwa dalam perjalanan hidup Nabi Yusuf ini ada 6 peristiwa penting di sana. Di mana tiga yang pertama adalah episode kesedihan dan tiga peristiwa yang berikutnya adalah episode-episode kegembiraan.
Tiga yang pertama adalah ketika Nabi Yusuf menjadi korban konspirasi saudara-saudaranya, dimasukkan ke dalam sumur. Kedua, ketika dari sumur itu Nabi Yusuf ditemukan oleh seorang musafir di dalam sumur kemudian dijual sebagai budak. Ketiga, ketika Nabi Yusuf mendapatkan fitnah yang sangat berat dirasakan, sehingga beliau lebih memilih senang hidup di penjara.
Tiga berikutnya adalah, peristiwa-peristiwa yang mengubah kesedihan Nabi Yusuf ini menjadi kebahagiaan dan kegembiraan. Pertama, ketika beliau dikeluarkan dari penjara. Sebagai bentuk bonus ketika beliau bisa mentakwil mimpi. Kedua, ketika setelah keluar dari penjara itu kemudian beliau jadi penguasa, menjadi raja di Mesir. Ketiga, ketika beliau bisa memboyong semua keluarganya: orangtuanya dan sebelas saudaranya berkumpul semua.
Allah Swt., berfirman:
"Dan demikianlah, Tuhan memilih engkau (untuk menjadi Nabi) dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi dan menyempurnakan (nikmat-Nya) kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua orang kakekmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sungguh, Tuhanmu Maha Mengetahui, Mahabijaksana."
(QS. Yusuf: Ayat 6)
Nabi Yusuf disebut dengan ibnul karim...ibnul karim...ibnul karim. Maknanya, beliau adalah orang saleh dan dari bapak yang saleh juga, karena Nabi Yusuf ini bin Ya'qub.
Ya'qub juga dari anak yang saleh. Karena Ya'qub ini bin Ishaq. Ishaq juga dari anak yang saleh. Karena ishaq bin Ibrahim.
Jadi Nabi Yusuf ini adalah orang saleh yang dipilih oleh Allah Swt., keturunan dari orang-orang saleh juga. Sehingga Nabi Yusuf termasuk satu di antara orang yang dipilih Allah Swt., sejak dari nenek moyangnya terpilih dari orang-orang saleh. Sehingga ketika diutus Allah menjadi Nabi, beliau memang pilihan Allah untuk manusia.
Di dunia ini ada 3 macam orang, di antaranya adalah: kafir, munafik, dan muslim. Dan di antara orang-orang muslim di dunia ini, ada yang taat dan ada yang tidak.
Alhamdulillah, Allah memilih kita menjadi muslim yang taat. Kemudian dari sekian banyak muslim yang taat itu, ada yang rajin ke masjid dan ada yang tidak.
Alhamdulillah, kita dipilih oleh Allah masuk kelompok yang rajin ke masjid. Dan begitu seterusnya. Maka kita perlu bersyukur ketika dipilih oleh Allah Swt., sebagai muslim yang taat, rajin ke masjid, dan senang hadir di majelis-majelis taklim.
Karena sekarang ini banyak orang yang tak suka pergi ke masjid dan majelis taklim, tapi suka ke warung-warung kopi.
Yang suka ke masjid juga sudah banyak, tapi yang tidak ke sana lebih banyak lagi.
Namun, alhamdulillah kita dipilih oleh Allah termasuk orang-orang yang suka ke masjid, sebagaimana Nabi Yusuf dipilih oleh Allah Swt.
Kemudian Allah Swt., bekali Nabi Yusuf punya keahlian mentafsir mimpi. Ini merupakan salah satu mukjizatnya Nabi Yusuf.
Kalau orang jawa punya banyak tafsir mimpi, misal jika mimpi dipatok ular katanya mau nikah. Itu kalau yang mimpi masih bujangan tidak masalah. Jika umurnya sudah 70 tahun lalu mimpi digigit ular, ini yang jadi masalah.
Takwil mimpi yang ditafsirkan oleh  Nabi Yusuf ini adalah mimpi-mimpi yang benar. Karena termasuk wahyu dari Allah Swt.
"Dan menyempurnakan (nikmat-Nya) kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub."Ini cerita tentang keluarga di dalam Al-Quran. Antara orangtua dan anak yang terkait dengan masalah pendidikan dan pembinaan, maka yang sering disebutkan di situ adalah bapaknya.
Hampir tak pernah kalau kita lihat, Al-Quran berkisah tentang orangtua dan anak yang terkait dengan pendidikan, lalu ibunya yang disebutkan. Tidak ada. Semua ayahnya.
Misalnya kisah Nabi Ya'qub dengan Nabi Yusuf. Panjang ceritanya, satu surat penuh. Tapi tak ada satu pun ayat yang menceritakan siapa ibunya Yusuf.
Di dalam Al-Quran ada kisah tentang Nabi Nuh dengan Kan'an. Tapi tidak ada cerita tentang istrinya Nabi Nuh. Ada cerita Nabi Ibrahim dengan Ismail dan Ishaq. Tapi kisah tentang Hajar dan Sarah tidak di dalam Al-Quran, tapi di hadis.
Bahkan dialog yang paling terkenal antara orangtua dan anak, yaitu Luqman Al-Hakim. Istrinya juga tidak diceritakan di situ.
Ini semua bisa diambil sebuah pelajaran, bahwa tugas mendidik dan membina anak bukan hanya seorang ibu, tapi juga bapaknya. Bahkan bapaknya lebih berat lagi. Persoalan kalau ada undangan pertemuan wali murid, tidak apa-apa kalau lebih banyak yang datang ibu-ibunya.
Allah Swt., berfirman:
"Sungguh, dalam (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang bertanya." (QS. Yusuf: Ayat 7)
Yusuf itu seibu dengan Bunyamin. Sementara sebelas saudaranya yang lain beda ibu. Karena Yusuf dan Bunyamin ini ditinggal mati oleh ibunya saat keduanya masih kecil. Maka sejak awal, sebelum Yusuf mimpi itu sudah akrab.
Allah Swt., berfirman:
"Ketika mereka berkata, "Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh, ayah kita dalam kekeliruan yang nyata." (QS. Yusuf: Ayat 8)
Karena sebelas saudaranya Yusuf ini merasa diperlakukan tidak adil oleh bapaknya. Yang kemudian perasaan itu melahirkan rasa iri, dengki, dan dendam. Lalu itulah yang menggerakkan mereka untuk berbuat jahat. Maka, Allah Swt., berfirman:
"Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik." (QS. Yusuf: Ayat 9)
Jadi sebelas saudaranya Yusuf ini merencanakan berbuat jahat dan sekaligus setelah itu merencanakan tobat.
Allah Swt., berfirman:
"Seorang di antara mereka berkata, "Janganlah kamu membunuh Yusuf, tetapi masukkan saja dia ke dasar sumur agar dia dipungut oleh sebagian musafir, jika kamu hendak berbuat"." (QS. Yusuf: Ayat 10)
Ya'qub tak bermaksud sedikit pun membuat zalim kepada anak-anaknya, kemudian hanya memanjakan Yusuf dan Bunyamin.
Tetapi apa yang dilakukan oleh Ya'qub terhadap Yusuf dan Bunyamin, itu suatu kewajiban. Karena memang Yusuf dengan mimpinya melihat sebelas planet sujud kepadanya, Ya'qub sudah merasa mendapat firasat dari Allah Swt., bahwa anaknya yang bernama Yusuf ini akan menjadi Nabi.
Maka sudah selayaknya Ya'qub memperlakukan Yusuf beda dengan yang lain. Karena ini Nabi. Tetapi apa yang sudah diniatkan oleh Ya'qub, baik berdasarkan dasar-dasar yang baik, dipahami oleh yang lain itu tak adil bagi mereka. Sehingga mereka mengatakan, "Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh, ayah kita dalam kekeliruan yang nyata." (QS. Yusuf: Ayat 8)
Sekali lagi, tidak adilnya orangtua yang itu dirasakan oleh anak, ini bisa menimbulkan iri. Iri itulah yang menimbulkan dengki dan dendam. Dan dendam itulah yang mendorong orang untuk melakukan kejahatan. Ini yang harus menjadi perhatian kita semuanya.
Ada sebuah hadis Rasulullah. Dari Nu'man bin Basyir dia bercerita, bahwa pernah dibawa oleh ayahnya menemui Rasulullah.
Kata ayahnya, "Ya Rasul, anakku ini aku hadiahi pembantu yang dulu milikku." Kemudian Rasul bertanya, "Apa semua anakmu kamu beri pembantu seperti dia." Lalu ayahnya Nu'man menjawab, "Tidak."
Rasul berkata lagi, "Batalkan."
Kenapa? Kalau ini dilakukan oleh ayahnya Nu'man, maka itu akan dirasakan sebagai perbuatan tidak adilnya orangtua pada anak-anaknya. Karena tidak diberi pembantu rumah tangga dan itu bisa menyebabkan seperti dulu yang dialami oleh Nabi Yusuf dan saudara-saudaranya.
Orangtua harus bisa dirasakan anak-anaknya bersikap adil dalam setiap pemberiannya.
Kemudian ada hadis lain yang masih bercerita tentang Nu'man dari riwayat lain. Saat itu Rasulullah bersabda, "Ya Basyir, apakah kamu punya anak selain Nu'man?" Basyir kemudian menjawab, "Ya." Rasul lalu bertanya lagi, "Apakah setiap anakmu kamu beri seperti ini?" Basyir menjawab, "Tidak." "Kalau begitu jangan jadikan aku sebagai saksi. Sebab aku tidak mungkin menjadi saksi perbuatan zalim," kata Rasul.
Kenapa Rasulullah tidak mau? Karena perbuatan Basyir ini termasuk menzalimi yang lain. Dan Rasulullah tidak mau menjadi saksi atas peristiwa seperti itu.
Bahkan seorang ulama yang bernama Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari mengatakan, "Ini merupakan suatu kewajiban memutus hubungan silaturahmi dan durhaka. Itu dua hal yang diharamkan. Sehingga segala sesuatu yang mengarah kepada putus hubungan keluarga dan durhaka kepada kedua orangtua itu juga hukumnya haram dalam Islam. Sementara orangtua yang mengutamakan anak satu dibanding yang lain itu di antara hal yang menyebabkan dua hal tersebut."
Pertama, seperti Nabi Yusuf dengan kakak-kakaknya yang sebelas itu. Putus sudah hubungannya. Kedua, durhaka kepada kedua orangtuanya akan terjadi, seperti saudara-saudaranya Yusuf kepada bapaknya. Apa itu? Yaitu berbohong.
Nah, dua hal itu bisa dihindari dari orangtua dengan cara bersikap adil kepada anaknya. Misal satu dibelikan baju yang lain juga dibelikan. Dengan catatan jika memang membutuhkan. Tentu adil itu proporsional, mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya.
Sekali lagi kembali kepada ayat tadi, bahwa ketika orangtua tidak adil kepada anaknya, maka yang akan terjadi adalah iri. Ketika menimbulkan rasa iri itu akibat beratnya dua tadi: putus hubungan kekeluargaan dan durhaka kepada kedua orangtua. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari keduanya ini.
Hal kedua, ada rencana jahat. Di belakang rencana jahat itu ada rencana baik, yaitu tobat. Merencanakan kejahatan sekaligus merencanakan tobat. "Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik."
(QS. Yusuf: Ayat 9)
Di dalam kitab Riyadhus Shalihin itu ada bab tobat. Di situ disebutkan, para ulama mengatakan bahwa tobat itu hukumnya wajib dari semua jenis dosa. Baik dosa besar maupun kecil.
Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya yang berjudul Al-Kabair (Dosa-dosa Besar). Kenapa disebut dosa besar? Pertama, beliau mengatakan ada dosa yang Allah dan Rasulullah menyebutkan dosa yang merusak amal.
Misalnya, jauhi 7 dosa besar yang merusak seluruh amal kita. Salah satunya adalah syirik. Beliau juga mengatakan, ada dosa yang Allah Swt., melaknat pelakunya. Yaitu, Allah melaknat kalau ada orang melaknat, mencela, menghina, dan merendahkan kedua orangtuanya.
Atau dosa besar itu dosa yang Allah sebutkan dan Allah tentukan hukumannya di dunia sebelum nanti di akhirat. Misalnya, membunuh ada hukuman dunianya qishas. Berzina, ada hukuman dunianya yaitu dicambuk seratus kali atau dirajam. Membuat fitnah atau isu perbuatan zina ada 80 kali cambukan. Minum-minuman keras ada hukumannya di dunia, yaitu 80 kali cambukan. Homo sex dan lesbian ada hukumannya. Dan seterusnya. Ini semua termasuk dosa besar.
Di dalam kitab Al-Kabair itu beliau menyebutkan ada 70 macam dosa besar. Di bagian akhir dikatakan, "Jangan engkau lihat dosa apa yang kamu kerjakan, tapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat maksiat."
Jadi kalau kita melakukan dosa walaupun dosanya dosa kecil, tapi itu dilakukan dengan sadar dan dengan niat melanggar maka bisa menjadi besar.
Allah Swt., berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya." (QS. At-Tahrim: Ayat 8)
Kenapa orang-orang beriman disuruh untuk bertobat? Karena memang orang beriman itu belum ada jaminan bersih dari dosa dan kesalahan.
Bedanya, kalau orang kafir melakukan perbuatan dosa bukan disuruh bertobat, tapi disuruh masuk Islam. Makanya perintah tobat itu bagi orang mukmin.
Kalau maksiatnya itu antara hamba dengan Allah dan tidak terkait dengan hak orang, tobatnya punya tiga syarat. Pertama, maksiatnya tinggalkan. Kalau dulu tidak shalat ya shalat. Kalau dulu tidak puasa ramadhan ya puasa ramadhan. Kedua, harus disertai dengan rasa menyesal. Kapok dan menyesali kenapa kemarin melakukan maksiat. Ketiga, harus ada tekad untuk tidak kembali lagi ke lubang maksiat selamanya.
Kalau tobatnya berpedoman pada tiga hal ini, maka tobatnya tergolong serius. Sebab ada orang yang berhenti dari maksiat tapi tidak menyesal. Ini bisa gawat. Karena kalau ada kesempatan maksiatnya akan balik lagi.
Nah, bagaimana kalau dosanya itu terkait dengan orang lain? Syarat diterima tobatnya itu ada empat. Tiga yang tadi dan keempatnya harus selesai urusannya dengan orang yang dimaksiati, baru diterima tobatnya oleh Allah.
Kalau dosanya dengan orang lain itu terkait dengan harta atau sejenisnya, maka yang diambil punya orang harus dikembalikan. Misal tobat karena berkali-kali mencuri sandal di masjid. Ini terkait dengan Allah dan manusia. Maka syarat diterima tobatnya adalah tidak mencuri lagi, menyesal telah melakukan pencurian, berjanji tidak akan mencuri lagi, dan yang selanjutnya sandalnya harus kembalikan.
Ini terkait dengan serius atau tidak tobatnya. Kalau sudah dijual sandalnya gimana? Ya harus diganti dengan harganya.
Tobat dari korupsi juga begitu. Berhenti tidak lagi korupsi, menyesal karena melakukan korupsi, berjanji tidak korupsi lagi, dan selanjutnya kembalikan uang hasil korupsi tersebut.
Kalau kita serius bertobat, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa kita dan menghapus jejak-jejak dosa yang masih ada dalam diri kita, karena orang yang makan harta orang lain maka di dalam tubuhnya tumbuh daging yang berasal dari makanan haram. Ini yang terkait dengan harta.
Kalau yang terkait dengan orang lain itu menuduh atau menghina, bagaimana cara membereskannya? Yaitu kita harus minta maaf. Sampai orang yang disakiti itu memaafkannya.
Jadi kalau orang mau melakukan dosa hal ini harus dipikirkan matang-matang. Makanya di dalam hadis dijelaskan, "Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik." (HR. Tirmidzi)
Dihapus di Lauhul Mahfudz dan dihapus di dalam pikiran orang. Orang sulit melupakan dosa kita kalau tidak kita tutup dengan kebaikan.
Kalau kita berbuat salah atau maksiat kemudian tobat lalu kita akhiri dengan perbuatan baik, mudah-mudahan catatan di langit dihapus dan di pikiran orang juga dihilangkan oleh Allah.
Seperti para sahabat. Siapa yang tak kenal Umar bin Khattab. Beliau sebelum masuk Islam itu pernah minum-minuman keras, menyembah berhala, dan menempeleng adiknya yang masuk Islam. Tapi begitu dia masuk Islam ditutup dengan kebaikannya. Orang mengenal Umar bin Khattab karena baiknya, sudah tidak ingat buruknya lagi. Karena sudah ditutup dengan kebaikan.
Kita juga mengenal Khalid bin Walid. Pernah menyembah berhala, pernah membantai umat Islam di perang uhud, dan pernah mengusir dan menghina Rasulullah. Tapi ketika sekarang kita mendengar nama Khalid bin Walid kita sudah tidak ingat keburukannya. Yang kita ingat adalah sebagai pahlawan Islam. Kenapa? Karena keburukannya ditutup dengan kebaikan.
Dan kita semua pernah melakukan keburukan dan punya catatan-catatan kesalahan. Tapi dengan keseriusan kita bertobat, Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan tersebut.
Tapi ini yang berat, kalau dosa itu terkait dengan orang lain yang berbentuk ghibah. Rangking 2 setelah syirik dalam kitab Al-Kabair. Karena saking berat dan menjijikkannya dosa ini sampek Al-Quran menyebutnya begini:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat: Ayat 12)
Orang yang melakukan ghibah sesama saudaranya itu sama dengan makan bangkai saudaranya sendiri. Begitu sangat menjijikkan. Apa ghibah itu? Kalau kamu menyebutkan dan menceritakan tentang saudaramu, seandainya saudaramu ini mendengar dia tidak suka. Pertanyaanya, siapa yang tidak pernah mengghibah orang? Artinya, kebalikannya kalau kita menceritakan tentang saudara kita lalu saudara kita mendengar malah senang. Itu termasuk bukan ghibah.
Sahabat pernah bertanya, "Ya Rasul, kalau yang saya ceritakan itu memang kenyataannya begitu. Saya tidak mengada-ada." Rasul lalu menjawab, "Ya itulah yang namanya ghibah. Memang ghibah itu cerita tentang kenyataan." Sahabat bertanya lagi, "Kalau yang saya ceritakan tidak seperti itu ya Rasul?" Rasul menjawab, "Berarti kamu bohong."
Dua-duanya jelek. Cerita sesuai kenyataan berarti ghibah, kalau tidak berarti tergolong dusta. Kalau dosanya karena ghibah, berat. Karena harus mendatangi orangnya dan menceritakan apa masalahnya, sampek orangnya memaafkan.
Jadi apa yang dilakukan saudara-saudaranya Yusuf itu tidak termasuk di sini, sebab tobat itu seperti firman Allah Swt., berikut ini:
"Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." (QS. An-Nisa': Ayat 17)
Kebalikannya: "Dan tobat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, "Saya benar-benar bertobat sekarang." Dan tidak (pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal, sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan azab yang pedih."
(QS. An-Nisa': Ayat 18)
Pintu tobat terus dibuka pintunya oleh Allah: malam, siang, pagi. Dan pintu tobat ditutup ketika kiamat sudah datang dan nyawa sudah sampai di tenggorokan. Tobatnya Fir'aun ditolak karena tobatnya ketika pas mau tenggelam. Sudah terlambat.
Maka, di sini ada dua pelajaran penting yang bisa dipetik dari kisah Yusuf di atas. Di antaranya adalah:
1. Berusaha adil, objektif, dan proporsional dalam pemberian terhadap anak. Jangan sampai apa yang diberikan orangtua ke anak justru menimbulkan iri dan dendam kepada anak-anaknya yang lain
2. Bertobat sekecil apa pun dari perbuatan dosa.
Kalau dia tidak tahu bahwa itu dosa, setelah sadar kalau itu dosa, maka segera tobat dan tidak menunda-nundanya.


Tidak ada komentar: