PAHLAWAN WANITA BERKERUDUNG SYAR'I YANG
TERLUPAKAN.
"Kartini"
yang tidak pernah dimunculkan profilnya. Pengaruhnya dalam dunia pendidikan
begitu nyata. Bahkan sekaliber Al-Azhar Mesir pun terinpirasi dari tindakan
beliau. Dan, point yang tidak kalah penting, pakaian anggun dengan kerudung
yang menutup dada itu sudah lama ada sebelum Indonesia merdeka.. Allahu Akbar..
Syaikhah
Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah (1900-1969) adalah salah satu pahlawan
wanita milik bangsa Indonesia, yang dengan hijab syar'i-nya tak membatasi
segala aktifitas dan semangat perjuangannya.
Rahmah, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang
guru, pejuang pendidikan, pendiri sekolah Islam wanita pertama di Indonesia,
aktifis kemanusiaan, anggota parlemen wanita RI, dan pejuang kemerdekaan
Republik Indonesia.
Ketika Rahmah bersekolah, dengan bercampurnya
murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, menjadikan perempuan tidak
bebas dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar. Ia
mengamati banyak masalah perempuan terutama dalam perspektif fiqih tidak dijelaskan
secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan
enggan bertanya. Kemudian Rahmah mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul
Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, dan tercatat sebagai murid-perempuan
pertama yang ikut belajar fiqih, sebagaimana dicatat oleh Hamka.
Setelah itu, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah
Lil Banaat (Perguruan Diniyah Putri) di Padang Panjang sebagai sekolah agama
Islam khusus wanita pertama di Indonesia. Ia menginginkan agar perempuan
memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Tekadnya, "Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?"
Tekadnya, "Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?"
Rahmah meluaskan penguasaannya dalam beberapa
ilmu terapan agar dapat diajarkan pada murid-muridnya. Ia belajar bertenun
tradisional, juga secara privat mempelajari olahraga dan senam dengan seorang
guru asal Belanda. Selain itu, ia mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah
sakit dibimbing beberapa bidan dan dokter hingga mendapat izin membuka praktek
sendiri.
Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini yang ia terapkan di Diniyah Putri dan dilimpahkan semua ilmunya itu kepada murid-murid perempuannya.
Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini yang ia terapkan di Diniyah Putri dan dilimpahkan semua ilmunya itu kepada murid-murid perempuannya.
Pada 1926, Rahmah juga membuka program
pemberantasan buta huruf bagi ibu-ibu rumah tangga yang belum sempat mengenyam
pendidikan dan dikenal dengan nama Sekolah Menyesal.
Selama
pemerintahan kolonial Belanda, Rahmah menghindari aktifitas di jalur politik
untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Ia memilih tidak
bekerja sama dengan pemerintah penjajah. Ketika Belanda menawarkan kepada
Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar agar
dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah menolak, mengungkapkan bahwa
Diniyah Putri adalah sekolah milik ummat, dibiayai oleh ummat, dan tidak memerlukan
perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah
akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah
Putri.
Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya
mendapatkan perhatian luas. Ia duduk dalam kepengurusan Serikat Kaum Ibu
Sumatera (SKIS). Pada 1935, ia diundang mengikuti Kongres Perempuan Indonesia
di Batavia. Dalam kongres, ia memperjuangkan hijab sebagai kewajiban bagi
muslimah dalam menutup aurat ke dalam kebudayaan Indonesia.
Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatera.
Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatera.
Kedatangan
tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942 membawa berbagai perubahan dalam
pemerintahan dan mengurangi kualitas hidup penduduk non-Jepang. Selama
pendudukan Jepang, Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI)
yang bergerak di bidang sosial. Dalam situasi perang, Rahmah bersama para ADI
mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan. Ia
memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk menyisihkan beras segenggam
setiap kali memasak untuk dibagikan bagi penduduk yang kekurangan makanan.
Kepada murid-muridnya, ia menginstruksikan bahwa seluruh taplak meja dan kain
pintu yang ada pada Diniyah Putri dijadikan pakaian untuk penduduk.
Selain itu, Rahmah bersama para anggota ADI menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai wanita penghibur untuk tentara Jepang. Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatera Barat berhasil ditutup.
Selain itu, Rahmah bersama para anggota ADI menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai wanita penghibur untuk tentara Jepang. Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatera Barat berhasil ditutup.
Terimbas oleh
Hajjah Rangkayo Rasuna Said yang terjun ke politik lebih dahulu, dan dengan
kondisi Indonesia yang semakin terpuruk oleh penjajah Jepang, akhirnya Rahmah
terjun ke dunia politik. Ia bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau
yang berkedudukan di Bukittinggi. Ia menjadi Ketua Hahanokai di Padang Panjang
untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun (semacam tentara
PETA).
Seiring
memuncaknya ketegangan di Padang Panjang, Rahmah membawa sekitar 100 orang
muridnya mengungsi untuk menyelamatkan mereka dari serbuan tentara Jepang.
Selama pengungsian, ia menanggung sendiri semua keperluan murid-muridnya.
Ketika terjadi kecelakaan kereta api pada 1944 dan 1945 di Padang Panjang,
Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri sebagai tempat perawatan
korban kecelakaan.
Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei dan Rahmah duduk sebagai anggota peninjau.
Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei dan Rahmah duduk sebagai anggota peninjau.
Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan
berita tentang proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cuo Sangi In,
Muhammad Sjafei, Rahmah segera mengibarkan bendera Merah Putih di halaman
perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali
mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Berita bahwa bendera Merah
Putih berkibar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok daerah.
Ketika Komite
Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, Soekarno yang melihat kiprah Rahmah
mengangkatnya sebagai salah seorang anggota.
Pada 5 Oktober
1945, Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya TKR untuk Padang Panjang dan
sekitarnya. Ia memanggil dan mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan
logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang
dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota Hahanokai, Rahmah mengatur dapur umum
di kompleks perguran Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini
menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi yang dibentuk di Padang Panjang.
Ketika Belanda
melancarkan Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menangkap sejumlah
pemimpin-pemimpin Indonesia di Padang Panjang. Rahmah meninggalkan kota dan
bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, ia ditangkap Belanda pada 7
Januari 1949 dan mendekam di tahanan wanita di Padang Panjang. Setelah tujuh
hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di sebuah rumah pegawai kepolisian
Belanda berkebangsaan Indonesia. Ia melewatkan 3 bulan di Padang sebagai
tahanan rumah, sebelum diringankan sebagai tahanan kota selama 5 bulan
berikutnya.
Pada Oktober
1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk menghadiri undangan Kongres
Pendidikan Indonesia di Yogyakarta. Ia baru kembali ke Padang Panjang setelah
mengikuti Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada akhir 1949. Rahmah
bergabung dengan Partai Islam Masyumi. Dalam pemilu 1955, ia terpilih sebagai
anggota Konstituante mewakili Sumatera Tengah. Melalui Konstituante, ia membawa
aspirasinya akan pendidikan dan pelajaran agama Islam.
Pada 1956,
Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Abdurrahman Taj, berkunjung ke Indonesia dan
atas ajakan Muhammad Natsir, berkunjung untuk melihat keberadaan Diniyah Putri.
Imam Besar tersebut mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara
Universitas Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan.
Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah.
Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar
Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan
“Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, dimana untuk kali pertama Al-Azhar
memberikan gelar kehormatan itu pada perempuan.
Hamka
mencatat, Diniyah Putri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kuliyah
Qismul Banaat (kampus khusus wanita) di Universitas Al-Azhar. Sejak saat itu
Universitas Al-Azhar yang berumur 11 abad membuka kampus khusus wanita, yang
diinspirasi dari Diniyah Putri di Indonesia yang baru seumur jagung.
Sebelum
kepulangannya ke Indonesia, Rahmah mengunjungi Syria, Lebanon, Jordan, dan Iraq
atas undangan para pemimpin negara tersebut.
Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di
Timur Tengah, Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI. Ia
merasa tidak nyaman berjuang di Jakarta, kemudian memilih kembali pulang ke
Padang Panjang. Rahmah melihat bahwa mencurahkan perhatiannya untuk memimpin
perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen sebagai
anggota DPR yang sudah dikuasai komunis. Ketika terjadi PRRI di Sumatera Tengah
akhir 1958, akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno, Rahmah ikut
bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang
mendukungnya.
Pada 1964, ia menjalani operasi tumor payudara di
RS Pirngadi, Medan. Sejak itu hingga akhir hayatnya, hidupnya didedikasikan
kembali sepenuhnya untuk Diniyah Putri.
Dalam fotonya,
pahlawan ini mengenakan hijab syar'i dan baju kurung basiba dengan cara yang
anggun, elegan dan modern yang menampakkan kecerdasannya dan kemajuannya dalam
berpikir.
(LuLu Basmah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar