Menanam Kebaikan
Rasulullah saw., bersabda, "Sekiranya hari kiamat hendak terjadi,
sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila
dia mampu menanam sebelum terjadi kiamat maka hendaklah dia menanamnya."
(HR. Imam Ahmad)
Hadis ini memberikan pemahaman kepada kita semua, bahwa dengan menanam
kita akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Misalnya esok hari akan terjadi
kiamat, kemudian di tangan kita masih ada tunas, lantas oleh Nabi diperintah
untuk menanam, kira-kira antara waktu yang diperlukan tanaman ini hingga
berbuah dengan terjadinya hari kiamat, mana yang terjadi terlebih dahulu?
Yang menarik di sini adalah
kiamat mau terjadi, tapi Nabi tidak memerintahkan untuk memperbanyak shalat dan
puasa. Tapi kita disuruh menanam.
Hadis di atas sangat istimewa dengan cara kita ilustrasikan seperti ini,
kita punya teman divonis oleh dokter usianya tinggal 10 hari. Saat itu kita
menjenguknya kemudian berpesan kepada yang bersangkutan dengan mengatakan,
"Sabar, banyak berzikir, ibadah, dan berdoa kepada Allah ya."
Mungkin ini saran yang
biasa. Tapi kalau sarannya begini, "Ayo ikut saya cari pekerjaan biar
dapat uang banyak." Kira-kira jawabannya bagaimana? Mungkin dia akan
menjawab "Kamu ini gila ya, orang sakit kok diajak bekerja!"
Sebetulnya apa yang diinginkan
oleh Rasulullah melaui pesan hadis tadi adalah, kehidupan ini perlu kita jaga
produktifitasnya. Tapi produktifitas yang dimaksud bukan semata-mata untuk
kepentingan duniawi, meskipun yang kita lakukan adalah tentang urusan materi
dan kerja-kerja untuk mencari uang.
Namun yang diinginkan
sesunggunya bukan semata-mata menanam, tapi di balik menanam itu ada apa?
Abu Darda ketika usianya sudah tua, beliau menanam lalu terlihat
anak-anak muda. Melihat Abu Darda menanam anak-anak muda ini kemudian bertanya,
"Wahai Abu Darda engkau ini sudah tua, untuk apa menanam lagi. Karena
waktu yang dibutuhkan buah ini hingga berbuah dengan hidupmu, sepertinya engkau
yang akan mati duluan!"
Mendengar itu lalu Abu Darda
menjawab, "Tugasku hanya menanam. Masalah buahnya itu urusan lain. Saya
mendapatkan pahala dengan menanam atau karena berbuah?"
Abu Darda berusaha menjaga produktifitas hingga akhir usianya. Karenanya
tak ada kata pensiun untuk menjadikan hidup kita selalu produktif.
Di sisi lain hubungan sama
Allah jika kita mengacu pada Al-Quran, diistilahkan dengan hubungan bisnis atau
transaksional. Kadang juga diilustrasikan seperti orang berladang atau menanam.
Allah Swt., berfirman:
"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung." (QS. At-Taubah: Ayat 111)
"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung." (QS. At-Taubah: Ayat 111)
Pertanyaannya, kalau Allah membeli dari orang mukmin terus yang jualan
siapa? Jawabannya adalah kita yang jualan, Allah yang membeli. Lalu apa yang
dibeli oleh Allah? Yaitu jiwa dan harta kita yang awalnya juga berasal dari
Allah.
Contoh ada seorang teman
lalu ia kasih modal ke kita untuk berdagang. Setelah itu modal ini kita buat
untuk kulakan barang dan kemudian dia membeli barang kita. Ngasih untungnya
besar pula. Apa yang kita katakan kepada dia? Pasti kita akan memberi ucapan
terima kasih yang tak terhingga kepada dia.
Maka karunia yang berikan
Allah Swt., kepada kita, harapannya kita tetap menjaga produktifitasnya. Kita
berbisnis dan berladang untuk mengejar kesejahteraan yang tak hanya berdimensi
material tapi juga spiritual.
Mari lihat ayat-ayat yang terkait dengan bisnis dan perdagangan kita
dengan Allah Swt. Orientasinya di sana bukan semata-mata untuk mengejar dunia.
Allah Swt., berfirman:
"Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahi lah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
(QS. Al-Mulk: Ayat 15)
Allah Swt., berfirman:
"Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahi lah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
(QS. Al-Mulk: Ayat 15)
Bumi ini dijadikan mudah
oleh Allah untuk dikelola dan di huni manusia. Tapi harus diingat bumi yang
diciptakan Allah bagi manusia lantas untuk apa? Tidak lain kita sebagai hamba
Allah harus menyelaraskan tujuan kita dengan tujuan Allah Swt.
Allah punya tujuan penciptaan bumi dan alam ini kita yang ada di atasnya
harus menyeleraskan. Di sinilah nanti akan ketemu tujuan hamba dengan tujuan
Allah Swt. Makanya ada sebuah kaidah yang mengatakan, "Setiap tujuan yang
berlawanan dengan Allah Swt., maka tujuan itu adalah kebatilan."
Kalau Allah menghendaki bumi
itu harus dibeginikan, tapi kita berbeda dengan yang dikehendaki-Nya, maka yang
kita lakukan itu termasuk sebuah kebatilan.
Allah menginginkan bumi yang
dikaruniakan kepada manusia adalah agar dilakukan aktivitas yang produktif
untuk mengelola kekayaan yang ada di bumi ini.
Setelah berproduksi maka
makanlah dari rezekinya Allah. Saat Allah memerintahkan kita untuk menikmati
isi bumi ini, Allah tak menyuruh makanlah dari rezekimu, tapi makanlah dari
rezeki Allah. Apa ini maknanya? Meskipun kita dari pagi sampai sore berladang
dan menanam. Setelah itu merawatnya kemudian menghasilkan dan bisa dipanen.
Sesungguhnya hasil panen tersebut bukan karya kita, tapi itu adalah karunia
Allah Swt. Kok bisa seperti itu? Mari kita bandingkan, upaya yang dilakukan
manusia dengan campur tangan Allah sampai tanaman itu menghasilkan, kira-kira
mana yang lebih besar?
Misalnya, tugas yang kita
lakukan untuk menanam padi diawali dengan apa? Yaitu mencangkul atau ditraktor
tanahnya terlebih dahulu baru kemudian ditanami.
Pertanyaannya, yang menurunkan airnya siapa? Yang mengatur suhu udaranya
siapa? Yang menyinari matahari siapa? Yang menumbuhkan siapa? Dan
pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Makanya Qarun itu zalim,
kemudian ditenggelamkan oleh Allah Swt., karena dia mengatakan, "Aku punya
kekayaan dan harta itu karena ilmu yang aku miliki."
Karenanya Allah mengingatkan
kepada kita, "Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan." (QS. Al-Mulk: Ayat 15)
Artinya, aktivitas produksi
dan konsumsi meskipun secara kasat mata adalah amaliah kita yang sifatnya
materi, namun sesungguhnya tujuannya bukan semata-mata untuk dunia, tapi untuk
kembali kepada Allah Swt.
Begitu juga ketika kita berbisnis, ini bukanlah semata-mata mencari
laba. Kalau bisa bisnis untuk mencari surga. Jadi mencari surga itu tempatnya
bukan hanya di masjid, tapi mencarinya bisa di pasar dan tempat-tempat
perdagangan. Karena di balik transaksi yang kita lakukan, itu bisa berpotensi
mengantarkan kita ke surga atau neraka.
Dalam sebuah hadis sahih
diceritakan ada orang didatangi malaikat, kemudian ditanya, "Kamu
melakukan kebaikan apa tidak?" Lalu ia menjawab, "Aku tidak
tahu." Selanjutnya ditanya lagi, "Coba kamu pikirkan, adakah kebaikan
yang kamu lakukan." Kemudian ia menjawab, "Saya punya kebiasaan
bisnis, terhadap orang yang mampu membayar aku berikan kemudahan dan terhadap
orang yang tidak mampu aku bebaskan dia."
Akhirnya yang bersangkutan
dimasukkan ke dalam surga. Kenapa? Karena cara bisnisnya itu. Menariknya di
sini karena ketemunya di pasar dan bukan di masjid.
Kemudian bagaimana cara kita dalam mengejar keberuntungan dengan segala
potensi yang diberikan Allah Swt.?
Pertama, memaknai kembali
kata rugi.
Bagi pedagang rugi itu bukan semata-mata pengeluaran lebih besar daripada pendapatannya. Bukan hanya itu. Tapi para pedagang punya modal kok tidak diputar itulah rugi.
Bagi pedagang rugi itu bukan semata-mata pengeluaran lebih besar daripada pendapatannya. Bukan hanya itu. Tapi para pedagang punya modal kok tidak diputar itulah rugi.
Sama halnya kalau kita punya
potensi waktu, harta, dan anak, kok tidak didayagunakan, kita akan rugi.
Dalam Al-Quran kalau kita baca, neraka salah satunya disiapkan untuk
siapa? Kebanyakan jin dan manusia karena mereka punya hati tapi tidak digunakan
untuk memahami, punya penglihatan tidak digunakan untuk melihat kebesaran
Allah, punya telinga tidak digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah.
Sekedar tidak digunakan saja sudah disiapkan neraka oleh Allah. Coba
kalau digunakan untuk hal-hal yang berlawanan.
Ada ungkapan yang disampaikan oleh Abdul Azis Al Muhammad al Salman, ini
menggambarkan orang yang punya potensi tapi tidak digunakan: kelak yang sangat
merugi di hari kiamat itu ada tiga:
Pertama, orang yang punya
pembantu tapi pada saat hari kiamat amalnya lebih baik daripada majikannya.
Biasanya kalau orang itu punya pembantu yang bangun pagi duluan siapa?
Bisa jadi pembantunya lebih awal untuk menunaikan shalat, majikannya masih
tidur. Pembantu ini kemudian bekerja secara ikhlas karena Allah, untuk
kepentingan keluarganya yang sedang sakit.
Pembantunya selesai masak,
kemudian shalat dhuha. Padahal tidak jarang waktu luang majikannya itu lebih
banyak dibandingkan pembantunya tadi.
Misalnya, ada seorang
direktur yang sudah tidak disibukkan dengan urusan-urusan teknis, karena sudah
di-handle oleh bawahannya semua, tapi ternyata kelak di hari kiamat staffnya
ini yang lebih baik amalnya dari direkturnya.
Jadi dia punya potensi waktu
tapi tidak digunakan dan akhirnya rugi.
Kedua, orang yang punya
harta tapi hartanya tidak disedekahkan. Dia meninggal kemudian diwarisi oleh
orang lain, yang mewarisi ini tidak bekerja tinggal terima lalu dia
menyedekahkan. Kira-kira yang dapat pahala siapa? Pasti yang sedekah itu.
Jadi harta kita yang sebenarnya adalah yang kita sedekahkan. Kalau yang
ada di rekening itu adalah hartanya ahli waris. Kalau ahli waris digunakan
untuk kebaikan masih mending, tapi kalau digunakan untuk bermaksiat kepada
Allah. Na'udzu billahi mindzalik.
Ketiga, orang yang punya
ilmu tapi tidak mau menerapkan ilmunya itu, tapi dia mengajarkan pada orang
lain, orang yang diajari ini kemudian mengamalkan ilmu tersebut.
Kalau dia mengajar memang dapat pahala mengajar, yang diajari dapat
pahala belajar. Yang ini menerapkan dan yang ini tidak menerapkan, kira-kira
yang banyak mendapat pahala yang mana?
Jadi rugi itu adalah bila
punya potensi tapi tak digunakan. Ibarat seorang pedagang yang punya modal tapi
tidak diputar.
Maka, Allah sudah memberikan
karunia berupa tunas kemudian disuruh untuk menanam.
Yang diberikan oleh Allah itu banyak, seperti ilmu, harta, keturunan, dan jabatan. Kalau tidak digunakan dengan baik maka akan rugi. Oleh karenanya kita harus tahu harta itu untuk apa? Ilmu yang kita miliki untuk apa? Keturunan yang kita lahirkan untuk apa? Jabatan yang kita emban untuk apa?
Yang diberikan oleh Allah itu banyak, seperti ilmu, harta, keturunan, dan jabatan. Kalau tidak digunakan dengan baik maka akan rugi. Oleh karenanya kita harus tahu harta itu untuk apa? Ilmu yang kita miliki untuk apa? Keturunan yang kita lahirkan untuk apa? Jabatan yang kita emban untuk apa?
Tidak lain adalah untuk
menyelaraskan tujuan kita dengan Allah. Jika kita bisa maka kita akan diberikan
taufiq dari Allah Swt. Taufiq artinya adalah selaras. Kita sering mendengar
dari penceramah wabillahi taufiq wal hidayah, ini bermakna ingin menyelaraskan
antara yang kita inginkan dengan yang diinginkan oleh Allah Swt.
Setelah kita pahami makna
rugi, yang harus kita lakukan berikutnya adalah niatkan dengan niat yang baik.
Apapun yang dikaruniakan Allah kita niatkan yang baik. Punya harta silahkan.
Apakah Allah melarang kita punya harta yang banyak? Tidak melarang. Bahkan
secara tersirat Allah menyebutkan di dalam surat Al-Mu'minun berikut ini:
"Sungguh beruntung
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang
yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan
orang yang menunaikan zakat." (QS. Al-Mu'minun: Ayat 1-4)
Orang-orang yang
beraktivitas di kehidupan ini agar mencari pendapatan surplus atau lebih.
Kemudian dengan pendapatannya itu dia membayar zakat. Maka ciri orang mukmin di
ayat ini adalah "Dan orang yang menunaikan zakat."
Jadi untuk bisa membayar zakatnya itu dia bekerja dengan sungguh-sungguh.
Jadi untuk bisa membayar zakatnya itu dia bekerja dengan sungguh-sungguh.
Maka tak ada larangan,
silahkan punya harta dan uang yang banyak. Termasuk punya anak yang banyak juga
tak ada larangan. Bahkan Rasulullah akan bangga di akhirat kelak.
Yang dilarang adalah kita
pasang niat tidak untuk Allah Swt. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang memelihara seekor
kuda untuk fii sabilillah karena iman kepada Allah dan membenarkan janjinya
maka sesungguhnya setiap makanan kuda itu, minumannya, kotorannya dan
kencingnya akan menjadi timbangan (kebaikan) baginya pada hari kiamat."
Umpama kita punya kendaraan
yang bagus kemudian untuk fii sabilillah, maka bensin yang dimasukkan dan asap
yang dikeluarkan akan bisa memperberat timbangan di akhirat kelak.
Kalau kita punya anak
kemudian anak ini kita niatkan untuk Allah. Ketika kita sekolahkan juga begitu,
kita pilihkan sekolah dalam rangka menyiapkan untuk perbaikan umat. Harta,
ilmu, dan jabatan begitu pun juga. Semua diniatkan untuk Allah Swt.
Setelah diniatkan dengan
niatan yang baik kemudian mendayagunakan potensi yang dimilikinya itu sesuai
yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Kita lihat potensi-potensi
yang dianugerahkan oleh Allah itu apa saja.
Allah Swt., berfirman:
"Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah."
(QS. Al-A'raf: Ayat 179)
"Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah."
(QS. Al-A'raf: Ayat 179)
Dalam ayat ini sudah jelas, bahwa Allah menyiapkan neraka jahannam itu
salah satunya adalah bagi orang yang punya hati tapi tak digunakan untuk
memahami ayat-ayat Allah Swt. Hati ini kita gunakan untuk belajar memahami. Ada
yang mengatakan akal itu posisinya di dalam hati. Artinya kita mengfungsikan
hati itu untuk memahami Allah Swt.
Selanjutnya sesuaikan dan luruskan cara belajar kita. Kalau kita belajar
urut-urutan yang baik itu begini. Pertama kita memahami Allah, setelah itu ilmu
yang kita pelajari adalah mencari ilmu tentang manusia. Lalu mempelajari ilmu
tentang alam.
Kita kayaknya keliru dulu ketika pas sekolah. Kelirunya bagaimana? Kita
belum mengenal Allah Swt., sudah mengenal alam semesta duluan. Belum mengenal
Allah Swt., sudah belajar tentang manusia.
Makanya apa yang terjadi
saat kita melihat kebesaran alam semesta, kira-kira kita pernah nggak
mengatakan: "subhanallah, masya Allah."
Nah, sekarang hati kita
gunakan untuk belajar dalam rangka mengurutkan kembali ilmu-ilmu itu. Kita
kenali Allah Swt., kita pelajari ilmu tentang manusia dan alam semesta. Tapi
didasari dengan basis ma'rifatullah (mengenal Allah).
Ketika kita sekolah juga begitu, kalau disebut pelajaran agama apa
isinya? Isinya adalah tentang shalat, thaharah, ibadah, dan akhlak. Sementara
pelajaran fisika dan biologi di sisi yang lain.
Kemudian siswa ini
memahaminya bagaimana, "Oh ternyata fisika dan biologi itu bukan
agama." Padahal di Al-Quran itu ada ayat yang mengatakan, "Maka
tidaklah mereka memerhatikan unta, bagaimana diciptakan?"
(QS. Al-Gasyiyah: Ayat 17)
(QS. Al-Gasyiyah: Ayat 17)
Yang memerhatikan justru
orang lain. Onta jika di tengah badai itu masih bisa jalan. Matanya dapat
melihat karena ada bulu-bulu yang menutupi sehingga dia bisa melihat. Dan
ternyata ini mengilhami produsen helm. Bagaimana dengan memakai helm, bisa
terus melaju kencang tapi masih bisa melihat ke arah depan.
Jadi menggunakan hati, pendengaran, dan penglihatan untuk memahami
kebesaran Allah Swt.
Kemudian, ketika kita punya
anak. Ini merupakan sebuah potensi, untuk apa anak kita ini? Sebagai orangtua
tentu berharap anak kita kelak akan meneruskan perjuangan kita.
Tetapi seringkali yang kita
inginkan dari anak hanya sekadar profesi, ingin mewarisinya dari sisi pekerjaan
saja. Padahal ada yang lebih utama untuk kita wariskan.
Allah Swt., berfirman:
Allah Swt., berfirman:
"Dan orang-orang yang
beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak
mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat
dengan apa yang dikerjakannya."
(QS. At-Tur: Ayat 21)
(QS. At-Tur: Ayat 21)
Ketika Nabi Nuh minta kepada
Allah agar anaknya diselamatkan. Nabi Nuh sudah berusaha menjadikan anaknya
saleh, tapi ternyata dia memilih jalan yang lain. Berbeda dengan keinginan
orangtunya.
Jadi kalau punya anak, yang kita inginkan tak lain adalah agar mewarisi
keimanan dan diharapkan untuk kita siapkan sebagai pemimpin umat ini,
sebagaimana doa yang sering kita panjatkan berikut ini:
Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a'yun waj'alna lilmuttaqina imama (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa) (QS. Al Furqan: Ayat 74)
Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a'yun waj'alna lilmuttaqina imama (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa) (QS. Al Furqan: Ayat 74)
Kita minta kepada Allah agar menjadikan anak-anak kita pemimpin bagi
orang-orang yang bertakwa. Syaratnya apa? Ya harus bertakwa. Ini anak.
Kemudian kita diberikan oleh
Allah potensi ilmu. Ilmu itu untuk apa? Tak lain adalah diamalkan ilmu tersebut
sesuai dengan yang diinginkan dan dikehendaki oleh Allah Swt.
Kalau kita sudah punya ilmu yang diinginkan oleh Allah itu apa? Bisa
kita baca surat Al-Imran ayat 79 berikut ini:
"Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, "Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah," tetapi (dia berkata), "Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan Kitab dan karena kamu mempelajarinya!"" (QS. Ali 'Imran: Ayat 79)
"Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, "Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah," tetapi (dia berkata), "Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan Kitab dan karena kamu mempelajarinya!"" (QS. Ali 'Imran: Ayat 79)
Ayat ini mengingatkan Rasulullah sekaligus mengingatkan kita semua, bahwa
tidak layak bagi orang yang diberikan oleh Allah Al-kitab dan hikmah kenabian
kemudian mengatakan kepada para pengikutnya begini, "Jadilah kalian para
pengikut dan budakku selain Allah."
Tetapi bagi orang berilmu
itu apa yang dipesankan oleh Allah? "Jadilah kalian orang-orang yang
Robbani."
Nah, ilmu yang dianugerahkan oleh Allah tanamlah. Bagaimana cara
menanamnya? Jadikan ilmu itu bekal menjadi robbani. Apa itu robbani? Kalau kita
baca tafsir Ath-Thabari yang ditulis oleh Imam Ath-Thabari, bagian akhir
penjelasan ayat ini, beliau mengutip pendapat mujahid rahimahullah.
Apa kalimat yang disebutkan
di situ? Robbani itu adalah orang yang punya beberapa kriteria, di antaranya
adalah: pertama, dia itu punya ilmu dan pemahaman yang dalam. Kedua, punya
kemampuan politik atau melek politik. Ketiga, punya kemampuan profesional atau
bisa melakukan sesuatu dengan baik. Keempat, berpartisipasi aktif di
tengah-tengah masyarakat untuk menebar manfaat duniawi dan ukhrawinya.
Jadi kalau kita punya ilmu maka manfaatkan. Tanamkan ilmu itu agar jadi
robbani.
Kemudian harta. Kalau kita
diberi harta untuk apa? Disebutkan dalam surat Al-Hadid itu untuk belanja.
Belanja dalam sebuah hadis dijelaskan, ada seorang petani yang punya rahasia
sukses dalam pertaniannya. Dalam hadis itu disebutkan, setiap kali panen maka
hasil panennya tersebut, sepertiga digunakan untuk konsumsi keluarga.
Sepertiganya lagi disedekahkan. Dan sepertiganya lagi diinvestasikan atau
diputar lagi untuk menanam.
Jadi potensi hartanya sesuai
yang diinginkan oleh Allah Swt. Artinya, ada bagian untuk konsumsi, donasi, dan
investasi. Inilah kunci berkah harta itu dengan membagi kemanfaatannya.
Kemudian kalau ada pertanyaan, "Pendapatan saya selama ini tidak
saya gunakan seperti itu, apakah harta saya tidak barakah?
Ada dua kemungkinan.
Pertama, karena kurang banyak penghasilannya. Kedua, jangan-jangan memang tidak
barakah.
Untuk berdonasi apakah harus menunggu uangnya banyak dulu? Tidak. Di
dalam Al-Quran disebutkan, sedekah bisa dalam keadaan punya uang banyak maupun
sedikit. Bahkan boleh jadi yang sedekahnya sedikit itu lebih baik yang
sedekahnya banyak.
Kenapa? Karena yang sedikit ini disedekahkan separuhnya. Misal punya
uang satu juta, kemudian lima ratus ribunya disedekahkan. Tapi, ada orang yang
sedekahnya 10 juta tapi uang yang dimiliki berapa? Miliaran rupiah. Tidak
sampai 5 persen. Nah, yang lebih baik siapa? Yaitu, yang separuhnya tadi.
Berikutnya, memanfaatkan
jabatan. Meskipun besok akan diganti orang lain atau dilantik pejabat yang
baru, manfaatkan jabatan itu sebaik-baiknya.
Allah Swt., berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. An-Nisa’: Ayat 58)
Namun, yang dikhawatirkan di
sini adalah, menanam jabatan untuk kebaikan itu kalau sudah di akhir-akhir masa
jabatan, harapannya adalah agar dipilih lagi. Dia mengira yang mengangkat
dirinya itu para konstituen, bukan Allah Swt.
Terus yang dilakukan selama ini apa? Tanamlah, maka akan mendapatkan pahala.
Terus yang dilakukan selama ini apa? Tanamlah, maka akan mendapatkan pahala.
Setelah mendayagunakan
potensi yang dimiliki, berikutnya adalah hati-hati jangan sampai potensi
tersebut membuat lupa dan terlena untuk mengingat Allah Swt.
Pertanyaannya sekarang, apakah mungkin orang yang punya potensi harta, ilmu, jabatan lupa kepada Allah Swt.? Sangat mungkin. Biasanya orang rajin shalat itu ketika punya uang atau tidak punya uang?
Pertanyaannya sekarang, apakah mungkin orang yang punya potensi harta, ilmu, jabatan lupa kepada Allah Swt.? Sangat mungkin. Biasanya orang rajin shalat itu ketika punya uang atau tidak punya uang?
Dulu ketika SD masih jujur, rajin ke masjid, belajar ngaji dan shalat.
Ketika SMP sudah lain lagi, mulai jarang ke masjid. Setelah SMA dan kuliah
tambah jarang lagi. Setelah bekerja dan berkeluarga malah tak melakukan sama
sekali. Na'udzu billah minzalik.
Karenanya kita jangan sampai memiliki harta dan ilmu membuat lupa kepada Allah Swt.
Karenanya kita jangan sampai memiliki harta dan ilmu membuat lupa kepada Allah Swt.
Punya keturunan juga begitu harus hati-hati. Ketika belum punya anak
doanya rajin kepada Allah, "Ya Allah kalau misalnya engkau anugerahkan
anak yang saleh, sungguh kami akan menjadi orang yang bersyukur."
Namun setelah diberi anak, malah jarang bersyukur kepada Allah Swt.
Jabatan demikian juga, ketika sebelum menjabat rajin ke masjid. Setelah jadi
apa yang terjadi, jarang ke masjid.
Sebelum pilihan berangkat
menunaikan haji, setelah pilihan nggak shalat lagi. Katanya, "Saya dulu
sudah shalat di Masjidil Haram karena sama dengan shalat 100 ribu kali shalat
biasa."
Setelah itu perlu berhati-hati jangan sampai potensi yang dimiliki
disalahgunakan. Kalau punya uang, ilmu, dan jabatan jangan menggunakannya untuk
menzalimi orang lain. Kenapa? Karena kita ingin keberuntungan, tak hanya di
dunia tapi juga di akhirat.
Kalau ternyata apa yang dianugerahkan oleh Allah tidak kita tanam dengan
baik tapi justru kita gunakan untuk menzalimi orang lain, maka bukan
keberuntungan (falah) yang kita dapatkan malah akan jadi bangkrut.
Dari Abu Hurairah ra., ia
berkata: Rasulullah saw., bersabda, "Tahukah kalian, siapakah muflis
(orang yang bangkrut) itu?" Mereka (para sahabat) berkata, "Orang
bangkrut yang ada di antara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak
memiliki barang." Rasulullah saw., berkata, "Orang yang bangkrut dari
umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan shalat,
puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan
(dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si
fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan
kepada si fulan dan si fulan. Jika kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup
untuk menebus kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka
(yang telah ia zalimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu ia pun dilemparkan ke
neraka." (HR. Muslim)
Akhirnya dia jadi orang
yang bangkrut di akhirat. Modal yang ia bawa ternyata tak sebesar
kesalahan-kesalahannya. Karenanya mari kita menanam dengan baik. Mumpung masih
punya kesempatan.
Kalau
sudah kita tanam tunas itu, kita cari tunas lain untuk kemudian kita tanam
lagi. Agar kita tidak menjadi orang-orang yang merugi. Dengan cara bagaimana?
Yaitu, kita niatkan semua yang kita miliki untuk Allah Swt.: dengan cara semua
yang kita miliki sesuai kehendak-Nya. Dengan cara yang kita miliki jangan
sampai lupa kepada-Nya. Dan jangan sampai potensi yang kita miliki untuk
menzalimi sesama.
(Nur Hasan)
(Nur Hasan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar