InspirasI

Senin, 23 April 2018

Menanam Kebaikan
                                                     

Rasulullah saw., bersabda, "Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanam sebelum terjadi kiamat maka hendaklah dia menanamnya." (HR. Imam Ahmad)
Hadis ini memberikan pemahaman kepada kita semua, bahwa dengan menanam kita akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Misalnya esok hari akan terjadi kiamat, kemudian di tangan kita masih ada tunas, lantas oleh Nabi diperintah untuk menanam, kira-kira antara waktu yang diperlukan tanaman ini hingga berbuah dengan terjadinya hari kiamat, mana yang terjadi terlebih dahulu?
Yang menarik di sini adalah kiamat mau terjadi, tapi Nabi tidak memerintahkan untuk memperbanyak shalat dan puasa. Tapi kita disuruh menanam.
Hadis di atas sangat istimewa dengan cara kita ilustrasikan seperti ini, kita punya teman divonis oleh dokter usianya tinggal 10 hari. Saat itu kita menjenguknya kemudian berpesan kepada yang bersangkutan dengan mengatakan, "Sabar, banyak berzikir, ibadah, dan berdoa kepada Allah ya."
Mungkin ini saran yang biasa. Tapi kalau sarannya begini, "Ayo ikut saya cari pekerjaan biar dapat uang banyak." Kira-kira jawabannya bagaimana? Mungkin dia akan menjawab "Kamu ini gila ya, orang sakit kok diajak bekerja!"
Sebetulnya apa yang diinginkan oleh Rasulullah melaui pesan hadis tadi adalah, kehidupan ini perlu kita jaga produktifitasnya. Tapi produktifitas yang dimaksud bukan semata-mata untuk kepentingan duniawi, meskipun yang kita lakukan adalah tentang urusan materi dan kerja-kerja untuk mencari uang.
Namun yang diinginkan sesunggunya bukan semata-mata menanam, tapi di balik menanam itu ada apa?
Abu Darda ketika usianya sudah tua, beliau menanam lalu terlihat anak-anak muda. Melihat Abu Darda menanam anak-anak muda ini kemudian bertanya, "Wahai Abu Darda engkau ini sudah tua, untuk apa menanam lagi. Karena waktu yang dibutuhkan buah ini hingga berbuah dengan hidupmu, sepertinya engkau yang akan mati duluan!"
Mendengar itu lalu Abu Darda menjawab, "Tugasku hanya menanam. Masalah buahnya itu urusan lain. Saya mendapatkan pahala dengan menanam atau karena berbuah?"
Abu Darda berusaha menjaga produktifitas hingga akhir usianya. Karenanya tak ada kata pensiun untuk menjadikan hidup kita selalu produktif.
Di sisi lain hubungan sama Allah jika kita mengacu pada Al-Quran, diistilahkan dengan hubungan bisnis atau transaksional. Kadang juga diilustrasikan seperti orang berladang atau menanam.
Allah Swt., berfirman:
"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung." (QS. At-Taubah: Ayat 111)
Pertanyaannya, kalau Allah membeli dari orang mukmin terus yang jualan siapa? Jawabannya adalah kita yang jualan, Allah yang membeli. Lalu apa yang dibeli oleh Allah? Yaitu jiwa dan harta kita yang awalnya juga berasal dari Allah.
Contoh ada seorang teman lalu ia kasih modal ke kita untuk berdagang. Setelah itu modal ini kita buat untuk kulakan barang dan kemudian dia membeli barang kita. Ngasih untungnya besar pula. Apa yang kita katakan kepada dia? Pasti kita akan memberi ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada dia.
Maka karunia yang berikan Allah Swt., kepada kita, harapannya kita tetap menjaga produktifitasnya. Kita berbisnis dan berladang untuk mengejar kesejahteraan yang tak hanya berdimensi material tapi juga spiritual.
Mari lihat ayat-ayat yang terkait dengan bisnis dan perdagangan kita dengan Allah Swt. Orientasinya di sana bukan semata-mata untuk mengejar dunia.
Allah Swt., berfirman:
"Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahi lah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
(QS. Al-Mulk: Ayat 15)
Bumi ini dijadikan mudah oleh Allah untuk dikelola dan di huni manusia. Tapi harus diingat bumi yang diciptakan Allah bagi manusia lantas untuk apa? Tidak lain kita sebagai hamba Allah harus menyelaraskan tujuan kita dengan tujuan Allah Swt.
Allah punya tujuan penciptaan bumi dan alam ini kita yang ada di atasnya harus menyeleraskan. Di sinilah nanti akan ketemu tujuan hamba dengan tujuan Allah Swt. Makanya ada sebuah kaidah yang mengatakan, "Setiap tujuan yang berlawanan dengan Allah Swt., maka tujuan itu adalah kebatilan."
Kalau Allah menghendaki bumi itu harus dibeginikan, tapi kita berbeda dengan yang dikehendaki-Nya, maka yang kita lakukan itu termasuk sebuah kebatilan.
Allah menginginkan bumi yang dikaruniakan kepada manusia adalah agar dilakukan aktivitas yang produktif untuk mengelola kekayaan yang ada di bumi ini.
Setelah berproduksi maka makanlah dari rezekinya Allah. Saat Allah memerintahkan kita untuk menikmati isi bumi ini, Allah tak menyuruh makanlah dari rezekimu, tapi makanlah dari rezeki Allah. Apa ini maknanya? Meskipun kita dari pagi sampai sore berladang dan menanam. Setelah itu merawatnya kemudian menghasilkan dan bisa dipanen. Sesungguhnya hasil panen tersebut bukan karya kita, tapi itu adalah karunia Allah Swt. Kok bisa seperti itu? Mari kita bandingkan, upaya yang dilakukan manusia dengan campur tangan Allah sampai tanaman itu menghasilkan, kira-kira mana yang lebih besar?
Misalnya, tugas yang kita lakukan untuk menanam padi diawali dengan apa? Yaitu mencangkul atau ditraktor tanahnya terlebih dahulu baru kemudian ditanami.
Pertanyaannya, yang menurunkan airnya siapa? Yang mengatur suhu udaranya siapa? Yang menyinari matahari siapa? Yang menumbuhkan siapa? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Makanya Qarun itu zalim, kemudian ditenggelamkan oleh Allah Swt., karena dia mengatakan, "Aku punya kekayaan dan harta itu karena ilmu yang aku miliki."
Karenanya Allah mengingatkan kepada kita, "Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (QS. Al-Mulk: Ayat 15)
Artinya, aktivitas produksi dan konsumsi meskipun secara kasat mata adalah amaliah kita yang sifatnya materi, namun sesungguhnya tujuannya bukan semata-mata untuk dunia, tapi untuk kembali kepada Allah Swt.
Begitu juga ketika kita berbisnis, ini bukanlah semata-mata mencari laba. Kalau bisa bisnis untuk mencari surga. Jadi mencari surga itu tempatnya bukan hanya di masjid, tapi mencarinya bisa di pasar dan tempat-tempat perdagangan. Karena di balik transaksi yang kita lakukan, itu bisa berpotensi mengantarkan kita ke surga atau neraka.
Dalam sebuah hadis sahih diceritakan ada orang didatangi malaikat, kemudian ditanya, "Kamu melakukan kebaikan apa tidak?" Lalu ia menjawab, "Aku tidak tahu." Selanjutnya ditanya lagi, "Coba kamu pikirkan, adakah kebaikan yang kamu lakukan." Kemudian ia menjawab, "Saya punya kebiasaan bisnis, terhadap orang yang mampu membayar aku berikan kemudahan dan terhadap orang yang tidak mampu aku bebaskan dia."
Akhirnya yang bersangkutan dimasukkan ke dalam surga. Kenapa? Karena cara bisnisnya itu. Menariknya di sini karena ketemunya di pasar dan bukan di masjid.
Kemudian bagaimana cara kita dalam mengejar keberuntungan dengan segala potensi yang diberikan Allah Swt.?
Pertama, memaknai kembali kata rugi.
Bagi pedagang rugi itu bukan semata-mata pengeluaran lebih besar daripada pendapatannya. Bukan hanya itu. Tapi para pedagang punya modal kok tidak diputar itulah rugi.
Sama halnya kalau kita punya potensi waktu, harta, dan anak, kok tidak didayagunakan, kita akan rugi.
Dalam Al-Quran kalau kita baca, neraka salah satunya disiapkan untuk siapa? Kebanyakan jin dan manusia karena mereka punya hati tapi tidak digunakan untuk memahami, punya penglihatan tidak digunakan untuk melihat kebesaran Allah, punya telinga tidak digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah.
Sekedar tidak digunakan saja sudah disiapkan neraka oleh Allah. Coba kalau digunakan untuk hal-hal yang berlawanan.
Ada ungkapan yang disampaikan oleh Abdul Azis Al Muhammad al Salman, ini menggambarkan orang yang punya potensi tapi tidak digunakan: kelak yang sangat merugi di hari kiamat itu ada tiga:
Pertama, orang yang punya pembantu tapi pada saat hari kiamat amalnya lebih baik daripada majikannya.
Biasanya kalau orang itu punya pembantu yang bangun pagi duluan siapa? Bisa jadi pembantunya lebih awal untuk menunaikan shalat, majikannya masih tidur. Pembantu ini kemudian bekerja secara ikhlas karena Allah, untuk kepentingan keluarganya yang sedang sakit.
Pembantunya selesai masak, kemudian shalat dhuha. Padahal tidak jarang waktu luang majikannya itu lebih banyak dibandingkan pembantunya tadi.
Misalnya, ada seorang direktur yang sudah tidak disibukkan dengan urusan-urusan teknis, karena sudah di-handle oleh bawahannya semua, tapi ternyata kelak di hari kiamat staffnya ini yang lebih baik amalnya dari direkturnya.
Jadi dia punya potensi waktu tapi tidak digunakan dan akhirnya rugi.
Kedua, orang yang punya harta tapi hartanya tidak disedekahkan. Dia meninggal kemudian diwarisi oleh orang lain, yang mewarisi ini tidak bekerja tinggal terima lalu dia menyedekahkan. Kira-kira yang dapat pahala siapa? Pasti yang sedekah itu.
Jadi harta kita yang sebenarnya adalah yang kita sedekahkan. Kalau yang ada di rekening itu adalah hartanya ahli waris. Kalau ahli waris digunakan untuk kebaikan masih mending, tapi kalau digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Na'udzu billahi mindzalik.
Ketiga, orang yang punya ilmu tapi tidak mau menerapkan ilmunya itu, tapi dia mengajarkan pada orang lain, orang yang diajari ini kemudian mengamalkan ilmu tersebut.
Kalau dia mengajar memang dapat pahala mengajar, yang diajari dapat pahala belajar. Yang ini menerapkan dan yang ini tidak menerapkan, kira-kira yang banyak mendapat pahala yang mana?
Jadi rugi itu adalah bila punya potensi tapi tak digunakan. Ibarat seorang pedagang yang punya modal tapi tidak diputar.
Maka, Allah sudah memberikan karunia berupa tunas kemudian disuruh untuk menanam.
Yang diberikan oleh Allah itu banyak, seperti ilmu, harta, keturunan, dan jabatan. Kalau tidak digunakan dengan baik maka akan rugi. Oleh karenanya kita harus tahu harta itu untuk apa? Ilmu yang kita miliki untuk apa? Keturunan yang kita lahirkan untuk apa? Jabatan yang kita emban untuk apa?
Tidak lain adalah untuk menyelaraskan tujuan kita dengan Allah. Jika kita bisa maka kita akan diberikan taufiq dari Allah Swt. Taufiq artinya adalah selaras. Kita sering mendengar dari penceramah wabillahi taufiq wal hidayah, ini bermakna ingin menyelaraskan antara yang kita inginkan dengan yang diinginkan oleh Allah Swt.
Setelah kita pahami makna rugi, yang harus kita lakukan berikutnya adalah niatkan dengan niat yang baik. Apapun yang dikaruniakan Allah kita niatkan yang baik. Punya harta silahkan. Apakah Allah melarang kita punya harta yang banyak? Tidak melarang. Bahkan secara tersirat Allah menyebutkan di dalam surat Al-Mu'minun berikut ini:
"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang yang menunaikan zakat." (QS. Al-Mu'minun: Ayat 1-4)
Orang-orang yang beraktivitas di kehidupan ini agar mencari pendapatan surplus atau lebih. Kemudian dengan pendapatannya itu dia membayar zakat. Maka ciri orang mukmin di ayat ini adalah "Dan orang yang menunaikan zakat."
Jadi untuk bisa membayar zakatnya itu dia bekerja dengan sungguh-sungguh.
Maka tak ada larangan, silahkan punya harta dan uang yang banyak. Termasuk punya anak yang banyak juga tak ada larangan. Bahkan Rasulullah akan bangga di akhirat kelak.
Yang dilarang adalah kita pasang niat tidak untuk Allah Swt. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang memelihara seekor kuda untuk fii sabilillah karena iman kepada Allah dan membenarkan janjinya maka sesungguhnya setiap makanan kuda itu, minumannya, kotorannya dan kencingnya akan menjadi timbangan (kebaikan) baginya pada hari kiamat."
Umpama kita punya kendaraan yang bagus kemudian untuk fii sabilillah, maka bensin yang dimasukkan dan asap yang dikeluarkan akan bisa memperberat timbangan di akhirat kelak.
Kalau kita punya anak kemudian anak ini kita niatkan untuk Allah. Ketika kita sekolahkan juga begitu, kita pilihkan sekolah dalam rangka menyiapkan untuk perbaikan umat. Harta, ilmu, dan jabatan begitu pun juga. Semua diniatkan untuk Allah Swt.
Setelah diniatkan dengan niatan yang baik kemudian mendayagunakan potensi yang dimilikinya itu sesuai yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Kita lihat potensi-potensi yang dianugerahkan oleh Allah itu apa saja.
Allah Swt., berfirman:
"Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah."
(QS. Al-A'raf: Ayat 179)
Dalam ayat ini sudah jelas, bahwa Allah menyiapkan neraka jahannam itu salah satunya adalah bagi orang yang punya hati tapi tak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah Swt. Hati ini kita gunakan untuk belajar memahami. Ada yang mengatakan akal itu posisinya di dalam hati. Artinya kita mengfungsikan hati itu untuk memahami Allah Swt.
Selanjutnya sesuaikan dan luruskan cara belajar kita. Kalau kita belajar urut-urutan yang baik itu begini. Pertama kita memahami Allah, setelah itu ilmu yang kita pelajari adalah mencari ilmu tentang manusia. Lalu mempelajari ilmu tentang alam.
Kita kayaknya keliru dulu ketika pas sekolah. Kelirunya bagaimana? Kita belum mengenal Allah Swt., sudah mengenal alam semesta duluan. Belum mengenal Allah Swt., sudah belajar tentang manusia.
Makanya apa yang terjadi saat kita melihat kebesaran alam semesta, kira-kira kita pernah nggak mengatakan: "subhanallah, masya Allah."
Nah, sekarang hati kita gunakan untuk belajar dalam rangka mengurutkan kembali ilmu-ilmu itu. Kita kenali Allah Swt., kita pelajari ilmu tentang manusia dan alam semesta. Tapi didasari dengan basis ma'rifatullah (mengenal Allah).
Ketika kita sekolah juga begitu, kalau disebut pelajaran agama apa isinya? Isinya adalah tentang shalat, thaharah, ibadah, dan akhlak. Sementara pelajaran fisika dan biologi di sisi yang lain.
Kemudian siswa ini memahaminya bagaimana, "Oh ternyata fisika dan biologi itu bukan agama." Padahal di Al-Quran itu ada ayat yang mengatakan, "Maka tidaklah mereka memerhatikan unta, bagaimana diciptakan?"
(QS. Al-Gasyiyah: Ayat 17)
Yang memerhatikan justru orang lain. Onta jika di tengah badai itu masih bisa jalan. Matanya dapat melihat karena ada bulu-bulu yang menutupi sehingga dia bisa melihat. Dan ternyata ini mengilhami produsen helm. Bagaimana dengan memakai helm, bisa terus melaju kencang tapi masih bisa melihat ke arah depan.
Jadi menggunakan hati, pendengaran, dan penglihatan untuk memahami kebesaran Allah Swt.
Kemudian, ketika kita punya anak. Ini merupakan sebuah potensi, untuk apa anak kita ini? Sebagai orangtua tentu berharap anak kita kelak akan meneruskan perjuangan kita.
Tetapi seringkali yang kita inginkan dari anak hanya sekadar profesi, ingin mewarisinya dari sisi pekerjaan saja. Padahal ada yang lebih utama untuk kita wariskan.
Allah Swt., berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya."
(QS. At-Tur: Ayat 21)
Ketika Nabi Nuh minta kepada Allah agar anaknya diselamatkan. Nabi Nuh sudah berusaha menjadikan anaknya saleh, tapi ternyata dia memilih jalan yang lain. Berbeda dengan keinginan orangtunya.
Jadi kalau punya anak, yang kita inginkan tak lain adalah agar mewarisi keimanan dan diharapkan untuk kita siapkan sebagai pemimpin umat ini, sebagaimana doa yang sering kita panjatkan berikut ini:
Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a'yun waj'alna lilmuttaqina imama (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa) (QS. Al Furqan: Ayat 74)
Kita minta kepada Allah agar menjadikan anak-anak kita pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Syaratnya apa? Ya harus bertakwa. Ini anak.
Kemudian kita diberikan oleh Allah potensi ilmu. Ilmu itu untuk apa? Tak lain adalah diamalkan ilmu tersebut sesuai dengan yang diinginkan dan dikehendaki oleh Allah Swt.
Kalau kita sudah punya ilmu yang diinginkan oleh Allah itu apa? Bisa kita baca surat Al-Imran ayat 79 berikut ini:
"Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, "Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah," tetapi (dia berkata), "Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan Kitab dan karena kamu mempelajarinya!"" (QS. Ali 'Imran: Ayat 79)
Ayat ini mengingatkan Rasulullah sekaligus mengingatkan kita semua, bahwa tidak layak bagi orang yang diberikan oleh Allah Al-kitab dan hikmah kenabian kemudian mengatakan kepada para pengikutnya begini, "Jadilah kalian para pengikut dan budakku selain Allah."
Tetapi bagi orang berilmu itu apa yang dipesankan oleh Allah? "Jadilah kalian orang-orang yang Robbani."
Nah, ilmu yang dianugerahkan oleh Allah tanamlah. Bagaimana cara menanamnya? Jadikan ilmu itu bekal menjadi robbani. Apa itu robbani? Kalau kita baca tafsir Ath-Thabari yang ditulis oleh Imam Ath-Thabari, bagian akhir penjelasan ayat ini, beliau mengutip pendapat mujahid rahimahullah.
Apa kalimat yang disebutkan di situ? Robbani itu adalah orang yang punya beberapa kriteria, di antaranya adalah: pertama, dia itu punya ilmu dan pemahaman yang dalam. Kedua, punya kemampuan politik atau melek politik. Ketiga, punya kemampuan profesional atau bisa melakukan sesuatu dengan baik. Keempat, berpartisipasi aktif di tengah-tengah masyarakat untuk menebar manfaat duniawi dan ukhrawinya.
Jadi kalau kita punya ilmu maka manfaatkan. Tanamkan ilmu itu agar jadi robbani.
Kemudian harta. Kalau kita diberi harta untuk apa? Disebutkan dalam surat Al-Hadid itu untuk belanja. Belanja dalam sebuah hadis dijelaskan, ada seorang petani yang punya rahasia sukses dalam pertaniannya. Dalam hadis itu disebutkan, setiap kali panen maka hasil panennya tersebut, sepertiga digunakan untuk konsumsi keluarga. Sepertiganya lagi disedekahkan. Dan sepertiganya lagi diinvestasikan atau diputar lagi untuk menanam.
Jadi potensi hartanya sesuai yang diinginkan oleh Allah Swt. Artinya, ada bagian untuk konsumsi, donasi, dan investasi. Inilah kunci berkah harta itu dengan membagi kemanfaatannya.
Kemudian kalau ada pertanyaan, "Pendapatan saya selama ini tidak saya gunakan seperti itu, apakah harta saya tidak barakah?
Ada dua kemungkinan. Pertama, karena kurang banyak penghasilannya. Kedua, jangan-jangan memang tidak barakah.
Untuk berdonasi apakah harus menunggu uangnya banyak dulu? Tidak. Di dalam Al-Quran disebutkan, sedekah bisa dalam keadaan punya uang banyak maupun sedikit. Bahkan boleh jadi yang sedekahnya sedikit itu lebih baik yang sedekahnya banyak.
Kenapa? Karena yang sedikit ini disedekahkan separuhnya. Misal punya uang satu juta, kemudian lima ratus ribunya disedekahkan. Tapi, ada orang yang sedekahnya 10 juta tapi uang yang dimiliki berapa? Miliaran rupiah. Tidak sampai 5 persen. Nah, yang lebih baik siapa? Yaitu, yang separuhnya tadi.
Berikutnya, memanfaatkan jabatan. Meskipun besok akan diganti orang lain atau dilantik pejabat yang baru, manfaatkan jabatan itu sebaik-baiknya.
Allah Swt., berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: Ayat 58)
Namun, yang dikhawatirkan di sini adalah, menanam jabatan untuk kebaikan itu kalau sudah di akhir-akhir masa jabatan, harapannya adalah agar dipilih lagi. Dia mengira yang mengangkat dirinya itu para konstituen, bukan Allah Swt.
Terus yang dilakukan selama ini apa? Tanamlah, maka akan mendapatkan pahala.
Setelah mendayagunakan potensi yang dimiliki, berikutnya adalah hati-hati jangan sampai potensi tersebut membuat lupa dan terlena untuk mengingat Allah Swt.
Pertanyaannya sekarang, apakah mungkin orang yang punya potensi harta, ilmu, jabatan lupa kepada Allah Swt.? Sangat mungkin. Biasanya orang rajin shalat itu ketika punya uang atau tidak punya uang?
Dulu ketika SD masih jujur, rajin ke masjid, belajar ngaji dan shalat. Ketika SMP sudah lain lagi, mulai jarang ke masjid. Setelah SMA dan kuliah tambah jarang lagi. Setelah bekerja dan berkeluarga malah tak melakukan sama sekali. Na'udzu billah minzalik.
Karenanya kita jangan sampai memiliki harta dan ilmu membuat lupa kepada Allah Swt.
Punya keturunan juga begitu harus hati-hati. Ketika belum punya anak doanya rajin kepada Allah, "Ya Allah kalau misalnya engkau anugerahkan anak yang saleh, sungguh kami akan menjadi orang yang bersyukur."
Namun setelah diberi anak, malah jarang bersyukur kepada Allah Swt. Jabatan demikian juga, ketika sebelum menjabat rajin ke masjid. Setelah jadi apa yang terjadi, jarang ke masjid.
Sebelum pilihan berangkat menunaikan haji, setelah pilihan nggak shalat lagi. Katanya, "Saya dulu sudah shalat di Masjidil Haram karena sama dengan shalat 100 ribu kali shalat biasa."
Setelah itu perlu berhati-hati jangan sampai potensi yang dimiliki disalahgunakan. Kalau punya uang, ilmu, dan jabatan jangan menggunakannya untuk menzalimi orang lain. Kenapa? Karena kita ingin keberuntungan, tak hanya di dunia tapi juga di akhirat.
Kalau ternyata apa yang dianugerahkan oleh Allah tidak kita tanam dengan baik tapi justru kita gunakan untuk menzalimi orang lain, maka bukan keberuntungan (falah) yang kita dapatkan malah akan jadi bangkrut.
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw., bersabda, "Tahukah kalian, siapakah muflis (orang yang bangkrut) itu?" Mereka (para sahabat) berkata, "Orang bangkrut yang ada di antara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang." Rasulullah saw., berkata, "Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan shalat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan si fulan. Jika kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup untuk menebus kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia zalimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu ia pun dilemparkan ke neraka." (HR. Muslim)
          Akhirnya dia jadi orang yang bangkrut di akhirat. Modal yang ia bawa ternyata tak sebesar kesalahan-kesalahannya. Karenanya mari kita menanam dengan baik. Mumpung masih punya kesempatan.
Kalau sudah kita tanam tunas itu, kita cari tunas lain untuk kemudian kita tanam lagi. Agar kita tidak menjadi orang-orang yang merugi. Dengan cara bagaimana? Yaitu, kita niatkan semua yang kita miliki untuk Allah Swt.: dengan cara semua yang kita miliki sesuai kehendak-Nya. Dengan cara yang kita miliki jangan sampai lupa kepada-Nya. Dan jangan sampai potensi yang kita miliki untuk menzalimi sesama.
(Nur Hasan)


Tidak ada komentar: