K
A M I
Masih ingat kamu, Nduk? Saat mata
polosmu mengamati sepatu baru yang digantung berjajar di pasar. Sejenak Bapakmu
ini bingung, tidak ada uang lebih dari semua rencana yang ingin dibeli. Tapi
kamu berdiri, Nduk, tepat di depan lapak pedagangnya. Masih mending kalau hanya
berdiri saja, tapi nyatanya Bapak harus melihatmu berlinang airmata.
"Pak, sepatunya bagus sekali kan ya
..." Suaramu serak waktu itu.
Bapak sebenarnya malu, tapi lebih besar merasa
pilu. Tak ada pilihan lain selain membeli apa yang kamu mau. Bukan karena ingin
terlihat punya banyak uang di depan semua orang, Nduk. Tapi demi melihat senyum
yang langsung melebar di bibirmu.
Hasilnya, lebaran ini Bapak dan ibu tak sanggup
beli baju. Untung saja ibumu wanita nerimo, Nduk. Lebaran pakai baju bertahun-tahun yang
lalu pun dia tak malu.
"Yang penting kan hati kita, Pak ..."
Ibumu yang kesabarannya melebihi wanita lainnya itu menguatkan Bapak, Nduk.
Tapi Bapak tahu, ada satu sisi di dalam hatinya merasa nelangsa.
Teman-temanmu
mulai dibelikan sepeda baru, Nduk, kamu juga mau. Bingung lagi Bapakmu. Masih
ada cicilan yang harus dibayar, tapi tak tega melihatmu ikut lari tiap kali
mengejar sepeda teman-temanmu. Kami melihat itu, Nduk, saat mereka berteriak
menyuruhmu lari-lari mengikuti.
Kamu polos. Tertawa saja sambil mengikuti mau
mereka. Sementara kami yang melihat dari balik jendela, merasa hati sedang
diiris, perih sekali.
"Harga sepeda kecil berapa ya, Bu?"
Akhirnya Bapak bertanya.
Ibumu mengerti, Nduk. Dia terdiam lama. Mungkin
sedikit bingung memilih antara beras dan sepeda lebih penting yang mana. Tapi
kami berdua ini orangtuamu, Nduk. Hidup cuma demi kebahagiaanmu.
"Mburuh cangkul di tempat Wak Sodeh masih
bisa diterima kali ya, Bu?"
"Ya, kesana saja, Pak. Mudah-mudahan masih
butuh orang," ucapnya pelan sambil memperhatikan kakiku.
Sudah beberapa bulan sejak jatuh dari bangunan
saat Bapak kerja sebagai tukang, kaki Bapak belum sembuh benar, Nduk. Masih
sering nyeri kalau dipaksa bekerja terlalu keras. Jangankan bekerja, berjalan sedikit
jauh saja Bapak sudah tidak kuat.
Tapi ini demi kamu ya, Nduk. Buat apa ada Bapak
kalau masih harus kamu merasa kekurangan.
Dalam waktu
beberapa lama Bapak terus bertahan di bawah terik dan hujan. Biar keinginan
Bapak cepat selesai. Kadang saat malam dipijat ibumu sambil meringis menahan
sakit. Tapi melihat wajah polosmu yang tertidur itu Bapak semangat lagi.
Sampai akhirnya bisa juga Bapak pulang sambil
membawakan sepeda untukmu. Hati Bapak mekar, Nduk, saat melihatmu berlari-lari
menyambut sepeda yang Bapak hadiahkan.
Yang lucu itu saat Bapak mendengar pertanyaanmu,
Nduk.
"Bapak kok bisa tahu aku pengen
sepeda?"
Tertawa Bapak, Nduk. Aku ini Bapakmu. Seorang
Bapak pasti tahu keinginan anaknya meski tanpa diminta.
Ya kan, Nduk?
***
Hari minggu ini, Bapak mengeluarkan sepeda
mungil bekasmu dulu, Nduk. Sudah karatan dan penuh sawang karena lama tidak
digunakan.
Ibumu hanya memperhatikan dari dapur rumah,
sambil mengulek bumbu-bumbu masakan.
Bapak mengambil lap, lalu mulai membersihkan
bagian demi bagian yang warnanya sudah tampak coklat kehitaman. Menyiram dengan
air, lalu mulai menyikati dengan senang hati.
Harum bumbu
mulai menguar, membuat perut Bapak keroncongan menahan lapar. Tapi Bapak belum
selesai, Nduk. Belum cukup pantas sepeda kecil ini untuk diperlihatkan.
"Pak, makan dulu!" Seru ibumu dari
pintu dapur.
"Iya, sebentar lagi!" Bapak menyahut
tanpa menoleh. Perlu konsentrasi untuk mengolesi lekuk-lekuk kecil pada sepeda
agar cat barunya tidak melebar kemana-mana.
Tadinya Bapak pikir cuma sebentar, tapi ternyata
butuh waktu lama juga. Akhirnya menyerah Bapak pada keinginan ibumu.
Bapak makan sambil mengamati apa yang dimasukan
ibumu ke dalam tas, Nduk. Kadang tangannya terlihat ragu. Memasukkan baju, lalu
dikeluarkan lagi.
"Kenapa, Bu?" Aku bertanya.
Ibumu menatap Bapak, lama. Seolah ada hal besar
yang tengah dipikirkannya.
"Mau berapa lama ya, Pak?" Akhirnya
terlontar keluar juga pertanyaan yang mengganggunya.
"Menurut Ibu sebaiknya berapa lama?"
Ibumu menghela napas, lalu mengucap pelan.
"Aku takut kalau lama-lama nanti malah merepotkan Andini saja ..."
Beginilah kami, Nduk. Pemikiran para orangtua.
Tidak seperti kamu yang merasa nyaman dan tenang saat tinggal bersama kami.
Kami merasa malu kalau harus berlama-lama menadahkan piring dan tidur di
rumahmu meski kamu anak sendiri.
***
Setelah
membayar ongkos angkot terakhir yang dinaiki, kami melangkahkan kaki menuju
deretan rumah yang berjajar rapi
Berkali ibumu mengomentari betapa bagusnya
suasana kota yang kau tempati ini. Sementara Bapak hanya mengiyakan celotehnya
saja.
Seharusnya kami naik ojek, Nduk. Tapi kami
sengaja jalan kaki. Karena jangan sampai nanti terpaksa harus merepotkanmu
dengan memberi ongkos pulang untuk kami.
Iya kalau kamu sedang punya uang lebih saat ini,
kalau tidak?
Rumahmu terlihat sepi. Sudah berdebar hati Bapak,
Nduk. Takut kalau-kalau kalian tidak ada. Sia-sia sudah semuanya.
Ibumu membuka pintu teras, hati-hati. Lalu di
depan pintu kami berdiri.
Belum sempat diketuk, pintu sudah terbuka. Ternyata
Agas melihat kedatangan kami.
"Kakek!" Anak itu berteriak.
Dari ruang dalam Puspita ikut berlari. Di
belakangnya lagi, muncul kamu Nduk. Wajahmu terlihat kaget.
"Bapak? Ibu?"
Bapak menurunkan sepeda kecil bercat merah yang
tadi dipanggul sepanjang jalan. Sementara kamu langsung mencium tangan ibu, dan
Bapak.
Lega Bapak, Nduk. Melihat wajahmu yang tampak
begitu senang menyambut kedatangan kami.
"Kok ndak bilang-bilang kalau mau datang,
Pak, Bu?" tanyamu dengan wajah berseri-seri.
"Ndak direncanakan, Nduk. Cuma karena
Bapakmu bingung sepeda di dapur itu mau dikemanakan. Akhirnya dicat, biar bisa
dipakai Puspita ..." Ibumu mengucap alasan.
"Ohh ..." Kamu mengangguk-angguk.
"Harusnya ndak usah repot-repot lah, Pak ... Puspita sudah dibelikan
sepeda oleh ayahnya ..."
Kami tahu Nduk, kami tahu. Bukannya lebaran tahun
lalu kamu sudah menceritakan itu.
Tapi karena setelah itu kamu belum datang lagi,
jadi dipakailah sepeda usang yang diperbarui sebagai alasan kami datang ke
sini.
Kami cuma rindu, Nduk.
Tapi karena pada dasarnya orangtua hanya ingin
memberi, jadi kami merasa malu jika kedatangan ke rumah sang anak hanya sekadar
membawa diri.
Jadi Nduk, kalau dulu kami bisa mengerti apa-apa yang
kau ingini bahkan tanpa kamu mengucapkannya, sekarang harapan kami kau pun bisa
melakukan hal yang sama.
Agar di hadapanmu, tak merasa malu kami sebagai
orangtua.
Patrick Kellan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar