PERPISAHAN
Dalam haji wada’nya Rasulullah SAW berkhutbah dihadapan 1.200 orang,
“Wahai manusia, dengar dan perhatikan, sesungguhnya aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian selepas tahun ini.”
Setelah kembali ke Madinah, bulan Rabi’ul awal, tubuh Rasulullah terasa lemah, beliau demam, kemudian meminta disirami air yang membuat tubuhnya terasa lebih segar. Kemudian beliau ke luar rumah diiringi Ali bin Abu Thalib dan Fadhl bin Abbas, Radhiyallahu’anhuma. Menemui para sahabat, dari atas mimbarnya berkhutbah tentang perpisahan,
“Seseorang telah diberi pilihan antara kehidupan di dunia atau menjumpai Ar-Rafiqul A’la.”
Hingga para sahabat bertanya,
”ya Rasulullah jika engkau wafat siapakah yang akan memandikanmu?”
Beliau menjawab,
”Seseorang di antara ahlul baytku.”
Kemudian mereka berkata lagi,
”Dengan apa engkau kami kafani?”
Saat melihat rasa gundah melanda hati para sahabatnya air mata Rasulullah berlinang, kemudian menjawab,
”Bahan dalam pakaianku ini, atau kain dari Yaman, atau jubah dari Syam atau kapas dari Mesir.”
Senin waktu shalat subuh 12 Rabi’ul awwal. Rasulullah menyingkap tabir kain dari pintu rumahnya. Pandangannya mengarah kepada para sahabat yang sedang menunaikan shalat berjamaha di bawah pimpinan Abubakar RA. Itulah saat terakhir Rasulullah memandang para sahabatnya.
Pernah dikisahkan tentang Usman bin Affan, ia hanya menunduk dan hening ketika disebut neraka. Kemudian ia menangis, bahunya terguncang dan menutup muka dengan kedua telapak ketika mendengar kata kubur, ketika ditanyakan kepadanya,
”Andai pun disiksa di neraka, kita takkan sendirian, ada banyak kawan, tapi di dalam kubur, siksa apalagikah yang paling mengerikan daripada kesendirian?”
Itulah Usman, lelaki yang selalu berbagi, yang bashirahnya sejernih embun pagi, lelaki yang begitu menjunjung tinggi nilai kebersamaan, manisnya persahabatan. Akan tetapi ia takut kesendirian.
Kisah di atas mengingatkan kepada perpisahan. Perpisahan ruh dari bumi berharap kembali ke kampung halaman tempat pertama nabulloh Adan AS dan Siti Hawa diciptakan. Ini juga tentang perpisahan, perpisahan antara anak manusia. Sepasang anak manusia mengikrarkan janji suci di hadapan penghulu dan saksi-saksi. Restu dan Komariah sepasang pengantin dengan sumringah menyalami undangan i’lan nikah. Sebuah episode gembira ruah dalam hidup mereka. Jangankan keluarga, kerabat, sahabat dan segenap undangan, dunia pun terasa memberikan selamat dan impian-impian indah tentang pernikahan.
Sehari, dua hari, seminggu hingga sebulan, cecapan indahnya rumah tangga seperti tetesan madu yang membilur dipinggir bibir. Manis, wangi dan menggiurkan. Tak terasa perjalanan mulai menerjal, menanjak bahkan tak urung dipenuhi kerikil tajam, onak dan duri. Hari ini rongrongan saudara minta bantu, hari berikutnya tentang penataan rumah yang berbeda pendapat, lusa tentang pulang kemalaman. Sebuah keluarga kecil dengan seorang putri yang super aktif memasuki usia kelompok bermain, rumah yang lebih dari sederhana, mobil dan barang lux lainnya. Rasanya tidak ada yang kurang, kalau pun diteliti terlihat berlebih jika dibandingkan pasutri muda lainnya yang masih berkutat dengan pondok indah mertua, kredit ini itu, PHK, selingkuh.
Restu dan Komariah pasangan beruntung jika tidak dikatakan sangat diberkati. Satunya pegawai BUMN satunya lagi assistant manager di perusahaan asing. Menikah berdasarkan cinta yang datang secara perlahan karena pertemanan. Dukungan keluarga dan karier menanjak nan mulus. Apa yang kurang? Semua orang yang kenal akan menjawab serentak tidak ada. Tapi perlahan dan berulang, pertengkaran kecil mulai menerpa. Ada saja kekurangan pasangan yang jadi bahan pertengkaran. Yang dulu terlihat bagus, baik , kelebihan bahkan mendekati sempurna, pelan-pelan berubah terlihat penuh kekurangan dan bobrok di sana sini. Mulai meradang saling mengeluh tentang kekurangan pasangan. Mulai merasa banyak ketidakcocokkan. Dan akhirnya saling mencari pelarian untuk sekadar menghindari konflik yang lebih besar.
Masing-masing memilih curhat kepada orang terdekat, keluarga, sahabat bahkan media sosial tak urung menjadi ladang pelampiasan, dengan keluhan yang hampir seragam,
”Kok dia sekarang begini ya, dulu padahal ga lho?”
”Kok sekarang cuek ya, dulu perhatian banget.”
”Kenapa sekarang sibuk dengan pekerjaan kayak ga ada waktu buat aku?”
Sederet keluhan bernada minor ketidakpuasan kepada pasangan. Hingga akhirnya semua meruncing dan menumpuk di hulu tanpa ada penyelesaian. Hujaman ragam masalah kian menghimpit, pikiran dan perasaan hampir reot untuk menampung segala masalah yang mereka sebut dengan cobaan. Dan akhirnya mereka mengambil jalan pintas untuk kebaikan kedua belah pihak dengan kata yang sangat dibenci Tuhan, ”Talak.”
Setahun kemudian, Restu dan Komariah sudah hampir Move on dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Pagi itu di sebuah pertemuan sahabat, Restu berbincang dari hati ke hati dengan sahabat dekatnya. Didit, sahabat karibnya dan Komariah, lelaki biasa dengan mengendarai motor tua, seorang istri guru TK dan tiga orang anak,
”Aku kadang mengingat mantan istriku,” ucap Restu pelan.
”Apa yang kau ingat, bukannya wajar karena kalian punya anak?” tanya Didit sambil sedikit menaikkan bahu.
”Entahlah, kadang aku mengingat semuanya, bahkan aku mulai merindukan, suaranya, gurauannya, marahnya sampai pertengkaran kami,” balas Restu sambil membuka kaca matanya dan mengucek mata kanannya.
Didit mendekat dan merangkul bahunya,
”Begitulah hubungan, walau kita telah pergi menjauhinya, masih ada yang tertinggal.”
”Kadang aku merasa apa yang aku ingat sekarang jauh lebih banyak daripada apa yang pernah aku rasakan dulu.”
”Semua yang kalian jalani pasti ada maknanya, buat bekal selanjutnya.”
Sejenak Restu meraih ranting yang jatuh, kemudian melemparkannya asal,
”Seperti ranting yang gugur, kemudian terlempar dan patah berkeping, saat aku sadar ranting itu berharga, aku mulai memungutnya kembali. Tapi semua menjadi sia-sia, karena semua sudah berkeping tak bersisa. Hanya tertinggal penyesalan.”
”Semangat sob, masih ada hari esok, kamu masih bisa memperbaiki dari sisa-sisa yang ada,” ujar Didit menyemangati sambil mengeluarkan ketawa kecil.
”Hehe ... semangat untuk kehidupan baru.”
.
Di lain hari berikutnya, Didit bertemu dengan Komariah. Tidak tampak sisa kesedihan hura-hara rumah tangga setahun sebelumnya, seperti biasa Komariah tampak ceria. Percakapan panjang tentang banyak hal mereka ceritakan dengan selingan derai tawa. Hingga akhirnya tercetus juga suara berat komariah,
”Aku belum bisa melupakan semua sepenuhnya,” ucap Komariah getir.
”Antara tidak ingin melupakan dengan tidak bisa beda lho!” goda Didit santai.
”Entahlah, aku sulit membedakan keduanya, yang pasti kadang aku masih merasa rindu,” balasnya penuh penekanan.
”Nah lho, kenapa ga langsung bilang ke orangnya, kan beres, sapa tau ....”
Sengaja Didit menggantung pembicaraannya, berharap Komariah melanjutkannya.
”Aih, kamu ada-ada aja Dit, tidak seperti yang kamu bayangkan, maksudku aku masih mengingat banyak hal tentang kami yang dulu.”
”Ya, mungkin ada bagian penyesalan di sana, setidaknya kalian tahu bahwa di titik ini hubungan kalian berhasil menuju pernikahan, hanya kalian gagal berjuang bersama untuk mempertahankannya.”
”Saat ini aku telah memiliki jalan yang lain.”
Ini sebuah titipan dari dua orang yang pernah saling mengasihi untuk pasangan pengantin lainnya. Saat semua dimulai, maka pernikahan bukan sebuah akhir, tetapi bagian persinggahan kecil untuk terus berjuang sepanjang perjalanan. Perceraian hanya kata paling akhir ketika segala ikhtiar perjuangan untuk saling membahagiakan telah ditempuh. Apakah mereka menyesal? Bukan perpisahannya, tetapi tidak benar-benar berusaha mengupayakan untuk senantiasa saling membahagiakan. Kenyataan setelah pernikahan, bahwa akan punya tanggung jawab lebih, kewajiban lebih, beban pikiran, beban perasaan lebih, masalah lebih dan tuntutan kesabaran lebih. Jalan terbaik untuk melanggengkan pernikahan adalah dengan memahami bahwa tidak ada perjalanan yang mulus-mulus saja, akan lebih banyak kekurangan pasangan. Butuh penerimaan dengan memaafkan. Karena pernikahan bukan jalan kebahagian, tetapi jalan hubungan yang halal, jika ingin pernikahan yang bahagia maka saling berjuanglah untuk membahagiakan pasangan tanpa henti.
Dalam haji wada’nya Rasulullah SAW berkhutbah dihadapan 1.200 orang,
“Wahai manusia, dengar dan perhatikan, sesungguhnya aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian selepas tahun ini.”
Setelah kembali ke Madinah, bulan Rabi’ul awal, tubuh Rasulullah terasa lemah, beliau demam, kemudian meminta disirami air yang membuat tubuhnya terasa lebih segar. Kemudian beliau ke luar rumah diiringi Ali bin Abu Thalib dan Fadhl bin Abbas, Radhiyallahu’anhuma. Menemui para sahabat, dari atas mimbarnya berkhutbah tentang perpisahan,
“Seseorang telah diberi pilihan antara kehidupan di dunia atau menjumpai Ar-Rafiqul A’la.”
Hingga para sahabat bertanya,
”ya Rasulullah jika engkau wafat siapakah yang akan memandikanmu?”
Beliau menjawab,
”Seseorang di antara ahlul baytku.”
Kemudian mereka berkata lagi,
”Dengan apa engkau kami kafani?”
Saat melihat rasa gundah melanda hati para sahabatnya air mata Rasulullah berlinang, kemudian menjawab,
”Bahan dalam pakaianku ini, atau kain dari Yaman, atau jubah dari Syam atau kapas dari Mesir.”
Senin waktu shalat subuh 12 Rabi’ul awwal. Rasulullah menyingkap tabir kain dari pintu rumahnya. Pandangannya mengarah kepada para sahabat yang sedang menunaikan shalat berjamaha di bawah pimpinan Abubakar RA. Itulah saat terakhir Rasulullah memandang para sahabatnya.
Pernah dikisahkan tentang Usman bin Affan, ia hanya menunduk dan hening ketika disebut neraka. Kemudian ia menangis, bahunya terguncang dan menutup muka dengan kedua telapak ketika mendengar kata kubur, ketika ditanyakan kepadanya,
”Andai pun disiksa di neraka, kita takkan sendirian, ada banyak kawan, tapi di dalam kubur, siksa apalagikah yang paling mengerikan daripada kesendirian?”
Itulah Usman, lelaki yang selalu berbagi, yang bashirahnya sejernih embun pagi, lelaki yang begitu menjunjung tinggi nilai kebersamaan, manisnya persahabatan. Akan tetapi ia takut kesendirian.
Kisah di atas mengingatkan kepada perpisahan. Perpisahan ruh dari bumi berharap kembali ke kampung halaman tempat pertama nabulloh Adan AS dan Siti Hawa diciptakan. Ini juga tentang perpisahan, perpisahan antara anak manusia. Sepasang anak manusia mengikrarkan janji suci di hadapan penghulu dan saksi-saksi. Restu dan Komariah sepasang pengantin dengan sumringah menyalami undangan i’lan nikah. Sebuah episode gembira ruah dalam hidup mereka. Jangankan keluarga, kerabat, sahabat dan segenap undangan, dunia pun terasa memberikan selamat dan impian-impian indah tentang pernikahan.
Sehari, dua hari, seminggu hingga sebulan, cecapan indahnya rumah tangga seperti tetesan madu yang membilur dipinggir bibir. Manis, wangi dan menggiurkan. Tak terasa perjalanan mulai menerjal, menanjak bahkan tak urung dipenuhi kerikil tajam, onak dan duri. Hari ini rongrongan saudara minta bantu, hari berikutnya tentang penataan rumah yang berbeda pendapat, lusa tentang pulang kemalaman. Sebuah keluarga kecil dengan seorang putri yang super aktif memasuki usia kelompok bermain, rumah yang lebih dari sederhana, mobil dan barang lux lainnya. Rasanya tidak ada yang kurang, kalau pun diteliti terlihat berlebih jika dibandingkan pasutri muda lainnya yang masih berkutat dengan pondok indah mertua, kredit ini itu, PHK, selingkuh.
Restu dan Komariah pasangan beruntung jika tidak dikatakan sangat diberkati. Satunya pegawai BUMN satunya lagi assistant manager di perusahaan asing. Menikah berdasarkan cinta yang datang secara perlahan karena pertemanan. Dukungan keluarga dan karier menanjak nan mulus. Apa yang kurang? Semua orang yang kenal akan menjawab serentak tidak ada. Tapi perlahan dan berulang, pertengkaran kecil mulai menerpa. Ada saja kekurangan pasangan yang jadi bahan pertengkaran. Yang dulu terlihat bagus, baik , kelebihan bahkan mendekati sempurna, pelan-pelan berubah terlihat penuh kekurangan dan bobrok di sana sini. Mulai meradang saling mengeluh tentang kekurangan pasangan. Mulai merasa banyak ketidakcocokkan. Dan akhirnya saling mencari pelarian untuk sekadar menghindari konflik yang lebih besar.
Masing-masing memilih curhat kepada orang terdekat, keluarga, sahabat bahkan media sosial tak urung menjadi ladang pelampiasan, dengan keluhan yang hampir seragam,
”Kok dia sekarang begini ya, dulu padahal ga lho?”
”Kok sekarang cuek ya, dulu perhatian banget.”
”Kenapa sekarang sibuk dengan pekerjaan kayak ga ada waktu buat aku?”
Sederet keluhan bernada minor ketidakpuasan kepada pasangan. Hingga akhirnya semua meruncing dan menumpuk di hulu tanpa ada penyelesaian. Hujaman ragam masalah kian menghimpit, pikiran dan perasaan hampir reot untuk menampung segala masalah yang mereka sebut dengan cobaan. Dan akhirnya mereka mengambil jalan pintas untuk kebaikan kedua belah pihak dengan kata yang sangat dibenci Tuhan, ”Talak.”
Setahun kemudian, Restu dan Komariah sudah hampir Move on dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Pagi itu di sebuah pertemuan sahabat, Restu berbincang dari hati ke hati dengan sahabat dekatnya. Didit, sahabat karibnya dan Komariah, lelaki biasa dengan mengendarai motor tua, seorang istri guru TK dan tiga orang anak,
”Aku kadang mengingat mantan istriku,” ucap Restu pelan.
”Apa yang kau ingat, bukannya wajar karena kalian punya anak?” tanya Didit sambil sedikit menaikkan bahu.
”Entahlah, kadang aku mengingat semuanya, bahkan aku mulai merindukan, suaranya, gurauannya, marahnya sampai pertengkaran kami,” balas Restu sambil membuka kaca matanya dan mengucek mata kanannya.
Didit mendekat dan merangkul bahunya,
”Begitulah hubungan, walau kita telah pergi menjauhinya, masih ada yang tertinggal.”
”Kadang aku merasa apa yang aku ingat sekarang jauh lebih banyak daripada apa yang pernah aku rasakan dulu.”
”Semua yang kalian jalani pasti ada maknanya, buat bekal selanjutnya.”
Sejenak Restu meraih ranting yang jatuh, kemudian melemparkannya asal,
”Seperti ranting yang gugur, kemudian terlempar dan patah berkeping, saat aku sadar ranting itu berharga, aku mulai memungutnya kembali. Tapi semua menjadi sia-sia, karena semua sudah berkeping tak bersisa. Hanya tertinggal penyesalan.”
”Semangat sob, masih ada hari esok, kamu masih bisa memperbaiki dari sisa-sisa yang ada,” ujar Didit menyemangati sambil mengeluarkan ketawa kecil.
”Hehe ... semangat untuk kehidupan baru.”
.
Di lain hari berikutnya, Didit bertemu dengan Komariah. Tidak tampak sisa kesedihan hura-hara rumah tangga setahun sebelumnya, seperti biasa Komariah tampak ceria. Percakapan panjang tentang banyak hal mereka ceritakan dengan selingan derai tawa. Hingga akhirnya tercetus juga suara berat komariah,
”Aku belum bisa melupakan semua sepenuhnya,” ucap Komariah getir.
”Antara tidak ingin melupakan dengan tidak bisa beda lho!” goda Didit santai.
”Entahlah, aku sulit membedakan keduanya, yang pasti kadang aku masih merasa rindu,” balasnya penuh penekanan.
”Nah lho, kenapa ga langsung bilang ke orangnya, kan beres, sapa tau ....”
Sengaja Didit menggantung pembicaraannya, berharap Komariah melanjutkannya.
”Aih, kamu ada-ada aja Dit, tidak seperti yang kamu bayangkan, maksudku aku masih mengingat banyak hal tentang kami yang dulu.”
”Ya, mungkin ada bagian penyesalan di sana, setidaknya kalian tahu bahwa di titik ini hubungan kalian berhasil menuju pernikahan, hanya kalian gagal berjuang bersama untuk mempertahankannya.”
”Saat ini aku telah memiliki jalan yang lain.”
Ini sebuah titipan dari dua orang yang pernah saling mengasihi untuk pasangan pengantin lainnya. Saat semua dimulai, maka pernikahan bukan sebuah akhir, tetapi bagian persinggahan kecil untuk terus berjuang sepanjang perjalanan. Perceraian hanya kata paling akhir ketika segala ikhtiar perjuangan untuk saling membahagiakan telah ditempuh. Apakah mereka menyesal? Bukan perpisahannya, tetapi tidak benar-benar berusaha mengupayakan untuk senantiasa saling membahagiakan. Kenyataan setelah pernikahan, bahwa akan punya tanggung jawab lebih, kewajiban lebih, beban pikiran, beban perasaan lebih, masalah lebih dan tuntutan kesabaran lebih. Jalan terbaik untuk melanggengkan pernikahan adalah dengan memahami bahwa tidak ada perjalanan yang mulus-mulus saja, akan lebih banyak kekurangan pasangan. Butuh penerimaan dengan memaafkan. Karena pernikahan bukan jalan kebahagian, tetapi jalan hubungan yang halal, jika ingin pernikahan yang bahagia maka saling berjuanglah untuk membahagiakan pasangan tanpa henti.
(Raka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar