Sebuah Anjuran Dari
Rasulullah
Jika
Rasulullah saw, memberikan instruksi serta anjuran kepada kita, maka hal itu
sesungguhnya datang dari Allah Swt. Tentu, ketika instruksi itu datangnya dari
Allah maka kita sebagai mukmin berkewajiban menyambut dengan gembira. Mengapa?
Karena di sana pasti ada harapan dan peluang untuk kemaslahatan bersama.
Apa anjuran
Rasullah saw, tersebut? Salah satunya adalah selagi kita masih bernafas di hari
itu bersama munculnya matahari dari ufuk timur, maka jangan pernah berhenti
untuk bersedekah.
Instruksi ini
bagi orang yang berkecukupan dan lapang, tentu tak ada masalah. Karenanya
seorang sahabat kemudian bertanya kepada Rasul, "Wahai Rasulullah saya
tidak punya apa-apa. Lalu apa yang mau saya sedekahkan?" Maka Rasul sambil
tersenyum menjawab, "Ucapan kalimat yang baik adalah termasuk
shadaqah."
Jika Rasul
menganjurkan serta menginstruksikan seperti itu, artinya perintah bersedekah
tersebut dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan strata sosial
dan pendidikan. Dan bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Bahwa yang
namanya kalimat thayyibah, orang jawa mengatakan "Gak usah bondo"
bisa bersedekah.
Oleh sebab itu
bersedekah tak harus dengan harta, tapi setiap amal perbuatan yang kita
kerjakan untuk memperoleh ridha Allah Swt., sudah termasuk sedekah.
Maka,
kesempatan dan peluang ini sangat banyak serta mungkin dapat dilakukan semua
orang. Namun masalahnya di sini adalah, tak sedikit orang yang bersusah payah
bersedekah tapi kemudian dirinya sendiri yang membatalkan dan merusak
sedekahnya.
Bisa diumpamakan
kita yang menanam, tapi kita sendiri yang merusaknya. Ibarat seseorang yang di
pagi harinya menenun dengan susah payah, tapi malam harinya dicabut kembali
tenunan itu. Jadi tak akan pernah selesai.
Jika kita
membangun tubuh dan organ ini agar menjadi baik dengan sedekah, maka kita
sering lupa bangunan yang kita bangun untuk membangun diri kita menjadi pribadi
yang baik itu, diri kita sendiri yang merusak.
Contoh
konkretnya adalah, seseorang yang beribadah kepada Allah dengan susah payah
dari tempat yang jauh, tatkala ibadah itu kemudian muncul perasaan dan
keinginan untuk dilihat dan dinilai orang lain, yang Rasul mengatakan,
"Aku lebih khawatir dari kalian terhadap munculnya dajjal." Jadi ada
kekhawatiran yang besar dari Rasulullah terhadap kita, saat itu kepada para
sahabat. Yaitu lebih takut dan khawatir daripada munculnya dajjal yang begitu
menakutkan.
Akan tetapi
Rasulullah saw, melihat yang lebih menakutkan bukan dajjalnya itu sesungguhnya.
Karenanya kekhawatiran itu beliau sampaikan dulu kepada para sahabat dan bukan
sekarang.
Rasul begitu
takut dan khawatir terhadap satu persoalan yang jika persoalan tersebut muncul
akan mengalahkan bahayanya dajjal ini. Para sahabat heran, lalu apakah itu
Rasulullah? Kemudian beliau mengatakan, "Yaitu syirik samar atau yang
tersembunyi."
Karena saking
tersamarnya itu sering kita tidak menyadari, bahwa kita telah melakukannya.
Maka Rasulullah saw., kemudian memberikan sebuah contoh seperti seseorang
berdiri melakukan shalat lalu ia memperbagus dan memperpanjang shalatnya,
karena ia melihat ada orang yang memerhatikannya.
Jadi ia memperpanjang shalatnya hanya karena ada
sepasang mata yang sedang memperhatikannya. Inilah syirik samar yang lebih
dikhawatirkan Rasulullah akan terjadi pada umatnya. Tentu yang dimaksud adalah
kepada kita semua yang mengaku seorang muslim.
Lalu contoh
kedua, bagaimana seseorang mengaku beriman kepada Allah dengan posisi, jabatan,
kedudukan, dan kemuliaan yang diberikan Allah kepadanya, kemudian ia menzalimi
serta menyakiti saudaranya dengan sikap, ucapan, dan perbuatan. Padahal yang
dilakukannya itu dapat merontokkan pahala yang dilakukannya selama ini tanpa ia
sadari.
Dari sini mari
kita tengok bagaimana Allah Swt., memberikan anjuran dan instruksi kepada kita
yang dimulai dengan "Wahai orang-orang yang beriman." Itu adalah
panggilan yang sangat mulia dari Allah.
Orang haji saja kadang-kadang dipanggil dengan
pak Haji. Bahkan kadang-kadang kalau tidak dipanggil pak Haji wajahnya suram.
Tapi kalau dipanggil pak Haji langsung sumringah.
Ini persoalan
kecil saja, tapi justru perbedaan wajah sumringah dengan yang tidak sumringah,
ini adalah menunjukkan adanya amalan itu terganggu. Kita sendiri yang
melakukan, tapi kita sendiri pula yang merusaknya.
Allah berfirman:
"Wahai orang-orang
yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena
riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.
Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi.
Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orangkafir."
(QS. Al-Baqarah: Ayat 264)
(QS. Al-Baqarah: Ayat 264)
Kalimat "Wahai orang-orang yang
beriman" yang dimaksud adalah Allah Swt., memanggil dengan kemuliaan kita
sebagai seorang mukmin. Apa kemudian kata Allah "Janganlah engkau sekalian
itu membatalkan sedekahmu dengan umpatan dan tindakan yang menyakitkan."
Tak jarang
walaupun Allah menyebut seperti itu, tapi perilaku yang kita lakukan masih
sering tidak menyadarinya.
Mungkin dulu
anda pernah membantu seseorang kemudian tiba gilirannya anda yang minta
bantuan, lalu orang itu karena kesibukan atau faktor-faktor yang lain tak bisa
membantu, anda kemudian terucap "Gak ingat dulu pernah saya bantu."
Tidak ada yang
tahu. Orang lain juga tak tahu. Tapi tanpa sadar saat kita mengatakan seperti
itu, maka saat itulah kita telah membatalkan sedekah yang pernah kita berikan
pada seseorang.
Memang rawan
sekali hal ini, yaitu mengungkit-ungkit pemberian yang pernah kita berikan pada
orang lain. Belum lagi nanti dilanjutkan dengan sikap dan orang itu
dipermalukan dan dikata-katai. Sehingga orang tersebut merasa pernah dibantu kemudian
disebut-sebut dan diungkit-ungkit kembali. Inilah yang bisa membatalkan sedekah
kita.
Karenanya
semua amal dan kebaikan yang kita lakukan, baik berupa ucapan dan
perbuatan-perbuatan yang baik adalah termasuk sedekah.
Maka Allah Swt., kemudian mengingatkan
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima)."
Gara-gara
ucapan itu maka Allah memberikan contoh "Seperti orang yang menginfakkan
hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah
dan hari Akhir."
Oleh sebab itu
kita harus hati-hati tentang masalah ini, karena bagaimana kesempurnaan hati
dan organ tubuh akan baik, kalau hari ini berbuat baik dan nanti kita rusak.
Hari ini kita menanam kebaikan kemudian dicabut kembali. Hari ini kita poles
kemudian kita rusak kembali. Kalau itu yang kita lakukan, maka tak akan memberi
manfaat apa-apa kecuali kezaliman pada diri sendiri. Padahal tambahnya usia
kita, seharusnya tambah pula kebaikan dan keimanan kita kepada Allah Swt.
Maka perbuatan
yang membatalkan sedekah itu supaya gamblang, maka diberikan contoh oleh Allah
Swt., seperti batu licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu tersebut
terkena hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak
memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan.
Jadi dengan memaki-maki orang setelah kita
sedekah, maka pahala kita akan lenyap. Di sinilah yang perlu kita waspadai,
yaitu bagaimana menjaga lisan dengan baik.
Jika di atas
tadi Rasul mengatakan kalimat-kalimat yang baik adalah sedekah seperti,
"Mas bangun waktunya shalat, pak hati-hati jika sedang berkendara, dek
kalau makan baca doa dulu."
Ini semuanya
adalah contoh kalimat-kalimat sedekah. Tapi kemudian tiba-tiba kita marah
dengan mengatakan, "Kan sudah tak bilangin dari tadi, dasar kamu orang
yang tak bisa diatur. Rasain sendiri." Orang dikatain begitu kebanyakan
akan marah. Maka dari yang tadi berupa sedekah itu akan lenyap kembali.
Dan hal ini berlaku kepada siapa saja tanpa
terkecuali: suami kepada istri, orangtua kepada anak, pimpinan kepada bawahan,
kawan kepada kawannya yang lain, dan yang lain. Karena Allah Swt., tidak
memilah-milah tentang sesuatu itu, yang dengan sangat mudah membatalkan
sedekah, yaitu "Menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan
penerima)." Na'udzu billahi mindzalik.
Maka
Rasulullah saw., tatkala menasehatkan tentang masalah lisan, beliau ingatkan
dengan bersabda dalam sebuah hadis berikut, "Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia
diam." (HR. Bukhari dan Muslim)
Terkait hadis
ini Ibnu Hajar menjelaskan, "Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat
makna; semua perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan, atau salah satu di
antara keduanya. Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib
atau sunah untuk diucapkan. Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai
dengan isinya. Segala perkataan yang berorientasi kepadanya (kepada hal wajib
atau sunah) termasuk dalam kategori perkataan baik. (Perkataan) yang tidak
termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong perkataan jelek atau yang
mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu, orang yang terseret masuk dalam
lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah diam."
Imam An-Nawawi
juga menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah
mengatakan, "Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir
terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya,
silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia
ragu, maka ditahan (jangan bicara). (Nur Hasan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar