InspirasI

Kamis, 12 April 2018

Sebuah Anjuran Dari Rasulullah

Jika Rasulullah saw, memberikan instruksi serta anjuran kepada kita, maka hal itu sesungguhnya datang dari Allah Swt. Tentu, ketika instruksi itu datangnya dari Allah maka kita sebagai mukmin berkewajiban menyambut dengan gembira. Mengapa? Karena di sana pasti ada harapan dan peluang untuk kemaslahatan bersama.
Apa anjuran Rasullah saw, tersebut? Salah satunya adalah selagi kita masih bernafas di hari itu bersama munculnya matahari dari ufuk timur, maka jangan pernah berhenti untuk bersedekah.
Instruksi ini bagi orang yang berkecukupan dan lapang, tentu tak ada masalah. Karenanya seorang sahabat kemudian bertanya kepada Rasul, "Wahai Rasulullah saya tidak punya apa-apa. Lalu apa yang mau saya sedekahkan?" Maka Rasul sambil tersenyum menjawab, "Ucapan kalimat yang baik adalah termasuk shadaqah."
Jika Rasul menganjurkan serta menginstruksikan seperti itu, artinya perintah bersedekah tersebut dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan strata sosial dan pendidikan. Dan bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Bahwa yang namanya kalimat thayyibah, orang jawa mengatakan "Gak usah bondo" bisa bersedekah.
Oleh sebab itu bersedekah tak harus dengan harta, tapi setiap amal perbuatan yang kita kerjakan untuk memperoleh ridha Allah Swt., sudah termasuk sedekah.
Maka, kesempatan dan peluang ini sangat banyak serta mungkin dapat dilakukan semua orang. Namun masalahnya di sini adalah, tak sedikit orang yang bersusah payah bersedekah tapi kemudian dirinya sendiri yang membatalkan dan merusak sedekahnya.
Bisa diumpamakan kita yang menanam, tapi kita sendiri yang merusaknya. Ibarat seseorang yang di pagi harinya menenun dengan susah payah, tapi malam harinya dicabut kembali tenunan itu. Jadi tak akan pernah selesai.
Jika kita membangun tubuh dan organ ini agar menjadi baik dengan sedekah, maka kita sering lupa bangunan yang kita bangun untuk membangun diri kita menjadi pribadi yang baik itu, diri kita sendiri yang merusak.
Contoh konkretnya adalah, seseorang yang beribadah kepada Allah dengan susah payah dari tempat yang jauh, tatkala ibadah itu kemudian muncul perasaan dan keinginan untuk dilihat dan dinilai orang lain, yang Rasul mengatakan, "Aku lebih khawatir dari kalian terhadap munculnya dajjal." Jadi ada kekhawatiran yang besar dari Rasulullah terhadap kita, saat itu kepada para sahabat. Yaitu lebih takut dan khawatir daripada munculnya dajjal yang begitu menakutkan.
Akan tetapi Rasulullah saw, melihat yang lebih menakutkan bukan dajjalnya itu sesungguhnya. Karenanya kekhawatiran itu beliau sampaikan dulu kepada para sahabat dan bukan sekarang.
Rasul begitu takut dan khawatir terhadap satu persoalan yang jika persoalan tersebut muncul akan mengalahkan bahayanya dajjal ini. Para sahabat heran, lalu apakah itu Rasulullah? Kemudian beliau mengatakan, "Yaitu syirik samar atau yang tersembunyi."
Karena saking tersamarnya itu sering kita tidak menyadari, bahwa kita telah melakukannya. Maka Rasulullah saw., kemudian memberikan sebuah contoh seperti seseorang berdiri melakukan shalat lalu ia memperbagus dan memperpanjang shalatnya, karena ia melihat ada orang yang memerhatikannya.
Jadi ia memperpanjang shalatnya hanya karena ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya. Inilah syirik samar yang lebih dikhawatirkan Rasulullah akan terjadi pada umatnya. Tentu yang dimaksud adalah kepada kita semua yang mengaku seorang muslim.
Lalu contoh kedua, bagaimana seseorang mengaku beriman kepada Allah dengan posisi, jabatan, kedudukan, dan kemuliaan yang diberikan Allah kepadanya, kemudian ia menzalimi serta menyakiti saudaranya dengan sikap, ucapan, dan perbuatan. Padahal yang dilakukannya itu dapat merontokkan pahala yang dilakukannya selama ini tanpa ia sadari.
Dari sini mari kita tengok bagaimana Allah Swt., memberikan anjuran dan instruksi kepada kita yang dimulai dengan "Wahai orang-orang yang beriman." Itu adalah panggilan yang sangat mulia dari Allah.
Orang haji saja kadang-kadang dipanggil dengan pak Haji. Bahkan kadang-kadang kalau tidak dipanggil pak Haji wajahnya suram. Tapi kalau dipanggil pak Haji langsung sumringah.
Ini persoalan kecil saja, tapi justru perbedaan wajah sumringah dengan yang tidak sumringah, ini adalah menunjukkan adanya amalan itu terganggu. Kita sendiri yang melakukan, tapi kita sendiri pula yang merusaknya.
Allah berfirman:
 "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orangkafir."
(QS. Al-Baqarah: Ayat 264)
Kalimat "Wahai orang-orang yang beriman" yang dimaksud adalah Allah Swt., memanggil dengan kemuliaan kita sebagai seorang mukmin. Apa kemudian kata Allah "Janganlah engkau sekalian itu membatalkan sedekahmu dengan umpatan dan tindakan yang menyakitkan."
Tak jarang walaupun Allah menyebut seperti itu, tapi perilaku yang kita lakukan masih sering tidak menyadarinya.
Mungkin dulu anda pernah membantu seseorang kemudian tiba gilirannya anda yang minta bantuan, lalu orang itu karena kesibukan atau faktor-faktor yang lain tak bisa membantu, anda kemudian terucap "Gak ingat dulu pernah saya bantu."
Tidak ada yang tahu. Orang lain juga tak tahu. Tapi tanpa sadar saat kita mengatakan seperti itu, maka saat itulah kita telah membatalkan sedekah yang pernah kita berikan pada seseorang.
Memang rawan sekali hal ini, yaitu mengungkit-ungkit pemberian yang pernah kita berikan pada orang lain. Belum lagi nanti dilanjutkan dengan sikap dan orang itu dipermalukan dan dikata-katai. Sehingga orang tersebut merasa pernah dibantu kemudian disebut-sebut dan diungkit-ungkit kembali. Inilah yang bisa membatalkan sedekah kita.
Karenanya semua amal dan kebaikan yang kita lakukan, baik berupa ucapan dan perbuatan-perbuatan yang baik adalah termasuk sedekah.
Maka Allah Swt., kemudian mengingatkan "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima)."
Gara-gara ucapan itu maka Allah memberikan contoh "Seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir."
Oleh sebab itu kita harus hati-hati tentang masalah ini, karena bagaimana kesempurnaan hati dan organ tubuh akan baik, kalau hari ini berbuat baik dan nanti kita rusak. Hari ini kita menanam kebaikan kemudian dicabut kembali. Hari ini kita poles kemudian kita rusak kembali. Kalau itu yang kita lakukan, maka tak akan memberi manfaat apa-apa kecuali kezaliman pada diri sendiri. Padahal tambahnya usia kita, seharusnya tambah pula kebaikan dan keimanan kita kepada Allah Swt.
Maka perbuatan yang membatalkan sedekah itu supaya gamblang, maka diberikan contoh oleh Allah Swt., seperti batu licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu tersebut terkena hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan.
Jadi dengan memaki-maki orang setelah kita sedekah, maka pahala kita akan lenyap. Di sinilah yang perlu kita waspadai, yaitu bagaimana menjaga lisan dengan baik.
Jika di atas tadi Rasul mengatakan kalimat-kalimat yang baik adalah sedekah seperti, "Mas bangun waktunya shalat, pak hati-hati jika sedang berkendara, dek kalau makan baca doa dulu."
Ini semuanya adalah contoh kalimat-kalimat sedekah. Tapi kemudian tiba-tiba kita marah dengan mengatakan, "Kan sudah tak bilangin dari tadi, dasar kamu orang yang tak bisa diatur. Rasain sendiri." Orang dikatain begitu kebanyakan akan marah. Maka dari yang tadi berupa sedekah itu akan lenyap kembali.
Dan hal ini berlaku kepada siapa saja tanpa terkecuali: suami kepada istri, orangtua kepada anak, pimpinan kepada bawahan, kawan kepada kawannya yang lain, dan yang lain. Karena Allah Swt., tidak memilah-milah tentang sesuatu itu, yang dengan sangat mudah membatalkan sedekah, yaitu "Menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima)." Na'udzu billahi mindzalik.
Maka Rasulullah saw., tatkala menasehatkan tentang masalah lisan, beliau ingatkan dengan bersabda dalam sebuah hadis berikut, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam." (HR. Bukhari dan Muslim)
Terkait hadis ini Ibnu Hajar menjelaskan, "Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat makna; semua perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan, atau salah satu di antara keduanya. Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib atau sunah untuk diucapkan. Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan isinya. Segala perkataan yang berorientasi kepadanya (kepada hal wajib atau sunah) termasuk dalam kategori perkataan baik. (Perkataan) yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu, orang yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah diam."
Imam An-Nawawi juga menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, "Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara). (Nur Hasan)



Tidak ada komentar: