KISAH BUYA HAMKA
Presiden pertama,
founding father-nya negara inipun pernah menyerang seorang ulama besar.Dianggap
melawan pemerintah (yang menurut saya sebenarnya pemerintah waktu itu tak ingin
mendapat kritikan yang cerdas), M. Yamin dan Soekarno berkolaborasi menjatuhkan
wibawa Buya Hamka melalui headline beberapa media cetak yang diasuh oleh
Pramoedya Ananta Toer.
Berbulan-bulan Pramoedya
menyerang Buya Hamka secara bertubi-tubi melalui tulisan di koran (media yang
paling tren saat itu), Allahuakbar! sedikitpun Buya Hamka tak gentar, fokus
Buya tak teralihkan, beliau terlalu mencintai Allah dan saudara muslimya,
sehingga serangan yang mencoba untuk menyudutkan dirinya tak beliau hiraukan,
Buya Hamka yakin jika kita menolong agama Allah, maka Allah pasti menolong
kita. Pasti!
Oh! Buya Hamka terlalu
kuat dan tak bisa dijatuhkan dengan serangan pembunuhan karakter melalui media
cetak yang diasuh oleh Pram, tak sungkan-sungkan lagi, Soekarno langsung
menjebloskan ulama besar tersebut ke penjara tanpa melewati persidangan.
Seperti doa nabi Yusuf
as. ketika dipenjara: Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai
daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari
padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan
mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf, 33)
Yah! Saat itu penjara
jauh lebih baik bagi Buya Hamka, jauh lebih baik daripada menyerahkan
kepatuhannya terhadap Allah kepada orang-orang yang hanya mengejar dunia.2
tahun 4 bulan di dalam penjara tak beliau sia-siakan dengan bersedih, malah
Buya Hamka bersyukur telah dipenjara oleh penguasa pada masa itu, karena di
dalam penjara tersebut beliau memiliki lebih banyak waktu untuk menyelesaikan
cita-citanya, merampungkan tafsir Al-Qur’an 30 juz, yang sekarang lebih kita
kenal dengan nama kitab tafsir Al-Azhar.
Lalu bagaimana dengan
ketiga tokoh tadi?
Ternyata
Allah masih sayang kepada Pramoedya, M. Yamin dan Soekarno. Karena apa yang
telah dilakukan oleh ketiga tokoh bangsa tersebut terhadap Buya Hamka, tak
harus diselesaikan di akhirat, Allah telah mengizinkan permasalahan tersebut
untuk diselesaikan di dunia saja.
Di usia senjanya,
Pramoedya akhirnya mengakui kesalahannya dimasa lalu dan dengan rendah hati
bersedia “meminta maaf” kepada Buya Hamka, ya! Pramoedya mengirim putri
sulungnya kepada Buya Hamka untuk belajar agama dan men-syahadat-kan calon
menantunya.
Apakah Buya Hamka
menolak? Tidak! Dengan lapang dada Buya Hamka mau mengajarkan ilmu agama kepada
anak beserta calon menantu Pramoedya, tanpa sedikitpun pernah mengungkit
kesalahan yang pernah dilakukan oleh -salahsatu penulis terhebat yang pernah
dimiliki indonesia- tersebut terhadap dirinya. Allahuakbar! Begitu pemaafnya
Buya Hamka.
Ketika M. Yamin sakit
keras dan merasa takkan lama lagi berada di dunia ini, beliau meminta orang
terdekatnya untuk memanggilkan Buya Hamka. Saat Buya Hamka telah berada di
sampingya, dengan kerendahan hati M. Yamin (memohon maaf dengan) meminta kepada
Buya Hamka agar sudi mengantarkan jenazahnya untuk dikebumikan di kampung
halaman yang telah lama tak dikunjungi Talawi, dan di kesempatan nafas
terakhirnya M. Yamin minta agar Buya sendiri yang menuntunnya untuk mengucapkan
kalimat-kalimat tauhid.
Apakah
Buya Hamka menolak? Tidak! Buya Hamka menuluskan semua permintaan tersebut,
Buya Hamka yang “menjaga” jenazah -tokoh pemersatu bangsa- tersebut sampai
selesai dikebumikan dikampung halamannya sendiri.
Namun,
lain hal dengan Soekarno, malah Buya Hamka sangat merindukan proklamator bangsa
Indonesia tersebut, Buya Hamka ingin berterima kasih telah diberi “hadiah
penjara” oleh Bung Karno, yang dengan hadiah tersebut Buya memiliki lebih
banyak waktu untuk menyelesaikan tafsir Al-Azharnya yang terkenal, dengan
hadiah tersebut perjalanan ujian hidup Buya menjadi semakin berliku namun
indah, Buya Hamka ingin berterima kasih untuk itu semua.
Lalu
kemana Soekarno? Kemana teman seperjuangannya dalam memerdekakan bangsa ini
menghilang? Dalam hati Buya Hamka sangat rindu ingin bertemu lagi dengan -singa
podium- tersebut. Tak ada marah, tak ada dendam, hanya satu kata “rindu”.
Hari itu 16 Juni 1970,
ajudan presiden Soeharto datang kerumah Buya, membawa secarik kertas, kertas
yang tak biasa, kertas yang bertuliskan kalimat pendek namun membawa kebahagian
yang besar ke dada sang ulama besar, pesan tersebut dari Soekarno, orang yang
belakangan sangat beliau rindukan, dengan seksama Buya Hamka membaca pesan
tersebut:
“Bila
aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”
Buya Hamka bertanya
kepada sang ajudan “Dimana? Dimana beliau sekarang?” Dengan pelan dijawab oleh
pengantar pesan “Bapak Soekarno telah wafat di RSPAD, jenazahnya sedang dibawa
ke Wisma Yoso.”
Mata sayu Buya Hamka
mulai berkaca, kerinduan itu, rasa ingin bertemu itu, harus berhadapan dengan
tubuh kaku, tak ada lagi pertemuan yang diharapkan, tak ada lagi cengkrama tawa
dimasa tua yang dirindukan, hanya hamparan samudera maaf untuk saudaranya,
mantan pemimpinnya, pemberian maaf karena telah mempenjarakan beliau serta
untaian lembut doa dari hati yang ikhlas agar Bung Karno selamat di akhirat,
hadiah khusus dari jiwa yang paling lembut sang ulama besar, Buya Hamka.
—
Dizaman sekarang, Mulai
terasa sejarah itu kembali terulang, dimana para penguasa mulai berusaha
menyudutkan para ulama, menyerang para ulama melalui media-media pendukung
mereka, menebar kebencian kepada para ulama melalui penulis-penulis pendukung
mereka.
Lalu
ada yang berkata, “ulama sekarang tak sehebat buya Hamka.” Tanya lagi hati
kecil kita, apakah mereka yang tak hebat, ataukah kita yang ingin menolak pesan
kebenaran itu sendiri. Sekedar renungan bagi kita agar tidak melecehkan
ulama.Ulama adalah pewaris ilmu Islam lewat Nabi Muhammad SAW. Merekalah
yang menyebarkan agama Islam ini. Umat Islam sangat mencintai NKRI dan tidak
mau berpecah belah.Toleransi mayoritas dan minoritas harus seimbang adil dan
sesuai porsinya. Begitulah harusnya kita dalam melihat perkembangan dewasa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar