InspirasI

Jumat, 21 Juli 2017

Aksi Nyata Bung Karno Bela Palestina

“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” (Sukarno)
Kalimat tersebut diucapkan Sukarno sebagai bentuk dukungan total Indonesia bagi perjuangan rakyat Palestina untuk menjadi negara merdeka. Kalimat tersebut juga sebagai posisi Indonesia yang terus menentang penjajahan bangsa Israel karena bertentangan dengan nilai-nilai universal.
Sukarno akan selalu di hati rakyat Palestina. Sebaliknya, Palestina akan selalu berada di hati Sukarno yang sejak awal dan tidak henti-hentinya menyatakan dukungan kepada kemerdekaan rakyat Palestina. Dalam pandangan Sukarno, bangsa Palestina harus secepatnya mendapat kemerdekaan dari penjahan Israel. Pendudukan bangsa Israel terhadap tanah Palestina tidak syah dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Sukarno memang tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah Palestina. Namun, ia dapat merasakan penderitaan langsung bangsa Palestina yang terusir dari tanah-tanah mereka. Sukarno dapat merasakan pula penderitaan bangsa Palestina yang mendapatkan perlakuan semena-mena dan tidak manusiawi oleh tentara-tentara Zionis yang secara bengis membunuhi rakyat Palestina.
Sukarno dan para pemimpin Republik tidak mengakui legalitas Israel yang memproklamirkan diri oleh David Ben-Gurion pada tanggal 14 Mei 1948. Sukarno mengangap Isreal bukan negara syah karena merampas tanah rakyat Palestina. Didirikannya negeri Israel atas bantuan Inggris sebagai bentuk nyata kolonialisme baru yang mengancam perdamaian dunia.
Pada saat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, Sukarno mengundang Palestina meskipun saat itu belum diakui sebagai negara merdeka. Grand Mufti Palestina, Amin Husaini datang dan mewakili kepentingan Palestina. Ada cerita menarik saat pembahasan negara-negara mana yang akan diundang dalam KAA. Negara sponsor seperti India, Burma (Myanmar) dan Sri Lanka awalnya mendukung agar Israel untuk diundang. Namun, Sukarno bersama Pakistan menolak keras. Sukarno bersikukuh bahwa Israel sebagai salah satu kekuatan kolonial karena menjajah bangsa Palestina. Selain itu, Sukarno khawatir kehadiran Israel pasti ditentang mati-matian oleh negara-negera Arab yang juga hadir dalam pertemuan akbar tersebut.
Dalam pidato pembukaan KAA, Sukarno secara lantang memberikan dukungan kepada negara-negara yang masih mengalami penjajahan. “Kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, palestina, Aljazair. Dan seterusnya,” kata Sukarno.  Semangat Bandung yang menyuarakan anti imperialisme dan kolonialisme bergaung hingga di negeri Palestina.
Pidato pembukaan Sukarno di KAA juga menginspirasi tokoh perjuangan kemerdekaan Yasser Arafat yang lahir pada tanggal 24 Agustus 1929. Saat itu, Yasser Arafat berusia berusia 34 tahun. Pidato tersebut juga menjadi dukungan moril bagi ribuan pejuang kemerdekaan Palestina lainnya. Dukungan bangsa-bangsa Asia-Afrika saat berlangsungnya KAA memberikan angin segar sekaligus kekuatan baru untuk menentang penjajahan Israel yang didukung dengan kekuatan militer canggih dan kuat.
Walaupun tidak pernah bertemu secara langsung, Yasser Arafat sangat mengagumi ketokohan Sukarno. Baginya, Sukarno tidak hanya pahlawan bagi Indonesia, namun juga pahlawan bangsa-bangsa Asia-Afrika yang saat itu berjuang meraih kemerdekaan dari cengkeraman kolonialisme Eropa. Sukarno juga sebagai pahlawan bangsa Arab yang juga masih menghadapi imperialisme dan kolonialisme.
Pada tahun 1958, Yasser Arafat mendirikan perlawanan Al-Fatah untuk memerangi Israel. Seperti tidak pernah berhenti dan menyerah, Yasser Arafat kemudian membentuk Palestine Liberation Organisation (PLO) untuk meraih kemerdekaan bangsa Palestina dari penjajahan Israel.
Menurut sejarahnya, Yasser Arafat berjuang melawan penindasan bangsa Israel sejak berusia 17 tahun. Saat itu, ia kerap menyelundupkan senjata untuk para pejuang Palestina dalam melawan tentara pendudukan. Ia lebih memilih terus berjuang daripada duduk di bangku kuliah. Saat berusia 19 tahun, Yasser Arafat meninggalkan alias drop out dari Universitas Kairo. Dalam benak fikirannya, berjuang untuk bangsanya lebih utama daripada meneruskan pendidikannya.
Dukungan Sukarno dan bangsa Indonesia atas kemerdekaan Palestina sangat murni dan tidak pamrih. Dukungan ini kuat dan tidak tergantikan dengan apapun. Sukarno sejak awal menolak janji-janji Israel yang sejak awal ingin membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia. Salah satu alasan yang mendasarinya, bangsa Palestina masih belum merdeka.
Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Israel sebenarnya berusaha untuk menjalin hubungan dengan Indonesia. Ya’acov Shimoni, Kepala divisi Asia pada tanggal 5 Desember 1949 mengusulkan dibukanya kantor konsulat Israel di Indonesia. Untuk itu, Presiden Israel, Chaim Weizmann (1874 –1952) dan Perdana Menteri Ben Gurion menulis surat kepada Sukarno yang berisi ucapan selamat. Mereka mengucapkan selamat atas diraihnya kemerdekaan bangsa Indonesia dan berharap Isreal dapat menjalin hubungan dengan Indonesia. Israel nampaknya sangat antusias dan berkepentingan untuk merangkul Sukarno. Selanjutnya, Menlu Israel, Moshe Sharett pada bulan Januari 1950 juga menulis sebuah surat kepada Moh Hatta yang berisi pengakuan sepenuhnya Israel terhadap kedaulatan Indonesia.
Sukarno dan Hatta menanggapi dingin surat-surat yang dikirimkan Israel dan hanya membalas dengan ucapan terima kasih. Tentu saja respon setengah hati tersebut membuat pemimpin Israel tersebut kesal dan marah. Namun, mereka tetap tidak menyerah. Berbagai upaya dilakukan untuk membuka celah hubungan dengan pemerintah Indonesia. Pada awal tahun 1950, Menlu Sharett kembali menulis surat kepada Hatta mengenai rencana pengiriman misi muhibah ke Indonesia. Kembali lagi, Hatta atas nama pemerintah Indonesia membalas surat tertanggal 6 Mei yang berisi agar misi tersebut ditunda tanpa memberikan waktu penggantinya. Kembali lagi, faktor “Palestina” menjadi dasar penolakan halus tersebut.
Dukungan Sukarno terhadap kemerdekaan Palestina tidak pernah pudar atau luntur walaupun lobi Israel dan negara pendukungnya terus mempengaruhi Indonesia. Janji-janji bantuan ekonomi dan keuntungan materiil jika membuka hubungan dengan Israel juga tidak membuat Sukarno tergiur. Sebagaimana, pada akhir tahun 1950, pengusaha besar Israel, R.P. Goldman melakukan kunjungan ke beberapa negara Asia, termasuk Indonesia untuk meningkatkan hubungan ekonomi dan perdagangan. Namun, delegasi bisnis Israel tersebut harus gigit jari dan tidak mendapat respon positif dari Sukarno.
Sukarno memberikan dukungan total kepada bangsa Palestina. Tidak hanya dukungan politik, bahkan juga apapun yang berkenaan dengan nasib rakyat Palestina. Sebagai contoh, pada tahun 1957, Sukarno memerintahkan tim sepak bola Indonesia agar menolak bertanding dengan tim kesebelasan Israel di Jakarta maupun Tel Aviv. Padahal, pertandingan melawan Israel adalah kunci bagi Indonesia untuk masuk ajang Piala Dunia tahun 1958. Indonesia saat itu telah mengalahkan Tiongkok di penyisihan wilayah Asia Timur. Selanjutnya, Indonesia harus menghadapi Israel sebagai pemenang wilayah Asia Barat. Permintaan Indonesia untuk main di negara yang netral di tolak Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA). Setelah di tolak FIVA, gantian Sukarno meminta tim kesebelasan Indonesia untuk tidak merumput melawan tim Israel. “Itu sama saja mengakui Israel,” kata Sukarno yang ditirukan Maulwi, pengawal pribadi presiden.    
Dukungan kepada Palestina ditunjukkan kembali oleh Sukarno saat Indonesia menjadi tuan rumah Asia Games IV tahun 1962. Sebagai bentuk tekanan kepada Israel, Sukarno memerintahkan pihak otorisasi Indonesia tidak memberikan visa kepada kontigen Israel dan Taiwan. Alasan Indonesia saat itu karena tidak memiliki hubungan diplomatik. Namun, sebenarnya alasan penolakan yaitu Indonesia tetap menjalankan kebijakan antiimperialisme. Indonesia menentang penjajahan Israel terhadap bangsa Palestina.
Keputusan ini ternyata harus dibayar oleh Indonesia dengan hrga yang cukup tinggi. Komite Olimpiade Internasional (IOC) memutuskan hukuman bagi Indonesia. Kebijakan itu membuat Indonesia dikenakan skors. Sukarno bergeming dan tetap tidak mau tunduk tekanan IOC. Malah, Sukarno meminta Komite Olimpiade Indonesia agar keluar dari keanggotaan IOC pada tahun 1963 dan membentuk Ganefo.
Dukungan Sukarno tidak pernah luntur meskipun kekuasaan pemerintahannya mulai limbung pasca kudeta G-30S/PKI. Pada pidato ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1966, Sukarno tetap terus mengelorakan dukungan kepada kemerdekaan Palestina. “Kita harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!, kata Sukarno.
Apa yang dikatakan Sukarno, “Bangsa yang konsekuen” mendukung kemerdekaan Palestina menjadi ruh bagi sikap bangsa Indonesia hingga kini. Walaupun negara-negara dunia, bahkan Arab telah menjalin hubungan dengan Isreal, Indonesia hingga kini masih menolak menjalin hubungan diplomatik. Indonesia masih menggelorakan dukungan kemerdekaan bangsa Palestina melalui PBB, New Asia Africa Strategic Partnership (NAASP) dan forum-forum internasional lainnya. Sekali lagi, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” sebagaimana pernah diwejangkan Sukarno kepada bangsa Indonesia.
Nama besar “Sukarno” hingga kini masih diingat oleh rakyat Palestina. Hal ini dikemukakan oleh Basher Othman, seorang wali kota Allar, Tulkarm, Tepi Barat, Palestina yang pernah berkunjung ke Indonesia pada bulan September 2012. Di usianya yang masih menginjak belasan tahun, Basher Othman mengaku mengidolakan kepahlawanan Sukarno. “Iya, terutama dengan tokoh Ahmad Soekarno. Kami memanggil Ahmad Soekarno sebab orang Palestina mengenalnya dengan nama itu. Indonesia juga negara Muslim terbesar di dunia. Dukungan dan suara dari Indonesia sangat memberi kami kepercayaan diri. Kami mendapatkan energi lebih ketika Indonesia bersuara lantang dan membela Palestina,” kata Basher Oltman.
Pengakuan serupa juga dikemukakan oleh warga Palestina yang bernama Salim. Ia mengaku telah bertemu secara langsung dengan Sukarno. Ayah dari tujuh anak yang berusia delapan dasawarsa ini sangat mengagumi Sukarno. Pada sekitar tahun 1960an ia bertemu Sukarno di Jakarta. Pertemuan tersebut sangat berkesan dalam hidupnya. “Dia pemimpin agung. Saya sangat menghormati dia,” kata Salim. Sambil mengacungkan jempol, salim kembali berkata, “Dia sangat teguh memegang prinsip, Dia berani menentang negara-negara besar.”
(Sumber: Buku Dunia Dalam Genggaman Bung Karno, karya Sigit Aris Prasetyo, Penerbit Imania, 2017.  Dengan modifikasi judul)

Tidak ada komentar: