Aksi Nyata Bung Karno
Bela Palestina
“Selama
kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina,
maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”
(Sukarno)
Kalimat
tersebut diucapkan Sukarno sebagai bentuk dukungan total Indonesia bagi
perjuangan rakyat Palestina untuk menjadi negara merdeka. Kalimat tersebut juga
sebagai posisi Indonesia yang terus menentang penjajahan bangsa Israel karena
bertentangan dengan nilai-nilai universal.
Sukarno akan
selalu di hati rakyat Palestina. Sebaliknya, Palestina akan selalu berada di
hati Sukarno yang sejak awal dan tidak henti-hentinya menyatakan dukungan
kepada kemerdekaan rakyat Palestina. Dalam pandangan Sukarno, bangsa Palestina
harus secepatnya mendapat kemerdekaan dari penjahan Israel. Pendudukan bangsa
Israel terhadap tanah Palestina tidak syah dan bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan.
Sukarno memang
tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah Palestina. Namun, ia dapat merasakan
penderitaan langsung bangsa Palestina yang terusir dari tanah-tanah mereka.
Sukarno dapat merasakan pula penderitaan bangsa Palestina yang mendapatkan
perlakuan semena-mena dan tidak manusiawi oleh tentara-tentara Zionis yang
secara bengis membunuhi rakyat Palestina.
Sukarno dan
para pemimpin Republik tidak mengakui legalitas Israel yang memproklamirkan
diri oleh David Ben-Gurion pada tanggal 14 Mei 1948. Sukarno mengangap Isreal
bukan negara syah karena merampas tanah rakyat Palestina. Didirikannya negeri
Israel atas bantuan Inggris sebagai bentuk nyata kolonialisme baru yang
mengancam perdamaian dunia.
Pada saat
penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, Sukarno mengundang
Palestina meskipun saat itu belum diakui sebagai negara merdeka. Grand Mufti
Palestina, Amin Husaini datang dan mewakili kepentingan Palestina. Ada cerita
menarik saat pembahasan negara-negara mana yang akan diundang dalam KAA. Negara
sponsor seperti India, Burma (Myanmar) dan Sri Lanka awalnya mendukung agar
Israel untuk diundang. Namun, Sukarno bersama Pakistan menolak keras. Sukarno
bersikukuh bahwa Israel sebagai salah satu kekuatan kolonial karena menjajah
bangsa Palestina. Selain itu, Sukarno khawatir kehadiran Israel pasti ditentang
mati-matian oleh negara-negera Arab yang juga hadir dalam pertemuan akbar
tersebut.
Dalam pidato
pembukaan KAA, Sukarno secara lantang memberikan dukungan kepada negara-negara
yang masih mengalami penjajahan. “Kolonialisme belum mati, hanya berubah
bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam,
palestina, Aljazair. Dan seterusnya,” kata Sukarno. Semangat Bandung yang
menyuarakan anti imperialisme dan kolonialisme bergaung hingga di negeri
Palestina.
Pidato
pembukaan Sukarno di KAA juga menginspirasi tokoh perjuangan kemerdekaan Yasser
Arafat yang lahir pada tanggal 24 Agustus 1929. Saat itu, Yasser Arafat berusia
berusia 34 tahun. Pidato tersebut juga menjadi dukungan moril bagi ribuan
pejuang kemerdekaan Palestina lainnya. Dukungan bangsa-bangsa Asia-Afrika saat
berlangsungnya KAA memberikan angin segar sekaligus kekuatan baru untuk
menentang penjajahan Israel yang didukung dengan kekuatan militer canggih dan
kuat.
Walaupun tidak
pernah bertemu secara langsung, Yasser Arafat sangat mengagumi ketokohan
Sukarno. Baginya, Sukarno tidak hanya pahlawan bagi Indonesia, namun juga
pahlawan bangsa-bangsa Asia-Afrika yang saat itu berjuang meraih kemerdekaan
dari cengkeraman kolonialisme Eropa. Sukarno juga sebagai pahlawan bangsa Arab
yang juga masih menghadapi imperialisme dan kolonialisme.
Pada tahun
1958, Yasser Arafat mendirikan perlawanan Al-Fatah untuk memerangi Israel.
Seperti tidak pernah berhenti dan menyerah, Yasser Arafat kemudian membentuk
Palestine Liberation Organisation (PLO) untuk meraih kemerdekaan bangsa
Palestina dari penjajahan Israel.
Menurut
sejarahnya, Yasser Arafat berjuang melawan penindasan bangsa Israel sejak
berusia 17 tahun. Saat itu, ia kerap menyelundupkan senjata untuk para pejuang
Palestina dalam melawan tentara pendudukan. Ia lebih memilih terus berjuang
daripada duduk di bangku kuliah. Saat berusia 19 tahun, Yasser Arafat
meninggalkan alias drop out dari Universitas Kairo. Dalam benak fikirannya,
berjuang untuk bangsanya lebih utama daripada meneruskan pendidikannya.
Dukungan
Sukarno dan bangsa Indonesia atas kemerdekaan Palestina sangat murni dan tidak
pamrih. Dukungan ini kuat dan tidak tergantikan dengan apapun. Sukarno sejak
awal menolak janji-janji Israel yang sejak awal ingin membuka hubungan
diplomatik dengan Indonesia. Salah satu alasan yang mendasarinya, bangsa
Palestina masih belum merdeka.
Pasca
Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Israel sebenarnya berusaha untuk
menjalin hubungan dengan Indonesia. Ya’acov Shimoni, Kepala divisi Asia pada
tanggal 5 Desember 1949 mengusulkan dibukanya kantor konsulat Israel di
Indonesia. Untuk itu, Presiden Israel, Chaim Weizmann (1874 –1952) dan Perdana
Menteri Ben Gurion menulis surat kepada Sukarno yang berisi ucapan selamat.
Mereka mengucapkan selamat atas diraihnya kemerdekaan bangsa Indonesia dan
berharap Isreal dapat menjalin hubungan dengan Indonesia. Israel nampaknya
sangat antusias dan berkepentingan untuk merangkul Sukarno. Selanjutnya, Menlu
Israel, Moshe Sharett pada bulan Januari 1950 juga menulis sebuah surat kepada
Moh Hatta yang berisi pengakuan sepenuhnya Israel terhadap kedaulatan
Indonesia.
Sukarno dan
Hatta menanggapi dingin surat-surat yang dikirimkan Israel dan hanya membalas
dengan ucapan terima kasih. Tentu saja respon setengah hati tersebut membuat pemimpin
Israel tersebut kesal dan marah. Namun, mereka tetap tidak menyerah. Berbagai
upaya dilakukan untuk membuka celah hubungan dengan pemerintah Indonesia. Pada
awal tahun 1950, Menlu Sharett kembali menulis surat kepada Hatta mengenai
rencana pengiriman misi muhibah ke Indonesia. Kembali lagi, Hatta atas nama
pemerintah Indonesia membalas surat tertanggal 6 Mei yang berisi agar misi
tersebut ditunda tanpa memberikan waktu penggantinya. Kembali lagi, faktor
“Palestina” menjadi dasar penolakan halus tersebut.
Dukungan
Sukarno terhadap kemerdekaan Palestina tidak pernah pudar atau luntur walaupun
lobi Israel dan negara pendukungnya terus mempengaruhi Indonesia. Janji-janji
bantuan ekonomi dan keuntungan materiil jika membuka hubungan dengan Israel
juga tidak membuat Sukarno tergiur. Sebagaimana, pada akhir tahun 1950,
pengusaha besar Israel, R.P. Goldman melakukan kunjungan ke beberapa negara
Asia, termasuk Indonesia untuk meningkatkan hubungan ekonomi dan perdagangan.
Namun, delegasi bisnis Israel tersebut harus gigit jari dan tidak mendapat
respon positif dari Sukarno.
Sukarno
memberikan dukungan total kepada bangsa Palestina. Tidak hanya dukungan
politik, bahkan juga apapun yang berkenaan dengan nasib rakyat Palestina.
Sebagai contoh, pada tahun 1957, Sukarno memerintahkan tim sepak bola Indonesia
agar menolak bertanding dengan tim kesebelasan Israel di Jakarta maupun Tel
Aviv. Padahal, pertandingan melawan Israel adalah kunci bagi Indonesia untuk
masuk ajang Piala Dunia tahun 1958. Indonesia saat itu telah mengalahkan
Tiongkok di penyisihan wilayah Asia Timur. Selanjutnya, Indonesia harus
menghadapi Israel sebagai pemenang wilayah Asia Barat. Permintaan Indonesia
untuk main di negara yang netral di tolak Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA).
Setelah di tolak FIVA, gantian Sukarno meminta tim kesebelasan Indonesia untuk
tidak merumput melawan tim Israel. “Itu sama saja mengakui Israel,” kata
Sukarno yang ditirukan Maulwi, pengawal pribadi
presiden.
Dukungan
kepada Palestina ditunjukkan kembali oleh Sukarno saat Indonesia menjadi tuan
rumah Asia Games IV tahun 1962. Sebagai bentuk tekanan kepada Israel, Sukarno
memerintahkan pihak otorisasi Indonesia tidak memberikan visa kepada kontigen
Israel dan Taiwan. Alasan Indonesia saat itu karena tidak memiliki hubungan
diplomatik. Namun, sebenarnya alasan penolakan yaitu Indonesia tetap
menjalankan kebijakan antiimperialisme. Indonesia menentang penjajahan Israel
terhadap bangsa Palestina.
Keputusan ini
ternyata harus dibayar oleh Indonesia dengan hrga yang cukup tinggi. Komite
Olimpiade Internasional (IOC) memutuskan hukuman bagi Indonesia. Kebijakan itu
membuat Indonesia dikenakan skors. Sukarno bergeming dan tetap tidak mau tunduk
tekanan IOC. Malah, Sukarno meminta Komite Olimpiade Indonesia agar keluar dari
keanggotaan IOC pada tahun 1963 dan membentuk Ganefo.
Dukungan
Sukarno tidak pernah luntur meskipun kekuasaan pemerintahannya mulai limbung
pasca kudeta G-30S/PKI. Pada pidato ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1966,
Sukarno tetap terus mengelorakan dukungan kepada kemerdekaan Palestina. “Kita
harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja
berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen
terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau
mengakui Israel!, kata Sukarno.
Apa yang
dikatakan Sukarno, “Bangsa yang konsekuen” mendukung kemerdekaan Palestina
menjadi ruh bagi sikap bangsa Indonesia hingga kini. Walaupun negara-negara
dunia, bahkan Arab telah menjalin hubungan dengan Isreal, Indonesia hingga kini
masih menolak menjalin hubungan diplomatik. Indonesia masih menggelorakan
dukungan kemerdekaan bangsa Palestina melalui PBB, New Asia Africa Strategic
Partnership (NAASP) dan forum-forum internasional lainnya. Sekali lagi, “Selama
kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina,
maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,”
sebagaimana pernah diwejangkan Sukarno kepada bangsa Indonesia.
Nama besar
“Sukarno” hingga kini masih diingat oleh rakyat Palestina. Hal ini dikemukakan
oleh Basher Othman, seorang wali kota Allar, Tulkarm, Tepi Barat, Palestina
yang pernah berkunjung ke Indonesia pada bulan September 2012. Di usianya yang
masih menginjak belasan tahun, Basher Othman mengaku mengidolakan kepahlawanan
Sukarno. “Iya, terutama dengan tokoh Ahmad Soekarno. Kami memanggil Ahmad
Soekarno sebab orang Palestina mengenalnya dengan nama itu. Indonesia juga
negara Muslim terbesar di dunia. Dukungan dan suara dari Indonesia sangat
memberi kami kepercayaan diri. Kami mendapatkan energi lebih ketika Indonesia
bersuara lantang dan membela Palestina,” kata Basher Oltman.
Pengakuan
serupa juga dikemukakan oleh warga Palestina yang bernama Salim. Ia mengaku
telah bertemu secara langsung dengan Sukarno. Ayah dari tujuh anak yang berusia
delapan dasawarsa ini sangat mengagumi Sukarno. Pada sekitar tahun 1960an ia
bertemu Sukarno di Jakarta. Pertemuan tersebut sangat berkesan dalam hidupnya.
“Dia pemimpin agung. Saya sangat menghormati dia,” kata Salim. Sambil
mengacungkan jempol, salim kembali berkata, “Dia sangat teguh memegang prinsip,
Dia berani menentang negara-negara besar.”
(Sumber: Buku
Dunia Dalam Genggaman Bung Karno, karya Sigit Aris Prasetyo, Penerbit Imania,
2017. Dengan modifikasi judul)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar