InspirasI

Sabtu, 01 Juli 2017

                     Merayakan Keindonesiaan

                                                M Alfan Alfian

Merayakan lebaran berarti merayakan keindonesiaan. Peristiwa mudik kolosal dan tradisi silaturahim saling maaf-memaafkan antarwarga bangsa menandai kekhasan budaya Indonesia. Semua warga bangsa yang majemuk melebur ke dalam suka cita kemanusiaan yang bernuansa religius. Karenanya tak berlebihan, manakala apabila ciri manusia Indonesia Mochtar Lubis ditambah satu lagi, maka jelas bahwa kalau lebaran mereka mudik dan bersilaturahim. Itu adalah ciri positif mengingat memperkuat modal sosial kebangsaan.
Tidak semua negeri Muslim punya tradisi mudik. Kendatipun, tradisi tersebut juga mencerminkan fenomena urbanisasi dan sosial-ekonomi, tetapi yang tidak boleh dilupakan, ia merupakan fenomena spiritual pula. Para pemudik dipicu oleh spirit silaturahim, penghormatan yang tinggi pada orangtua, kerabat, dan sanak saudara.
Lebaran memancarkan pula spirit kebangsaan dan dorongan ke para pemimpin agar adil, arif bijaksana, dan bekerja sungguh-sungguh bagi kesejahteraan rakyatnya. Hal itu antara lain tercermin pada syair Ismail Marzuki, “Selamat para pemimpin, rakyatnya hidup terjamin”.  

Perekat dan Kemajuan
Indonesia merupakan bangsa yang religius. Islam masuk ke Indonesia, terutama dilakukan melalui pendekatan kebudayaan. Dalam perkembangannya penganut agama Islam berinteraksi dengan kultur kegamaan sebelum dan sesudahnya. Islam telah turut mewarnai dinamika kebangsaan, terutama dalam konteks kebudayaannya.
Dalam konteks inilah, relevan kiranya, manakala organisasi Nahdlatul Ulama (NU) mengelaborasi esensi dan praktik Islam Nusantara. Bahwa keberadaan Islam di Nusantara merupakan unsur perekat kebangsaan yang penting sepanjang sejarahnya.
Di sisi lain, Islam juga merupakan sumber energi bangsa dalam menggapai kemajuan. Karenanya relevan pula, manakala organisasi Mushammadiyah menggemakan tema Islam berkemajuan.
Eksistensi Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila, tak terlepaskan dari ijtihad para ulama. Dalam perspektif Muhammadiyah, Pancasila merupakan darul ahdi wa syahadah, suatu konsensus nasional segenap elemen bangsa, di mana mereka saling mengisi untuk kemejuan bersama.
Keindonesiaan dan keislaman telah membentuk suatu formula kita dalam berbangsa. Karena, merupakan sesuatu yang ahistoris manakala Pancasila dipertentangkan dengan Islam. Di sisi lain, sudah tampak nyata dan tak terelakkan dalam sejarah bahwa selain sebagai perekat kebangsaan, melalui apa yang dikatakan Bung Karno sebagai “apinya Islam” diharapkan umat Islam Indonesia mampu mendorong percepatan dalam meraih kemajuan bangsa.
Dalam konteks ini, mendekatkan harapan dan kenyataan memerlukan ikhtiar kolektif yang komprehensif di tengah kompleksitas tantangan bangsa.
Salah satu tantangan yang krusial dewasa ini, selain terkait masalah-masalah kesenjangan sosial-ekonomi dan kualitas sumberdaya manusia, terfokus pada fenomena pembajakan terhadap Islam untuk kepentingan politik melalui jalan kekerasan atau terorisme.
Merebaknya pengaruh ideologi transnasional di satu sisi dan masih menghebatnya masalah-masalah sosial ekonomi menghadirkan radikalisme yang destruktif. Maka, ikhtiar deradikalisasi terhadap mereka yang terjebak pada kelompok ekstrim radikal, perlu terus dilakukan melalui formula yang tepat dan komprehensif dengan menyentuh akarnya.
Islam merupakan agama damai, bukan agama teror. Al Quran sarat dengan pesan-pesan perdamaian dan kemanusiaan. Tidak saja, terkandung di kitab tersebut pemahaman terhadap realitas kemajemukan umat manusia (QS 49:53), tetapi juga pesan-pesan kemanusiaan paripurna, dan penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan. Al Quran menegaskan, “Barangsiapa menyelamatkan satu jiwa (nyawa satu orang), maka ia seolah telah menyelamatkan jiwa (nyawa) semua orang.” (QS. 5:32).

Kohesi dan Kritik sosial
Banyak refleksi yang dihadirkan melalui momentum lebaran. Secara filosofis, ia dikaitkan dengan konteks makna Idul Fitri sebagai kembali ke kondisi alamiah (state of nature) manusia yang hanif, cenderung kepada kebenaran, kebaikan, dan kesucian. Dari sinilah, energi silaturahim itu terpancar. Maka, momentum lebaran sesungguhnya merupakan peristiwa yang penting bagi penguatan kohesi sosial dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
Silaturahim merupakan aktivitas kemanusiaan yang inklusif. Pelaku silaturahim tentu harus mengedepankan mental terbuka, mau menerima dan ikhlas memberi. Lagi pula, momentum Idul Fitri juga disertai pesan-pesan yang kuat terkait ibadah sosial yang lebih luas dengan berbasis empati terhadap sesama.
Melalui konsep dan praktik zakat, maka momentum lebaran juga merupakan suatu gerakan reflektif dalam bersedekah, sekaligus gerakan untuk menggerakkan potensi ekonomi yang memberdayakan, guna mewujudkan kesejahteraan bersama.
Maka dari itu, momentum lebaran juga merupakan suatu kritik sosial. Ada banyak hal yang kontradiktif dalam hidup ini, yang pada hakikatnya merupakan refleksi dari dijauhinya kecenderungan keaslian manusia yang hanif.
Hari raya yang dipopulerkan melalui kata lebaran, merupakan hari kemenangan, di mana manusia dihadirkan ke fase kupu-kupu yang indah. Disebut indah karena, naluri kemanusiaan dan kesesamaan diekspresikan sedemikian rupa melalui mental inklusif dan lapang dada.
Semua mengedepankan kedamaian, interaksi yang damai antarsesama. Semua itu sebagai puncak dari fase kepompong, fase menahan diri sebagai simbolisasi berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadan.
Kritik sosial terkait dengan fase ulat yang, tampaknya lebih banyak mendominasi perilaku kemanusiaan kita. Sebagai manusia yang seharusnya hanif, pada praktiknya justru suka berbuat kerusakan di muka bumi, hal yang pernah terlontar dari malaikat ketika Tuhan mencipta manusia.
Banyak di antara kita yang tidak pandai menahan hawa nafsu dan keserakahan, sehingga sadar atau tidak masuk dalam perangkap labirin egoisme dan kebinatangan, apakah dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, maupun yang lain.
Maka, semakin jauhlah manusia dari sifat hanif itu. Idul Fitri mengingatkan hakikat kesejatian manusia. Ketika mereka saling bersilaturahim dan memaafkan, maka ibarat lembaran kertas putih yang kosong kembali.
Dalam semangat memperkuat kerekatan antarwarga bangsa dan obsesi meraih kemajuan bersama, momentum Idul Fitri menjadi penting tidak saja untuk merayakan keindonesiaan kita, tetapi juga titik pijak untuk menggapai kemandirian bangsa.
Maka, mari kita rayakan keindonesiaan kita itu, sekaligus berpikir serius dan berikhtiar secara kolektif untuk mewujudkan cita-cita proklamasi.

M ALFAN ALFIAN, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota LHKP PP Muhammadiyah.

Tidak ada komentar: