Merayakan Keindonesiaan
M Alfan Alfian
Merayakan lebaran berarti merayakan keindonesiaan. Peristiwa mudik kolosal dan tradisi silaturahim saling maaf-memaafkan antarwarga bangsa menandai kekhasan budaya Indonesia. Semua warga bangsa yang majemuk melebur ke dalam suka cita kemanusiaan yang bernuansa religius. Karenanya tak berlebihan, manakala apabila ciri manusia Indonesia Mochtar Lubis ditambah satu lagi, maka jelas bahwa kalau lebaran mereka mudik dan bersilaturahim. Itu adalah ciri positif mengingat memperkuat modal sosial kebangsaan.
M Alfan Alfian
Merayakan lebaran berarti merayakan keindonesiaan. Peristiwa mudik kolosal dan tradisi silaturahim saling maaf-memaafkan antarwarga bangsa menandai kekhasan budaya Indonesia. Semua warga bangsa yang majemuk melebur ke dalam suka cita kemanusiaan yang bernuansa religius. Karenanya tak berlebihan, manakala apabila ciri manusia Indonesia Mochtar Lubis ditambah satu lagi, maka jelas bahwa kalau lebaran mereka mudik dan bersilaturahim. Itu adalah ciri positif mengingat memperkuat modal sosial kebangsaan.
Tidak semua
negeri Muslim punya tradisi mudik. Kendatipun, tradisi tersebut juga
mencerminkan fenomena urbanisasi dan sosial-ekonomi, tetapi yang tidak boleh
dilupakan, ia merupakan fenomena spiritual pula. Para pemudik dipicu oleh
spirit silaturahim, penghormatan yang tinggi pada orangtua, kerabat, dan sanak
saudara.
Lebaran
memancarkan pula spirit kebangsaan dan dorongan ke para pemimpin agar adil,
arif bijaksana, dan bekerja sungguh-sungguh bagi kesejahteraan rakyatnya. Hal
itu antara lain tercermin pada syair Ismail Marzuki, “Selamat para pemimpin,
rakyatnya hidup terjamin”.
Perekat dan Kemajuan
Perekat dan Kemajuan
Indonesia
merupakan bangsa yang religius. Islam masuk ke Indonesia, terutama dilakukan
melalui pendekatan kebudayaan. Dalam perkembangannya penganut agama Islam
berinteraksi dengan kultur kegamaan sebelum dan sesudahnya. Islam telah turut
mewarnai dinamika kebangsaan, terutama dalam konteks kebudayaannya.
Dalam konteks
inilah, relevan kiranya, manakala organisasi Nahdlatul Ulama (NU) mengelaborasi
esensi dan praktik Islam Nusantara. Bahwa keberadaan Islam di Nusantara
merupakan unsur perekat kebangsaan yang penting sepanjang sejarahnya.
Di sisi lain,
Islam juga merupakan sumber energi bangsa dalam menggapai kemajuan. Karenanya
relevan pula, manakala organisasi Mushammadiyah menggemakan tema Islam
berkemajuan.
Eksistensi
Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila, tak terlepaskan dari ijtihad
para ulama. Dalam perspektif Muhammadiyah, Pancasila merupakan darul ahdi wa
syahadah, suatu konsensus nasional segenap elemen bangsa, di mana mereka saling
mengisi untuk kemejuan bersama.
Keindonesiaan
dan keislaman telah membentuk suatu formula kita dalam berbangsa. Karena,
merupakan sesuatu yang ahistoris manakala Pancasila dipertentangkan dengan
Islam. Di sisi lain, sudah tampak nyata dan tak terelakkan dalam sejarah bahwa
selain sebagai perekat kebangsaan, melalui apa yang dikatakan Bung Karno
sebagai “apinya Islam” diharapkan umat Islam Indonesia mampu mendorong
percepatan dalam meraih kemajuan bangsa.
Dalam konteks
ini, mendekatkan harapan dan kenyataan memerlukan ikhtiar kolektif yang
komprehensif di tengah kompleksitas tantangan bangsa.
Salah satu
tantangan yang krusial dewasa ini, selain terkait masalah-masalah kesenjangan
sosial-ekonomi dan kualitas sumberdaya manusia, terfokus pada fenomena
pembajakan terhadap Islam untuk kepentingan politik melalui jalan kekerasan
atau terorisme.
Merebaknya
pengaruh ideologi transnasional di satu sisi dan masih menghebatnya
masalah-masalah sosial ekonomi menghadirkan radikalisme yang destruktif. Maka,
ikhtiar deradikalisasi terhadap mereka yang terjebak pada kelompok ekstrim
radikal, perlu terus dilakukan melalui formula yang tepat dan komprehensif
dengan menyentuh akarnya.
Islam
merupakan agama damai, bukan agama teror. Al Quran sarat dengan pesan-pesan
perdamaian dan kemanusiaan. Tidak saja, terkandung di kitab tersebut pemahaman
terhadap realitas kemajemukan umat manusia (QS 49:53), tetapi juga pesan-pesan
kemanusiaan paripurna, dan penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan. Al Quran
menegaskan, “Barangsiapa menyelamatkan satu jiwa (nyawa satu orang), maka ia
seolah telah menyelamatkan jiwa (nyawa) semua orang.” (QS. 5:32).
Kohesi dan Kritik sosial
Kohesi dan Kritik sosial
Banyak
refleksi yang dihadirkan melalui momentum lebaran. Secara filosofis, ia
dikaitkan dengan konteks makna Idul Fitri sebagai kembali ke kondisi alamiah
(state of nature) manusia yang hanif, cenderung kepada kebenaran, kebaikan, dan
kesucian. Dari sinilah, energi silaturahim itu terpancar. Maka, momentum
lebaran sesungguhnya merupakan peristiwa yang penting bagi penguatan kohesi
sosial dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
Silaturahim
merupakan aktivitas kemanusiaan yang inklusif. Pelaku silaturahim tentu harus
mengedepankan mental terbuka, mau menerima dan ikhlas memberi. Lagi pula,
momentum Idul Fitri juga disertai pesan-pesan yang kuat terkait ibadah sosial
yang lebih luas dengan berbasis empati terhadap sesama.
Melalui konsep
dan praktik zakat, maka momentum lebaran juga merupakan suatu gerakan reflektif
dalam bersedekah, sekaligus gerakan untuk menggerakkan potensi ekonomi yang
memberdayakan, guna mewujudkan kesejahteraan bersama.
Maka dari itu,
momentum lebaran juga merupakan suatu kritik sosial. Ada banyak hal yang
kontradiktif dalam hidup ini, yang pada hakikatnya merupakan refleksi dari
dijauhinya kecenderungan keaslian manusia yang hanif.
Hari raya yang
dipopulerkan melalui kata lebaran, merupakan hari kemenangan, di mana manusia
dihadirkan ke fase kupu-kupu yang indah. Disebut indah karena, naluri
kemanusiaan dan kesesamaan diekspresikan sedemikian rupa melalui mental
inklusif dan lapang dada.
Semua
mengedepankan kedamaian, interaksi yang damai antarsesama. Semua itu sebagai
puncak dari fase kepompong, fase menahan diri sebagai simbolisasi berpuasa
sebulan penuh di bulan Ramadan.
Kritik sosial
terkait dengan fase ulat yang, tampaknya lebih banyak mendominasi perilaku
kemanusiaan kita. Sebagai manusia yang seharusnya hanif, pada praktiknya justru
suka berbuat kerusakan di muka bumi, hal yang pernah terlontar dari malaikat
ketika Tuhan mencipta manusia.
Banyak di
antara kita yang tidak pandai menahan hawa nafsu dan keserakahan, sehingga
sadar atau tidak masuk dalam perangkap labirin egoisme dan kebinatangan, apakah
dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, maupun yang lain.
Maka, semakin
jauhlah manusia dari sifat hanif itu. Idul Fitri mengingatkan hakikat
kesejatian manusia. Ketika mereka saling bersilaturahim dan memaafkan, maka
ibarat lembaran kertas putih yang kosong kembali.
Dalam semangat
memperkuat kerekatan antarwarga bangsa dan obsesi meraih kemajuan bersama,
momentum Idul Fitri menjadi penting tidak saja untuk merayakan keindonesiaan
kita, tetapi juga titik pijak untuk menggapai kemandirian bangsa.
Maka, mari
kita rayakan keindonesiaan kita itu, sekaligus berpikir serius dan berikhtiar
secara kolektif untuk mewujudkan cita-cita proklamasi.
M ALFAN ALFIAN, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional, Jakarta. Anggota LHKP PP Muhammadiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar