InspirasI

Jumat, 28 Juli 2017

UNTUK PARA PELAJAR
JANGAN MEMOTONG SEJARAH ULAMA

Dahulu, ada tokoh pendidikan internasional, namanya Dr. Sudjatmoko
(Rektor Universitas PBB)._
Beliau pernah berkata, pada zaman akhir ini, alternatif pendidikan terbaik adalah
pondok pesantren, dengan catatan: memakai manageman modern.
Secara metode mengaji tetap memakai salafiyah, namun dalam hal tata-kelola menggunakan manageman *modern*.
Santri pondok pesantren itu ampuh.
Di tanah Jawa ini, yang paling ditakuti penjajah Belanda adalah santri dan tarekat.
Ada seorang santri yang juga penganut tarekat,  namanya Abdul Hamid.
Ia lahir di Dusun Tegalrejo, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta.
Mondok pertama kali di Tegalsari, Jetis, Ponorogo kepada KH Hasan Besari.
Abdul Hamid  ngaji kitab kuning  kepada Kyai Taftazani Kertosuro.
Ngaji Tafsir Jalalain  kepada  KH Baidlowi  Bagelen yang dikebumikan di Glodegan, Bantul, Jogjakarta.
Terakhir Abdul Hamid ngaji  ilmu hikmah kepada  KH Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.
Abdul Hamid sangat berani dalam berperang melawan penjajah Belanda selama lima tahun, 1825-1830.
Abdul Hamid wafat dan dikebumikan di Makassar, dekat Pantai Losari.
Abdul Hamid  adalah Putra  Sultan Hamengkubuwono ke-III  dari istri Pacitan, Jawa Timur.
 Abdul Hamid  patungnya memakai jubah dipasang di Alun-alun kota Magelang.
Menjadi nama di Kodam Jawa Tengah.
Terkenal dengan nama: Pangeran Diponegoro.
Belanda resah menghadapi perang Diponegoro
Dalam kurun lima tahun itu, uang kas Hindia Belanda habis, bahkan punya banyak hutang luar negeri.
Nama aslinya Abdul Hamid.
Nama populernya Diponegoro.
Adapun nama lengkapnya adalah Kyai Haji Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidin Pranotogomo Amirul Mu’minin Khalifatullah Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong.
Tidak hanya Diponegoro, anak bangsa yang didik para ulama menjadi tokoh bangsa.
Diantaranya, di Yogjakarta ada seorang ulama bernama Romo K Sulaiman Zainudin  di Kalasan Prambanan.
Punya santri banyak, salah satunya bernama Suwardi Suryaningrat.
Suwardi Suryaningrat ini kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional_ yang terkenal dengan nama *Ki Hajar Dewantara.*
Jadi, Ki Hajar Dewantara itu santri, ngaji, murid seorang ulama besar.
Sayangnya, sejarah Ki Hajar mengaji _al-Quran_ tidak pernah diterangkan di sekolah-sekolah, yang diterangkan hanya  Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Itu sudah baik, namun belum komplit.
Belum utuh.
Maka nantinya, untuk rekan-rekan guru, mohon diterangkan bahwa  Ki Hajar Dewantara  selain punya ajaran Tut Wuri Handayani, juga punya ajaran al-Quran al-Karim.
Perlu diketahui bahwa ketika Indonesia merdeka, ada  sayyid  warga Kauman Semarang  yang mengajak bangsa kita untuk bersyukur.
Sang  Sayyid tersebut menyusun lagu syukur.
Dalam pelajaran Sekolah Dasar disebutkan H Muthahar.
H Mutahar Itu bukan Haji Muthahar , namun Habib Husein Muthahar, yang menciptakan lagu syukur.
Beliau adalah Pak Dhenya Habib Umar Mutohar SH Semarang.
Jadi, yang menciptakan lagu syukur yang kita semua hafal adalah seorang *sayyid* cucu baginda Nabi.
Mari kita nyanyikan bersama-sama.
*Dari yakinku teguh*
*Hati ikhlasku penuh*
*Akan karuniamu*
*Tanah air pusaka*
*Indonesia merdeka*
*Syukur aku sembahkan*
*Kehadiratmu tuhan*

Itu yang menyusun cucu nabi, *Sayyid Husein Muthahar,* warga kauman Semarang.
Akhirnya oleh pemerintah waktu itu diangkat menjadi _Dirjen Pemuda dan Olahraga.

Terakhir oleh pemerintah dipercaya menjadi Duta Besar di Vatikan, negara yang berpenduduk  Katholik.
Di  Vatikan, *Habib Husein* tidak larut dengan kondisi, malah justeru membangun masjid.   Hebat !!!
Lebih hebatnya lagi, *Habib Husein Muthahar* menyusun lagu yang hampir se-Indonesia hafal semua.
Suatu ketika *Habib Husein Muthahar* sedang duduk, lalu mendengar adzan shalat dzuhur.
Sampai pada kalimat _*hayya alas shalâh*_, terngiang suara adzan.
Sampai sehabis shalat berjamaah, masih juga terngiang.
Akhirnya hatinya terdorong untuk membuat lagu yang cengkoknya mirip adzan, ada *“S” nya, “A” nya, “H” nya.*
Kemudian pena berjalan, tertulislah:
_*17 Agustus tahun 45*_
_*Itulah hari kemerdekaan kita*_
_*Hari merdeka nusa dan bangsa*_
_*Hari lahirnya bangsa Indonesia*_
_*Merdeka*_
_*Sekali merdeka tetap merdeka*_
_*Selama hayat masih dikandung badan*_
_*Kita tetap setia tetap setia*_
_*Mempertahankan indonesia*_
_*Kita tetap setia tetap setia*_
_*Membela negara kita*_
Maka peran para ulama, kyai dan para _sayyid_ tidak sedikit dalam pembinaan patriotisme bangsa.
Malahan, *Bung Karno,* ketika mau membaca teks proklamasi di Pegangsaan Timur Jakarta, minta didampingi putra ulama atau kyai.
Tampillah seorang dari kampung Batu Ampar, *Maya Kumbung,* Sumatera Barat.
Siapa beliau?
*H. Mohammad Hatta.*
Beliau putra ulama.
*Bung Hatta* adalah putra _Ustadz Kyai Haji Jamil,_ Guru  Thariqah Naqsyabandiyyah  Kholidiyyah
Akhirnya, Bung Hatta  menjadi wakil presiden pertama.
Sayang, sejarah Bung Hatta* adalah putra ulama dan putra penganut *tarekat* tidak pernah dijelaskan di sekolah, yang diterangkan hanya *Bapak Koperasi*.
Mulai sekarang, mari kita terangkan sejarah dengan utuh._
Jangan sekali-kali memotong sejarah._
Jika anda memotong sejarah, suatu saat, sejarah anda akan dipotong oleh Allah SWT._ 
Semoga bermanfaat .

Tidak ada komentar: