InspirasI

Kamis, 10 November 2016

*Pidato Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo.*

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Yang terhormat,
Ketua-ketua umum ormas Islam
Tokoh tokoh lintas agama
Para pejabat pemerintah daerah dan para pejabat TNI Polri.
Para Santri segenap para alim ulama para Kiai, hadirin undangan yang bebahagia.
Tidak ada yang pantas kita ucapkan selain puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT Karena hanya atas kuasa dan ridhonya kita dapat hadir dalam acara Peringatan 70 Tahun Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama di Tugu Proklamasi yang memiliki nilai stratagis.
Dalam kesempatan ini perlu saya jelaskan, mengapa begitu saya diundang saya hadir di sini. Saya datang tidak sendirian, saya datang dengan dengan pasukan-pasukan khusus. Ada Kopasus, ada Marinir, ada Paskas, ada Kostrad, ada Armed.
Ini untuk mengingatkan generasi muda, bahwa perjuangan bangsa sejak proklamasi kemerdekaan tidak dilakukan oleh TNI, tetapi yang merebut kemerdekaan adalah seluruh komponen bangsa, termasuk para ulama. Setelah merdeka baru TNI lahir. Jadi yang memerdekaan bangsa Indonesai bukan TNI, tetapi bapak-ibu kandung TNI, sehingga TNI adalah anak kandung raya.
Karena sejarah mencatat rangkaian peristiwa ini, bersentuhan langsung dengan kedaulatan Republik Indonesia, Terdapat 4 peristiwa penting yang saling mempengaruhi dan saling menguatkan yaitu: peristiwa tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. 5 Oktober hari pembentukan TKR sekarang TNI. 22 Oktober sebagai hari dicetuskannya Resolusi Jihad NU. Dan 10 November pecahnya perang di Surabaya yang kita kenal sebagai hari pahlawan hanya dalam hitungan empat bulan.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan apresiasi yang tinggi terhadap semangat dan motivasi yang ditunjukkan para santri sebagai generasi muda bangsa yang terus memelihara dan meneguhkan komitmennya terhadap perjuangan para pahlawan serta kecintaan pada tanah air, salah satunya diwujudkan pada gerak jalan memperingati Resolusi Jihad yang menempuh jarak ratusan kilometer diawali dari tugu pahlawan di Surabaya dan sampai di tugu proklamasi di Jakarta.
Hadirin undangan, peserta gerak jalan yang berbahagia.
Setelah tujuh puluh tahun berlalu, hikmah dan pelajaran yang diperoleh dari peristiwa Resolusi Jihad antara lain: bahwa perjuangan melawan penjajah saat itu, terkait erat dengan Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Ra'is akbar NU KH. Hasyim Asyari pada tanggal 22 Oktober 1945.
Bangsa penjajah tidak rela negeri ini merdeka sehingga berusaha untuk menguasai kembali tanah air kita. NICA membonceng sekutu untuk menguasai tanah air Indonesia, namun hal itu diketahui oleh para pejuang kemerdekaan dan ditindaklanjuti dengan merapatkan barisan untuk menolak kedatangan kolonialis. Untuk itu para santri berkumpul di seluruh wilayah, Jawa, Madura, seluruh Jawa mereka mengatur langkah strategi perjuangan sebagai kewajiban mempertahankan tanah air dan bangsanya.
Dan pada tanggal 17 September 1945, Presiden Soekarno, memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam kepada KH. Hasyim Asyari, sehingga KH. Hasyim Asyari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan jihad bahwa perjuangan membela tanah air adalah merupakan jihad fi sabilillah.
Dan selanjutnya menilai situasi di sekitar Surabaya Jawa Timur, atas pemikiran Mayor Jenderal TKR pada waktu itu, Mustopo, sebagai komandan sektor perlawaan Surabaya, bersama Sungkono, Bung Tomo dan tokoh-tokoh Jawa Timur menghadap KH. Hasyim Asyari untuk melakukan perang suci atau jihad dengan sasaran mengusir sekutu dan NICA yang dipimpin oleh Brigjend Mallaby untuk menunjukkan eksistensi adanya perlawanan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Mengapa demikian? karena pada saat memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, banyak bangsa-bangsa dunia dan PBB belum yakin apakah perjuangan kemerdekaan bangsa ini diberi hadiah oleh penjajah ataukah perlawanan rakyat.
Untuk itu makna perjuangan 10 November mempunyai makna yang luar biasa, bahwa bangsa Indonesia bukan diberi tapi melawan mengusir penjajah. Maka lahirlah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yaitu berperang menolak dan melawan penjajah itu fardhu ain yang harus dikerjakan oleh setiap orang Islam laki-laki, perempuan, anak-anak bersenjata atau tidak. Bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tenpat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran tadi kewajiban itu menjadi fardhu kifayah yang cukup kalau dikerjakan sebagian saja untuk membantu perjuangan di wilayahnya.
Tanpa Resolusi Jihad, maka tidak ada perlawanan heroik. Jika tidak ada perlawanan heroik maka tidak ada hari pahlawan 10 November. Dan bisa mungkin mustahil bangsa Indonesia ada seperti saat ini.
Saya ingin pula menceritakan bahwa sebenarnya, perlawanan secara heroik bukan dilaksanakan tanggal 10, tetapi lebih awal. Jadi pada saat itu KH. Hasyim Asyari menyampaikan,”Kita tunda, kita menunggu singa Jawa Barat, yaitu Kiai Abbas bin Abdul Jamil”. Beliau adalah cicit dari MBah Muqoyyim, pendiri pesantren Buntet Cirebon.
Dan KH. Hasyim Asyari memerintahkan setelah Kiai Abbas bin Abdul Jamil datang, memerintahkan bahwa komando tertinggi Laskar Hizbullah diserahkan untuk memimpin langsung penyerangan sekutu di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Pengaruh yang kuat membuat keputusan KH. Hasyim Asyari tersebut mengundurkan waktu sangat tepat. Sehingga terjadilah pertempuran yang sangat heroik yang kita kenal hari ini menjadi hari pahlawan. Hari ini mempunyai makna yang bisa kita petik dari peristiwa tersebut, bahwa perjuangan dan kepentingan mempertahankan kedaulatan negara berdimensi lintas etnis dan lintas wilayah. Siapapun dan di manapun mempunyai kewajiban yang sama membela bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tiga 'Jimat' Jendral Sudirman
Dalam kesempatan ini pula saya ingin mengingatkan, dan menggarisbawahi bahwa perjuangan kemerdekaan Resolusi Jihad, hari pahlawan, dan TNI memiliki hubungan historis yang erat dan menentukan. Kita tahu bahwa panglima TNI yang abadi, yang pertama, yaitu Jendral Sudirman, adalah seorang guru agama, seorang santri.
Saya sedikit menceritakan bagaimana perjuangan Jenderal Sudirman. Bahwa pada saat Jendral Sudirman belasan orang melakukan gerilya, ada satu orang pengkhianat. Maka pada saat Jendral Sudirman di rumah penduduk, karena pengkhianat ini melaporkan kepada Belanda, dikepung.
Tim pengamanan paling depan melaporkan, “Pak Dhe kita sudah dikepung.”
“Tenang, semuanya ganti pakaian, dan berdzikir bersama-sama saya.” (Mereka) melakukan tahlil Lailahaillah, Lailahaillah, Lailahaillah.
Belanda masuk, ditunjukkan anak buahnya Pak Dirman (yang pengkhianat itu), “Ini yang namanya Sudirman, yang Tuan cari-cari selama ini.”
Dilihat-lihat (oleh pihak Belanda),“Saya tidak percaya ini Sudirman.”
“Pak Saya anak buahnya, saya bersama-sama bergerilya.”
Dilihat-lihat lagi, tapi tetap tidak percaya.
Belanda itu mencabut pistol. “Kamu pembohong!” Dan penghianat itu ditembak di depan Pak Dirman. Lalu Belanda langsung keluar.
Makna ini mengingatkan, jangan sekali-kali kita menjadi penghianat bangsa. Baru di dunia saja sudah dihukum oleh Allah apalagi di akhirat nanti.
Kemudian, peristiwa demi peristiwa Pak Dirman dikawal oleh Pak Tjokropranolo, dan Pak Suparjo Rustam. Beliau berdua Pak Tjokropranolo dan Pak Rustam, karena saking penasarannya bertanya. (Pak Dirman kadang-kadang dipanggil Pak Dhe kadang-kadang dipanggil Pak Yai):
“Pak Yai, saya pingin tahu, jimatnya Pak Yai itu apa? Kita dikepung, Pak Yai tenang saja. Malah pengkhianat yang ditembak. Kita ditembaki, Pak Yai tenang-tenang saja.”
Beliu menjawab, “Kamu ingin tahu? Saya punya tiga jimat. Jimat yang pertama, saya tidak pernah lepas dari bersuci. Jadi kalau batal wudhu kamu kan bawa kendi saya, saya selalu berwudlu. Itu jimat yang pertama. Jimat yang kedua saya tidak pernah shalat tidak tepat waktu. Selalu bersih, waktunya shalat saya pasti salat, kamu tahu kan? Dan yang ketiga, jimat saya yang ketiga adalah semua yang saya lakukan dengan tulus dan ikhlas untuk rakyat dan bangsa Indonesia.”

Wassalamua’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Tidak ada komentar: