UMMAT ISLAM INDONESIA
DIJADIKAN GELANDANGAN
DI NEGERINYA SENDIRI
DIJADIKAN GELANDANGAN
DI NEGERINYA SENDIRI
Oleh : Cak Nun
Andaikan
kalah di satu pertempuran (battle), tidak mengagetkan bagi pasukan yang bersiap
menjalani peperangan (war) yang panjang. Rakaat pertama yang umpamanya kurang
utuh, pasti mendorong rakaat-rakaat berikutnya akan menjadi lebih utuh dan
khusyu. Ummat Islam Indonesia tidak memuncakkan perjuangannya pada 4 November
2016, sebab mereka menata nafas untuk Jurus Rakaat Panjang dalam sejarahnya
yang penuh tantangan, ancaman dan penderitaan.
Selama
ini saya diberi gambaran bahwa sesudah pemecah-belahan Uni Sovyet, Balkanisasi
dan Arab Spring, sekarang ada formasi baru persekongkolan internasional yang
bekerja keras dan sangat strategis untuk menghancurkan Islam dan Indonesia.
Kemudian agak lebih mengarah: merampok kekayaan Negara Indonesia, dengan cara
memecah belah Bangsa Indonesia dan utamanya Ummat Islam. Sekarang tampaknya
semakin terlihat penggambaran baru yang lebih spesifik dan akurat.
Yakni
bahwa NKRI bukan akan dihancurkan, melainkan dimakmurkan, tetapi bukan untuk
rakyat Indonesia. Kedaulatan politik, bangunan konstitusi, pasal-pasal hukum,
tanah dan modal, alat-alat produksi, serta berbagai perangkat kehidupan dan
penghidupan – tidak lagi berada di tangan kedaulatan Bangsa Indonesia. Rakyat
Indonesia tetap dikasih makan dan bisa ikut kecipratan sedikit kemakmuran,
asalkan rela menjadi pembantu rumahtangga, karyawan, kuli, khadam dan jongos
yang setia dan patuh kepada Penguasa baru NKRI, yang merupakan kongsi dari Dua
Adidaya dunia. Syuraqoh, alias keserakahan, diteknokrasi sedemikian rupa.
Sukar
saya hindari penglihatan bahwa yang paling sengsara di antara bangsa dan rakyat
Indonesia adalah Ummat Islam, karena mereka didera dua penjajahan. Di samping
ada paket penguasaan atas NKRI, terdapat juga disain untuk mendevaliditasi
Islam di kalangan pemeluknya. Ini berposisi sebagai cara atau strategi
penguasaan NKRI, maupun sebagai tujuan itu sendiri untuk memaksimalkan
deIslamisasi kehidupan bangsa Indonesia. NKRI tidak boleh menjadi Negara Islam,
artinya boleh menjadi Negara Agama selain Islam.
Hampir selama 40 tahun,
intensif 20-an tahun belakangan, saya keliling jumpa rakyat rata-rata 10.000
orang perminggu, untuk ikut memelihara keIndonesiaan, keutuhan NKRI, persatuan
dan kesatuan antar golongan apapun yang dinding-dindingnya mungkin etnik,
agama, parpol, madzhab, aliran, muara-muara kepentingan, segmen-segmen dan
level. Agenda saya adalah membesarkan hati mereka, merabuki optimisme
penghidupan dan keyakinan akan masa depan mereka. Kalau orang bilang
pluralisme, mereka saya himpun dan ayomi sebagai semacam keindahan orkestrasi.
Kalau disebut toleransi, saya carikan formula, aransemen, modulasi sosial untuk
puzzling dan saling paham atas batas-batas di tengah kemerdekaan.
Kalau
ada kelompok terlibat bentrok dengan lainnya, saya disuruh menambal dan
menyatukan kembali. Kalau ada yang diserbu, saya ditugasi untuk menyiapkan
segala sesuatu untuk melindungi dan menampung. Saya minta kepada Tuhan agar
dianugerahi ilmu untuk menemani rakyat, agar berada dalam keseimbangan
hubungan, meracik skala prioritas dan tata-etika untuk disepakati, dengan
menomersatukan keutuhan kemanusiaan dan kebangsaan. Saya ditarik untuk menemani
mereka mencari solusi-solusi dalam rembug pengetahuan atau diskusi ilmu dan
kasih sayang, minimal 5 jam, bahkan sering berlangsung hingga dihentikan oleh
Subuh.
Akan
tetapi saya dan kami semua diam-diam ditikam dari belakang. Kami dimunafiki:
bilangnya satu dalam perbedaan, tapi diam-diam di belakang punggung menciptakan
pecahan-pecahan, menanam perilaku yang menimbulkan amarah, kebencian,
permusuhan dan dendam. Saya mengajak kaum Muslimin untuk “la ikroha fiddin” dan
memahami metoda-metoda tasammuh atau toleransi, untuk secara rasional menata
keIndonesiaan. Tetapi diam-diam Kaum Muslimin digerogoti dari belakang:
pergerakan-pergerakan sangat taktis dan strategis dari upaya-upaya deIslamisasi
penduduk kampung-kampung, deIslamisasi Kraton, hingga deIslamisasi Pemerintahan
Nasional, dengan plan dan timeline yang seksama, sangat kentara, bahkan
terang-terangan dengan arogansi dan keculasan.
Bahkan
Kaum Muslimin dicuci otaknya secara nasional untuk mempercayai bahwa demokrasi
tetap gagal selama pemimpin nasionalnya berasal dari mayoritas. Demokrasi
tercapai sempurna kalau pucuk pimpinannya adalah tokoh minoritas. Kalau
mayoritas berkuasa itu artinya diktator mayoritas dan intoleransi. Kalau
minoritas berkuasa itu maknanya demokrasi dan keadilan. Kalau orang Islam
dibunuh, itu perjuangan melawan radikalisme dan fasisme. Kehancuran Islam
adalah tegaknya keadilan dunia dan berkibarnya demokrasi. Penguasaan atas Kaum
Muslimin dilakukan atas dasar subyektivitisme Ras dan Agama para pelakunya,
kalau Kaum Muslimin menolaknya dituduh rasis dan pelaku SARA. Ummat Islam
dipaksa untuk menerima kehendak kekuasaan, dan kalau menolak mereka disebut
memaksakan kehendak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar