MASYARAKAT MAKIN PINTAR,
ATAU TERORIS MAKIN BODOH???
(by : Iramawati Oemar)
Negeri ini pernah diguncang bom-bom besar
beruntun satu dekade yang lalu. Di paruh pertama dekade 2000an, nyaris setiap
tahun ada bom besar meledak dengan korban yang tak sedikit.Rabu sore, 14
September 2000, sehari sebelum pembukaan Olimpiade Musim Panas 2000, sebuah bom
mobil meledak di ruang bawah tanah (area parkir) Bursa Efek Jakarta. Rentetan
ledakan menewaskan 15 orang dan melukai 90 orang lainnya.
Hampir setahun
kemudian, 1 Agustus 2001, bom meledak di pelataran Atrium Senen dekat lokasi
gerai Pizza Hut. Tak ada korban jiwa, namun 6 orang terluka.
14 bulan
kemudian, tragedi bom terbesar mengguncang Indonesia tepat di pusat pariwisata.
12 Oktober 2002 jelang tengah malam, sebuah bom besar meledak di Sari Club dan
Paddy's Cafe/Pub di jalan Legian, Kuta, Bali. Disusul dengan ledakan kecil
dekat kantor Konsulat Jendral Amerika Serikat.
Tragedi yang dikenal sebagai Bom Bali I ini terjadi 1 tahun 1 bulan pasca bom
yang meluluhlantakkan 2 menara kembar WTC di Washington DC, Amerika Serikat.
Bom Bali I menelan korban jiwa sebanyak 202 orang dan 209 luka-luka, mayoritas
warga asing yang sedang menghabiskan malam Minggu di 2 tempat hiburan tersebut.
Terdakwa
pelaku ledakan bom terbesar itu kemudian dihukum mati, Imam Samudra dan 2 dari
3 bersaudara yang dikenal dengan sebutan "Trio Tenggulun", yaitu
kakak beradik Ali Ghufron dan Amrozi. Sedangkan satu dari 3 bersaudara yang
selamat dari eksekusi mati adalah Ali Imron, yang lebih memilih
"kooperatif" dengan kepolisian.
Berselang 10
bulan dari tragedi bom Bali I, Selasa, 5 Agustus 2003, ledakan bom terjadi di
hotel JW Marriott, kawasan Mega Kuningan, Jakarta, di siang hari bolong.
Ledakan yang cukup besar dan menghebohkan.
Sama halnya dengan bom di area parkir bawah tanah BEJ dan di Kuta, Bali, kali
ini ledakan juga berasal dari bom mobil. Ledakan menewaskan 12 orang dan
mencederai 15 orang.
Tahun
berikutnya, jelang Pilpres putaran kedua 2004, lagi-lagi sebuah bom mobil
meledak, kali ini di depan Kedubes Australia, masih di Kuningan, pada 9
September 2004 sekitar pukul 10:30 WIB.
Ini aksi terorisme terbesar ketiga setelah Bom Bali dan JW Marriot.
Jumlah korban jiwa sekitar 9-11 orang. Bangunan di sekitar tempat kejadian
rusak parah tercabik bom.
Oktober 2005
kembali terjadi ledakan bom di Bali, yang kemudian disebut Bom Bali II.
Semua rentetan
bom itu diduga kuat didalangi oleh kelompok Dr. Azahari Husin alias Alan yang
kemudian tewas dalam penyergapan polisi di kota Batu, Malang pada 9 November
2005. Partnernya, Noordin M. Top, menyusul tewas pada 17 September 2009
keduanya warga negara Malaysia.
Rekan mereka, Dulmatin, juga tewas pada 9 Maret 2010.
Ledakan besar
lain yang mengguncang ibukota adalah bom JW Marriott II, ledakan bom di hotel JW
Marriott dan Ritz-Cartlon di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, pada Jumat
pagi, 17 Juli 2009, hanya berselang sepekan pasca Pilpres 2009. Korbannya 9
orang tewas dan lebih dari 50 orang luka-luka, baik warga Indonesia maupun WNA.
Itulah
rentetan bom besar yang terjadi sepanjang dekade 2000an.
Kesamaannya : selain umumnya menggunakan bom mobil (kecuali bom JW Marriot II,
2009), pelaku biasanya tak meninggalkan jejak kentara. Kalaupun kemudian
terdeteksi pelakunya, itu karena proses penyelidikan kepolisian.
Kesamaan lainnya : SASARAN UMUMNYA SIMBOL-SIMBOL ASING ATAU SIMBOL
PEREKONOMIAN.
Bursa Efek Jakarta, Pizza Hut, JW Marriot (hotel yang identik dengan Amerika),
tempat hiburan malam para turis asing di Legian, kantor Kedutaan Australia.
Itulah ciri-ciri target ledakan bom yang dilakukan oleh kelompok radikal.
Mereka tidak akan menyasar pusat kegiatan atau roda perekonomian kaum pribumi
kelas menengah ke bawah, middle-low class.
*** *** ***
Dekade
berganti. Sejak paruh kedua dekade 2010-an, modus pengeboman berubah. Yang
nge-trend belakangan bukan memakai bom mobil, tapi bom panci. Skala dan radius
ledakannya tentu lebih kecil.
Pelakunya pun
seperti sengaja meninggalkan jejak.
Sebut saja bom yang terjadi pada pertengahan Januari tahun lalu, 2016, di sekitar
jalan Thamrin dan pusat pertokoan Sarinah.
Semula yang diserang pos polisi lalu lintas. Sosok "teroris"nya
seperti orang bingung, membawa senjata api di tengah keramaian masyarakat yang
berjubel menonton, tapi tak sekalipun dia mengarahkan moncong senjatanya pada
kerumunan orang disekitarnya. Si "teroris" terus berjalan seperti
pikirannya sedang kosong, tatapannya nanar. Terakhir, dia malah bunuh diri
dengan menembak dirinya sendiri.
Setelah itu
ada beberapa kejadian kecil bom panci. Tampaknya teroris dekade ini ogah modal.
Mengorbankan sebuah mobil meski pakai mobil bekas, terlalu berat di ongkos bagi
mereka. Pakai panci saja, lebih irit.
Terakhir, bom
panci meledak di terminal Kampung Melayu, Rabu malam, 24 Mei 2017. Dari 5
korban tewas, 2 diantaranya diduga pelaku bom bunuh diri.
Foto potongan
tubuh berserakan, segera beredar luas di media sosial. Potongan tubuh yang
mirip seperti korban mutilasi, yang terpotong di persendian.
Sekedar
perbandingan dengan korban-korban bom dekade sebelumnya, biasanya dampak yang
ditimbulkan mengoyakkan tubuh dan benda disekitarnya. Bahkan gedung Kedubes
Australia saja tampak seperti kain compang-camping yang terkoyak. Umumnya luka
pada tubuh korban disertai luka bakar. Karena ledakan bom juga diikuti nyala
api.
Coba lihat saja dokumentasi kejadian bom Bali, dll.
Anehnya lagi,
pada bom kemarin, meski tubuh pelaku terpotong-potong, tapi struk pembelian
panci masih utuh ditemukan di saku celana terduga pelaku. Hebat!!!
Sebuah kebetulan yang luaaarrr biasa. Probabilitasnya mungkin hanya nol koma
sekian nol satu persen saja, secarik kertas yang berada di tubuh pelaku, tidak
hancur ketika terjadi ledakan bom bunuh diri.
Kabarnya panci
itu dibeli dari sebuah super market di Padalarang. Kita semua tahu kan
struk supermarket seperti apa jenis kertasnya? Tipis, tintanya pun mudah pudar
kalau sudah beberapa hari, apalagi jika menyimpannya tidak rapih dan kertasnya
lusuh.
Mengherankan,
bagaimana seorang pelaku bom bunuh diri masih merasa perlu menyimpan struk
pembelian panci yang dijadikannya alat peledak. Padahal, panci itu semestinya
sudah dibeli beberapa hari sebelumnya, kemudian dirakit bom di dalamnya.
Seberapa
pentingnya struk belanja??
Kalau pelaku adalah orang suruhan, orang yang mendanai pasti sudah membayarnya
terlebih dahulu untuk membeli alat-alat peledak.
Kalaupun pelaku harus membeli dahulu kemudian di-reimburse (suatu hal yang
musykil, memangnya perusahaan?! Hahahaaa...), mestinya struk pembelian panci
sudah direimburse sebelum pelaku menjalankan misi bom bunuh diri.
Kalau kedua pelaku/eksekutor adalah sekaligus otak dan mereka mendanai sendiri
aksinya, makin tidak relevan lagi menyimpan struk pembelian panci. Untuk apa?!
Kenangan yang dibawa mati?!
Oh, come on! Ini bagian yang paling mengusik kewarasan akal pikiran kita.
Seorang
pengamat masalah terorisme mengatakan, jaringan Dr. Azahari para pelakunya sama
sekali tidak berusaha meninggalkan jejak. Bahkan membawa handphone pun tidak.
Perkara kemudian ada jejak yang tertinggal, itu sebuah ketidaksengajaan belaka,
karena tak ada kejahatan yang sempurna.
Tapi teroris
dekade ini memang aneh (atau bahlul??). Jejak yang ditinggalkan sepertinya
lebih pada kesengajaan ketimbang keteledoran.
Katakanlah
pelaku teror belakangan ini adalah kelompok lain, jaringan yang berbeda dengan
dekade sebelumnya, namun semestinya, secara logis maka tindakan terorisme akan
semakin canggih, semakin berbobot.
Sama halnya dengan kriminalitas biasa dan kriminalitas ekonomi (perbankan dan
instrumen keuangan lainnya), dari tahun ke tahun makin beragam modusnya dan
makin canggih, pelakunya makin mahir. Seperti idiom "maling tambah
pinter".
Mana ada maling jaman sekarang menggali lubang untuk membobol rumah, seperti
maling tahun 1970-an??
Dalam dunia
kriminal, pelaku kriminal kepandaiannya meningkat bak deret ukur sementara
kemampuan masyarakat awam mengantisipasi hanya bak deret hitung. Masyarakat
hanya bisa mengantisipasi agar kejahatan yang sama tidak terjadi lagi, hanya
bisa belajar setelah ada kejadian menimpa orang lain.
Sementara pelaku kejahatan terus belajar dan meng-ahli-kan dirinya agar
modusnya tak terendus aparat.
Namun aneh
dengan yang terjadi pada kejahatan terorisme khusus di Indonesia. Terorisnya
kok belakangan tampak makin konyol ya?
Sasaran aksi terornya juga bukan lagi simbol-simbol asing. Malah menyasar
tempat aktivitas rakyat kebanyakan.
Padahal,
terduga "teroris" yang berhasil digerebek baik dalam keadaan hidup
atau mati, umumnya tinggal di rumah kost atau rumah kontrakan sederhana,
berasal dari kelas sosial menengah. Bagaimana bisa mereka mengebom sasaran yang
sekelas dengannya??
Terminal
Kampung Melayu tempat berkumpulnya angkot, mikrolet, bis kota. Orang yang
berada di lokasi itu adalah para pengemudi, kenek, calo, pedagang kaki lima,
dan tentu saja calon penumpang yang juga berasal dari kelas menengah ke bawah.
Warga kelas atas umumnya naik kendaraan pribadi milik sendiri atau sewa taksi.
Apalagi warga asing, tak mungkin kelayapan sampai malam di terminal.
Mereka yang berada disitu hingga malam adalah rakyat kebanyakan yang bergulat
dengan kehidupan, terutama beban perekonomian.
Lalu apa
tujuannya teroris mengebom tempat seperti itu yang pasti korbannya adalah
"wong cilik" juga???
Wong cilik yang juga adalah korban ketimpangan ekonomi, korban ketidakadilan,
korban tidak meratanya kue pembangunan.
Sementara, jika pelakunya adalah kelompok radikal garis keras, mereka justru
melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan, melakukan kritik atas ketimpangan
ekonomi dan sosial.
Jadi,
bagaimana bisa orang yang memprotes atau melawan suatu keadaan, kemudian
melakukan penghancuran atas orang-orang yang senasib dengannya??!!
How come?!
Oh, come on! #Marijagakewarasan !
Seperti apa yang dilakukan "teroris" di
jalan Thamrin awal tahun lalu. Dia bahkan tak hendak melukai masyarakat yang
berkerumun di sekelilingnya. Padahal mudah saja baginya memuntahkan peluru dari
laras senapannya, ke arah "penonton" dan aksi terornya akan jauh
lebih berhasil karena efek teror yang ditimbulkan akan lebih dahsyat.
Ada apa di
balik semua ini???
Ayolah, masyarakat sudah makin pintar, makin logis dalam berpikir!
Masa iya terorisnya makin goblok dan konyol?!
Lain kali mungkin terorisnya bukan hanya meninggalkan KTP disekitar serpihan
tubuhnya. Siapa tahu dia bawa juga akte kelahiran, ijazah terakhir, kartu
keluarga, jadi biar gampang segera ketahuan siapa ortunya, siapa keluarganya
(istri dan anak) dan alumni mana sekolahnya.
masyarakat
sekarang harus semakin pandai.