SEJARAH
WONOGIRI WAKTU ITU
Sejarah
panjang pembangunan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri.
Waduk Gajah Mungkur, Pengorbanan Orang Wonogiri untuk Indonesia
Air tampungan di waduk ini juga menjadi energi pembangkit tenaga listrik yang memasok kebutuhan listrik
Waduk Gajah Mungkur, Pengorbanan Orang Wonogiri untuk Indonesia
Air tampungan di waduk ini juga menjadi energi pembangkit tenaga listrik yang memasok kebutuhan listrik
Besarnya
manfaat Waduk Gajah Mungkur itu tentu tak lepas dari “pengorbanan” orang
Wonogiri yang sebelumnya menghuni wilayah ini, karena waduk ini dibangun diatas
areal tanah hunian, persawahan, dan perladangan penduduk seluas 90 Km2 yang
mencakup 51 desa di 7 Kecamatan. Terdapat 12.525 Keluarga (68.750 jiwa)
penduduk Wonogiri yang tinggal di areal ini, 10.350 Keluarga diantaranya secara
sukarela meninggalkan “tanah kelahiran-nya” pindah melalui transmigrasi dan
sisanya sekitar 2.175 Keluarga pindah secara mandiri ke berbagai daerah, baik
di wilayah Jawa Tengah maupun kota-kota lain di Indonesia. Pertanyaannya
“mengapa mereka bersedia secara sukarela meninggalkan tanah kelahiran atau
tanah tumpah darah atau tanah airnya?”.
Bisa
dibayangkan betapa kompleksnya masalah yang dihadapi saat waduk ini dibangun.
Mulai dari proses “pembebasan tanah”, pembayaran ganti rugi, penyiapan tempat
tinggal untuk membangun hidup baru di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi,
dan Bengkulu, serta proses perpindahan penduduk dengan berbagai kompleksitas
masalahnya, baik yang berhubungan dengan masalah sosial, budaya, mobilisasi
orang dan barang maupun aspek psikologis lainnya. Satu hal yang wajar jika
dalam proses itu terdapat beberapa “gesekan kecil” dari mereka yang ihklas,
setengah ihklas, dan bahkan menolak rencana besar itu.
Syukur
Alhamdulillah, Bupati Wonogiri waktu itu (Harmoyo) adalah seorang pemimpin
bijak yang mampu meyakinkan masyarakat yang dipimpinnya. Didukung oleh para
Menteri terkait waktu itu, Menteri Transmigrasi Prof. Subroto, Menteri
Pekerjaan Umum Prof. Purnomosidi Hajisarosa, dan diakhiri Menteri Muda
Transmigrasi Martono melakukan “blusukan” untuk mengajak dialog dengan
masyarakat Desa-desa genangan. Akhirnya melalui proses panjang, pendekatan
manusiawi dilandasi falsafah “nguwongke”, proses panjang itu berhasil dilalui.
Permukiman transmigrasi di wilayah Sitiung Provinsi Sumatera Barat yang (waktu
itu) dipimpin Gubernur Prof. Harun Zein siap menampung para pahlawan
pembangunan dari Wonogiri, sementara Menteri Transmigrasi bersama Menteri
Perhubungan juga telah siap dengan berbagai sarana perpindahnnya.
Awal Desember
1976, rombongan pertama 100 Keluarga pahlawan pembangunan Waduk Gajah Mungkur
Wonogiri meninggalkan Transito di Giriwono menuju Stasiun Kereta Api Jebres
Solo, selanjutnya menggunakan Kereta Api menuju Stasiun Tanjung Priok Jakarta
untuk langsung naik Kapal menuju Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat. Inilah
peristiwa terbesar dalam sejarah perpindahan penduduk melalui transmigrasi di
Indonesia. Awal Desember ini Trip pertama gelombang awal terdiri dari 100
kepala keluarga (448 jiwa) bergerak dari Pelabuhan Teluk Bayur menelusuri jalan
melingkari Danau Singkarak menuju Desa Sitiung (Sumatera Barat) sepanjng
sekitar 217 Km. Penduduk setempat-pun berjejal menyambut ceria dengan berbagai
tetabuhan, ada telepong, bahkan reog Ponorogo. Sampai bulan Maret 1977 sejumlah
2.000 kk (65 517 jiwa) warga daerah genangan Waduk Gajah Mungkur berhasil
ditempatkan di 4 Desa baru wilayah Sitiung, Tiuamang dan Silalang kabupaten
Sawahlunto Sijunjung.
Sambutan
masyarakat “urang awak” waktu itu cukup ramah. Upacara adat Minang ‘sekapur
sirih’ dilakukan oleh Zohar sebagai wakil Ninik-mamak, diterima oleh Prawiro
Diyono, bayan dukuh Karanglo, yang dilanjutkan dengan sambutan ketua adat
setempat, Datuk Mendaro Kuning. Hari itu, Rabu perjalanan dari jam 06.00 dan
tiba di Sitiung jam 15.00 sore hari. Kawasan Sitiung seluas 108 kilometer
persegi dan berpenduduk asli 3.471 jiwa itu, dikenal sebagai daerah subur. Di
desa yang terletak 4 kilometer dari Trans Sumatra Highway itu sudah tersedia
ladang yang akan dibagikan. Juga areal persawahan yang kini sebagian besar
masih menunggu selesainya proyek irigasi dataran Batanghari. Dengan tambahan
100 kk itu, dipastikan Sitiung akan menjadi 2 desa. Dan sesuai dengan ketentuan
semula, desa baru itu akan dipimpin oleh Kepala Desa baru, (waktu itu) Bapak
Pardi Padmosumarto yang memang telah ditunjuk oleh Bupati Wonogiri. Pembukaan
permukiman baru itu juga dilengkapi dengan beberapa prasarana seperti SD, SLTP,
dan SLTA, Balai Pengobatan, dan lain-lain. Yang menarik, pada waktu itu juga
dibangun pasar yang oleh masyarakat setempat diberi nama “Wonositi” sebuah nama
yang menggabungkan nama Desa setempat Sitiung dengan asal transmigran Wonogiri.
Akhir tahun 1976 itu, sebanyak 2.000 KK warga asal Kabupaten Wonogiri berhasil
ditempatkan di hamparan Sitiung.
Namun memang
tak ada perjalanan yang selalu mulus dan berbagai persoalan-pun seringkali
menghadang. Ketika proses pembangunan Waduk kurang sinkron dengan proses
pembangunan permukiman baru untuk menampung penduduk Wonogiri berbagai
persoalan pelik memaksa para pejabat untuk secara cerdas mencarikan solusi.
Waktu itu, secara teknis pembangunan waduk mengharuskan seluruh areal
dikosongkan karena arealnya harus segera digenangi. Namun, karena berbagai
masalah lapangan, pembangunan permukiman transmigrasi belum semuanya siap. Daya
tampung kawasan Sitiung ternyata tidak mampu menampung seluruh penduduk daerah
genangan waduk, sehingga Depnakertranskop dibawah komando Prof. Subroto harus
berjuang keras mencari tempat lain. Tempat itu diperoleh, ada di kawasan
Jujuhan Provinsi Jambi bersebarangan dengan Sitiung, ada di kawasan Baturaja
Provinsi Sumatera Selatan, dan ada pula di kawasan Kuro Tidur Provinsi
Bengkulu. Namun ternyata penyebaran penempatan orang yang merasa menjadi
“korban Waduk” itu “ditolak” oleh sebagian warga. Tentu hal demikian cukup merepotkan.
Tahun 1980,
sebanyak 1.850 KK menolak dan mereka enggan meninggalkan tanah kelahirannya.
Bahkan jika Pemerintah memaksa, merekapun menyatakan siap “tenggelam bersama”
karena menganggap Pemerintah “ingkar janji”. Sitiung yang waktu itu menjadi
lokasi “idola” bagi “korban waduk” ternyata tidak mampu menampung semua.
Berbagai cara
dilakukan untuk mengharap “keihklasan” warga “korban Waduk Gajah Mungkur”
Wonogiri ini. Berbagai strategi komunikasi dilakukan, dan berkat
“kenegarawanan” mereka, 1.850 KK tersebut bersedia berangkat menuju kawasan
Kuro Tidur di Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Itulah kenegarawanan
orang Wonogiri, walaupun dengan berat hati, mereka menyadari bahwa waduk adalah
kepentingan bangsa yang lebih besar. Akhirnya pada tanggal 17 November 1981,
Waduk Serbaguna Gajah Mungkur-pun diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Kini, setelah
rata-rata sekitar 34 tahun, perjuangan 10.350 KK warga Wonogiri “korban Waduk
Gajah Mungkur” di Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu-pun
berhasil meraih sukses. Mereka merajut masa depan bersama keluarga dan handai
taulannya dengan berbagai bidang usaha. Ada yang sukses dengan Budidaya
pertanian, perkebunan, dan berbagai bidang usaha, merintis karier di
pemerintahan, dan bahkan melalui jalur Politik. Saat ini tidak sedikit
transmigran warga genangan waduk Gajah Mungkur yang menjadi pejabat public dan
juga anggota parlemen, baik DPRD Kabupaten/Kota maupun Provinsi. Pengorbanan
mereka meninggalkan tanah kelahirannya berbuah sukses, dan itulah bukti bahwa
jiwa kenegarawanan berhasil memberikan manfaat bagi sesame dan juga dirinya.
Demikian pula
Waduk Gajah Mungkur, kini menjadi idola Kabupaten Wonogiri, persawahan di
wilayah Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, dan sekitarnya tertata apik, dan
pasokan listrik-pun mendorong pertumbuhan kawasan Jawa Tengah Tenggara ini. Itu
semua berkat “kebesaran jiwa dan kenegarawanan” puluhan ribu warganya. Kini,
mereka yang dulu merasa menjadi “korban” telah memetik buah keberhasilan, tidak
hanya diri dan keluarganya, tetapi juga masyarakat yang ia tinggalkan, Wonogiri
dan sekitarnya.Sekian (Berbagai sumber Bedol dhesa/Transmigrasi)
SELAMAT HARI JADI WONOGIRI KE 276
Tidak ada komentar:
Posting Komentar